2 Bocah Menyebalkan!

*Chapter 1*

Budayakan vote sebelum membaca

Iki merengut tak suka. Kedua tangannya dia taruh di depan dada, menyilang. Bibir bagian atas yang indah bak busur panah itu tertarik ke depan. Kali ini Iki benar-benar dongkol sendiri. Ingin marah, tapi itu tidak akan mengubah apa pun. Keputusan bunda dan ayah sudah bulat. Kalaupun dia menjerit sekarang, mereka tidak akan kembali dan mengajaknya pulang.

Koper bergambar Lancelot yang tadi dibawa oleh senior kini teronggok di depan pintu kayu warna putih yang ada di depannya. Tidak bergeser satu inci pun semenjak kepergian dua senior tadi.

Iki berdiri di depan kamar asramanya sendirian. Mau bagaimana lagi? Dia sudah di sini sekarang. Mau tidak mau, Iki tetap harus menerima semuanya. Sambil menghela napas panjang, tangan mungil yang tertutupi lengan koko putihnya meraih ujung pegangan koper, lantas menariknya, mengerahkan semua tenaga yang dia punya.

Kamarnya berada di lantai dua paling ujung, tepat bersebalahan dengan atap rumah bata merah yang tadi Iki datangi. Untuk kembali ke bawah melarikan diri, Iki harus melewati sembilan pintu kamar. Itu akan sangat melelahkan. Belum lagi kemungkinan muncul senior dan melaporkannya pada ustaz. Dia tak berani bahkan untuk sekadar memikirkannya.

Sekali lagi Iki mengembuskan napas, kemudian mendorong pintu yang ada di depannya. Decit yang dihasilkan pintu kayu tua itu membuat Iki meringis, urung melangkahkan kaki untuk masuk ke area sempit dan pengap di depannya.

"Kamarnya sumpek banget!" ucapnya sambil menggantungkan langkah di udara. Iki menelan ludah kasar, kemudian memberanikan diri untuk masuk.

Ruangan itu besarnya sekitar tiga meter. Terlalu kecil untuk ruangan yang padat oleh benda-benda berukuran besar. Satu set ranjang bertingkat terpatri di ujung ruangan, dua lemari kayu setinggi seratus lima puluh meter di sisi kanan dan kirinya, warnanya hijau pekat, kemudian rak buku dan rak sepatu yang ditaruh berdekatan tak jauh dari pintu masuk tepat di mana Iki berdiri saat ini.

Hal yang terakhir Iki lihat adalah satu meja belajar di dekat jendela yang menghadap ke sebelah kiri.

"Iki enggak yakin bisa bertahan!" Dia meringis sambil menyeret kopernya masuk.

Sebelum kepergian senior, Iki sempat diberitahu jika dia akan sekamar dengan seseorang. Namun karena Iki tidak mendengarkan dan nyaris tidak peduli sama sekali, dia tak mampu mengingat nama orang yang akan jadi teman sekamarnya. Bodo amat!

Jika dilihat dengan teliti, ruangan padat itu cukup rapi. Meski terkesan sesak, tapi barang-barang tersimpan dengan apik pada tempatnya. Iki jadi penasaran, lelaki macam apa yang menghuni ruangan ini?

Satu-satunya meja belajar itu sudah penuh dengan buku dan kitab kuning. Disusun berdasarkan bentuk, dari yang terkecil sampai yang terbesar, kemudian pada dua pojok meja ada vas bunga kaktus kecil yang terlihat hijau segar. Itu semakin membuat Iki penasaran. Apakah dia sekamar dengan seorang gadis?

Tak terlalu lama mempermasalahkannya, dia lantas menaruh koper itu di dekat ranjang, disusul dengan mengistirahatkan diri dengan duduk di kasur empuk berseprai putih.

"Enggak apa-apa, deh Iki pesantren, asalkan ...." Dia meraih koper tadi, kemudian membuka salah satu resleting dan mulai mengeluarkan semua barang secara acak, mencari satu-satunya benda yang sengaja dia sisipkan saat bundanya tidak ada. Ponsel!

Iki melempar koko, sejadah, buku, camilan, bahkan sarung dan selimut ke sembarang tempat. Iki yakin jika menaruh benda itu paling bawah. Kalau bunda sampai tahu, bisa tamat riwayatnya.

"Ah, ini dia." Senyum mengembang saat ponsel putih itu sudah berada di genggamannya. Tidak peduli lagi dengan kondisi kamar yang sudah hancur berantakan.

Buru-buru dia menaiki tangga kayu di samping ranjang untuk mengklaim kawasan di bagian atas adalah miliknya. Iki sama sekali tidak peduli jika nanti si pemilik kamar lama akan marah padanya. Siapa yang peduli?

Tak memakan waktu setelah tubuhnya sampai di atas, Iki langsung merebahkan diri di kasur sambil merentangkan kedua tangan. Matanya lurus pada plafon putih dan lampu pijar warna kuning.

Iki menarik napas panjang, kemudian dia embuskan perlahan sambil mencoba memejamkan mata. Menikmati empuk kasur yang ditidurinya. Mendadak saja, kedua matanya terbuka saat dia teringat seseorang yang ditemuinya di jalan sebelum dia sampai di asrama.

Saat senior mengantarnya tadi, Iki sempat berpapasan dengan seorang anak berpakaian putih biru di pekarangan pesantren. Lelaki itu sedang berdiri di depan sebuah pagar yang mengelili dua makam. Tatapannya dingin pada pohon hanjuang merah yang tumbuh di atasnya. Ketika Iki mencoba tersenyum sekadar bersopan santun, anak itu hanya menatapnya dingin, lantas meninggalkannya begitu saja.

"Huh ... semoga bukan dia teman sekamar Iki." Iki meraih ponsel di dada, kemudian mulai menyalakannya.

**

Cikal tidak tahu apa yang sudah terjadi dengan kamarnya, tapi itu cukup untuk membuat kepalanya mendidih. Setelah lelah beraktivitas dari pagi sampai sore, kini Cikal dibuat makin dongkol dengan sebuah pemandangan tak mengenakkan di kamar asramanya.

"Asstagfirullah. Apa-apaan ini?" tanyanya sambil melepas sepatu, menaruhnya di rak samping pintu masuk. Mendadak saja kepalanya merasa pusing. Selangkah demi selangkah Cikal menyusuri tiap barang yang tergeletak, hingga menuntunnya tepat ke depan ranjang.

Ini benar-benar kapal pecah! Baju koko, sejadah, selimut sampai camilan sukses mengotori keramik kamarnya. Membuat dia harus berjinjit dan berjalan hati-hati mencari pijakan kosong untuk melangkah.

"Koper? Ada anak baru?" tanyanya, kemudian mulai mengedarkan pandangan mengikuti tangga kayu yang menghubungkan kasur bawah dan kasur atas. Dari sana, dia melihat sepasang kaki lengkap dengan sepatunya yang belum dilepas. Satu matanya mengernyit.

"Hey!" teriak Cikal sambil menaiki tangga kayu. Namun orang yang dipanggil sama sekali tidak menyahuti. Malah adem ayem bermain ponsel sambil cengengesan tanpa dosa. Saat melihat seseorang muncul dari bawah dengan mimik marah, Iki terkejut bukan main, lantas mencoba menendang wajah itu dengan kaki kanannya. Namun Cikal sempat berkelit, menyebabkan dadanya terkena sasaran.

"Aaah!" Iki menendang dada itu sekali hantam, membuat sosok yang baru saja akan sampai di atas kembali terjatuh dan sukses membentur lantai keramik di bawahnya.

Cikal mengaduh kesakitan, sementara Iki ketakutan.

Keduanya menoleh serempak, saling tatap. Iki melongo, sedangkan Cikal menatap bocah itu dengan sebal dan marah. Giginya gemertak. Tangan mengepal erat.

"Kamu orang yang tadi!" ucap Iki sambil menunjuk Cikal dengan telunjuknya. Melotot, tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Cih." Cikal hanya memalingkan wajah ke sisi lain sambil mengusap dadanya yang terasa nyeri karena ditendang dengan kaki bersepatu oleh Iki. Tak lama Cikal mulai bangkit dan menarik napas panjang, berhitung, mencoba menenangkan diri dari semua kekacauan yang terjadi.

"Turun kamu!" titahnya setelah merasa tenang. Meski begitu, amarahnya belum juga surut. Sambil mengepal erat, Cikal mencoba menahan diri. Bibir bawahnya dia gigit perlahan, menyaksikan Iki yang mulai menuruni tangga.

Iki berdiri di depan anak lelaki berseragam putih biru itu dengan tubuh gemetar. Meski tubuhnya tak lebih tinggi dari Iki, tapi itu cukup membuatnya sedikit takut. Cikal terlihat lebih tegap dan kuat dibanding dirinya.

Bukannya merasa bersalah, Iki malah cengengesan sambil menilik penampilan anak di depannya. Mulai dari ujung rambut yang kelimis hitam, sampai pada ujung kakinya yang telanjang. Iki melotot dan nyaris tertawa ketika melihat jempol kaki anak itu besar sebelah.

"IH!" Cikal mendengus sebal, membuat Iki kembali menatapnya.

"Hai," ucap Iki.

"Kamu bereskan semua, sekarang!" teriak Cikal sambil menunjuk wajah Iki dengan amarah yang meluap-luap.

**

Iki menangis sesenggukan di depan pintu. Pundak kecilnya naik-turun karena tak kuasa menahan air mata dan sesak yang muncul bersamaan. Sambil menyelundupkan wajahnya di antara dua lutut, Iki meracau tak jelas. Dia memaki Cikal dengan suara nyaris habis sekali napas.

Setelah disuruh membereskan barang yang berserakan ke dalam koper, Iki kemudian diusir oleh Cikal. Diseret paksa keluar dan mengunci pintu dari dalam agar bocah menyebalkan itu tidak kembali masuk ke kamarnya.

Saat itu juga Cikal naik darah! Tidak peduli jika Iki mulai menangis dan mengganggu semua orang di asrama . Sekarang yang terpenting, dia tidak akan sekamar dengan bocah menyebalkan tadi.

Bayangan buruk tentang masa depan andai Cikal satu kamar dengan anak itu berkelibatan di kepalanya. Menyeramkan dan membuat bulu kuduk merinding. Secepat bayangan itu datang, secepat itu pula kepalanya menggeleng, mengenyahkannya jauh-jauh.

Cikal menyandarkan punggungnya di pintu, menarik napas panjang kemudian mengembuskannya bersamaan dengan kekesalan yang kian menggunung di dada.

"Berisik banget, astagfirullah." Cikal menepuk keningnya dengan keras, mengurutnya perlahan, kemudian meringis menahan kebisingan yang masuk ke gendang telinganya. Di luar sana Iki masih menangis.

Iki yang sudah tak kuat lagi mulai mendongakkan kepala, menatap pilar-pilar hijau di lorong asrama. Dari tempatnya berdiri sampai ke ujung lorong, tak ada satu pun orang yang keluar dari sembilan pintu di depannya. Itu membuatnya sedikit lebih baik. Dengan begitu, dia bisa berlari untuk mendatangi rumah ustaz.

Iki menyeret koper yang sudah kembali terisi melewati sembilan pintu kayu putih, kemudian mengendap-endap menuruni anak tangga, sampai akhirnya dia tiba di depan pintu rumah ustaz.

Entah nasib baik atau buruk, tapi sebelum Iki genap melangkah ke depan pintu, lelaki bersorban putih itu berdiri dengan tangan terlipat apik di depan kedua pahanya. Menggenggam sejuntai biji ganitri.

"Iki?" tanya ustaz Aji ketika melihat anak didiknya berlari ke arahnya.

"Iki mau pulang, Ustaz!" Iki makin terisak saat dia sampai di depan ustaz, kemudian mulai menjatuhkan diri di tanah, melanjutkan isak tangis yang sedari tadi mengiringi langkahnya ke rumah bata merah.

"Kenapa Iki enggak di kamar?" Ustaz Aji mengambil langkah, memapas jarak antara dirinya dengan Iki, lantas mulai menyentuh dua pundak kecil milik Iki.

"Iki diusir, Ustaz. Iki mau pulang aja. Enggak betah di pesantren." Iki mendongak ke arah ustaz dengan wajah hancur tersapu air mata. Ingus bening keluar dari dua lubang hidungnya. Bibir merah itu bergetar setiap kali mengucap.

"Iki diusir? Sama siapa?" tanya ustaz itu ramah dan lembut. Mengusap rambut Iki yang kini berantakan. Peci hitamnya tertinggal di kamar Cikal.

"Sama orang itu. Iki mau pulang!"

Gemas! Bibir merah bergelombang, dilengkapi dengan manik biru berkaca-kaca, membuat ustaz Aji sedikit tersenyum melihat anak didiknya merengek meminta pulang.

Menanggapi ucapan anak didiknya, ustaz Aji hanya menggeleng sembari tersenyum lebar. Dia lantas beranjak lagi dari posisi jongkoknya, dan mengajak Iki untuk ikut berdiri bersamanya. Meski awalnya menolak, tapi pada akhirnya Iki menuruti perkataan ustaz Aji.

"Ayo, kita ke kamar lagi. Biar ustaz yang bilang kalau Iki juga punya hak atas kamar itu." Ustaz Aji tersenyum, kemudian berjalan lebih dulu. Iki menarik napas sepanjang dia bisa, termasuk berusaha mengisap semua ingus yang keluar dari hidungnya dalam satu tarikan napas.

Dengan tertatih dan menyeret koper, Iki mengikuti ustaz menaiki anak tangga. Sesekali dia berhenti karena isi koper itu terlalu penuh. Berat.

"Assalamu'alaikum." Ustaz Aji mengetuk pintu tiga kali, kemudian mundur selangkah, menunggu sampai Cikal membukakan pintu untuknya. Tak berselang lama, gagang pintu bergerak, berdecit, kemudian daun pintu kayu putih di depannya terbuka.

Tatapan pertama yang Iki tangkap adalah kesan dingin dan amarah. Cikal menatap Iki dengan kesal, tak memedulikan jika di depannya ada ustaz Aji.

"Ekhem." Ustaz Aji berdeham pelan, memecah keheningan. Sontak dua anak didiknya menoleh serempak.

"Cikal?" tanya ustaz dengan nada pelan, tapi tegas. Menyadari hal itu, Cikal menarik napas panjang, kemudian diembuskan penuh rasa kesal.

Sebenarnya, sejak tak terdengar lagi tangisan di depan kamarnya, Cikal sempat membuka pintu untuk mengintip keadaan. Setelah tahu jika Iki hilang, dia berpikir jika anak itu akan mengadu pada ustaz dan kembali lagi ke kamarnya bersama ustaz untuk memarahinya.

Lihatlah sekarang, seperti apa yang sudah terlintas di pikirannya, semua itu menjadi kenyataan.

"Ya, Ustaz?"

"Ingat peraturan di pesantren ini?"

"Saya enggak sepenuhnya ingat. Maaf." Cikal membuang tatapan ke arah lain, enggan untuk bertatapan langsung dengan ustaz Aji.

"Kalau gitu biar Ustaz bantu kamu biar ingat peraturannya, ya? Di asrama tidak ada yang namanya teritori, klaim hak milik untuk diri sendiri. Tidak ada zona batasan, tidak ada kekuasaan. Semua orang yang ada di asrama sama rata. Jadi, Cikal sudah paham maksudnya dan apa yang harus dilakukan?" tanya lelaki berwajah Arab itu.

"Ya, Ustaz, saya enggak boleh klaim kamar ini sendirian." Cikal masih tak ingin menatap mata lelaki yang ada di depannya. Sambil menjawab, dia mengedarkan pandangannya secara acak. Hingga pada akhirnya dia berhenti pada Iki yang masih diam di belakang ustaz Aji.

"Ih, dasar!" Cikal melotot sambil mengucapkan kalimat itu tanpa suara, tapi Iki paham apa yang diucapkan.

"Jadi, berbagi kamar sama Iki, ya? Karena berbagi itu indah." Ustaz Aji menoleh ke belakang, pada Iki yang masih diam sambil mengolok-olok Cikal dengan mimik menjengkelkan. Iki menjulurkan lidahnya pada Cikal.

"Iki, sekarang ayo masukkan koper kamu ke kamar," titah ustaz, mendorong koper berat itu ke dekat pintu, diikuti dengan Iki yang kini melenggang mendekati Cikal yang masih berdiri dengan muka sebal.

Iki memelesat begitu saja melewati Cikal, kemudian berlari ke arah ranjang sambil menyeret kopernya.

Setelah percakapan panjang dengan ustaz, Cikal akhirnya menyusul masuk. Dia menutup pintu cukup keras, membuat Iki yang sedang merentangkan tubuhnya di ranjang kedua menoleh kaget. Dia mengernyit ketika melihat Cikal berdiri dengan tangan tumpang tindih di dada.

"Dasar tukang ngadu!"

"Iki enggak ngadu. Ustaz sendiri yang nyuruh Iki ikut ke kamar. Wleee!"

"Buktinya ...." Cikal menahan ucapannya dalam kepal tangan yang mengeras. Ah! Menjengkelkan. Dia tahu betul apa yang akan didapatkannya jika terus berdebat dengan Iki. Anak itu belum bisa berpikir dewasa. Alih-alih memberitahu kesalahannya, yang ada Cikal semakin jengkel.

Biarlah.

Menarik napas panjang, Cikal berusaha untuk tidak terpancing, kemudian meremas jemari sekuat dia bisa, mencoba menahan amarah yang mulai bergolak dalam dada. Saat embusan napasnya selesai, dia memilih meninggalkan Iki.

"Jangan bikin masalah denganku. Aku bakal bikin aturan di sini." Cikal menarik kursi ke belakang, mendudukkan diri di sana, kemudian mulai meraih sebuah buku catatan dari deretan yang tersusun rapi di atas meja.

"Yang paling penting, SUARAMU enggak boleh lebih dari 40 desible!" Cikal menegaskan dengan tatapan dingin dan menusuk, membuat Iki meringis dan bergidik ngeri.

To be continue

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.

avataravatar
Next chapter