Pagi ini Alda sudah siap dengan blouse putih serta rok span selutut miliknya. Make-up yang natural pun semakin memperlengkap penampilannya saat ini. Benar-benar sempurna. Senyuman manisnya pun tak tertinggal sedari tadi, ia terus saja tersenyum dengan baik. Tentu saja itu semua memiliki sebab. Pasalnya CV yang Alda kirimkan ke perusahaan yang diberitahukan oleh Alice mendapatkan respon. Alda diminta untuk pergi ke perusahaan tersebut hari ini demi melakukan wawancara kerja. Kabar yang sangat bagus, bukan? Kabar yang sungguh tak terduga sebelumnya.
"Lo udah siap, Da?" tanya Ralisa sembari memberikan secangkir susu kepada sahabatnya tersebut. Ralisa awalnya sangat marah kepada Alda dan juga Alic saat mengetahui bahwa sahabatnya yang tengah hamil tiba-tiba saja nekat mendaftar pekerjaan. Namun akhirnya ia luluh dan ikut bahagia juga. Mungkin memang Alda membutuhkan sedikit aktivitas untuk menghilangkan semua stressnya. Mungkin memang Alda membutuhkan hal yang bisa membuatnya terus berkembang, sehingga tidak ada hak Ralisa untuk melarangnya.
"Sudah siap!" jawab Alda dengan penuh semangat. "Gue happy banget hari ini pokoknya. Semoga aja gue bisa lolos ya, Ral. Gue pengen produktif lagi rasanya. Gue pengen lupain semua hal buruk yang ada di kehidupan gue. Gue butuh aktivitas positif," lanjutnya dengan senyum yang sama sekali tak padam sedari tadi.
"Aamiin. Gue yakin kalau ini yang terbaik buat lo, Tuhan pasti kasih jalannya kok. Semangat, Bestiee!"
***
Gedung megah dengan furniture mewah berlantai lima kini sedang Alda singgahi. Ini adalah gedung di mana nantinya ia akan bekerja, mencari nafkah untuk menghidupi keluarga kecilnya. Ini adalah gedung yang pastinya akan sangat berguna bagi Alda kelak, jika memang Alda berhasil memasuki perusahaan ini.
Alda memejamkan mata setelah mendecak penuh kekaguman pada gedung mewah yang tengah ia pijaki. "Ya Allah, jika memang ini perusahaan bisa membuat diriku berkembang, jika memang ini perusahaan bisa menjadi ladang rezeki untukku kelak, permudahkan semua wawancara hari ini, Ya Allah. Tunjukkanlah jawabanmu, Ya Allah."
Alda tak pernah memaksa Tuhan untuk semua doa yang ia inginkan, ia selalu saja pasrah dengan apa yang memang benar-benar Tuhan takdirkan. Jika memang ini bukan jalan yang terbaik untuk Alda, maka Alda akan menerima semuanya dengan lapang dada. Ia yakin bahwa Tuhan sudah menciptakan rencana yang sangat indah untuknya.
"Ibu Alda Arrani!" Seorang wanita cantik keluar dari sebuah ruangan, memanggil nama Alda dengan senyuman menawan yang membuat Alda membalasnya dengan senyuman manis pula. Ini langkahnya, ini kesempatannya, Alda sudah harus wawancara agaknya. "Silakan masuk, Ibu Alda Arrani. Pak Aldo sudah menunggu untuk mewawancarai ibu," ucap perempuan tersebut lagi.
Alda langsung menetralkan perasaan nervous-nya. Entah kapan terakhir kalinya ia merasakan perasaan seperti ini, agaknya sudah lama sekali. Ia sudah terlalu banyak berkecukupan saat bersama dengan Desvin sehingga ia tak pernah menginginkan untuk menjadi wanita karir, namun nyatanya saat ini ia harus berjuang mendapatkan gelar wanita karir untuk menghidupi anaknya.
"Terima kasih, Mba." Tak lupa jika attitude yang paling utama, Alda mengucapkan terima kasih kepada wanita cantik yang tadi memanggilnya tersebut. Lantas wanita berusia dua puluh enam tahun tersebut langsung masuk ke dalam ruangan dan menunduk sejenak sebagai salam hormatnya kepada sang atasan.
"Selamat pagi, Pak Aldo. Perkenalkan saya Alda Arrani, salah satu pelamar yang siap diwawancarai oleh bapak," ujarnya dengan sangat yakin. Jika seperti ini kondisinya, ia harus meyakinkan sang pewawancara, bukan? Bahwasanya ia siap sedia ditanya tentang apa pun. Ia siap kerja.
"Eh, mba ini yang waktu itu ada di bandara kan, ya?" Bukannya membalas apa yang Alda katakan atau langsung to the point mewawancarai, pria tampan yang sedang duduk di kursi kebanggaannya itu malah menanyakan hal yang membuat Alda bingung. Ia langsung memutar otaknya kembali, mengingat apakah ia pernah bertemu dengan sosok pria di hadapannya ini atau tidak. "Saya Aldo Fahrezi, Mba. Saya yang waktu itu kasih air minum ke mbanya pas lagi di bandara. Mba inget? Waktu mba mencari suami mba," lanjutnya membuat Alda menepuk jidatnya. Astaga, iya! Dia pria yang sama, pria yang baik hati menenangkan Alda saat Alda sedang cemas. Pria yang baik hati, yang memberikan Alda minuman.
"Astaga, saya baru ingat, Pak. Maaf, sedikit lupa," balas Alda dengan jujur.
Pria tampan dengan lesung pipinya tersebut tersenyum ramah kepada Alda. "Gapapa, saya juga lupa-lupa ingat, takutnya salah. Dengan mba siapa tadi? Bagaimana kabarnya, Mba?" tanyanya dengan sopan. Sungguh, pria ini jika terus-menerus bersikap sopan, ia tak nampak seperti petinggi perusahaan. Ia malah nampak seperti sosok softboy yang dididik benar oleh kedua orang tuanya.
"Alda Arrani, bisa dipanggil Alda. Kabar baik, Pak. Bapak sendiri apa kabar?" Alda membalas dengan pertanyaan balik juga.
"Kabar baik. Mba Alda gimana kondisi suaminya? Apakah ditemukan? Atau sampai saat ini masih belum ditemukan?" Bukannya memberikan pertanyaan tentang perusahaan atau lainnya, Aldo malah bertanya tentang hal sensitif yang membuat Alda kembali bersedih. Ia kembali mengingat Desvin yang sampai saat ini masih belum bisa ia ikhlaskan. Melihat gerak-gerik Alda yang merasa tak nyaman, tentunya membuat Aldo merasa tak enak hati. Takutnya hal tersebut telah membuat hati Alda kembali terluka. "Maaf kalau pertanyaan saya membuat Mba Alda terluka. Saya tidak bermaksud demikian, Mba."
"Astaga, gapapa kok, Pak. Suami saya sudah ditemukan, Alhamdulillah. Namun ditemukan dalam keadaan tak bernyawa. Beliau meninggalkan saya dan keluarganya. Beliau juga meninggalkan bukti cinta kita berdua, padahal beliau yang paling semangat menanti kehadiran anak pertama kita. Tapi nyatanya Tuhan berkehendak lain. Tuhan mungkin belum merestui suami saya menemani saya di saat lahiran nanti," jelas Alda dengan kuat, lebih tepatnya dikuat-kuatkan karena menjadi rapuh terus-menerus itu tidak baik, bukan?
"Maaf kalau Mba Alda jadi gak nyaman menjawab pertanyaan pribadi seperti ini. Saya turut berdukacita atas meninggalnya suami Mba Alda, ya. Semoga Mba Alda diberikan kekuatan, bayi yang sedang Mba Alda kandung juga semoga sehat-sehat terus di dalam kandungannya sampai nanti lahiran. Saya yakin kalau suami Mba Alda pasti bangga dengan Mba Alda. Dia bangga memiliki istri yang kuat seperti Mba Alda. Tuhan juga pasti enggak salah kasih cobaan kok, Mba. Saya harap nantinya mba bisa menjadi wanita yang paling beruntung di dunia ini setelah badai ini semua berlalu."
Sungguh, di hadapan Aldo saat ini adalah wanita cantik yang sangat tangguh. Aldo sangat takjub melihat kekuatan yang dimiliki oleh wanita tersebut. Sangat langka sekali wanita yang sedang hamil besar, mau bekerja. Banyak dari mereka justru sudah memiliki pekerjaan namun resign. Namun Alda sungguh langka, mungkin juga karena keadaan juga. Keadaan yang memaksa Alda untuk bekerja demi membiayai hidupnya dan hidup anaknya kelak.
"Terima kasih, Pak Aldo. Insya Allah, Allah pasti tau mana yang terbaik buat saya. Bapak sendiri bagaimana dengan istrinya? Apakah sudah ketemu? Ah saya lupa-lupa ingat. Bapak waktu itu mencari istri bapak, kan?"