4 Pertemuan di Rumah Sakit

Pagi sekali Finland sudah bangun dan bersiap-siap untuk wawancara kerja hari ini. Ia tidak boleh terlambat. Sudah sebulan ia lulus kuliah dan menjadi pengangguran. Sebagai orang yang terbiasa sibuk dan bekerja keras, hidup sebagai pengangguran rasanya tidak enak.

Posisi yang dilamarnya adalah marketing di entry level, dan Finland merasa percaya diri bahwa ia akan diterima. Nilai transkrip kuliahnya bagus, ia memiliki status PR* di Singapura, dan perusahaan ini spesifik mencari keturunan Indonesia untuk mengurusi detail proyek marketing yang berhubungan dengan pasar Indonesia.

Karena jarak dari apartemen ke Menara Suntec tidak terlalu jauh, Finland memutuskan berjalan kaki. Ia sebisa mungkin berjalan kaki kemana-mana bila jaraknya di bawah 3 km, selain untuk menghemat uang, juga untuk berolahraga. Jean yang mengajarinya untuk menikmati jalan kaki waktu mereka baru berteman.

"Anggap saja kau sedang berjalan di runway. Kau pikir jadi supermodel itu gampang? Cara jalan yang bagus itu penting banget." kata Jean sambil tertawa. Ia lalu berjalan tegap ala model pria berjalan di catwalk membawakan koleksi jas Dior terbaru dan Finland mencoba meniru cara berjalan para model Victoria's Secret melenggang centil dengan sepasang sayap bidadari yang menjadi ciri khas mereka

Jean benar, berjalan kaki di trotoar Singapura yang mulus dan lurus itu sangat menyenangkan. Panasnya cuaca di negara itu hampir tidak terasa mengganggu saat mereka berjalan dengan membayangkan runway. Sejak itu Finland juga menjadi senang berjalan kaki kemana-mana.

Ia sengaja berjalan pelan-pelan agar tidak berpeluh saat tiba di tempat wawancara. Sebelum menghadap resepsionis ia merapikan diri di kamar mandi dan memastikan penampilannya sempurna. Finland hari ini hanya mengenakan gaun hitam sederhana dan sepatu peep-toe bermotif bunga-bunga biru, tetapi kecantikannya yang terpancar jelas membuat orang-orang menoleh dua kali saat ia lewat.

Wawancara pekerjaannya berlangsung sukses. HRD tidak lama mengambil keputusan untuk menawarinya gaji awal dan percobaan tiga bulan. Ia dapat masuk kerja minggu depan setelah menyelesaikan medical check up di rumah sakit yang ditunjuk perusahaan.

Ia mendapat gaji awal S$2500, yang merupakan UMR untuk lulusan sarjana baru tahun itu, dan Finland merasa sangat bahagia, karena untuk pertama kalinya ia bisa memiliki uang yang cukup untuk kebutuhannya. Begitu menerima gaji, ia akan segera mencari kamar kontrakan dan pindah dari apartemen Jean.

"Selamat ya. Silakan ambil formulir ini dan isi semua data yang dibutuhkan. Anda bisa mulai kerja minggu depan. Sebelumnya, Anda medical check up dulu di salah satu rumah sakit atau klinik yang ada di daftar ini. Simpan kwitansinya dan berikan kepada finance untuk di-reimburse."

Saat itulah kegembiraan Finland sedikit memudar. Ternyata ia harus membayar biaya cek kesehatan duluan, baru nanti diganti oleh perusahaan. Ia ingat uangnya tinggal 50 dolar di rekening. Ia tidak tahu berapa biaya untuk cek kesehatan... dan dari mana ia akan memperoleh uangnya kalau kurang.

Ia pamit pulang membawa semua formulir itu dengan hati berat. Selangkah lagi... ia hampir bekerja, tinggal mengurusi biaya cek kesehatan. Sekarang masih hari Senin, ia tidak bisa mendapatkan uang menyebar brosur karena pekerjaan itu hanya bisa dikerjakannya di akhir pekan. 

Dari mana ia bisa mendapatkan uang tambahan? Ah, mungkin ada barangnya yang bisa dijual di internet... sebaiknya ia memastikan dulu berapa kekurangan uang yang harus dicarinya.

Finland memutuskan untuk berjalan ke arah Rumah Sakit Imperial yang tidak terlalu jauh dari Menara Suntec, ini merupakan salah satu rumah sakit rujukan yang ada di dalam daftar yang dipegangnya. Ia akan menanyakan berapa biaya cek kesehatan di sana, supaya ia bisa memastikan berapa kekurangan yang harus ia cari.

Di lobi rumah sakit ada banyak calon pasien yang mengantri, sehingga Finland harus menunggu gilirannya dengan sabar. Ketika ia tiba di depan resepsionis, tiba-tiba entah kenapa wajah resepsionis itu langsung berubah tidak sabar.

"Maaf, saya mau tanya, berapa biaya untuk medical check up seperti ini?" ia menyerahkan formulir yang diberikan kantornya. Resepsionis itu menoleh sekilas dan menjawab ketus.

"Sebentar saya cek dulu." Pandangannya lalu terfokus ke arah pintu seolah-olah menunggu seseorang. Ia tampak sangat buru-buru ingin menyelesaikan tugasnya seolah ingin segera terbang keluar. "Biayanya 200 dolar."

"Oh...." desah Finland pelan. "Terima kasih."

Ternyata mahal sekali. Ia pun berbalik lesu hendak meninggalkan lobi ketika mendengar suara resepsionis di belakangnya berubah renyah saat menyapa seseorang.

"Selamat siang, Dokter."

Finland mengangkat wajah dan melihat orang yang baru datang. Ternyata inilah penyebab si resepsionis tadi tampak sangat tidak sabar, ia menantikan kedatangan dokter yang baru masuk ini dan ingin menyapanya. 

Orang yang baru memasuki lobi ini masih muda dan sangat tampan, membuat seisi ruangan mengarahkan pandangan ke arahnya. Kehadirannya seolah membuat suhu ruangan menjadi lebih sejuk. Resepsionis, para suster, dan semua staf rumah sakit mengangguk hormat kepadanya. 

Ia mengangguk balik, memberi salam kepada semua, dan saat pandangannya menyapu ke arah Finland, matanya tampak sedikit terkejut, namun senyumnya segera terkembang lebar.

"Finland? Sedang apa kau di sini?"

Finland sendiri tidak dapat mempercayai matanya. Orang yang barusan disapa sebagai dokter adalah Caspar, yang tadi malam ditubruknya di bandara dan kemudian malah mengantarnya pulang. 

Orang ini dokter? Tampangnya terlalu muda untuk menjadi dokter, dan sepertinya ia juga bukan dokter sembarangan, kalau melihat betapa hormat sikap semua orang di rumah sakit ini kepadanya.

"Uhm... aku sedang menanyakan biaya.. uhm.. medical check up di sini." jawab Finland terbata-bata. "Kau dokter?"

"Iya. Kebetulan sekali. Ayo masuk, biar aku yang lakukan pemeriksaan." Ia memegang tangan Finland dan menariknya kembali ke resepsionis. "Tolong didaftarkan sekarang ya, ini akan jadi pasien pertama saya hari ini."

"Tapi aku... " Finland berusaha menolak, karena ia ingat uang di rekeningnya yang tidak cukup. Caspar sepertinya membaca pikiran gadis itu dan tersenyum kecil.

"Tolong semua tagihan rumah sakit untuk Miss Finland dimasukkan ke tab saya." katanya kepada resepsionis itu yang tampangnya tercengang tidak tahu harus berkata apa-apa.

Caspar menghampiri Finland yang terpaku, dan berbisik pelan di telinganya, "Aku tahu kau tidak punya uang untuk membayar biaya rumah sakit, jadi biarkan aku yang membayarnya sekarang. Nanti kalau sudah gajian kau traktir saja aku minum teh sore."

Finland tak percaya pada keberuntungannya hari ini. Ia menoleh dan seketika pipinya bersemu merah melihat wajah Caspar yang begitu dekat dengannya. Senyuman berlesung pipi itu sungguh melelehkan hati dan tanpa disadarinya ia mengangguk.

Setelah proses pendaftaran pasien selesai, Finland masuk ke ruang praktik dokter dan duduk menghadapi Caspar yang sudah siap dengan jas dokter dan stetoskop. Suster mengukur tekanan darah Finland kemudian melaporkan angkanya.

"OK, sounds good. Sekarang aku akan mengambil setetes darahmu ya, jangan bergerak," Caspar menusuk pelan ujung jari Finland dan menampung darahnya ke dalam tabung kecil. "Berikutnya kita cek detak jantung. Kalau kau merasa tidak nyaman, biar suster yang memeriksa."

Finland merasakan pipinya memerah saat Caspar bicara tentang memeriksa detak jantungnya, tetapi ia menggeleng. "Tidak apa-apa, Dok."

Ia membuka 2 kancing atas dressnya dan membiarkan Caspar menempelkan stetoskop di atas dadanya untuk memeriksa. Semuanya terasa sangat profesional dan Finland tidak merasa terganggu sama sekali, kecuali bahwa debaran jantungnya terasa jauh lebih kencang dari biasa.

"Detak jantungnya cepat sekali..." komentar Caspar sambil tersenyum lebar. Finland menunduk malu. Suster yang menemani mereka tampak memandang Finland dengan tatapan aneh. Dokter Caspar adalah ahli bedah yang sangat terkenal dan ia tidak pernah bersikap sedemikian hangat kepada pasien, apalagi melakukan pemeriksaan kesehatan sederhana begini.

"Sesudah ini kau tinggal ke bagian radiologi untuk periksa thorax dan selesai." Caspar menulis sesuatu di notesnya kemudian menurunkan stetoskopnya. "Semuanya bagus. Selamat ya, atas pekerjaan barumu."

"Terima kasih. Tapi... apa aku boleh bertanya?" tanya Finland sebelum meninggalkan ruangan Caspar.

"Tanya apa?"

"Uhmm... apakah kau benar-benar dokter? Tapi kenapa penampilanmu muda sekali? Kupikir kau itu masih mahasiswa atau baru lulus kuliah..."

Suster tertawa mendengar pertanyaan Finland.

"Anda ini beruntung sekali, lho. Beliau ini dokter bedah yang sangat kenamaan. Beliau umurnya sudah 35 tahun, tapi tampangnya memang muda begini. Biasanya beliau hanya berkunjung ke Singapura beberapa bulan sekali." Ia memandang Caspar dengan pandangan setengah memuja. "Beliau tidak pernah menangani pemeriksaan medis biasa. Baru Anda saja."

"Oh..."

Finland tak tahu harus berkata apa. Ia mengucap terima kasih lalu keluar.

Caspar yang aneh. Ternyata ia adalah seorang dokter dan jauh lebih tua darinya. Kalau ia tidak melihat sendiri di rumah sakit, walaupun Caspar mengaku sebagai dokter kepadanya Finland tidak akan percaya.

.

.

*PR = Permanent Resident (visa/izin menetap di suatu negara bagi warga asing, kalau di Indonesia namanya KITAS/KITAP)

avataravatar
Next chapter