9 Babak Akhir

*Chapter 8*

Senang rasanya ketika hidup dikelilingi orang-orang yang menyayangimu, memberimu perhatian, dan semua hal yang membuatmu bahagia. Akan jauh terasa lebih ringan menjalani kehidupan yang bahkan terasa sulit sekalipun.

Itu yang sedang Iki rasakan sekarang. Kehadiran tiga matahari dalam hidupnya menjadikan hari-harinya lebih terasa ringan dan menyenangkan. Setelah hidup Iki perlahan membaik, semua orang mulai menyukainya.

Iki menjadi santri rebutan para senior.

Senior dan teman seasramanya kerap mengajak Iki bermain, menceritakan hal-hal baru.

Hadiah berkat kerja kerasnya malam Kamis kemarin, Iki rasakan dengan senang hati. Menjadikannya sosok paling spesial seharian. Jumat kali ini, dia yang menjadi raja di aula makan. Dia duduk dengan setumpuk makanan enak yang tak pernah dicicipi selama hidup di pesantren.

Iki meminta izin dengan hak istimewanya untuk mengajak Cikal duduk di mejanya menikmati hidangan spesial. Meski awalnya Cikal  menolak karena hak istimewa itu bukan untuknya. Namun karena Iki memaksa, dia tak bisa melakukan penolakan lagi.

Tujuh hari tersisa sampai Iki keluar pesantren. Tak terasa. Makanya, sebelum masa ujian berlangsung, Iki tidak ingin menyia-nyiakan hari terakhir sebelum semua kepadatan menghampiri kehidupannya. Setelah ujian, dia harus segera pergi dari pesantren.

"Kamu enggak pernah kan bantu Bunda bikin ketupat?" tanya Cikal ketika mereka berdua berada di saung sawah. Sepoi angin menerbangkan helai demi helai rambut dua insan yang tengah memintal daun kelapa untuk dibentuk menjadi kotak ketupat.

Pesantren Ac dikelilingi oleh gunung, sawah dan perkebunan. Lokasinya yang terpencil menjadikan tempat itu asri dan sejuk. Selain untuk menimba ilmu, mereka yang menetap di pondok pesantren ini bisa menikmati ketenangan tiada tara.

Kawasan AC hampir seluruhnya dikelilingi dinding untuk mencegah santri melarikan diri. Hanya bagian sawah yang menjurus langsung ke pegununganlah yang tidak dibatasi dinding. Kalau pun ada santri yang mencoba untuk kabur lewat sawah, akan dengan mudah diketahui oleh semua santri yang ada. Jika masih nekat untuk kabur malam-malam, mereka harus siap menerima risiko tersesat di gunung yang penuh dengan kuburan.

Maka, meski bagian sawah tidak dibatasi dinding, belum pernah ada satu santri pun yang berhasil kabur dari pesantren. Hal itu pula menjadikan mereka dengan leluasa keluar-masuk sawah tanpa harus meminta izin terlebih dahulu.

"Enggak, sih. Bunda enggak pernah bikin ketupat. Kalau lebaran, biasanya mereka beli langsung." Iki tersenyum sambil memilah daun kelapa yang sudah dilepas dari bagian batangnya.

Sepanjang perjalanan menuju sawah, keduanya banyak melewati pohon kelapa. Awalnya Cikal tidak tahu hal menyenangkan apa yang harus mereka kerjakan untuk membunuh waktu sebelum solat zuhur berjamaah nanti.

Namun dia langsung teringat soal anyaman, memanfaatkan daun kelapa yang mereka lewati selama perjalanan menuju saung.

Iki hanya bisa manggut setuju ketika disuruh untuk mencabuti helai demi helai daun kelapa yang akan mereka gunakan di saung nanti.

"Oh, pantes." Cikal memutar ketupat yang sudah terbentuk secara utuh, menilik dari tiap sudut, kemudian dia taruh di sampingnya. Bersama dengan tumpukan ketupat lain.

Tidak terpikir untuk mengumpulkan ketupat, tapi mereka pikir jika berhasil mengumpulkan lebih banyak ketupat, maka akan diberikan pada ustaza Imas. Kan nantinya mereka bisa makan ketupat sayur.

Cerita panjang sebelum mereka berada di tengah sawah seperti ini:

Minggu pagi, semua anak kerja bakti membersihkan kawasan pesantren. Iki ditemani Cikal mengepel lantai masjid, menyapu guguran daun di depan kelas, kemudian mengecat ulang dinding perpustakaan.

Ada yang menyusun ulang batu di dekat warung bi Enok, mencangkul tanah untuk ditanami bibit pohon, tak sedikit pula yang ikut menguras kolam ikan bersama senior di dekat aula.

Setelah semua berakhir, di mana semua santri menikmati sirup segar dari ustaza Imas, dua insan itu memisahkan diri menuju sawah, menikmati sejuk dan hijaunya kawasan pesantren dari sudut pandang yang berbeda. Jika selama ini Iki terus menghabiskan waktunya di saung apung kolam, sekarang Cikal mengajaknya ke saung sawah.

Itulah alasan kenapa mereka berdua berada di sini sekarang.

Cikal kembali menarik satu daun kelapa untuk dibuat ketupat selanjutnya, sementara Iki geram karena dari tadi ketupatnya tak kunjung membentuk kotak.

Embusan angin siang hari menyelinap di antara helai rambut hitam Iki. Cahaya matahari menyinari manik biru, menjadi lebih mencolok, memaksa Cikal menoleh untuk menyaksikan keunikan yang ada di dalam sosok di hadapannya.

"Mata kamu unik, biru. Kok bisa?" tanya Cikal.

Dia sebenarnya sudah penasaran soal ini sejak lama, semenjak kedatangan Iki di kamarnya. Cikal juga mengira jika Iki adalah turunan orang asing. Namun dia selalu bersikap sok tidak peduli karena kadar gengsi yang tak bisa dikendalikan. Pada akhirnya, dia penasaran sendiri.

Mungkin sekaranglah waktunya menanyakan hal itu pada Iki secara langsung. Karena memang, dibandingkan dengan santri lain, Iki lebih mencolok dengan manik biru terangnya.

"Oh, ini Iki cat tadi. Shi ... shi ...." Iki tertawa ringan, seolah leluconnya adalah hal paling bagus yang bisa dia keluarkan untuk menjawab pertanyaan sahabat di hadapannya. Menanggapi hal itu, Cikal justru diam merengut.

"Enggak lucu!"

"Shi ... shi ... shi."

"Aku serius," tukas Cikal lebih tegas. Iki makin kencang tertawa dari sebelumnya.

"Oke, oke. Iki becanda. Sebenarnya, kedua orangtua Iki dari U.S.A," jawabnya sambil menaruh lagi daun kelapa yang tadi sempat dia pilah. Belajar membuat ketupat nyatanya tak semudah kelihatannya. Iki sama sekali belum bisa menyelesaikan satu pun.

"Uwo. Keren. Tapi, ini serius, kan? Kamu asli luar negeri dong!" tanya Cikal memastikan.

"Iyalah. Ayah U.S.A, United States of America, dan bunda U.S.A, Urang Sunda Asli. Shi ... shi ... shi." Iki makin terbahak, terpingkal sambil menyentuh perutnya.

"Eh, si kocak." Cikal mengayunkan daun kelapa di tangannya, mencoba memukul Iki yang masih terpingkal-pingkal.

Ada begitu banyak hal yang ingin diketahui soal Iki. Di saat-saat terakhir inilah dia rasa waktu yang cocok untuk mencari informasi lebih banyak tentang sahabatnya itu.

Kalaupun nanti Iki sudah tidak ada di pesantren, Cikal bisa menyiapkan beberapa barang yang disukai Iki untuk dikirimkan lewat post atau lewat apa pun sebisanya. Dengan begitu, dia berusaha menjadi sosok yang sangat berarti untuk Iki.

Cikal memang teman sekamarnya, tapi itu tak berarti dia tahu detail tentang kehidupan Iki selama ini. Beberapa hari ke belakang keduanya malah terlibat dalam perang dingin. Tidak ada kesempatan sama sekali untuk saling mengenal.

Sekarang, sedikit banyak dia tahu hal apa saja yang disukai dan tidak disukai oleh Iki.

"Oh, jadi ayahmu asli dari luar, itu sebabnya mata kamu biru kayak kucing."

Iki mengangguk mengiakan. Kepalanya manggut-manggut dengan ringan.

"Iya, ayah mualaf. Iki kagum juga sama bunda karena bisa bikin ayah menjadi lebih baik lagi."

"Masyaalloh. Kamu punya ayah yang hebat," ucap Cikal menggeleng takjub. Dibalas dengan gelengan serupa oleh Iki sambil menyentuh kedua pundak milik Cikal.

Dia tersenyum sekilas sebelum mengucap, "Ayah kamu juga hebat karena bisa mendidik seorang anak kayak kamu, Cikal."

Rasanya muka Cikal panas, mengepul. Dipuji seperti itu oleh Iki membuatnya salah tingkah. Sebisa mungkin dia mencoba untuk tidak tersenyum meski Iki bisa melihat usaha mati-matian sahabat di depannya itu.

"Omong-omong, mata kamu juga unik," kata Iki, nyaris menyentuh mata milik Cikal, tapi dengan sigap bocah itu menangkisnya dengan tangan kanan.

"Unik apanya?"

"Iya, unik, bulat." Iki terpingkal lagi.

"Ya, kali mataku kotak!"

Di bawah lantunan azan duhur, nyaring tawa dua insan itu terbang menyelinap di antara hijaunya padi yang lembut tertiup angin. Gemercik air dari kucuran bambu tak jauh dari saung menjadi pelengkap kebersamaan mereka siang itu. Siang di mana keduanya menghabiskan hari terakhir sebelum kesibukan benar-benar datang.

**

"Semoga berhasil, ya Cikal. Iki juga akan berjuang sekuat tenaga. Memberikan yang terbaik!" Iki mengepal erat mengucapkan tekad dan semangatnya sebelum melakukan ujian.

Semua anak dipersilakan masuk setelah mengantre di depan kelas, menunjukkan kartu peserta ujian yang sudah mereka dapatkan di ruang TU. Iki menjadi murid terakhir di barisannya yang masuk ke kelas setelah Cikal.

Dia menarik napas panjang, tak menyangka jika seminggu terakhirnya akan berakhir dimulai saat ini. Ada begitu banyak hal yang menggangu pikirannya. Entah mengapa Iki menjadi kurang berkonsentrasi, bahkan sebelum ujian berlangsung.

"Ini, Pak," ucap Iki sambil menunjukkan kartu peserta pada pak Saef. Hari pertama ujian mereka adalah bahasa Arab.

Iki adalah murid baru, dia belum lama mempelajari semua hal yang ada di pondok ini, termasuk mata pelajaran yang ada di dalamnya. Semalam sebelum mereka tidur, Iki meminta untuk diajarkan sedikit banyak tentang bahasa Arab.

Iki tersenyum ketika pak Saef mempersilakannya masuk.

Dia menatap Cikal yang duduk di bagian depan. Namanya berada di urutan ketiga karena semua murid diharuskan duduk sesuai dengan bangku yang sudah diurut berdasarkan abjad.

Di kelas itu hanya Cikal-lah siswa yang memiliki awalan nama dari huruf C.

"Semangat!" kata Iki sambil melenggang melewati beberapa meja, sampai akhirnya dia tiba di depan meja miliknya.

Mohammad Rifki Nur Aziz. Nama itu terpampang jelas di meja cokelat kayunya. Iki tersenyum, lantas mulai duduk karena ujian sebentar lagi akan berlangsung.

**

Cikal, Indra dan Zamil sepakat membuat sebuah kejutan untuk melakukan perpisahan dengan Iki. Tiga hari ini mereka secara sembunyi-sembunyi mendekor kamar milik Zamil dengan indah. Hanya dua hari tersisa sampai ujian sekolah berakhir.

Cikal yang menyarankan semua kejutan ini untuk Iki. Dia tidak mau perpisahan dengan sahabatnya berlangsung biasa saja. Acara itu harus berkesan, sehingga sampai kapan pun  Iki akan terus mengingatnya. Menjadikan momen paling berharga di hidupnya.

Setelah menaruh beberapa barang di tempatnya, Cikal meminta izin untuk mencari sesuatu yang masih kurang. Indra dan Zamil hanya mengangguk seadanya, kemudian kembali pada tugas mereka masing-masing.

Sembari menarik napas, berhitung dalam hati-karena Cikal terlalu senang dan tidak sabar, dia berlari menuruni anak tangga. Memelesat ke arah rumah bata merah, kemudian mencari ustaza Imas.

"Assalamu'alaikum." Cikal mengetuk pintu tiga kali, menunggu, kemudian disuruh masuk setelah ustaza membukakan pintu untuknya.

"Ada apa, Cikal?" tanya wanita berkerudung hitam panjang yang nyaris menutupi lututnya ketika melihat anak didiknya bernapas tak keruan seperti habis dikejar oleh makhluk menyeramkan.

"Hah ... hah ... haah. Saya, mau minta kardus kosong, Ustaza!" Cikal menelan ludahnya yang terasa serat di kerongkongan, kemudian membungkuk, menaruh dua tangannya di lutut. Antusiasnya membuat dirinya sendiri kewalahan.

"Oh, kirain ada apa. Tunggu sebentar," ucap ustaza Imas, kemudian mempersilakan Cikal duduk, sementara dirinya menuju dapur untuk mencari benda yang diminta.

Tak lama, dia membawa dua kardus kosong berbeda ukuran. Kecil dan ukuran tanggung. Cikal menoleh secepat napasnya berembus. Kardus kecil lah yang menjadi pilihannya, bahkan sebelum ustaza menyarankan.

"Saya ambil yang kecil saja, Ustaza." Cikal bangkit, menerima kardus itu dari ustaza Imas, lantas pamit sambil mengangguk sopan.

"Wasaalamu'alaikum. Saya pamit." Cikal memelesat secepat datangnya. Meninggalkan wanita itu yang sedang menggeleng pelan sambil tersenyum.

**

Iki tidak bisa tidur. Dia berguling ke sana kemari. Kedua matanya tidak mau terpejam sejak tadi. Bukan karena tak mengantuk, tapi karena otaknya terlalu banyak berpikir. Ada banyak hal yang masuk ke kepalanya dan Iki tidak bisa mengendalikan itu semua.

Rasa galau, dilema dan frustrasi menghinggapi dirinya dari berbagai arah. Apa yang harus dia lakukan sekarang? Ujian tinggal sehari lagi, yang artinya setelah semua berakhir, dia harus meninggalkan pesantren.

Iki menggeleng tak mengerti. Apa yang sebenarnya dia pikirkan sekarang? Kenapa hatinya terasa terganggu ketika hari yang ditunggu-tunggu itu tinggal di depan matanya? Apa alasannya dia tidak bahagia menyambut hari itu?

Otaknya seolah memaksa mengeluarkan semua kenangan yang terjadi di pesantren tanpa diminta. Kilas balik kejadian berputar begitu saja. Bagaimana dia berjuang di saat penderitaan itu muncul, sampai hari-hari menyenangkan yang telah dia lalui bersama sahabatnya.

"Ish, kenapa ini? Iki harusnya senang besok pulang!" Dia menepuk kepala beberapa kali, berharap dengan begitu kepalanya tak lagi mengeluarkan ingatan masa lalu.

Iki beranjak dari tidurnya, menekuk kedua kaki, memeluknya sambil membenamkan wajah di antara dua lutut. Ada rasa sesak ketika mengingat jika dia harus meninggalkan Cikal. Tak lama, dia menoleh pada sosok yang sedang terlelap di bawahnya.

Iki menjulurkan lehernya lebih panjang, menatapi mata bocah yang terlihat damai terpejam. Iki tersenyum ketika mendapati sahabatnya beristirahat tanpa beban. Cikal hidup dengan bahagia, seakan hari-harinya tak dibebani oleh masalah. Menganggap apa pun yang terjadi akan berlalu dan berakhir indah.

Setelah ujian, dia harus meninggalkannya. Iki tersenyum kecut, matanya terasa panas, remang. Namun segera dia mengedipkannya dengan cepat, mencegah cairan bening keluar. Iki tidak mau menangis lagi.

"Makasih, Cikal. Selama ini kamu banyak ngajarin hal baru buat Iki." Bocah itu kembali tersenyum, menarik kepalanya lagi, kemudian membaringkan tubuh untuk menatap plafon di atasnya.

"Iki harus kasih hadiah buat Cikal." Dia mengepal erat, menjulurkan satu tangannya ke langit, mencoba meraih lampu pijar, kemudian mengepalnya, seakan pendar kuning itu lenyap dalam genggamannya.

"Cahaya persahabatan sedang Iki genggam. Kita tetap bersahabat," ucapnya, kemudian memejamkan mata sambil menitiskan air mata.

To be continue.

Dan jangan lupa baca naskahku yang "Catch Me If You Can" ya? Kalian bisa baca lanjutannya di aplikasi Dreame.

Terima kasih.

avataravatar
Next chapter