webnovel

7. Hai, Morgan

Ramalan ini terjadi setelah kelahiran Arlcia. Sewindu setelah Naitura melahirkan Arlcia, seorang dewi mendapatkan visi. Hal ini didukung oleh gulungan tua milik Kronos yang tiba-tiba saja bergetar dan membuat heboh di istana.

Disebutkan bahwa, bulan merah semerah darah akan menjadi awal bagi kekacauan. Para makhluk bumi dan makhluk langit akan saling beradu untuk duduk di kursi kepemimpinan. Mereka yang kalah akan menjadi budak, mereka yang menang akan semakin berkuasa. Jika takhta tersebut jatuh ke tangan yang salah, maka dunia ini akan hancur lebur. Hanya dia yang murni, berdarah putih seperti getah, dan aura perak indigo yang akan bijaksana.

Mereka semua terdiam dan menerka-nerka, siapa yang dimaksud oleh ramalan. Bulan merah ini bisa saja fenomena alam yang biasa terjadi beberapa tahun sekali. Namun, bulan yang dimaksud ini semerah darah dan hal ini adalah teka-teki yang tidak dapat diurus oleh para dewa.

Ada beberapa hal yang memang mereka tahu, tetapi ada juga yang mereka tidak tahu. Seperti, jika ramalan atau hal itu terjadi sebelum mereka, maka yang tahu hanyalan dewa-dewi terdahulu. Bahkan, takdir Arlcia pun tidak ada yang tahu kecuali Hecate sendiri. Sayangnya dewi bulan tersebut telah mati.

"Apakah kita harus ikut campur dalam ramalan ini?" tanya Athena.

"Tidak. Biarkan ini berjalan sebagaimana mestinya. Kita hanya cukup melihat, jika harus turun tangan, maka kita akan ikut campur. Jika tidak, kita hanya akan duduk diam di singgasana," jelas Poseidon.

Rapat dibubarkan. Ive segera berlalu mengikuti langkah Selena. Sesampainya di ruangan sang dewi, Ive tidak bisa menahan diri lagi untuk bungkam. "Apakah yang dimaksud itu Arlcia?"

"Aku belum tau," ungkap Selena. Terlalu dini untuk menyatakan jika itu merujuk kepada Cia. Penjelasan tentang darah dan aura saja berbeda, hanya darah murni yang menyatakan jika itu Cia. "Darah murni bukan hanya Cia saja, 'kan?"

"Benar," balas Ive. "Morgan juga merupakan darah murni dari Naitura."

Morgan adalah seorang dewa yang memiliki fisik cukup indah. Rambutnya sama seperti Cia, perak berkilau. Bibir lelaki itu melengkung sempurna, sehingga ketika dia tersenyum, bunga-bunga ingin segera bermekaran. Namun, Morgan tidak pernah ikut andil dalam hal apapun. Dia lebih suka duduk diam memandangi langit dan menghabiskan waktu dengan tidur sepanjang hari.

"Apa aku harus menemui Morgan?" tanya Ive.

"Jika dia mau." Selena berjalan menuju tempat tidur, dia hanya akan berbaring sebentar.

Ive pun segera keluar dari ruangan pribadi Selena. Menemukan Morgan tidaklah sulit, tetapi tidak mudah juga. Dia hanya akan ditemukan jika dia ingin. Jika tidak, kau tidak akan melihat apa-apa walaupun dia di dekatmu.

Gadis bermata hitam itu berjalan menuju ladang kemakmuran. Dia menemukan Morgan di sana, sedang asyik telentang menatap langit. "Hai, Morgan."

Ive menatap wajah yang damai tersebut. Matanya menutup, sehingga bulu-bulu mata yang lentik itu terlihat jelas dan menggoda. Kulitnya yang bersinar pucat, membuatnya selalu menjadi perhatian. Morgan akhirnya membuka mata, dia menghela napas pelan sebelum menoleh menatap Ive dengan datar.

Inilah kekurangan Morgan, tidak suka tersenyum. Semua dewa-dewi termasuk setengah dewa, hanya dua kali melihat lelaki ini tersenyum. Itu terjadi jika dia hanya berdua dengan Arlcia tanpa ada yang mengganggu.

"Di mana Cia?" Ive ingin sekali mengutuk Cia. Setiap dia berjalan dan berpapasan dengan yang lain, selalu saja Cia, Cia, dan Cia yang ditanyakan. Ini tidak mengherankan. Mengingat di mana ada Ive, di situ ada Cia, begitupun sebaliknya.

"Cia tidak pulang," balas Ive.

"Aku merindukannya." Ucapan Morgan hampir membuat rahang Ive terjatuh. Pasalnya, lelaki itu memasang wajah sedih seolah kehilangan benda kesayangannya.

"Mainlah ke bumi."

"Bolehkah?"

Ive mengangguk. Ini merupakan kesempatan emas untuk menyingkirkan pacar Cia yang sangat tampan itu. Dia pasti akan merasa terpukul melihat Morgan yang jauh jutaan kali lebih tampan dari dirinya. Si Zeno-Zeno itu akan tersingkir dari sisi Cia. Memperkirakannya saja sudah membuat hati Ive senang sekali.

"Ayo, kita turun bersama. Aku akan pulang sekarang," ajak Ive.

Satu jam di langit sama dengan satu hari di bumi. Karena Ive pergi selama empat jam lamanya, maka sudah empat hari dia pergi meninggalkan bumi. Tadinya, Ive ingin menggunakan portal agar cepat sampai. Namun, Morgan ingin menikmati udara sore sejenak, jadi mereka memutuskan untuk menuruni pelangi dengan santai.

Di sisi lain, Cia sedang menggigit bibir untuk menahan desahan yang akan lolos. Dia mengeratkan genggaman pada bahu Zeno yang berkeringat. Saat Cia ingin meledak di bawah sana, Zeno mendongakkan kepalanya menahan nikmat yang hampir sampai. Begitu keduanya meledak, mata Zeno hampir saja juling saking nikmatnya klimaks tersebut.

Dia menjatuhkan tubuh pelan di atas Cia. Napasnya berembus tak beraturan seolah dia habis lari marathon. Setelah kembali teratur, dia segera berguling ke sisi kiri istrinya, dan menaikkan selimut untuk menutupi tubuh mereka.

Mereka telah sepakat bahwa kegiatan ini akan menjadi hobi baru mereka. Cia yang menjaga diri selama ribuan tahun lamanya, begitu terkesima akan hal ini. Pantas saja dewa-dewi di langit suka sekali melakukannya. Sama seperti Cia, Zeno juga menjaga diri untuk tak melakukan hal ini sebelum waktunya. Dalam benaknya, dia membenarkan ucapa Eros yang berkata, berhubungan itu akan membuat pikiran lebih terbuka dan segar, bahkan tidur akan nyenyak.

"Aku mau mandi," ucap Cia.

Zeno segera membuang selimut dengan asal dan menyusul Cia ke kamar mandi. Tentu tidak hanya mandi, melainkan kembali mengeluarkan cairan ke milik istrinya. Entah sudah berapa milyar bibit yang di tanam oleh Zeno, dia berharap bahwa ini akan menjadi hal baik.

Malam semakin pekat, tetapi Cia dan Zeno baru saja selesai mencari makan di luar. Saat mereka sampai di halaman rumah, rasa bahagia di diri Cia tidak dapat dibendung. Dia segera melepas genggaman Zeno dan berlari ke arah laki-laki yang kini mengenakan kemaja biru langit.

"Morgan!" pekik Cia. "Aku merindukanmu."

Morgan membalas pelukan itu dengan erat, "Aku juga merindukanmu, Arlcia."

Cia mengurai pelukan hingga mereka bertatapan, kemudian jemari Morgan meraba pipi mulus tersebut dan mengecupnya pelan. Entah mengapa hati Zeno saat ini ingin mencabik lelaki tersebut, tetapi dia yakin bahwa Cia tak akan suka. Jadi, Zeno memilih mendekat dan berdeham pelan.

Cia berbalik dan menarik pelan tangan Zeno. "Ini kekasihku, Morgan. Namanya Zeno."

Zeno menatap Morgan dengan angkuh, matanya menyiratkan ucapan 'dia milikku dan jangan kau berniat merebutnya dariku'. Sementara Morgan, menatap hal itu dengan rumit. Ada perasaan sedih di hatinya, tetapi marah lebih dominan.

"Jadi, apa kami boleh masuk?" Ive yang sedari tadi menjadi penonton pun mulai kebosanan.

Setelah mereka berempat masuk, suasana semakin canggung. Zeno enggan menjauh dari sisi Cia dan Morgan masih dengan kerumitan di dalam pikirannya. Kemudian, Zeno memejamkan mata, telepati dari sang omega membuatnya harus mengunjungi kawanan sekarang juga.

***

"Kau mencintainya?" Pertanyaan dari Morgan membuat Cia tertawa mengejek. Apa itu cinta?

"Dia mate-ku. Apa masih butuh cinta jika hidup kami saling bergantung?"

"Mate?!" ulang Ive dengan terkejut. "Kau bercanda?"

Cia menatap tak suka dengan ucapan Ive. "Apa kau pernah lihat aku seintim itu dengan laki-laki?"

Ini semua tidak masuk diakal. Morgan dan Ive jelas-jelas mencium bau hutan saat berdekatan dengan Zeno. Mereka tahu bahwa lelaki itu bukan manusia biasa, tetapi sangat enggan jika menanyakan hal ini pada Cia. Jangankan mereka, Cia saja bingung dengan takdir yang diberikan Hecate padanya.

Namun, mempunyai mate seorang lycan ternyata tidak seburuk itu. Zeno memiliki sikap yang lembut dan tatapannya seolah menenggelamkan Cia berkali-kali.

"Apa kau sudah berhubungan dengannya?" tanya Morgan lagi. Cia mengangguk. Tidak perlu lagi dia tutup-tutupi, apalagi itu kepada Morgan. "Pantas saja Naitura mengeluarkan cahaya keemasan semalam, itu karena kau sudah menyatu dengan yang lain."

"Tapi, kenapa para dewa malah mengaitkan hal itu dengan bulan merah?" tanya Ive penasaran.

Morgan bersandar pada sofa, "Mereka sedikit bodoh, tapi hal itu memang berkaitan dengan ramalan tersebut." Entah aku atau Cia yang akan memimpin nanti, lanjut Morgan di dalam hati.

Next chapter