webnovel

17. Pertemuan Arlcia dan Vasilio

Jemari Cia yang indah menelusuri wajah lelaki gagah di sisinya. Sungguh! Wanita tanpa pakaian itu tak pernah menyangka jika dia akan mendapatkan takdir seperti Zeno. Takdir ini begitu menyenangkan, tetapi ada sedikit rasa khawatir pada diri Cia. Entah apa rencana Hecate untuknya, yang pasti saat ini Cia ingin mengucapkan terima kasih.

"Bangun, Zen," Cia mengecupi seluruh wajah suaminya dengan cermat. "Aku mau pergi sebentar."

Saat Cia ingin beranjak dari posisinya saat ini, tangan Zeno melingkari perut Cia. "Mau ke mana?"

"Aku ada urusan sebentar. Aku ada di rumah jika kau ingin menemuiku. Tapi, kemungkinan itu saat sore."

Zeno mendengar ucapan Cia, tetapi dia tidak mengangguk, melainkan semakin mempererat pelukannya. Dia masih rindu, masih ingin seperti ini, ingin Cia selalu berada di sisinya.

"Sayaaang," panggil Cia. "Nanti sore kita bisa bertemu lagi."

Zeno bangun dan menumpukkan dagu pada bahu istrinya yang lembut. "Boleh aku tau kamu ke mana?"

Cia mengangkat satu tangannya, membiarkan kepala Zeno menelusup dan menyesap puting miliknya. "Aku harus memata-matai sesuatu. Tenang saja, aku bersama Ive, kok."

"Baik, tapi ... satu kali lagi, ya?"

Entah perkataan Zeno itu berupa ajakan atau perintah. Bahkan, Cia belum mengiyakan pertanyaan suaminya itu, tetapi Zeno telah menindihnya dan mengajak Cia untuk kembali mencari kenikmatan.

Hari itu, pagi belum terlihat. Matahari bahkan belum mengeluarkan sinarnya. Setelah selesai dengan aktifitas bercinta mereka, Zeno mengantar Cia hingga ke kerumahnya. Padahal wanita itu sudah melarang. Namun, keinginan Zeno untuk melihat pemilik raganya sampai dengan selamat, membuat Cia tak bisa menolak.

Kini, matahari sudah mulai bersinar. Cia sedang memilih-milih pakaian yang cocok untuk dia kenakan pada pertemuan pagi ini. Dia akan bertemu dengan Ive di sana. Semoga hari ini membuahkan hasil.

***

Berpura-pura menjadi manusia biasa itu sungguh melelahkan. Seperti sekarang, Cia baru saja menuruni bis trans kota. Di depan sana, Ive telah melambai dengan semangat. Cia bahkan menganga melihat penampilan Ive. Gila! Ini mau melakukan misi atau mau mencari pria berdompet tebal?!

"Kau terlalu seksi, Ive!" protes Cia.

Ive melipat tangannya di depan dada, "Kau pikir kau tidak?"

Mereka sama-sama seksi. Hanya saja, pakaian Ive lebih terbuka. Itu dikarenakan wanita berkulit semi-beige tersebut memakai dress ketat. Sedangkan Cia, dia mengenakan setelan formal seperti orang kantoran pada umumnya.

Livia dan Arlcia berjalan beriringan menuju lantai teratas, mereka akan mengadakan pertemuan dengan beberapa pemilik saham-saham kecil perusahaan ini. Tentu saja ini pertama kali bagi mereka menampakkan wajah, biasanya mereka hanya menyuruh orang dan memilih melaksanakan misi yang lebih menegangkan. Saat mereka masuk ke dalam ruangan rapat, semua mata tertuju pada kedua wanita tersebut. Tentu saja, mereka terlambat beberapa menit.

"Maaf, kami terlambat," ujar Ive.

Sementara Cia, hanya diam di sisinya. Tidak tersenyum, tidak pula membungkuk. Untuk apa? Toh, mereka hanya manusia biasa dan dia adalah dewi. Berbeda kasta dan Cia tidak akan sudi hormat pada manusia-manusia serakah.

Begitu mendapat anggukan dari anggota yang lain, mereka segera duduk pada tempat yang telah disediakan. Tertulis nama masing-masing orang pada kursi tersebut. Rapat berlangsung dengan serius, beberapa pihak berbeda pendapat. Itu wajar. Begitu pun Cia dan saat kesempatan pihak perusahaannya berpendapat, dia berbicara.

"Apa tidak ada tempat lain? Saya pikir negeri ini masih memiliki area lain selain hutan itu," ucap Cia. "Perusahaan saya tidak setuju dan saya tidak akan membiayai pemerataan ini." Semua orang tercengang, mereka tak percaya anak muda ini berani melawan. Bahkan Ive pun menggeleng mendengar ucapan Cia. "Saya akan mencari area lain untuk proyek ini."

"Tidak!" sela seorang lelaki. "Tanpa campur tangan perusahaanmu, kami akan tetap menjalankan pemerataan pada hutan itu." Arlcia menatap sinis lelaki bermata merah tersebut. Sedangkan pihak lain, menatap Cia dengan perasaan rindu. "Setelah ini, saya ingin berbicara pribadi kepada Anda, Nona."

***

Tidak ada yang memulai percakapan, keduanya terdiam. Yang satu karena enggan memulai percakapan, sedangkan yang satu terlihat bingung ingin memulai dari mana. Cia sesekali menatap jam yang melingkar di pergelangan tangannya. Ini sudah setengah jam dan lelaki bernama Vasilio itu, hanya menatapnya.

"Saya permisi!" Cia berdiri dan tergesa menuju pintu ruangan. Untuk apa mengajaknya berbicara empat mata jika hanya diam? Jemari Cia menarik handle pintu, tetapi kalah cepat dengan Vasilio yang langsung menubruknya ke tembok. "Akh!" keluh Cia.

Mata Cia yang semula terpejam, kini menatap balik lelaki tersebut. Bahkan, kram di perutnya dia abaikan. "Maumu apa?!"

Lelaki itu tak menjawab, tetapi dia langsung mencium bibir Cia yang menggoda sedari tadi. Menahan tengkuk wanita tersebut agar tak bisa menghindar dari sentuhannya. Itu hanya ciuman singkat!

"Aku merindukanmu, Neona," lirih Vasilio.

"Kau mabuk, ya?!"

Arlcia mendorong Vasilio dan segera keluar dari ruangan tersebut. Di depan pintu, dia memperbaiki pakaian dan wajahnya menyiratkan kemarahan. Viona yang berada di sana langsung berdiri dan menyapa dengan ramah. "Nona Alrcia, tidak apa-apa?"

"Tidak apa-apa, matamu! Bosmu itu bertindak kurang ajar padaku, memangnya aku wanita murahan apa?! Sialan! Aku akan menarik sahamku pada seluruh perusahaan milik bosmu!"

Setelah Arlcia pergi dengan tergesa, Viona segera memasuki ruangan Vasilio. Ancaman wanita itu sepertinya tidak main-main. "Tuan Vasilio!" pekik Viona.

Vasilio terduduk di lantai dengan wajah yang tertunduk. Viona tidak berani mendekat, dia sangat tahu batasan untuk tidak menyentuh tuannya. Semua bawahan dan juga pengikutnya tahu akan hal itu.

"Tuan Vasilio," ulang Viona. "Apa yang Anda lakukan, Nona Alrcia sangat marah saat keluar dari sini."

"Cari tahu tentang Arlcia, Viona. Sekarang juga!"

Perintah Vasilio adalah mutlak dan pantang untuk ditolak. Maka dari itu, Viona segera bergegas menuruti kemauan tuannya tersebut. Sedangkan Vasilio, dia merasa ini adalah sebuah takdir. Arlcia sangat mirip dengan Neona—wanita yang dicintai Vasilio pada masanya.

Next chapter