webnovel

A Real Nightmare (1)

Aitkin County, Minnesota

May 1947

Setahun telah berlalu sejak World War II berakhir. Namun bukan berarti tidak ada lagi perang. 'Perang selalu ada bersama manusia,' kata Dad. Yap, nyatanya berbagai kerusuhan kecil masih terjadi di sebagian besar negara bagian. Dan Dad yang tergabung dalam US Army sering kali ikut diterjunkan untuk meredam kerusuhan. Bahkan saat ini. Dan aku berharap aku bisa ikut dengannya.

Sangat menyebalkan karena aku terlahir sebagai anak perempuan. Terlalu banyak yang tidak bisa—atau lebih tepatnya tidak boleh—dilakukan oleh anak perempuan. Mom bilang kami seharusnya bersyukur masih bisa mengunjungi Minnesota di liburan kali ini. Meski aku tidak paham bagian mana yang layak disyukuri.

Keluarga kami tinggal di sini, di Aitkin, Minnesota, sampai dua setengah tahun yang lalu. Aitkin bukan kota besar dan tidak banyak yang dapat dilakukan di sini. Terlalu banyak hutan di Aitkin, sebut saja Land O'Lakes, Hill River, Wealthwood, dan 4 hutan lainya. Dan tentu saja kau bisa menemukan banyak danau, karena Minnesota adalah "Land of 10.000 Lakes". Keluarga Dad, Wilder, mengolah sepetak lahan gandum dan peternakan. Seperti keluarga di daerah pinggiran pada umumnya. Membosankan memang, karena yang bisa kulakukan hanya membantu di peternakan, membaca buku di teras atau berkeliling sekitar ladang gandum dengan menaiki Mathew, kudaku. Aku tidak pernah tahu aku akan merindukan Minnesota seperti sekarang.

Saat liburan musim panas tiba, kami mengunjungi peternakan yang kini dirawat oleh keluarga paman. Dan liburan musim panas menjadi waktu favoritku. Hanya saat itulah aku bisa mengunjungi Mathew. Ya, kami tidak membawanya saat pindah. Aku menitipkannya pada sepupuku, Hanna. Sebenarnya sangat berat bagiku berpisah dari Mathew, tapi membawanya ikut pindah sama sekali bukan pilihan bagus.

Aku pernah membacanya di sebuah buku bahwa dulu manusia memang hidup berpindah-pindah. Dan generasi yang disebut suku nomaden itu konon sudah tidak ada lagi. Tapi kupikir buku itu salah, atau mungkin juga penulisnya melewatkan adanya sisa suku nomaden. Kurasa orang tuaku adalah bagian dari orang nomaden.

Kami pindah setiap setengah tahun sekali sejak meninggalkan Minnesota. Dari Ohio ke North Carolina, lalu ke Iowa, lalu menepi ke Michigan. Setelah itu kami melakukan perjalanan melintasi benua untuk pindah ke New Mexico. Dan kabar terbarunya, setelah liburan usai kami akan pindah lagi ke Colorado. Jika pola ini terus berulang maka kami akan menjelajah seluruh daratan Amerika saat aku lulus SMA nanti.

Aku tidak sabar untuk segera lulus SMA, untuk mencari kerja dan hidup mandiri. Aku akan pindah ke sebuah kota dengan peradaban normal dan menjalani hidup normal alih-alih mengikuti kebiasaan suku nomaden. Normal is the best, so I thought.

Bukan karena aku tidak normal, tapi keluargaku tidak normal. Masalah keturunan suku nomaden bukan satu-satunya ketidakwarasan dalam keluarga Wilder. Berkat terlalu sering berpindah, dan bukan hanya antar kota namun ke negara bagian lain, kami tidak cukup bersosialisasi. Atau setidaknya itu berlaku untukku. Aku bukan tipe ramah-sumringah-ceria dan suka membantu yang gampang bergaul dengan siapa pun. Aku hanya aku. Dan aku butuh waktu untuk mengenal orang, atau untuk membiarkan orang lain mengenalku. Dan yah, itulah mengapa berpisah dari Mathew sangat berat. Dia adalah satu-satunya temanku, secara harfiah.

Biar kuberitahu puncak ketidakwarasan dalam keluarga Wilder dan akar masalah penyebab kami meneruskan tradisi nomaden. Bukan karena Dad pindah tugas atau semacamnya. Alasan sebenarnya hanya diketahui keluarga kami, adikku, Karen.

Dia sangat istimewa. Aku bisa mengerti alasan mereka menyebut Karen yang manis dan baik hati sebagai anak istimewa. Dia lebih muda dua tahun dariku, hampir sama tingginya denganku, dengan pipi merona kemerahan dan bibir kecil meranum, serta mata dengan warna sebiru lautan, Karen lebih cantik dari boneka barbie. Ia memiliki warna rambut Mom, pirang terang lurus sepanjang pinggang. Tidak ada yang tidak istimewa darinya.

Namun seolah semua itu belum cukup, tiga tahun lalu Karen mulai membangkitkan kemampuan future vision. Ia bisa melihat masa depan orang lain. Atau setidaknya begitulah kata mereka.

Aku tidak pernah mempercayainya. Aku tahu Karen itu adikku dan aku tidak cukup istimewa untuk memberi sanggahan yang berarti. But seriously, bagaimana bisa Dad dan Mom mempercayai kemampuan itu begitu saja. Beberapa kejadian yang entah atas kebetulan apa sesuai dengan prediksi Karen diklaim sebagai bukti yang cukup untuk kedua orangtuaku. Dan inilah hasilnya, kami selalu pindah setiap kali Karen mengusulkan.

I told you, it was insane!

Tahun lalu aku mengusulkan ide agar aku bisa tetap tinggal di Minnesota, di rumah lama kami yang sekarang ditinggali paman Peter. Aku merasa cukup mampu untuk mengurus diriku sendiri. Tapi Dad dan Mom tidak mengijinkan. 'Tidak aman,' begitu kata mereka. God, aku tidak tahu apa aku masih bisa bertahan dalam ketidakwarasan ini tiga tahun lagi.

Maksudku, sungguh, bagaimana bisa aku percaya perkataan Karen? Dia sering mengatakan tentang bahaya yang akan datang, atau seseorang akan mati, atau sekelompok pria berjubah hitam mendatangi kami. Saat aku meminta penjelasan tentang siapa sebenarnya yang mengincar kami atau apa yang sebenarnya harus kami hindari sehingga terus berpindah rumah seperti sekarang, jawaban Karen benar-benar absurd. Dia menyebut tentang iblis, demon, monster, werewolf—seolah mereka benar-benar nyata saja!

Tentu saja aku tidak bisa mempercayai ucapannya yang lebih seperti mitos dan cerita fiksi belaka. Aku tidak pernah mempercayainya, hingga akhirnya semua mitos dan mimpi buruk itu menjadi nyata.

Mereka seolah datang dari balik bayangan hitam malam. Hitam, cepat, tanpa suara, menebar teror kematian ke seluruh penjuru kota.

Next chapter