2 Para Manusia Sampah

Jam delapan lewat sedikit.

Sejauh mata memandang, yang terlihat hanya barisan tidak teratur lelaki dan perempuan mengenakan pakaian hitam.

Argh.. Sial!

Tubuhku nyaris saja terjengkang. Seorang wanita menabrakku dari belakang dan menghamburkan ratusan lembar kertas kesana-kemari.

" Astaga, ya Tuhan, maafkan aku! Kau tidak apa-apa?", ucapnya sambil menepuki lenganku, panik.

"Aku tak ap.."Belum sempat aku menyelesaikan kalimatku ia kembali panik.

"Tidak, tidak, kertasnya! Mati aku!" Ekspresinya ingin menangis. Ia bergegas memunguti kertas yang berhamburan.

Merepotkan sekali..

Aku membantunya dengan malas. Beberapa kertas terbang ditiup angin. Ada yang berputar-putar tepat di atas kepalaku dan ada yang sudah terbang sangat tinggi.

"Ah, jangan dengan anginnya!" Ia berusaha menggapai-gapai kertas di udara, namun gagal. Ia harus lebih tinggi lagi untuk melakukannya. "Argggh...!" Ia menarik kedua sisi rambut di kepalanya, kesal lalu terduduk lunglai.

Aku menaruh kertas yang telah kupungut ke pangkuannya sebelum beranjak pergi.

"Hei, kau!"

Ah, siapa? Aku? Tak mungkin. Aku kembali melangkah, namun terhenti karena gadis itu sudah berdiri di depan mukaku dengan ekspresi sangat kesal.

"Aku tahu kalau aku yang menabrakmu, tapi membiarkan seorang gadis yang tidak sengaja menghamburkan barang penting miliknya di depanmu, apa itu sopan?"

Hei, apa? Aku kan sudah bantu memungut kertas yang tak sengaja kuinjak..

"Kau murid baru kan? Siapa namamu, biar bisa ku ingat kalau-kalau kau melakukan pelanggaran?" Gadis itu dengan cepat dan agresif mencondongkan kepalanya untuk membaca tanda pengenalku.

Untung refleks ku bagus. Aku menutupi dadaku tanpa celah kemudian berlari secepat mungkin menjauhi gadis itu.

Gadis itu sudah gila!

"Kau jangan kabur! Aku sudah tahu...." Ia berteriak sesuatu, namun aku tak dapat mendengar ujung kalimatnya.

Aku sudah di depan pintu Auditorium yang tingginya menjulang sampai ke langit-langit. Sepanjang jalan aku berlari, khawatir jika gadis itu sampai menangkapku. Napasku masih tersengal. Aku tidak mengerti mengapa aku harus berlari. Ini pertama kalinya aku melakukan hal konyol dengan menghindari seseorang. Biasanya aku selalu bersikap tenang. Sial! Aku melangkah masuk ke ruang auditorium yang dipenuhi dengan murid-murid yang mengenakan seragam hitam legam, berdiri sesuai dengan barisanku. Semua suara di sini berbaur dan berdengung.

Aku mengambil napas panjang sebelum kembali memindai keadaan. Mereka yang ber-badge putih adalah murid kelas unggulan, yang terdiri dari murid-murid dengan hasil tes masuk kategori jenius. Raut wajah mereka tidak menggambarkan sedikit pun kecemasan, malah penuh antusias. Seolah menang lotere. Seolah dunia adalah miliknya. Tidak heran sih, siapapun yang berhasil menjadi murid di sekolah ini sejatinya memang menang lotere. Para murid di sini adalah para manusia yang berada di paling puncak rantai makanan. Apalagi jika kau masuk ke dalam kategori murid kelas unggulan. Levelmu sebagai manusia telah naik menjadi Tuhan. Kau tak perlu mengucapkan apa yang kau inginkan, cukup memikirkannya saja, dan boom! Keinginanmu akan langsung terwujud. Hebat sekali! Mengagumkan! Tidakkah kau ingin menjadi mereka? Bahkan mungkin saja aku mengatakan semua hal yang tidak perlu ini karena aku ingin menjadi mereka. Mungkin saja.

Tapi..Tapi, apa tadi ku bilang, mereka adalah para manusia jenius?

Aku berusaha menahan tawa. Sampai sakit sekali perutku memikirkan omong kosong ini. Air mataku rasanya bisa menyembur kapan saja saking lucunya.

Biar aku jelaskan salah paham ini. Ada sekitar sembilan puluh sembilan persen kepalsuan di sini. Seluruh baris murid ber-badge putih ini adalah anak-anak para elit kelas atas yang kekayaannya bahkan dapat menuliskan garis takdirmu dari lahir sampai mati. Mereka tidak perlu repot-repot mengikuti ujian masuk. Cukup dilihat dari berapa jumlah kekayaanmu dan apa lambang keluargamu saja, Kau bisa langsung tahu tempatmu di mana.

Tentu saja mereka bukan Para Jenius. Mereka hidup dengan uang sebagai oksigennya. Tanpa uang, mereka bahkan tak akan menang dalam kompetisi perebutan sel telur.

Aku menyelipkan kedua telapak tanganku ke dalam saku celanaku, tersenyum.

Meraka yang ber-badge biru adalah kelas favorit, terdiri dari murid-murid yang lulus ujian masuk dengan kategori cerdas dan ahli di bidang seni dan olahraga. Raut wajah mereka kegirangan dan penuh kebanggaan. Ya, aku bisa mengerti. Siapa yang tidak bangga jika kau di kategorikan sebagai manusia favorit. Dengan kata lain kau sudah berada di atas standar yang berlaku. Cerdas, berpenampilan menarik, berpostur bagus, apalah itu namanya. Kau bukan lagi manusia, disini kau adalah malaikat. Malaikat tanpa cela.

Sedangkan mereka yang ber-badge cokelat adalah para murid kelas regular yang berhasil memenuhi standar nilai ujian masuk di sini. Mereka dinilai cukup pantas untuk bisa bersekolah di sini. Ekspresi mereka bahagia, tapi juga sedikit cemas. Mereka harus bekerja lebih giat lagi. Mereka tidak boleh sampai tidak melakukan apa-apa terhadap nasib baik yang telah mereka capai. Ini kesempatan bagi mereka untuk merasakan hidup terlahir dengan sendok perak atau bahkan emas. Itu yang berada di pikiran mereka. Itu adalah beban hidup yang terus menempel hingga mereka mati.

Perutku terasa penuh. Aku muak dan jijik dengan semua kepura-puraan ini. Aku jengah dengan semua label ini. Berani-beraninya mereka mengatur rantai makanan seenak jidat mereka. Mereka harusnya tahu bahwa mereka semua tidak pantas dengan semua kesenangan ini. Bahkan tidak pantas sama sekali berharap masuk dalam rantai makanan.

Harusnya mereka tahu apa arti Jenius yang sebenarnya. Harusnya mereka tidak munafik dan mengakui apa arti Kecantikan yang sebenarnya. Harusnya mereka tidak pantas dengan apa yang mereka dapatkan sekarang. Mereka tidak pantas membicarakan konteks apapun yang ada di dunia ini. Bahkan mereka tidak pantas berada di dalam konteks.

Tapi aku tahu, sebenarnya mereka tahu.

Aku adalah manifestasi kejeniusan. Aku adalah manifestasi seluruh kecantikan di dunia ini. Aku adalah manifestasi Tuhan. Aku adalah konteks.

Dan mereka, tidak lebih dari manusia sampah.

"Psst.." Seorang gadis yang berdiri di samping menyenggol lenganku. "Kau yang lulus dengan nilai tertinggi, kan?"

Tapi aku tidak pernah mengira bahwa aku akan diakui bukan hanya oleh keluargaku, tapi juga semua orang di tempat ini, dengan cepat begini.

"Kau benar sekali." Jawabku dengan sempurna.

"Huaaa!" Ia berteriak, "Lihatlah siapa yang berdiri di sampingku, siswa yang mendapat nilai masuk tertinggi!" , memberi tahu orang-orang di sekitarnya.

Semua murid melihat ke arahku sambil berbisik.

"Ya Tuhan, aku tidak tahu ada seseorang yang bisa berpenampilan sangat bagus sepertinya."

"Aku sangat berharap bisa jadi pacarnya.."

"Hei, wajar saja semua yang tampan dan cantik pasti juga jenius."

"Tinggiku saja tak sampai seratus tujuh lima."

" Astaga, kau serius! Bagaimana mungkin orang jenius selalu berpenampilan menarik. Haha" Kata seorang lelaki sambil mengulurkan tangannya. " Aku Raja. Peringkat tiga. "

"Lucia, Peringkat tujuh."

Aku tersenyum lebar. "Tirta. Peringkat Satu."

Di tengah-tengah obrolan tak berguna ini, suara organ mulai terdengar dan lagu-lagu pun mulai dinyanyikan oleh para koir. Aku melihat ke atas, ruangan yang mulai di hujani kertas-kertas berwarna. Semua orang mulai bersorak. Tanpa sengaja, tepat di seberang lantai podium, seorang murid lelaki berdiri di antara bayangan. Posturnya sekitar seratus delapan sembilan senti. Ia tersenyum menawan sembari mengobrol dengan beberapa kawannya. Sesekali tangannya bergerak bak sisir untuk merapikan rambutnya yang merah dan cepak . Tidak salah lagi, itu dia. Ia sangat terkejut saat pandangan kami terkunci.

Tidak kusangka pula, kita akan bertemu secepat ini, Genta.

Tidakkah kau melihat

Jutaan bintang di langit

Adalah doa pendita

Semua mimpi-mimpimu

Akan terjadi

Gelisah mu akan sirna

Esokmu telah datang

Menebarkan kesenangan

Meski kau masih menangis

Meski lukamu masih luka

Kau tengah terbang di antara bintang

Tidakkah kau melihat

Jutaan bintang di langit

Mengabulkan semua mimpi

Meniupkan kesenangan

Jantungmu berdebar

Sebentar lagi kau menang

Tak perlu lagi kau dengan topengmu..

Selamat datang, di sekolah Konstelasi Emas, tempat para manusia sampah berkumpul.

avataravatar
Next chapter