2 the Beauty of Destiny •1•

Penyesalan yang tercipta beberapa tahun silam membuat cewek tersebut selalu frustasi setiap mengingat kenangan tersebut. Penyesalan memang selalu datang di saat akhir. Bulan yang tengah merasakan penyesalan, ia selalu berandai-andai dengan keadaan sekarang bahwasannya ia ingin kembali pada masa itu, masa dimana semuanya berubah.

Cewek tersebut selalu menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan. Meskipun pikirannya selalu mengarah pada kenangan yang menurutnya sangat amat buruk.

Papa dan kedua sahabatnya mengatakan bahwasannya kejadian beberapa tahun silam bukanlah kesalahannya. Tapi cewek tersebut tetap kekeh pada pendiriannya, bahwa semua kesalahannya.

"Bulan,itu semua bukan kesalahan lo. Tapi itu adalah takdir dari-Nya. Lo harus percaya sama gue," ucap Cyra--sahabat Bulan--ia tahu betul bahwa sahabatnya ini selalu menyalahkan dirinya sendiri saat mengingat kenangan buruk tersebut. Ia sudah melakukan berbagai cara agar sahabatnya itu tidak terlarut dalam kesedihan yang mendalam.

Bulan menghela napas berat, ia sudah lelah mendengar kalimat yang selalu di lontarkan oleh sahabatnya itu. Sepertinya sahabatnya itu tidak pernah bosan dengan kata kata yang sama keluar dari mulut cewek tersebut.

Saat ini mereka sedang berada di kelas dan suasana pada saat itu sepi yang menyisakan dua siswa yang tertinggal di dalam kelas.

Bulan menoleh sepenuhnya pada sahabatnya itu. "Jadi lo mau gue gimana?"

Cyra menarik napas sedalam dalamnya dan menghembuskan perlahan lahan, sebelum ia mengomel pada Bulan lagi, ia harus menyiapkan tenaga.

"Gue mau lo berubah." Cyra tau betul perasaan Bulan saat ini. Tapi ia tidak tau apa yang harus di lakukannya selain menghibur sahabatnya ini.

"Berubah? Berubah menjadi apa maksud lo? Jadi power ranger?" sewot Bulan. Lagian kenapa sahabatnya ini tidak menjelaskan lebih rinci tentang perubahan. Mungkin saja kan berubah menjadi Putri kodok? Atau superman supaya bisa menolong orang lain? Oke ini berlebihan.

Cyra menahan untuk tidak tertawa. Sungguh sahabatnya ini sangat lucu saat sedang cemberut karena adu mulut dengannya. Cyra berdeham agar ia tidak tertawa.

"Lo ngelawak Lan? Kalau ngelawak nggak disini tempatnya." Cyra akan melakukan apapun untuk sahabatnya ini meskipun itu adalah sikap konyol sekalipun.

Lagi dan lagi Bulan hanya bisa menghela napas berat. Ia sungguh lelah dengan situasi ini. Apakah ia harus berubah seperti yang Cyra katakan? Tapi gimana caranya?

"Lo pengin gue berubah kan Ra?" tanya Bulan pada akhirnya. Ia sudah memikirkan dengan amat sangat matang matang. Mungkin ini salah satu jalan agar ia melupakan sejenak kejadian beberapa tahun silam. Cyra mengangguk semangat.

"Oke gue akan berubah." Bulan tidak ingin membuat Cyra menahan beban yang seharusnya ia sendiri yang harus menanggungnya.

Mata Cyra berbinar binar mendengarnya, ini lah yang ia tunggu tunggu sejak lama. Cyra lebih mendekat dengan Bulan. Semangatnya sedang membara.

"Lo akan berubah kan?" tanya Cyra dengan semangat 45'. Bulan mengangguk. Ia mendorong jidat Cyra agar cewek tersebut menjauhkan diri darinya. Bulan tersenyum miring seraya berucap.

"Gue akan berubah menjadi bunglon."

🌒🌒🌒

Bel pertanda pulang sudah berbunyi beberapa menit yang lalu, akan tetapi dua gadis ini belum kunjung untuk pulang ke rumah masing masing. Mereka masih enggan beralih dari tempat duduknya. Suara langkah seseorang membuat kedua insan tersebut mendongak dan ternyata yang menghampirinya adalah...

"Kak Awan."

Ya, cowok yang disebut oleh Bulan tadi adalah Awan notabenenya sebagai kakak kelas.

Awan semakin mendekat pada mereka. Awan memutarkan kursi dan menghadap pada Bulan dan Chyra.

"Hei."

"Ngapain ke sini Kak?" tanya Bulan. Siapa yang tidak bingung dengan perubahan sikap Awan? Awalnya cowok tersebut datang ketika membutuhkan pertolongan Bulan ataupun Cyra. Tapi tidak hari ini, cowok tersebut menghampirinya dengan sebuah tujuan? Mungkin.

"Jemput lo." Awan mengarahkan jari telunjuknya ke hidung Bulan membuat mata cewek tersebut juling.

Merasa tersingkirkan, Cyra berdeham. Cewek tersebut bangkit dari tempat duduknya. "Gue duluan ya Lan,cowok gue udah tunggu di depan tuh." Ya Cyra sudah menemukan cowok idamannya sejak kelas IX. Tidak bisa di mungkiri, mereka selalu dekat setiap saat. Sehingga Bulan hanya pulang sendirian. Menyakitkan.

Sepeninggal Cyra, Awan memfokuskan kembali matanya pada Bulan, kali ini ia memunculkan senyuman yang membuat perempuan mana saja akan meleleh, tapi tidak dengan Bulan. Ia hanya biasa biasa saja saat Awan tersenyum padanya. Bulan menatap Awan datar.

"Pulang bareng gue yok." Awan berdiri, ia hendak menggenggam tangan Bulan, suara Bulan mengurungkan niatnya.

"Tumben." Satu kata yang keluar dari mulut Bulan dengan nada menyindir. Ucapannya bukan tanpa alasan, biasanya nih cowok selalu pulang duluan. Bahkan pernah Bulan sekali mendapati Awan pulang dengan seorang cewek.

"Ye.. Bukannya bahagia di ajak pulang bareng dengan cowok berpredikat ganteng ini. Malah menyindir," cibir Awan. Ia juga punya alasan untuk mengajak Bulan. Kalau tentang 'predikat ganteng' ia memang juara kedua. Yang pertama? Kalian pasti akan mengetahuinya.

Bulan masih bergeming pada tempatnya membuat Awan gemas setengah mati. Oke ini terlalu lebay.

"Kalau lo masih nggak mau bergerak. Gue pastikan lo balik ke rumah dengan perasaan kaget sekaligus kesal dengan gue," ucap Awan. Ia memasukkan tangan kanannya ke dalam saku celananya. Bulan mencerna setiap ucapan yang keluar dari mulut cowok tersebut.

Bulan masih tidak mengerti apa yang dimaksud cowok tersebut, lipatan di kening cewek tersebut membuat Awan tersenyum miring. Awan mendekat pada Bulan dan posisinya sekarang sedang bersampingan dengan Bulan.

Bulan berdiri ia menghadap Awan dan posisi mereka saat ini sedang berhadapan. Bulan menatap Awan kesal. Ntah apa yang ada di pikiran cowok tersebut.

"Maksud lo apaan sih?" Terkadang Bulan gereget melihat tingkah Awan. Walaupun Awan 1 tahun lebih tua darinya, tapi Bulan terkadang memanggil Awan dengan sebutan gue-lo.

"Wah.. Udah berani dia ye." Awan bertepuk tangan membuat Bulan semakin mengernyitkan keningnya.

Tanpa aba aba, Awan merangkul tas Bulan, lalu menggendong Bulan. Bulan berusaha meronta. Tapi nggak bisa.

"Kalau lo sekali lagi mukul gue. Gue nggak segan segan menjatuhkan lo." Ucapan dengan nada ancaman tersebut membuat Bulan berhenti meronta ronta.

Sesampainya di parkiran, Awan menurunkan Bulan dengan hati hati. Ia menyuruh Bulan untuk menunggunya selagi cowok tersebut mengambil motornya. Mau tidak mau Bulan terpaksa menunggunya. Garis bawahi kata terpaksanya. Saking kesalnya Bulan pada cowok itu.

Bulan langsung berdiri ketika melihat Awan. "Nih helm untuk lo." Awan menyerahkan helm tersebut, Bulan menerimanya. Ia memakai helm tersebut sangat pas terlekat di kepalanya. Seolah Awan merencanakan membeli helm ini untuknya.

Bulan menaiki motor sport milik Awan secara hati hati. Untung saja ia membawa jaketnya, alhasil ia mengaitkan jaket tersebut pada pinganggnya.

"Pegangan." Bulan tidak langsung menuruti perintah Awan, daripada cowok tersebut semakin ke'enak'kan untuk memerintahnya. Ogah banget.

"Eh tai cicak. Lo nggak dengar apa yang gue bilang tadi." Awan hendak menarik tangan Bulan untuk memeluknya, tapi dengan gesit cewek tersebut langsung menepiskannya.

"Lo sebenarnya siapa gue sih! Gue terkadang kesal sama lo! Perlakuan lo udah melebihi batas 'sahabat'!" Bulan menumpahkan segala kekesalannya pada cowok tersebut. Perubahan sangat drastis untuk seorang Awan.

"Papa lo dan Cyra udah nitip lo ke gue. Alhasil gue harus jaga lo."

"Tolak gitu! Emang gue barang apa!" sungut Bulan kesal.

Awan menghela napas berat, susah memang ngomong sama anak balita.

"Yaudah terserah lo. Kalau jatuh gue nggak mau tanggung jawab." Awan memiringkan kepalanya agar melihat cewek tersebut yang membuat Bulan bergidik ngeri menatapnya. "Satu lagi lo harus bersikap sopan ke gue."

🌒🌒🌒

Motor sport Awan sudah sampai di pekarangan rumah milik Bulan. Rumah yang mendominasi warna putih tersebut membuat Bulan menatapnya tajam. Semua orang yang menganggap rumah adalah tempat paling ternyaman. Tapi tidak untuk Bulan, ia menganggap rumah tersebut bagaikan neraka.

Awan yang sedari tadi menunggu Bulan untuk turun dari motornya, tak kunjung datang dengan kode bahwasannya cewek tersebut ingin turun. Cowok tersebut berdecak sebal. Ia membuka helm ful facenya, lalu menoleh pada Bulan. "Turun. Atau lo mau nginep di rumah gue."

Bulan menghela napas kasar, ia turun dengan amat berat hati. Bulan menyerahkan helm dan diterima oleh cowok tersebut.

"Gue mampir bentar. Boleh?" izin Awan. Bulan tak habis pikir dengan cowok ini. Apakah cowok ini sedang kesurupan? Kalaupun iya. Sebaiknya ia memanggil ustad.

"Aelah. Kok bengong. Boleh nggak?" Tanya Awan lagi karena ia belum mendapat jawaban. Bulan mengangguk saja, daripada cowok itu makin memekakkan telinganya.

"Yes! Ketemu calon mertua!" Gumam Awan.

Awan mengikuti Bulan yang sudah jauh meninggalkannya. Bulan mengetuk ketuk pintu utama dan keluar lah Zila-mama Bulan-

"Eh Bulan Sayang." Zila mengelus puncak kepala Bulan. Bulan menghela napas berat.

Drama dimulai. Ucap Bulan dalam hati.

Bulan langsung melewati mamanya itu. Awan mengernyitkan keningnya, bingung. Dengan perbuatan Bulan.

"Yuk masuk, masuk." Zila mempersilahkan Awan untuk masuk. Cowok tersebut sangat kagum dengan rumah mewah yang sedang ia injak ini. Meskipun bukan cuman sekali ia kemari, tapi saat memasukinya. Matanya selalu menerawang di setiap sudut ruangan.

"Udah lama ya kamu nggak kemari Wan." Zila mendaratkan bokongnya pada sofa, bersebrang dengan Awan karena terhalangi oleh meja. Awan hanya membalas dengan senyuman. Yang dikatakan Zila memang benar, ia jarang ke rumah Bulan juga karena ada alasan. Semua mempunyai alasan masing masing.

"☆☆☆"

avataravatar
Next chapter