2 Safe Place

Anastasia—

Kalian tahu apa hal paling menyebalkan dari di kenal banyak orang? Aku menjadi sangat sibuk dan harus kesana kemari tapa lelah, tapi itu memang resiko yang harus kuterima sejak memutuskan untuk menggeluti bidang ini. Hanya saja, kadang aku memang merasa itu sedikit menyebalkan. Hanya kadang, jadi jangan mencibirku. Semua orang pasti pernah berada berada di fase seperti yang kualami.

Ya, aku seorang model baru yang sebenarnya sudah cukup lama sejak aku memasuki dunia ini. Mungkin sekitar dua tahun yang lalu ketika pertama aku memulai, dan setelah memasuki tahun ketiga aku mulai di kenal banyak orang dan mendapatkan banyak jadwal pemotretan.

Banyak gosip dan juga rumor yang mengatakan jika aku hanya bermodalkan wajah cantik dan juga koneksi dari kedua orang tuaku untuk memulai karier ini. Kalian boleh mempercayainya, boleh juga tidak, memang seperti itu tujuan gosip, kan? Tergantung bagaimana kepercayaan kalian. Tapi, jika aku bisa memberi jawaban, ini karena kerja kerasku. Dua tahun ini benar-benar cukup sulit untukku karena aku memang memulai semuanya dari awal tanpa bantuan siapapun.

Memang aku memiliki orang tua dengan berbagai koneksi yang mereka miliki, dan aku juga cukup berada jika ingin melancarkan karierku, tapi aku menolak opsi itu. Selama aku bisa berusaha, kenapa aku harus menempuh jalan instan? Ini jujur, tapi jika kalian tetap mempercayai gosip yang beredar, aku tak bisa berbuat apa-apa.

"Nas, sebentar lagi giliran kamu, stand by, ya."

Aku segera beranjak dari kursi ruang tunggu dan mematut diriku di depan cermin lagi. Sudah rapi, dan tak ada yang kurang. Aku segera berjalan menuju set pemotretan, aku biasanya menunggu giliran pemotretanku di set pemotretan itu sendiri. Sudah menjadi kebiasaanku sejak awal menjadi model, jadi para kru tak perlu mencariku lagi.

"Kamu gugup?" tanya Mbak Nimas yang tiba-tiba sudah muncul di sampingku. Mbak Nimas ini manajerku, yang mengatur semua jadwal pemotretan dan juga orang yang paling kupercaya.

"Biasa aja, Mbak. Kenapa emang?" tanyaku balik. Ini hanya pemotretan seperti biasa, kenapa aku harus gugup?

"Partner kamu hari ini ganteng banget, kamu kenal Brian Hartono, kan?"

Brian Hartono? Siapa dia? Apa salah satu model juga? Tapi aku tak pernah mendengar namanya, atau mungkin model baru? Aku hanya menggelengkan kepalaku sebagai jawaban atas pertanyaan Mbak Nimas itu tadi.

Giliran Mbak Nimas yang menatapku horor. Memangnya aku harus tahu siapa pria ini? Aku juga hanya akan bertemu dengannya di sesi pemotretan ini saja. Belum sempat Mbak Nimas menjawab kalimatku, aku sudah di panggil untuk giliranku. Tak lama kemudian, seorang pria muda juga masuk ke dalam set pemotretan. Ini yang namanya Brian Hartono? Tampan, tapi tak cukup tampan untukku, karena aku mengenal salah satu pria tampan menurut versiku.

Dari banyaknya pria yang sudah kutemui, baik itu sesame model ataupun fotografer, atau siapapun mereka, hanya pria itu yang tertampan menurutku. Kami sudah cukup sering bertemu untuk urusan pekerjaan, dan setiap pertemuan selalu berarti banyak hal. Setidaknya untukku, karena ini hanya cinta sepihak.

Aku jatuh cinta pada pandangan pertama, dan perasaan itu mulai berkembang seiring beberapa pertemuan yang sering terjadi dan juga aku yang mulai mengetahui tentang dirinya. Hingga saat ini, perasaan itu belum hilang. Sudah sekitar satu tahun atau hampir dua tahun, karena aku sudah bertemu dengannya sejak awal-awal karier modelku.

Mungkin terdengar sangat cringey, tapi memang itu yang terjadi. Cinta satu pihak memang menyakitkan, tapi jika di nikmati, rasanya sangat membahagiakan. Kalau kalian belum pernah mencoba, mungkin ada baiknya kalian mencoba. Lain kali akan kuceritakan tentang pria ini, aku harus kembali fokus pada pemotretanku dulu saat ini agar bisa pulang lebih awal.

**

"Gimana, sih, Dean, ini masih ada putih-putihnya. Pelit banget kamu ngupas kulit semangkanya."

"Kamu potong sendiri coba, kayak kamu bisa lebih bagus dari ini aja."

"Makanya aku bilang juga apa, ngapain repot-repot beli semangka. Mending juga apel atau jeruk yang tinggal makan langsung.

"Males banget, sih, jadi cewek. Pantes jomblo gak kelar-kelar.

"Heh, ngaca dong, situ juga jomblo."

Aku keluar dari kamarku mendengar keributan yang sudah sangat familiar itu. Dean dan Tamara memang tak pernah akur barang sedetik saja, termasuk di rumahku seperti ini. Ini hari sabtu siang, dan setiap hari itu kami memiliki ritual untuk berkumpul bertiga. Entah itu di rumahku, atau apartemen Tamara. Jangan di tanya kenapa tempat tinggal Dean tak di sebutkan, pria ini walaupun sangat rapi, tapi tingkat kerapian apartemennya sungguh di atas rata-rata—read, sangat kacau.

Kali ini, rumahku menjadi tuan rumah. Jangan bayangkan kedua sahabatku ini memasak untuk makan siang kami, dapurku benar-benar akan menjadi kapal pecah jika itu terjadi. Opsi teraman hanyalah pesan antar, tapi untuk urusan pencuci mulut seperti buah ini, mereka yang membelinya.

"Kalian udah pesen makannya?' tanyaku masih dengan piama tidurku.

"Lagi otw, mandi sana abis itu makan bareng," jawab Dean.

"Aku hari ini gak ada jadwal dan aku udah cuci muka, jadi kita langsung aja. Laper banget kemarin cuman makan buah aja."

Menjadi model artinya kalian harus siap dengan berbagai macam aturan, khususnya dalam hal makanan. Mbak Nimas sangat ketat soal makanan, karena aku memang harus menjaga bentuk tubuhku. Ia akan membiarkanku untuk melakukan cheating day hanya di saat libur seperti ini, dan itu hanya terjadi bisa satu bulan sekali atau bahkan tidak ada libur sama sekali selama satu bulan itu.

Saat ini jadwalku memang sedang sangat padat. Berbagai jenis pemotretan, syuting iklan, menjadi tamu untuk beberapa acara televisi dan juga tawaran lainnya. Ya, aku sesibuk itu saat ini, berkumpul bersama sahabatku adalah waktu yang sangat berharga untukku.

"Kamu kenapa, Ra?" Aku melihat Tamara yang menatapku dengan tangan tertopang di dagunya.

"Kalian berdua cocok banget, gak ada niatan buat pacaran gitu?" ucap Tamara santai.

Kalimat itu lagi, aku bahkan sampai lelah harus menjawabnya bagaimana. Sudah berapa tahun, sih, kami bersahabat? Delapan tahun? Sembilan tahun? Kami bertemu dan menjadi sahabat akrab sejak menjadi mahasiswa baru, kami berada di Fakultas yang sama dan kami hanya berteman begitu saja, hingga saat ini.

"Sampai kapan kamu mau nanyakin itu?"

"Tamara memang gitu, Nas, otaknya sampe berdebu gara-gara nungguin cowok buat jadi pacarnya," timpal Dean.

Obrolan kami terhenti karena bunyi bel, dan dengan sigap Dean segera membukakan pintu, yang sudah pasti itu adalah kurir yang mengantarkan makanan. Tak lama kemudian, Dean sudah membawakan tiga kantong yang di dalamnya sudah pasti isinya makanan.

"Kalian pesen makan apa?" tanyaku.

���McD."

Aku mengerucutkan bibirku, walaupun cheating day tapi tetap saja McD bukan pilihan terbaik, aku sangat menentang keras makanan instan satu ini, karena aku pecinta KFC.

"Tamara bohong, Nas. Ini penyetan favorit kamu, kok. Aku udah pesenin bebek bakar favorit kamu, nih," celetuk Dean.

Tamara langsung merangkul bahuku dengan senyum jahilnya. Sudah tahu, kan, bagaimana sifat Tamara ini bagaimana? Dia memang penuh kejahilan dan kadang sangat sulit di control, liar juga dan sangat melebihi diriku untuk masalah yang satu itu. Kami adalah dua orang dengan sifat yang sangat bertolak belakang, tapi percayalah, karena sifat kami itu, kami bisa menjadi sahabat dekat hingga sekarang.

Bisa di bilang kami saling melengkapi. Tamara akan tiba-tiba mendatangiku dengan amarah jika aku menceritakan tentang keputusan yang harus aku ambil, dan aku kebingungan. Aku adalah orang yang sangat berpikir panjang sebelum memutuskan banyak hal, kadang plin plan juga, tapi aku tahu mana keputusan baik yang kumiliki.

Sedangkan Tamara, ia bisa langsung memutuskan sesuatu tanpa berpikir dua kali. Katanya otaknya tak bisa berpikir dengan baik jika ia tak segera memutuskan. Ada positif dan juga negatifnya. Positifnya, dia sangat percaya diri dan juga bertanggung jawab pada keputusannya. Negatifnya, ia sangat ceroboh dan kadang tak memikirkan hal lain lagi dan terkesan tak acuh. Motto hidupnya adalah, jangan sampai berpikir dua kali.

"Perhatian banget, sih, Dean ini. Kamu gak beliin makanan favorit aku juga?" tanya Tamara dengan wajah memelasnya.

"Kamu kenal dia, Nas?"

Pukulan keras mendarat di bahu Dean setelah ia mengatakan kalimat itu. Nanti, kalian akan lebih banyak menyaksikan perkelahian dan juga tindak kekerasan seperti ini. Jadi, ya jangan heran dan nikmati dengan sebaik-baiknya. Kami duduk di meja makan dengan makanan masing-masing.

"Gimana sama gebetan, Nas?" tanya Tamara.

Aku tersedak mendengar pertanyaan Tamara yang mendadak itu, untung aku sedang tak memakan sambal yang juga di sediakan bersama bebek ini. Hal ini juga membuatku salah tingkah, pasalnya aku tak pernah membicarakan masalah ini ketika ada Dean bersama kita. Bukan tak ingin membagi kisah ini pada Dean, hanya tak nyaman saja untukku jika menceritakannya pada Dean.

"Gebetan yang mana, nih? Kok aku gak di ceritain?"

Lihat, kan? Tamara memang harus benar-benar melakukan les pada mulut dan juga pembicaraan yang keluar darinya, karena ia sangat blak-blakan.

"Udah, ceritain aja, Nas. Cuman Dean ini, kali aja dia punya solusi buat pedekate kalian nanti." Tamara menaikturunkan kedua alisnya seperti tadi, mungkin dengan maksud ingin menggoda, tapi justru terlihat menyebalkan untukku.

"Anas lagi suka sama fotografernya, lupa pokoknya siapa namanya, aku cuman tau dia ganteng. Tapi ya gitu, sampe sekarang gak ada perkembangannya. Masa sampe sekarang mereka belum pernah jalan bareng, sekali aja gitu, gimana si mas fotografer mau tahu coba."

Tamara dan mulut berbisanya, tolong ingatkan aku untuk menyiapkan lakban jika kami sedang berkumpul seperti ini.

"Bentar, deh, aku masih belum paham. Jadi—"

"Udah, abisin dulu makanannya, nanti aku cerita," potongku. Aku memberi tatapan mematikan pada Tamara yang hanya cengengesan di tempatnya duduk. Salah apa aku hingga bisa bertemu dengan wanita ini.

**

Kembali lagi dalam episode pemotretan untuk yang kesekian kalinya. Jika kalian bertemu denganku, maka jangan heran jika lokasiku tak jauh dari pemotretan dan juga rumah. Di antara banyaknya jadwal yang kumiliki, aku lebih memilih tidur sebagai hal terbaik yang pernah kumiliki dalam hidup.

Aku tak akan mau di ajak berjalan-jalan jika hari liburku, tidur tetap yang terpenting.

Karenanya hingga saat ini, belum ada gosip hangat untukku yang mempengaruhi karier modelku. Mungkin hanya selentingan tentang koneksi yang kumiliki untuk mendapatkan pekerjaan, dan aku sangat lelah jika harus menjelaskan hal itu lagi berulang kali. Aku tak akan seperti ini tanpa bakat yang memang kumiliki. End of conversation.

"Udah siap, Nas?" tanya Mbak Nimas.

Aku hanya tersenyum dan segera bangkit dari kursiku menuju pintu. Pemotretan kali ini, aku sedang melakukan pemotretan untuk brand perhiasan yang di miliki oleh salah satu artis lokal. Dengan mengenakan cocktail dress berwarna silver serta kalung, anting, cincin serta gelang yang merupakan perhiasan yang aku iklankan kali ini.

Mataku melihat pemandangan yang sedikit familiar ketika sampai di set pemotretan. Ya, tentu saja, kamera, kru, pencahayaan dan beragam alat penunjang lainnya, aku sangat familiar dengan semua itu. Tapi, bukan itu masalahnya. Pria di balik lensa kamera itu, yang terlihat fokus dengan kamera di genggamannya. Aku tak tahu jika ia yang menjadi fotografernya kali ini.

Seketika mata kami bertemu pandang, aku terkesiap, ia tersenyum padaku dan tengah berjalan menghampiriku. Aku benar-benar tak siap kali ini, wajahku pasti sudah memerah, di tambah riasanku kali ini tak terlalu berlebihan. Pasti dia akan melihatnya jika begini.

"Apa kabar, Jani?"

Namaku Anastasia Renjani, semua orang yang mengenalku selalu memanggil dengan sebutan Anas, kadang juga Ana. Tapi pria ini, ia dengan lancangnya memanggilku Renjani, atau Jani agar lebih pendek, yang membuat kerja jantungku ekstra. Tak tahukah dia jika aku sangat lemah hanya karena panggilan Jani itu?

"B—baik, Mas. Aku gak tahu kalau Mas yang jadi fotografernya," jawabku dengan gugup.

Dia kembali menampilkan senyum itu. Ya ampun, jika tak mengingat akan menjalani pemotretan, maka aku ingin pingsan saja. Aku benar-benar tak kebal dengan pesona pria ini.

"Aku cuman gantiin aja, kebetulan fotografer yang asli punya urusan pribadi yang gak bisa dia tinggalin. Gak masalah, kan?" tanyanya.

Masalah. Sangat masalah. Aku gak siap harus menatapnya selama pemotretan ini berlangsung, walaupun ini bukan pertama kalinya. Jadi, jika kalian masih ingat obrolanku kemarin dengan Tamara tentang gebetan, pria di depanku ini adalah objek pembicaraannya. Kalau kalian masih ingat lagi dengan satu-satunya pria yang tampan menurutku, pria ini juga objeknya.

Adipati Wiryatama, aku biasa memanggilnya Mas Wira, dan orang yang mengenalnya juga memanggil dengan nama yang sama. Pertemuan terakhir kami sekitar enam bulan yang lalu, masih sama sebagai fotografer dan model. Kupikir aku tak akan bertemu dengannya lagi, tapi secara tak sengaja justru bertemu dalam keadaan seperti ini, ketika aku tak siap.

"Udah siap, kan? Kita mulai sekarang?"

Aku menganggukkan kepala dengan senyum canggung. Semua hal tentang pria ini sangat membuatku melayang. Aku tak berlebihan, karena memang itu yang kurasakan setiap kali kami bertemu, setiap kali ia tersenyum padaku, dan setiap kali ia memanggilku dengan nama Renjani. Rasanya kami sudah sangat akrab, tapi terasa jauh.

Ini cinta sepihak, karena aku menginginkannya seperti ini. Hanya memandanginya dari jauh saja sudah membuatku bahagia. Mungkin nanti, jika aku sudah siap, aku akan menyatakan perasaanku padanya. Untuk saat ini, aku lebih suka seperti ini.

**

avataravatar