webnovel

Menjadi Turis di Barcelona

Hari pertama mereka tiba di Barcelona, Caspar dan Finland memutuskan untuk bersantai tidak melakukan apa-apa. Seperti biasa, butler, para pelayan dan pengawal Caspar memberi mereka privasi dengan tidak memunculkan diri. Finland sama sekali tidak melihat mereka kecuali dibutuhkan.

Caspar memasak makan malam untuk mereka dan keduanya menikmati waktu di villa dengan tidak melakukan apa-apa, hanya membaca dan mengobrol. Untuk pertama kalinya Finland melihat Caspar tidak bekerja dan ia merasa sangat senang.

"Kau tidak punya pekerjaan?" tanyanya keheranan saat melihat Caspar tidak menyentuh laptopnya sama sekali malam itu.

Caspar mengangkat bahu dan tersenyum, "Orang normal tidak bekerja saat mereka bulan madu."

Mata Finland tampak berbinar-binar mendengarnya. Ia menaruh bukunya dan segera memeluk Caspar. "Kau mulai terlihat natural dalam hal ini..."

"Aku berusaha, Sayang. Ini tidak mudah...." Caspar tertawa kecil. "Tapi besok saat makan siang kita harus bertemu Stanis, bukan untuk urusan kerja. Aku ingin memperkenalkanmu kepadanya."

Finland mengangguk. Ia sangat sering mendengar nama Stanis tapi tak pernah melihat orangnya. Ia cukup penasaran untuk akhirnya bertemu dengan kepala rumah tangga keluarga Schneider tersebut.

"Stanis bukan orang Spanyol, kan? Kenapa dia tinggal di sini?" tanya Finland penasaran.

"Kenapa tidak? Cuaca di sini bagus. Biaya hidup di Spanyol juga sangat rendah dibandingkan negara Eropa lainnya dan makanannya juga enak. Ini kota favorit Stanis, tentu ia akan memilih tinggal di tempat yang disukainya. Pekerjaannya bisa dilakukan dari mana saja, dan sekarang manusia sudah terhubung dengan internet dan sangat mudah bepergian menggunakan pesawat," jawab Caspar.

"Oh... kalau begitu apa kota favoritmu?"

Caspar tersenyum sedikit dan menyentuh pipi Finland, "Kota favoritku adalah di mana pun kau berada. Saat ini kota itu adalah Singapura."

Finland terharu mendengarnya. Ia sudah terbiasa dengan pernyataan cinta dari Caspar yang terus menerus, dan ia kini percaya bahwa ia dicintai dengan tulus. Sungguh hatinya merasa berbunga-bunga. Dari sejak ia menerima cinta Caspar, pemuda itu tak sungkan-sungkan menunjukkan perasaannya kepada Finland. Ia tak peduli dengan citranya sebagai laki-laki berwibawa dan tegas di depan gadis itu.

Finland memajukan wajahnya dan memberi Caspar ciuman lembut atas ucapannya barusan.

"Aku tidak punya tempat yang membuatku merasa kerasan. Tidak juga Singapura. Saat ini, rumahku adalah di mana pun kau berada." kata Finland dengan suara lirih.

Caspar mengangguk senang. Ia mengusap-usap kepala Finland lalu membaringkannya di pangkuannya. "I'm happy to be your home."

***

Finland telah membeli tiket masuk Sagrada Familia secara online dan setelah sarapan agak siang keduanya segera meluncur ke sana. Untuk pertama kalinya Finland melihat Caspar menyetir sendiri mobilnya, dan ia terlihat sangat keren. Finland tak habis-habisnya mengagumi penampilan suaminya. Ia merasa sangat beruntung.

Mereka harus parkir di tempat yang agak jauh dan melanjutkan dengan berjalan kaki. Finland mengenakan mantel tebalnya, tetapi ia tetap merasa kedinginan. Tubuhnya sangat terbiasa dengan cuaca di daerah tropis yang panas dan mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri. Caspar merangkulnya dan berusaha membuat gadis itu lebih hangat saat mereka berjalan menuju Sagrada Familia.

Antrian di loket penukaran tiket online memang lebih pendek dari loket pembelian tiket on-the-spot dan 15 menit kemudian mereka sudah tiba di dalam.

"Tidak usah pakai headset dan menyewa pemandu," kata Caspar, "Aku kenal dengan Gaudi dan bisa menceritakan sejarah Sagrada Familia ini kepadamu."

Ah, tentu saja, pikir Finland. Ia malah heran kalau Caspar tidak kenal dengan Gaudi. Suaminya itu sepertinya mengenal semua orang penting dalam sejarah dunia. Ia berteman dengan Albert Einstein dan Mileva Maric, membantu penelitian Wright bersaudara dan Karl Benz, lalu sekarang juga kenal dengan Antoni Gaudi.

"Kok bisa kenal Gaudi?" tanya Finland akhirnya, ia tak bisa menahan diri.

"Dia direkomendasikan oleh Guell. Gaudi banyak mendesain untuk Guell, termasuk rumahnya dan taman yang akan kita kunjungi nanti sore, Park Guell. Aku suka dengan gaya Gaudi dan memintanya mendesain villa yang kita tinggali sekarang." Caspar mengangkat bahu, "Sekarang seleraku sudah berubah, tapi dulu aku sangat menyukai Gaudi. Dia seorang legenda. Sayang sekali satu-satunya perempuan yang ia cintai tidak membalas cintanya sehingga ia memilih selibat dan mengabdikan diri pada agamanya dan benar-benar hidup dengan sangat sederhana. Di usia tuanya, orang sering mengira dia itu gelandangan karena penampilannya yang kumal. Saat ia kecelakaan ditabrak trem, tidak ada yang mengenali Gaudi, mengira ia seorang pengemis, sehingga ia tidak mendapatkan perawatan yang memadai di rumah sakit. Ia akhirnya meninggal karena luka-lukanya..."

"Ohh... kasihan sekali." desah Finland. Ia tak pernah mengetahui betapa tragis nasib arsitek pencipta rancangan Sagrada Familia itu.

"Memang tragis."

Saat mereka masuk ke dalam bangunan itu, Finland terpesona melihat betapa rumit dan indahnya hiasan ukiran dan paduan kaca berwarna-warni di dalam Sagrada Familia. Tiang-tiangnya yang sangat tinggi memberi kesan megah dan agung. Sulit dipercaya bangunan seunik ini adalah sebuah gereja. Desainnya tidak mirip dengan gereja manapun yang pernah dilihatnya di internet. Caspar dengan sabar menerangkan setiap detail dari monumen itu dan membuat Finland tambah terpesona dengan sejarah di baliknya.

Sagrada Familia dibangun pada tahun 1882 dan sampai sekarang, lebih dari 100 tahun kemudian masih belum selesai. Bangunan itu dibuka untuk umum dengan menarik karcis untuk membiayai pembangunannya dan setiap tahun dikunjungi oleh jutaan orang. Beberapa bagian gedung masih ditutup ketika mereka masuk karena sedang dibangun oleh pekerja.

Setelah selesai dari sana, Caspar membawa Finland berkeliling Barcelona dengan mobilnya dan menunjukkan tempat-tempat penting atau bersejarah di kota itu. Saat makan siang tiba ia mengarahkan mobilnya ke arah pantai dan masuk ke sebuah restoran cantik yang menghadap laut.

Mereka menarik perhatian semua orang yang ada di restoran ketika melangkah masuk. Finland memang terlihat cantik sekali dan Caspar juga sangat tampan. Banyak orang yang mengira keduanya adalah selebriti yang sedang mampir untuk makan siang karena manajer restoran dan beberapa staf datang menyambut mereka dengan hormat lalu membawa keduanya ke sebuah meja di sudut yang paling privasi.

Seorang laki-laki berusia 50-an bangkit berdiri menyambut begitu keduanya datang mendekat. Wajahnya sangat mirip dengan Ben, tetapi terlihat lebih tua dan sangat serius. Penampilannya rapi dengan jas dan kacamata berbingkai perak. Ini pasti Stanis.

"Selamat siang, Tuan dan Nyonya Schneider," sapa Stanis dengan penuh hormat.

Finland menyalami Stanis dan memperkenalkan diri. "Senang bertemu Anda, Pak Stanis. Namaku Finland."

"Saya Stanis Van Der Ven. Saya sudah banyak mendengar tentang Anda." Stanis tersenyum. "Saya mendengar bahwa Anda berdua ingin menghabiskan waktu bulan madu dengan cara tidak konvensional?"

Kalau menurut Stanis hidup seperti manusia normal itu tidak konvensional, maka pemahaman Stanis akan kehidupan sudah sama dengan Caspar, pikir Finland. Pantas saja keduanya sangat cocok.

"Hanya selama dua minggu Stanis." tukas Caspar. "Aku akan merepotkanmu selama dua minggu ini, lebih daripada biasanya."

"Jangan kuatir, Tuan. Aku sudah melayanimu selama 30 tahun dan selalu senang melakukannya," jawab Stanis menenangkan Caspar. "Anda tidak usah memikirkan apa pun, nikmati saja bulan madu Anda."

"Terima kasih."

Mereka lalu makan siang sambil berbincang-bincang. Walaupun mereka berusaha tidak membahas pekerjaan, tetapi beberapa kali Stanis dan Caspar selip bicara dan topik tentang bisnis sempat keluar juga.

Finland hanya tertawa ketika keduanya meminta maaf. Ia sekarang mengerti bahwa Caspar dan Stanis benar-benar memiliki sifat yang mirip setelah melihat mereka berdua dan berbincang-bincang langsung. Pantas saja Caspar dan Stanis sangat cocok.

Setelah makan siang, Caspar dan Finland melanjutkan wisata mereka ke Casa Batllo, dan terakhir ke Park Guell. Jalan menanjak yang menuju Park Guell membuat Finland menyerah dan akhirnya Caspar harus menggendongnya dengan tertawa-tawa.

Hari berikutnya Finland tidak mau bangun dari tempat tidur karena badannya masih pegal dari perjalanan di hari sebelumnya yang cukup menguras tenaga, terutama saat mendaki ke arah Park Guell yang melelahkan.

"Baiklah, kita tidak usah kemana-mana hari ini, di rumah saja," kata Caspar sambil kembali ke tempat tidur dan memeluk Finland. "Kita bisa makan dan membaca di tempat tidur atau menonton film."

"Aku suka itu. Besok saja kita jalan-jalan lagi." kata Finland kemudian.

Karena sedang berbulan madu dan tidak terburu-buru keduanya menikmati waktu sesantai mungkin. Keesokan harinya setelah Finland merasa baikan, keduanya berangkat ke Casa Mila lalu menghabiskan waktu berjalan-jalan dan makan di Las Ramblas.

"Saat di Spanyol, tidak lengkap rasanya kalau tidak menikmati sangria," kata Caspar. Mereka sedang duduk di salah satu kafe di tepi jalan Las Ramblas yang penuh berisi orang-orang yang juga berpikiran serupa. Sangria adalah minuman red wine yang dicampur berbagai potongan buah-buahan segar dan ditambahkan alkohol lainnya seperti brandy. Finland kaget saat melihat gelasnya datang dengan ukuran hampir setengah liter.

"Gelas ini besar sekali..." desisnya kaget.

"Orang Spanyol memang senang minum. Mereka senang ngobrol, tidur siang (siesta) dan minum.. Karena itulah mereka selalu terlihat bahagia." Caspar menjelaskan sambil tertawa kecil. Ia mendentingkan gelasnya dan mengajak Finland minum, "Minumlah, sangria terenak di dunia adanya di Barcelona. Di sini juga Mc Donald's menyajikan bir, satu-satunya negara di dunia di mana kau bisa makan di McD sambil minum bir. Di negara lain mereka hanya menyajikan soda."

Finland mengangguk tanda mengerti. Ia mengerti kenapa Stanis menyukai tinggal di Barcelona. Cuacanya jauh lebih bagus daripada Jerman, dan orang-orangnya yang menjalani hidup dengan penuh kegembiraan membuat suasana terasa sangat menyenangkan. Ia juga melihat bahwa kebanyakan pelayan di restoran yang ada di sekitar mereka bukanlah wanita muda dan cantik, seperti di kebanyakan restoran di Asia. Ia melihat lelaki berumur 30-40an dengan tampang agak sangar pun bisa menjadi pelayan dan bisa penuh senyum saat melayani pelanggan. Ia kagum karena pekerjaan pelayan di sini sepertinya tidak bias gender.

Finland merasa bersyukur dapat mengalami semua hal ini dan melihat hal dan budaya baru dari negara lain. Ia telah hidup di Indonesia dan Singapura, lalu kemudian mengunjungi Jerman dan sekarang Spanyol, semuanya memiliki ciri khasnya sendiri. Ia tak sabar ingin berkunjung ke Paris dan melihat bagaimana kehidupan orang-orang Prancis dan budaya mereka. Sayang sekali ia akan berada di kota cinta itu bersama sahabatnya, bukan suaminya.

Maaf baru sempat update lagi...

Beberapa hari lalu saya iseng melamar ke radio untuk menjadi penyiar (duluuuu banget pernah siaran di radio), dan ternyata diterima (yeayy...)

Tapiii... tambahan pekerjaan berarti saya juga menjadi lebih sibuk dari biasanya. Jadi monmaap, agak lambat mengupdate bab baru. Semoga nanti-nanti saya bisa update secara teratur lagi. Apalagi "novel Ludwina & Andrea" kan sudah mau tamat, jadi nanti bisa fokus menulis "The Alchemists" saja.

Missrealitybitescreators' thoughts
Next chapter