webnovel

Kejutan Yang Tidak Menyenangkan

"Kau mau tetap di sini atau pulang ke Paris?" tanya Jean saat mereka sarapan keesokan harinya. "Aku akan menuruti keinginanmu. Kita masih punya waktu seminggu."

Finland mencoba menelan makanannya dengan susah payah, lalu menggeleng. "Aku mau pulang... aku tidak mau berlama-lama di sini. Setiap sudut kota ini membuatku sedih...."

"Baiklah. Aku mengerti."

Keduanya segera membereskan barang-barang mereka dan bersiap untuk pulang ke Paris hari itu juga. Suasana di perjalanan terasa sangat berbeda dibandingkan saat mereka berangkat, di mana keduanya bernyanyi gembira diiringi musik Billie Yves. Jean masih memutar musik tetapi keduanya hanya diam di sepanjang perjalanan, sibuk dengan pikirannya masing-masing.

Finland lama sekali merenungkan pilihannya. Ia sudah menceritakan semua tentang Caspar dan kaum Alchemist kepada Jean, dan ia yakin Jean tidak akan membocorkan rahasia mereka. Ia akan membangkang dan tidak akan meninggalkan Jean seperti yang diinginkan Caspar dan keluarganya. 

Ia tidak rela, karena Jean sudah dianggapnya sebagai keluarganya satu-satunya. Setelah mengetahui bahwa ayahnya ternyata sudah meninggal, hati Finland terasa seperti tertusuk sembilu dan kenyataan bahwa dirinya sebatang kara di dunia ini membuat Jean menjadi semakin penting bagi dirinya. Ia tidak mau pergi begitu saja...

Kalau Caspar benar-benar mencintainya, dia pasti bisa menerima keputusan Finland...

Ketika mereka tiba kembali di apartemen Jean ia segera membongkar kopernya dan mengeluarkan ramuan penghilang ingatan itu dari dalamnya. Dengan perasaan sedikit marah ia membuang isinya ke dalam wastafel. Kalau ia membuang obatnya, tentu Caspar tak bisa memaksanya menghilangkan ingatan Jean. Aldebar tidak ada untuk membuatkan obat yang baru. Caspar tidak punya pilihan selain membiarkan Jean...

"Apa itu?" tanya Jean keheranan.

"Obat... aku sudah tidak membutuhkannya," kata Finland. Ia lalu membuang botolnya ke tempat sampah.

"Oh..." Jean mengangkat bahu, "Wajahmu kelihatan kesal sekali tadi waktu membuang obatnya. Aku pikir ada apa..."

"Tidak apa-apa, aku masih sedih... Itu saja."

Finland memutuskan untuk tidur cepat. Kepalanya terasa berat sejak mengetahui kematian ayahnya dan ia tidak memiliki semangat untuk melakukan apa-apa. Caspar masih berusaha meneleponnya tetapi gadis itu benar-benar sedang tidak ingin bicara dengan siapa pun.

[Maaf, tolong jangan ganggu aku. Aku sedang berduka. Aku tidak ingin bicara dengan siapa pun...]

[Kalau kau sedang berduka, seharusnya aku di sana mendampingimu. Aku tahu kau minta waktu dua minggu, tapi aku tidak tahan lagi, aku mau bertemu.]

[Aku sudah membuang obatnya. Kau tak bisa memaksaku menghilangkan ingatan Jean.]

[Kita bicarakan itu lain kali. Aku besok ke Paris.]

Finland tidak membalas. Ia merindukan Caspar tetapi saat ini hatinya sedang membeku, karena ia tidak rela harus kehilangan sahabatnya demi melindungi rahasia kaum Alchemist. Apalagi ia tahu pasti Jean bukanlah orang yang akan membahayakan mereka. Kalau Caspar datang besok, Finland akan memaksanya untuk melepaskan Jean.

Keesokan harinya suasana hati Finland sedikit membaik. Ia membaca buku peninggalan ayahnya dan mencoba menyelami apa yang ada di kepala ayahnya saat menuliskan puisi-puisinya.

"Kau mau ikut ke rumah Maman untuk mengembalikan mobil?" tanya Jean setelah mereka sarapan. "Aku jarang pakai mobil jadi sengaja kutaruh di sana, biar tidak repot."

"Aku sedang tidak enak badan, maaf ya aku tidak bisa menemani..." kata Finland dengan suara menyesal. Ia sedang tidak ingin kemana-mana dan tubuhnya terasa lemah sekali. "Kepalaku pusing dan rasanya aku ingin muntah."

"Hmm... coba aku ambilkan minyak atsiri ya." Jean mengambil essential oil citrus dari kabinet dan menyerahkannya kepada Finland. "Coba usapkan di leher dan tanganmu, biar kau merasa baikan."

Finland menurutinya. "Terima kasih. Baunya enak."

"Kamu istirahat saja ya. Mau dibawakan apa dari luar? Macaroon atau glow wine atau apa?"

"Aku baik-baik saja, terima kasih. Aku hanya ingin istirahat..."

"Baiklah. Aku pergi dulu."

Finland mencoba tidur lagi tetapi ia tetap merasa tidak enak badan. Akhirnya ia mencoba kembali membaca puisi-puisi ayahnya untuk menenangkan diri.

Ia tidak mengerti puisi berbahasa Finlandia yang ditulis ayahnya, tetapi yang berbahasa Inggris cukup indah dan membuatnya sadar bahwa ayahnya adalah seorang penulis berbakat. Sungguh amat disayangkan, beliau meninggal di usia muda.

Jean kembali sore harinya dengan membawa macaroon dan glow wine untuk Finland.

"Maafkan aku agak lama," kata Jean saat masuk melalui pintu. Ia meletakkan oleh-olehnya di meja dan duduk di sofa. "Kau tidak akan percaya tadi ada penggemar yang mengenaliku dan memaksa membelikanku kopi."

"Oh ya?" Finland tertarik mendengarnya. "Seperti apa orangnya?"

"Orangnya sih cantik sekali, ia sampai terjatuh saat mengejarku, aku jadi tidak enak dan memutuskan untuk minum kopi bersamanya." Jean mengeluarkan ponselnya, "Hmm.. aku ada fotonya, tadi dia minta foto bareng pakai ponselku, lalu minta dikirim ke nomornya, karena ponselnya ketinggalan di rumah."

Jean menunjukkan sebuah foto di layar ponselnya dan seketika jantung Finland berdegup kencang.

Itu adalah foto Jean dan Famke!

Untuk apa Famke berpura-pura menjadi penggemar dan mengajak Jean minum kopi?

Apakah....

Apakah Caspar menyuruh Famke untuk memberikan obat penghilang ingatan langsung kepada Jean?

"Jean... kopi yang kau minum tadi.. Bagaimana rasanya? Apakah ada yang aneh?" tanyanya cepat.

Jean mengerutkan keningnya. "Uhmm.. tadinya aku tidak kepikiran ke sana, tapi iya, rasa kopinya sedikit aneh. Ada apa?"

"Uhmm... aku kenal perempuan ini. Aku tidak tahu kenapa ia berpura-pura menjadi penggemarmu..."

Seketika Finland menjadi gelisah. Ia tidak mengira Caspar akan berbuat sejauh ini...

"Benarkah? Siapa dia?" tanya Jean kebingungan.

"Dia adalah salah seorang pengawal Caspar. Aku curiga Caspar ingin melakukan sesuatu kepadamu..."

Seketika Jean menepuk keningnya, "Astaga, kau benar... ini perempuan yang bersama Caspar di Seattle. Aku baru ingat sekarang... Tadi aku tidak memperhatikan."

Keduanya saling pandang dengan wajah pucat.

"Ia adalah salah satu pengawal kepercayaan Caspar... pasti ia yang menyuruhnya menemuimu dan melakukan sesuatu...."

"Kenapa ia begitu?" tanya Jean.

"Dia cemburu kepadamu..."

"Kenapa dia mesti cemburu? Dia yang menikah denganmu. Seharusnya aku yang cemburu kepadanya..." omel Jean. Wajahnya jelas terlihat cemas karena ia tahu betapa berkuasanya Caspar. "Apa yang harus kita lakukan? Menurutmu gadis tadi memasukkan sesuatu ke dalam minumanku?"

"Sebaiknya kita ke rumah sakit." kata Finland setuju. "Maafkan aku... kau jadi terlibat hal begini karena aku...."

"Jangan minta maaf. Ini bukan salahmu..."

Jean buru-buru pergi ke rumah sakit bersama Finland untuk memompa perutnya agar mengeluarkan semua kopi yang tadi diminumnya bersama Famke. Finland merasa sangat bersalah. Jean tampak lemah sekali setelah diberikan obat oleh dokter dan mengeluarkan isi perutnya. Finland hanya bisa menangis kesal karena tidak dapat berbuat apa-apa.

[Kenapa kau menyuruh Famke untuk memberikan obat penghilang ingatan kepada Jean? Apakah keinginanku tidak ada artinya buatmu? Aku sudah memintamu untuk melepaskan Jean.]

Finland masih tidak mau bicara di telepon dengan Caspar karena ia takut akan marah-marah dan mengucapkan berbagai perkataan yang akan disesalinya, karena itu ia hanya meluapkan kekesalannya lewat SMS.

Caspar kembali berusaha meneleponnya tetapi Finland tidak mau mengangkat.

[Aku tidak bisa mengorbankan kaumku demi seorang Jean. Aku memang meminta Famke menukar botol obatnya, yang kau buang itu adalah obat palsu. Dari mana kau tahu bahwa Jean diberikan obat itu oleh Famke?]

[Aku tahu saja. Sungguh aku tidak bisa lagi mempercayaimu... Kau tega melakukan ini diam-diam di belakangku.]

[Finland, aku mencintaimu, tetapi aku punya tanggung jawab kepada kaumku. Kau jangan memaksaku untuk memilih. Aku pasti memilihmu, tapi aku tak bisa mengkhianati kaumku...]

[Aku tidak memintamu memilih, aku hanya memintamu untuk tidak melakukan hal sembunyi-sembunyi di belakangku. Kalau sudah begini, bagaimana aku bisa percaya bahwa kau memang menghargai keinginanku? Jangan-jangan selama ini kau juga menguntitku? Famke dan Ivan bukan hanya melindungi tetapi juga menguntitku...]

[Aku bersumpah aku tidak pernah menguntitmu, dan tidak akan pernah. Aku menghargai privasimu dan keinginanmu. Kau tidak tahu betapa beratnya mengabulkan permintaanmu itu, tetapi aku melakukannya untukmu, walaupun itu membuatku tidak menjadi orang yang menemukan ayahmu...]

[Kenapa kau mengungkit itu terus? Jean tidak memiliki akses sepertimu, tetapi ia mengerti apa yang kuinginkan dan ia mencari ayahku dengan usahanya sendiri. Kenapa kau tidak bisa mengerti bahwa bagiku perbuatannya itu sangat berharga? Tetapi kau diam-diam malah berusaha menghilangkan ingatannya... Suami macam apa kau? Hanya karena cemburu, kau tidak bisa mengerti betapa pentingnya arti Jean bagiku....]

[Kenapa kau berkata begitu? Apakah kau lebih mencintai Jean daripada aku? Apakah kau mau bersamanya? Jujurlah kepadaku.]

Finland menggeleng-geleng kesal. Kesedihannya selama beberapa hari terakhir ini berganti menjadi rasa marah karena Caspar diam-diam mencoba menghilangkan ingatan Jean. Ia mengerti kecemburuan Caspar, tetapi ia tak dapat menerima perbuatan Caspar yang mengirim Famke untuk menghilangkan ingatan Jean tanpa sepengetahuannya. Ia merasa dikhianati.

Ia mematikan ponselnya dan tidak mau lagi bicara dengan Caspar. Ia harus memastikan bahwa Jean baik-baik saja sebelum ia bisa mengambil keputusan.

"Ayo kita pulang, sebaiknya kamu istirahat di rumah..." kata Finland dengan cemas. "Aku harus memastikan kau tidak kenapa-kenapa."

Mereka pulang untuk segera beristirahat. Di sepanjang jalan Finland meremas-remas jarinya karena cemas. Ia bolak-balik menanyakan bagaimana perasaan Jean.

"Hmm... aku agak pusing sih. Semoga ini karena obat dari dokter tadi. Kita makan dulu di kafe dekat gedung sebelum pulang ya."

Finland mengangguk. Ia berharap efek dari obat penghilang ingatan itu belum mempengaruhi Jean saat perutnya dipompa tadi. Ia sangat cemas kalau terjadi apa-apa dengan Jean. Setelah makan mereka masuk ke apartemen. Sebelumnya Jean membuka kotak suratnya dan membawa surat-surat dan majalah langganannya ke dalam apartemen.

"Hei, aku lupa bilang bulan ini aku masuk cover majalah Upkeep. Masih ingat wawancara dengan jurnalis yang di Singapura dulu? Mereka menunda artikelnya, dan baru diterbitkan sekarang. Ini dia majalahnya." Jean menyerahkan salah satu majalah yang ada di tangannya kepada Finland. "Coba bacakan isinya."

Finland membuka majalah tersebut dan segera kagum melihat foto Jean di sampulnya. Pemuda itu terlihat tampan sekali. Ia segera membuka halaman 20 tempat artikel tentang Jean dimuat.

"Lho... kok ada fotoku di sini? Memangnya kita kasih izin kepada mereka untuk memuat foto ini?" Finland seketika merasa tidak enak saat menemukan beberapa fotonya bersama Jean di dalam artikel tersebut. 

Ia ingat waktu itu sang jurnalis meminta izin untuk memfoto keduanya di restoran, karena katanya Finland dan Jean tampak indah sekali. Tetapi ia tidak pernah mengatakan akan memuat foto itu.

"Mana?" Jean mengambil majalah itu dan meneliti gambarnya. "Lho... mereka tidak menghubungiku untuk minta izin menggunakan foto ini. Ini tidak boleh... Mereka seharusnya meminta izin darimu sebelum memuat fotomu begini..."

Wajahnya terlihat marah. Finland tidak pernah melihat Jean marah seperti ini. Pemuda itu segera mengeluarkan ponselnya dan berusaha menghubungi redaksi majalah, tetapi panggilannya tidak diangkat.

"Apakah mereka bisa dituntut atas pemuatan foto secara tidak sah?"

"Bisa. Aku akan menghubungi pengacaraku." kata Jean kemudian. Ia kemudian menelepon pengacaranya dan memintanya mengirimkan somasi kepada redaksi majalah Upkeep.

Finland mengamati foto-fotonya bersama Jean di dalam majalah, dan ia seketika melihat satu paragraf yang membuat hatinya berguncang.

"Kaum wanita penggemar Jean di luar sana yang ingin memiliki anak darinya bisa menghubungi bank fertilitas di Singapura dan mendapatkan donor spermanya. Kami mendapatkan informasi eksklusif bahwa beberapa tahun lalu Jean dan sahabat (atau kekasihnya?) menjual sel telur dan sperma mereka. Kami mendatangi bank fertilitas tersebut dan mendapatkan info rahasia bahwa ada pasangan yang beruntung memiliki embrio hasil dari donor keduanya dan sekarang anak itu sudah berumur 2 tahun. Kami hanya bisa membayangkan akan secantik atau setampan apa anak mereka itu karena memiliki orang tua sedemikian rupawan seperti keduanya."

Seketika kerongkongan Finland terasa tercekat. Ia benar-benar sudah melupakan masalah donor sel telur yang ia lakukan dulu, kalau tidak diingatkan Jean saat wawancara itu. Dan ia belum sempat memberi tahu Caspar apa yang terjadi... Ia tidak tahu bagaimana pendapat Caspar mendapat kejutan seperti ini...

Ugh...

Ia menyalakan ponselnya dan melihat begitu banyak pesan yang masuk. Hatinya teriris saat membaca pesan-pesan itu.

[Kenapa kau tidak membalas SMS-ku?]

[Kenapa teleponmu mati?]

[Apa yang kau inginkan?]

Lalu...

[Kenapa kau dan Jean punya anak bersama?!! Kau bahkan tidak punya anak dariku...]

Finland segera menelepon Caspar untuk menjelaskan apa yang terjadi tetapi Caspar tidak mengangkat ponselnya. Berkali-kali Finland mencoba menelepon, tetapi Caspar tetap tidak mengangkat panggilannya... Seketika hatinya dipenuhi kecemasan.

TOK!

TOK!

"Kau menunggu tamu?" tanya Finland kepada Jean. Jean hanya mengangkat bahu. Ia berjalan ke pintu dan membukanya.

"Kau...?"

Suara Jean yang keheranan segera terganti oleh pekikan Finland yang sudah melihat Famke di pintu masuk.

Next chapter