Finland dan Jean bangun pagi dan sarapan sebelum berangkat ke Colmar. Cuaca sangat bersahabat karena di sepanjang perjalanan mereka melihat langit biru yang menemani mereka. Suhu masih tetap dingin tetapi Finland sudah siap dengan jaket tebal, sarung tangan dan topi wool hadiah dari Jean.
"Kau tahu apa yang membuat perjalanan lebih asyik menggunakan mobil sendiri?" tanya Jean. Finland menggeleng. Jean tersenyum lebar lalu memencet pemutar musik di mobilnya. "Kita bisa memutar musik keras-keras dan bernyanyi bersama. Ini hadiahku yang kesebelas."
Ia memutar album terbaru Billie Yves dan seketika Finland berseru kegirangan, kemudian ikut bernyanyi di setiap lagu yang ia hafal. Wajahnya bersinar-sinar gembira.
"Yayyy... seru sekali! Ya ampuuuun... kau benar!!! Kalau kita naik kereta kita hanya bisa mendengarkan musik pakai headphone."
Keduanya dengan gembira bernyanyi di sepanjang jalan sampai suaranya serak. Setelah album terbaru selesai, Jean memutar album-album Billie Yves sebelumnya dan membuat Finland tambah kegirangan. Ia tak menyangka Jean menyimpan koleksi musik Billie Yves yang lengkap untuknya.
Ia baru menyadari betapa menyenangkannya berkendara dengan musik yang mengalun kencang dan bernyanyi bersama seperti ini. Serasa berada dalam ruang karaoke bergerak. Dalam hati Finland bertekad untuk menyelesaikan pelajaran menyetirnya dan mendapatkan SIM supaya ia bisa menyetir mobil sendiri sambil bernyanyi mengikuti lagu-lagu favoritnya.
"Aku sekarang mengerti kenapa kau memilih menyetir sendiri ke Colmar.... Ini asyik banget!" kata Finland dengan suara yang hampir habis. Ia membuka satu botol minuman dan meneguknya setengah, lalu menyerahkannya kepada Jean. "Suaraku hampir habis.... Seru sekali perjalanannya."
"Aku sudah tahu, kau pasti akan suka." Jean mengangguk.
Mereka tiba di pinggiran kota Colmar saat hari sudah sore. Jean menyewa sebuah apartemen lewat airbnb dan mereka meninggalkan koper mereka di sana sebelum mencari makan malam di pusat kota tua.
"Kota ini cantik banget, serasa masuk ke negeri dongeng..." Finland tak henti-hentinya berdecak kagum. Bangunan yang ada di Colmar mengingatkannya pada film-film dengan setting kerajaan dongeng, seperti Cinderella, Beauty and The Beast, dll.
"Besok kita jalan-jalan ke sini lagi dan ambil foto yang banyak," kata Jean ketika Finland mengeluhkan foto yang diambilnya tidak terlalu bagus karena hari sudah sore. Jean sudah memperhatikan bahwa sampai kini Finland masih memakai ponselnya yang tua, padahal pakaiannya sekarang sudah terlihat sangat mahal dan ia juga melihat betapa besar berlian yang ada di kedua jari manis Finland. "Caspar tidak membelikanmu ponsel baru yang bagus?"
Finland menggeleng. "Untuk apa? Yang ini masih bisa dipakai."
"Untuk ambil foto. Sekarang kan orang beli smartphone untuk ambil foto bagus, bukan untuk telepon saja."
"Oh..." Finland mengangkat bahu, "Aku tidak pernah minta."
"Harusnya nggak usah diminta dia mengerti sendiri," omel Jean.
"Aku bisa kok beli smartphone baru dengan uangku sendiri..." kata Finland membela Caspar. "Dia sudah memberiku sangat banyak, bahkan dia berkali-kali menyuruhku berhenti bekerja karena dia ingin aku selalu bersamanya, tapi aku yang menolak. Aku suka bekerja. Apa pun yang aku inginkan, bisa kuminta kepadanya, tapi aku belum merasa perlu ganti ponsel..."
"Baiklah kalau begitu. Kau ambil foto dengan kamera ini saja." Jean mengeluarkan sebuah kamera instax mini dari tasnya dan menyerahkannya kepada Finland. "Tadinya aku mau kasih nanti malam, tapi ternyata kau mau ambil foto sekarang. Ini untukmu, hadiah berikutnya dariku. Kau bisa mengambil foto dan langsung dicetak."
"Wahhh... dari mana kau tahu aku memang sedang ingin beli kamera ini?" tanya Finland terkesima. Sejak melihat kamera instax mini keluar tahun lalu ia memang sangat ingin memilikinya, tetapi baru akhir-akhir ini ia merasa rela mengeluarkan sedikit uang untuk membelinya, hanya saja ia belum sempat.
"Aku nggak tahu," jawab Jean. "Minggu lalu pas lagi jalan ke mall untuk beli smartphone baru aku lihat kamera ini dan ingat kamu. Karena modelnya lucu dan kamu bisa langsung mencetak fotonya, ini cocok untuk bikin kenang-kenangan selama traveling."
"Ini bagus banget!" seru Finland. Ia segera mengutak-atik kamera barunya. Ia ingat Caspar juga punya kamera polaroid yang sering digunakannya untuk mengambil foto Finland. Sekarang ia akan gantian mengambil foto Caspar kalau mereka sudah bertemu. "Coba senyum sini, Jean. Jangan lupa pakai kacamatamu."
Jean sengaja memasang ekspresi paling jelek ketika Finland memotretnya karena ia tak suka Finland mengingatkannya akan kacamatanya.
"Sudah, sana fotoin negeri dongengnya... Aku tunggu di sini." Ia memberi tanda agar Finland mencoba kameranya sementara ia berdiri menunggu di depan toko wine. Dengan gembira gadis itu menuruti saran Jean dan dalam waktu singkat ia sudah menghabiskan film di kamera barunya.
"Fotonya bagus-bagus. Serasa di negeri dongeng." kata Finland sambil mengatur foto-fotonya di meja. Mereka duduk di kafe untuk menikmati makan malam sambil Finland mengagumi hasil jepretannya. "Kau beli film lagi? Aku sudah menghabiskan isinya."
"Iya, aku beli banyak. Ada di koper, ingatkan aku nanti untuk memberikannya kepadamu."
"Asyik sekali!!"
Jean mengambil foto-foto yang diambil Finland dan mengangguk-angguk, "Fotonya bagus. Kau berbakat, lho. Nanti kau beli kamera serius dan belajar fotografi, pasti kau akan suka."
"Masa sih?" tanya Finland.
"Aku hampir seumur hidup ada di depan kamera, aku tahu mana orang yang berbakat fotografi dan mana yang nggak," kata Jean. "Pakai kamera sederhana begini saja kau bisa mengambil foto yang komposisi dan angle-nya cantik. Aku yakin kalau kau belajar fotografi dan pakai kamera yang serius, hasilnya akan jauh lebih bagus."
"Terima kasih..." Finland membenarkan dalam hati.
Dari dulu ia memang menyukai seni dan fotografi, tetapi karena fotografi adalah hobi yang sangat mahal, ia dulu tak pernah berharap bisa menekuninya. Kini, kalau ia mau, ia sudah bisa mengikuti kegiatan fotografi dengan serius. Ia ingat Caspar sudah menyuruhnya untuk meminta apa pun yang ia inginkan. Ia bisa meminta dibelikan kamera profesional dan belajar fotografi seperti yang disarankan Jean.
Ah, ada begitu banyak kemungkinan dalam hidupnya sekarang. Finland mulai mengerti bagaimana rasanya menikmati hidup. Ia bisa menekuni hobi yang ia sukai tanpa memikirkan mahalnya biaya dan menyetir mobil sambil bernyanyi mengikuti lagu kesukaan. Dulu hal-hal itu hanya khayalan saja baginya, namun kini pelan-pelan semuanya bisa menjadi nyata.
Jean memberikan sisa film yang dibelinya kepada Finland dan dengan penuh semangat gadis itu memasangkan ke kameranya. Ia sangat suka dengan hadiah terbarunya. Ia ingat Jean bilang memiliki kejutan untuknya di Colmar. Apakah kamera ini maksudnya?
"Bukan. Kejutannya akan kutunjukkan di hari terakhir," kata Jean. "Aku mau menunjukkan sesuatu kepadamu di hari terakhir kita di Colmar, sekalian jalan menuju pulang."
"Kamu kok misterius banget sih? Aku jadi penasaran..." keluh Finland. "Nanti aku nggak bisa tidur."
Jean tertawa mendengarnya. "Mau minum glow wine untuk membantumu tidur?"
"Memangnya ada?"
"Tadi aku beli red wine di toko wine sambil nungguin kamu. Aku lihat di dapur apartemen ini ada beberapa bumbu, aku bisa bikinin kita glow wine sendiri."
Jean menunjukkan resep glow wine di ponselnya. Hanya perlu air, gula, red wine, kayu manis, dan cengkih. Semuanya dimasak bersama hingga kental dan wangi.
"Ini wine favoritku!" kata Finland. "Ayo kita bikin."
Dapur apartemen sewaan mereka segera dipenuhi bau harum glow wine dan sebentar kemudian keduanya sudah duduk menikmati minuman favorit baru Finland itu. Sesudah minum dua gelas dan kerongkongannya terasa hangat, Finland akhirnya bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan kejutan misterius Jean.
Keesokan harinya mereka menjelajahi pusat kota tua dan Finland dengan antusias mengambil banyak foto cantik yang langsung tercetak dari kamera instax-nya. Setiap sudut kota Colmar tampak indah dalam jepretannya. Mereka juga naik kapal dan melintasi sungai yang terlihat seperti Venesia dan dalam hati Finland bertekad untuk kembali ke Colmar bersama Caspar suatu hari nanti.
"Aku berubah pikiran..." kata Jean tiba-tiba ketika mereka melewati toko bunga. "Aku mau menunjukkan hadiah kejutannya hari ini. Supaya kau bisa menentukan sendiri apakah kau mau tinggal di Colmar lebih lama atau besok langsung pulang."
Finland yang sedang melamun mengangkat kepalanya keheranan. Ia hampir lupa bahwa Jean mengajaknya ke Colmar untuk menunjukkan sesuatu. "Oh ya.. apa sih itu? Kau membuatnya terdengar misterius sekali."
"Kau akan lihat sendiri." Ia membeli seikat bunga dan memberikannya kepada Finland. "Ini hadiah berikutnya. Kau akan membutuhkannya."
"..."
Finland memutuskan untuk berhenti bertanya dan mengikuti saja rencana Jean. Pemuda itu membawa mobilnya keluar kota menuju perkebunan anggur yang terletak di desa-desa dari abad pertengahan. Setelah melewati bangunan-bangunan kuno, ia menghentikan mobilnya di depan sebuah gereja kecil.
"Kita sudah sampai."
Ketika keluar dari mobil, wajah Jean tiba-tiba terlihat menjadi muram. Finland yang mood-nya riang menjadi keheranan. Seketika ia menduga ada hal buruk yang terjadi.
"Bawa bunganya. Kita akan ziarah," kata Jean.
"Ziarah? Ke makam siapa?" tanya Finland keheranan. Ia tidak merasa mengenal siapa pun di Prancis selain Jean dan ibunya. Ia akhirnya keluar juga dari mobil dan membawa bunganya seperti yang diminta Jean, dengan kepala penasaran. Finland merasa Jean memang bersikap misterius sekali akhir-akhir ini.
Jean tidak menjawab. Ia menggenggam tangan Finland dan membawanya ke halaman belakang gereja. Di sana ada beberapa makam tua yang terlihat masih terurus dengan baik.
Seketika Finland mendapat firasat buruk.
Mereka berjalan ke makam yang terletak paling jauh dan separuh jalan tiba-tiba kaki Finland menolak melangkah lagi...
Tubuhnya serasa membeku ketika ia membaca tulisan yang ada di kepala nisan.
Air matanya seketika mengucur deras...
"Aku menemukannya beberapa bulan lalu..." kata Jean pelan.
"Jean...." Finland menutup kedua wajahnya dengan tangan dan menangis tersedu-sedu. "Ini nama ayahku...."
Di nisan tertulis nama Aleksis Makela. Ini adalah nama pemuda yang menjadi kekasih ibunya ketika muda sampai menjadi hamil. Namun pemuda itu menghilang dan tidak mau bertanggung jawab, membuat ibu Finland harus melahirkan dan membesarkan Finland sendirian. Ia akhirnya terkena depresi dan meninggal karena sakit saat Finland berusia 10 tahun. Finland tak pernah memaafkan ayahnya.
"Ayahmu bukannya pergi meninggalkan kalian. Ia sebenarnya ingin kembali ke Indonesia dan membawa kalian, tetapi ia jatuh sakit di sini dan meninggal," kata Jean dengan suara serak. "Sejak aku pindah ke Paris, aku berusaha mencari informasi tentang ayahmu. Baru tahun kemarin aku menemukan jejaknya, ternyata ia tidak berada di Finlandia, melainkan di Colmar. Ia mengikuti sahabatnya yang berasal dari sini untuk bekerja sambilan di ladang anggur, mengumpulkan uang agar bisa kembali kepada ibumu. Suatu kali ia terkena demam tinggi dan langsung meninggal. Ia dikuburkan di sini."
Seketika Finland menghambur ke makam ayahnya dan memeluk nisannya dengan air mata tumpah. Ia membaca tanggal kematian tertulis 24 tahun yang lalu, saat ia belum dilahirkan.
Jadi sebenarnya ia bukan anak yang dibuang ayahnya. Aleksis Makela tak pernah berniat meninggalkan Finland dan ibunya... Ia meninggal tiba-tiba sebelum dapat memberi kabar. Finland merasa sangat sedih karena selama ini ia salah menduga, dan menganggap ayahnya adalah laki-laki brengsek..
Tangisan Finland terdengar pedih sekali. Sekarang ia benar-benar yatim piatu. Ketika akhirnya ia mengetahui keberadaan ayahnya, ia harus menerima kenyataan pahit bahwa ternyata ayahnya telah terlebih dahulu meninggalkan mereka, bahkan sejak ia belum lahir.
Jean menunggu Finland dengan sabar sampai air matanya habis. Ia menepuk-nepuk punggung Finland dan memeluknya sambil berusaha menahan air matanya sendiri. Ia sudah mempersiapkan diri untuk momen ini, tetapi tetap saja ketika melihat Finland menangis demikian sedih hatinya masih terguncang.
"Aku ingin kamu tahu apa yang terjadi pada ayahmu, supaya kamu bisa memulai hidup baru dengan tenang. Tidak lagi dihantui pertanyaan kenapa kau tidak punya ayah..," kata Jean pelan. "Aku ingin kau tahu bahwa ayahmu menyayangimu dan kau berharga. Aku ingin kau menyembuhkan luka di hatimu yang selama ini menganggap kau tidak diinginkan.. Ketahuilah, ia sangat ingin pulang dan bertemu kalian... Aku ingin kau memaafkannya supaya kau bisa hidup dengan baik."
Finland mengangguk sambil terisak-isak. Ia mengambil bunga yang tadi dijatuhkannya karena syok dan menaruhnya di atas makam. Setelah air matanya kering, Finland duduk merenung lama sekali dengan pikiran yang dipenuhi kesedihan.
"Kita pulang ya, hari sudah gelap. Besok kita ke sini lagi kalau kau mau..."
Finland mengangguk pelan. Dengan susah payah ia bangkit dan berjalan limbung kembali ke mobil. Jean tahu betapa Finland akan hancur hati saat mengetahui bahwa ternyata ayahnya telah meninggal.
Itu sebabnya ia bersikeras membawa mobil sendiri karena dengan keadaan Finland yang sangat sedih pasti akan sulit bagi mereka untuk naik kereta. Berjalan ke mobil saja gadis itu harus dipapah karena ia hampir pingsan.
"Terima kasih, Jean... Ini hadiah terbaik dan terburuk yang pernah aku dapat..." bisik Finland di perjalanan pulang menuju apartemen. "Terbaik, karena kau sangat mengerti aku. Tapi ini juga merupakan hari terburuk dalam hidupku, kalau kau tidak bawa mobil aku nggak tahu bagaimana kita bisa pulang..."
Jean hanya mengangguk, tidak menjawab.