1 Bab 00

Pelangi melukis langit penuh warna, mengalihkan perhatiannya dari dataran transparan yang mengizinkannya melihat dunia hijau di bawah.

Terlalu sibuk dia menikmati wujud pecahan-pecahan cahaya itu konstan di angkasa, berusaha menerka kode warna mereka dengan tepat di dalam kepalanya.

Beruntung karena dia segera dibangunkan dari fokus yang bodoh itu sebelum dia bisa benar fokus ke sana.

"Hes." Kekasihnya berbisik di sebelah, sudah duduk agar bisa sadar lebih cepat dari Theseus yang belum juga membuka mata, sibuk berusaha mengingat warna-warna pelangi dalam mimpinya.

Sayangnya, dia tidak lagi punya waktu untuk hal semacam itu.

Jam beker di samping kasur bagian Theseus berdering, memaksanya membuka mata dan duduk segera, tidak mengambil waktu selama istrinya untuk mengumpul nyawa sebelum menggerakkan kaki ke kamar mandi demi mengikut jadwal yang sudah dia tentukan sebelumnya.

Melihat itu semua untuk yang ke sekian kalinya, Ariadne melepaskan tawa kecil untuk yang ke sekian kalinya pula sebelum menaruh pakaian mereka hari ini di atas kasur yang sudah dia rapikan.

Tidak lama setelahnya, sang suami masuk ke dalam kamar hanya dibungkus handuk untuk melihat hasil pekerjaan Ariadne, "Terima kasih seperti biasa, Ria." Dan mengungkapkan syukurnya kepada si wanita.

Mendengarkan itu, Ariadne tidak membalas. Dia hanya tersenyum lalu melangkahkan kaki untuk mengisi kekosongan kamar mandi.

Akan tetapi, "Oh, Hes." Tidak seperti Theseus yang meninggalkannya begitu saja, "Untuk bekal hari ini ...." Ariadne berhenti dan berbalik memandangi Theseus, "... bisakah aku dapat nasi gorengmu yang terkenal itu?" Untuk meminta Theseus membuat sesuatu, "Anakmu mau coba." Menggunakan alasan yang selalu dia gunakan sejak kehamilannya terdeteksi.

Tak menunggu jawaban Theseus, Ariadne melangkah pergi ke kamar mandi dengan senyum kemenangan, memberikan Theseus kesempatan berpakaian sembari menggelengkan kepala lelah, senang, dan kalah.

Setelah selesai membungkus dirinya sendiri dalam pakaian yang pantas, Theseus mulai melangkahkan dirinya sendiri ke dapur untuk memenuhi keinginan cintanya.

Kulkas dia buka, beberapa kabinet juga. Dari sana, dia mengeluarkan semua bahan yang dia perlukan untuk menciptakan nasi gorengnya.

Daging, bawang merah, daun bawang, wortel, kentang, cabai, kaldu ayam, garam, tertata rapi di meja bersama nasi dingin yang duduk manis di samping telur yang belum keluar dari cangkangnya.

Zigot di dalam bisa menunggu selamanya, menemani Theseus mencincang kecil daging, wortel, kentang, daun bawang, dan cabai di meja satu per satu sebelum akhirnya memanaskan wajannya.

Dua sendok teh minyak goreng membasahi mereka, tidak lama mendidih sendiri sebelum Theseus menjatuhkan daging dan daun bawang ke bawah untuk masak terlebih dahulu.

Setelah mencium harum dari sana, satu telur pecah dan isinya mengalir ke bawah, membanjiri wajan yang kembali meriah.

Kenop kompor Theseus putar meninggi, memanaskan api sembari mengaduk hancur telur di sana tidak membiarkan mereka menyatu. Setelah telur itu memadat, nasi dingin akhirnya ikut panas di dalam.

Theseus mengaduk, memasukkan kecap lalu garam kemudian sedikit penyedap rasa sebelum kemudian mengaduk rata hingga semuanya sama.

Sudah puas dengan hasil adukannya, dia memasukkan semua bahan yang belum masuk. Wortel, memberikan kesan oranye yang lebih menyala dari kegelapan nasi, merah cabai menemaninya, dan putih pucat kentang menghilang dimakan semua warna lainnya.

Setelah yakin mereka semua masak, kenop kompor diputar turun hingga apinya menghilang ke bawah, mengizinkan Theseus untuk dengan aman menaruh masakannya ke dalam kotak bekal tepat waktu.

Istrinya sudah selesai berpakaian, keluar dengan sedikit terburu-buru memegang kunci mobil dan tas Theseus yang sengaja dia tinggalkan di kamar.

Tidak ada pertukaran kata antara keduanya saat mata mereka bertemu, hanya ada senyuman dengan pesan maaf dari sang istri yang melempar kunci mobil ke arah Theseus yang menangkapnya gampang.

Keluar dari konter dapur, dia berjalan mendekati sang istri, memasukkan bekal itu ke tas sang wanita sebelum merebut tasnya sendiri dari tangan Ariadne.

Theseus memulai kendaraannya, "Sudah tidak melupakan apa-apa lagi, Ria?" Sembari bertanya dengan senyuman menatap Ariadne yang menggeleng.

Mempercayai sang istri, dan akan menggunakan percakapan ini agar dia tidak bisa disalahkan bila sang istri benar lupa sesuatu, Theseus memulai kendaraannya menuju tempat kerja sang istri.

Mengisi kekosongan, "Jangan lupa malam ini, Hes." Ariadne memberikan peringatan tentang rencana mereka setelah pulang kerja hari ini.

Tak lagi punya alasan untuk menghindar, "Tentu, tentu. Aku ingat, Ria sayang." Theseus hanya bisa menelan rasa tidak sukanya.

Sayangnya, Theseus tidak benar-benar pandai bersandiwara.

Dengan mudah, "Aku tahu kau tidak suka orang tuaku, Hes." Ariadne bisa membaca dirinya seperti sebuah buku terbuka.

Mendengarkan tuduhan benar dari pemilik hatinya, "Aku tidak ...." Theseus berusaha membela dirinya sendiri.

Namun, "Tapi mereka tetap orang tuaku." Ariadne memotongnya segera, "Kita belum pernah makan malam bersama mereka sejak kita menikah, Hes." Memasang mata memelas yang tidak perlu Theseus lihat untuk merasa bersalah, "Jadi, tolong." Dan mengakhirinya dengan nada memohon yang memaksa Theseus menyerah.

Membuang napas berat, "Oke." Theseus menyanggupi dengan komitmen penuh.

Tidak percaya Theseus menyerah begitu mudah setelah sekian lama, "Oke?" Ariadne mengulang jawaban Theseus dengan penuh ragu dan curiga.

Menelan tidak sukanya, "Oke, Ria. Kita akan malam dengan orang tuamu malam ini." Theseus memasang senyum terpaksa dan memperjelas dirinya sendiri.

Ariadne tentu saja bisa membaca semuanya. Segala tidak suka dan semua tidak mau yang Theseus telan ke lambungnya yang kenyang dengan benci sudah.

Dan Ariadne tidak peduli, "Terima kasih!" Dia berteriak sembari menahan diri dari memeluk sang suami yang sibuk menyetir.

Menangkap sedikit dari ekspresi dan aksi sang kekasih, Theseus ikut tertular bahagia istrinya, "Sama-sama, Ria." Dan menjawab rasa syukur cintanya dengan kejujuran yang sama.

Telah berhasil membujuk sang suami, Ariadne memindahkan topik ke banyak hal lainnya, bertanya dan berbicara secara bergantian dengan sang suami yang sama tertariknya dengan dia.

Begitu seterusnya mereka mengisi waktu hingga keduanya harus berpisah untuk sementara.

Mobil berhenti dan mulut Ria mengikuti, percakapan mereka sedang menarik untuk mereka berdua.

Apa boleh buat? Pikir Theseus sembari melemparkan senyum penuh pengertian kepada Ria yang jelas kecewa di wajahnya.

Membangunkan sang istri dari kecewanya karena dipotong, "Sampai jumpa sore ini, Ria." Theseus mengucapkan selamat tinggal sembari membuka kunci pintu mobil mereka.

Sadar dia akan terlambat absen elektronik bila terus di mobil, "Sampai jumpa sore ini, Hes." Ariadne akhirnya keluar dari sana setelah menanamkan ciuman cepat ke bibir sang suami.

Tidak lagi memiliki teman debat masalah filosofis dan membosankan, Theseus menarik napasnya panjang ke dalam kemudian membuangnya keluar beberapa kali untuk menyiapkan mentalnya demi pekerjaan yang menunggu di tempatnya bekerja.

Telepon pintarnya sudah bergetar beberapa kali, dan dia sudah bisa menebak ada masalah lagi dengan mesin kuantum bodoh di laboratoriumnya itu.

Ditambah pada fakta bahwa beberapa investor sudah mulai ingin melihat hasil dari pekerjaannya, Theseus rasanya ingin lari dari kenyataan sekarang.

Akan tetapi, dia bukan orang semacam itu, dan tidak akan pernah menjadi orang semacam itu.

Dengan keyakinan itu di dalam kepalanya, Theseus menekan pedal gas dengan kakinya dan melaju cepat ke kantornya yang tidak jauh dari sana.

Sebentar saja dia sudah parkir di halaman parkir gedung modern itu, berjalan masuk melewati lobinya berusaha mengabaikan mata yang penasaran dan penuh pertanyaan di sekelilingnya.

Dia ada pekerjaan di bawah, dan mungkin juga beberapa investor bila dia harus menebak dari fakta bahwa resepsionis di lobi memandanginya dengan sedikit rasa kasihan.

Dan jujur saja, meski Theseus tidak pernah suka dipandang kasihan oleh orang asing, dia merasa dirinya memang pantas dikasihani untuk sekarang.

Pikirannya sibuk bekerja, berusaha membalap elevator yang membawanya semakin jauh ke bawah.

Hanya ada satu pertanyaan yang harus dia jawab sekarang, pertanyaan yang sama yang terus bergema dalam kepalanya sejak dia mendapatkan surel dari perwakilan para investor itu tiga hari yang lalu.

Apa yang harus aku katakan kepada mereka?

avataravatar