webnovel

Playboy Vs Playgirl

Tamara—

Kalian tahu apa yang lebih buruk dari bertemu mantan kekasih? Bertemu mantan kekasih yang sedang menggandeng kekasih barunya, lalu memamerkan hal itu pada kalian. Lebih buruk, kan? Sangat buruk bahkan. Bukan berarti aku belum move on, aku sudah melakukan hal itu dan sama sekali tak peduli dengan kehadiran pria itu lagi, bahkan jika ia sedang menggandeng kekasih barunya sekalipun.

Aku hanya tak menyukai fakta bahwa ia bisa mendapatkan kekasih lebih dahulu, aku juga bisa melakukan hal yang sama, hanya sedang tak ingin saja. Bahkan, jika aku ingin membalasnya, aku ingin melakukannya dengan elegan. Seorang Tamara Pricillia tak boleh kalah oleh pria yang bahkan tak level untuknya.

"Ah, kebetulan sekali kita bisa bertemu seperti ini," ucapnya dengan ringan.

Kebetulan yang sangat ingin kucaci maki. Ini sama saja seperti bertemu dengan malaikat kematian di jalan, sama sekali tak bagus untuk keberlangsungan hidupmu.

"Oh, hai. Jeremy, kan?" balasku. Tak kalah ringan, dan lembut tentu saja. Tinggalkan dulu semua imej tomboiku, karena aku harus memberi pelajaran pada pria yang sedang berakting di hadapanku. "Kamu tahu, kan, kalau ingatanku buruk banget? Gak nyangka banget kita bisa ketemu di sini. Ini pacar kamu? Kok beda sama cewek terakhir yang kamu bawa kemarin?" lanjutku.

Perempuan yang sedang menggandeng lengan pria itu terlihat sedikit kaget, dan langsung melepaskan genggaman tangannya. Oke, ini akan semakin seru. Aku sangat suka menciptakan kekacauan, itulah kenapa untuk tak bermain-main dengan Tamara Pricillia. Apa pria ini pikir dia sangat spesial hanya karena pernah berpacaran dengan dirinya selama dua minggu? Yang benar saja.

Pria yang bernama Jeremy tadi segera mengejar perempuan di sampingnya yang sudah lari begitu saja. Hanya itu saja? Kupikir akan ada adegan seperti yang terjadi ftv itu, aku sangat menantikan sebenarnya.

"Siapa, Ra?" tanya seorang pria yang tiba-tiba sudah ada di sebelahku.

Itu sahabatku, Dean Rajapati. Kami sedang berbelanja makanan pokok dan sedang berada di stan buah-buahan ketika aku bertemu dengan Jeremy, mantan kekasih yang sudah kuputuskan sejak satu bulan yang lalu. Alasannya, aku hanya bosan. Jeremy adalah pria yang membosankan yang kadang membuatku keki untuk beberapa alasan. Kami hanya berpacaran selama dua minggu. Ayo, jika kalian ingin menghujat atau memakiku, akan sangat kupersilahkan. Dalam hidup, kita akan menerima hal-hal seperti itu untuk sekali atau dua kali, bahkan ada juga yang berkali-kali. Aku tipe yang terakhir.

"Jeremy, yang sebulan lalu aku putusin," jawabku.

Dean hanya menggeleng mendengar ucapanku. Kami adalah sahabat yang sangat bertolak belakang, sebenarnya aku memiliki satu sahabat lain. Nanti saja akan kuceritakan, kali ini fokus dulu berbelanja. Jika kalian bertanya-tanya, semua belanjaan ini untuk siapa, jawabannya untukku, untuk Dean juga.

Jadi, aku memiliki satu apartemen, milikku dan juga atas namaku. Di kawasan Jakarta Selatan, aku membelinya setelah aku menabung bertahun-tahun lamanya, dari awal aku masih menjadi karyawan biasa hingga tetap menjadi karyawan biasa juga. Jenjang karier di perusahaanku sangat ketat, kamu bisa naik jabatan jika memiliki koneksi dan hubungan baik dengan atasan, ada juga opsi lain dengan menjadi karyawan teladan. Tapi, tetap saja, karyawan teladan akan kalah jika tak memiliki koneksi.

Intinya, kalian harus memiliki koneksi lebih dulu. Oke, kembali ke apartemen. Apartemen itu milikku, dan sering di jadikan sebagai tempat untuk berkumpul oleh kami bertiga, lebih seringnya aku dan Dean. Anastasia Renjani, sahabat yang kumaksud tadi adalah orang paling sibuk di antara kami bertiga, karena dia juga seorang model yang sedang membangun karier, dan belakangan ini sedang tenar serta mulai banjir tawaran banyak majalah lokal.

"Ra, apel apa semangka?" tanya Dean. Ia sudah memegang apel dan semangka masing-masing di kedua tangannya.

"Apel lah, tinggal langsung makan aja soalnya."

Dean mendecakkan lidahnya. Sebenarnya, tanpa pertanyaan seperti itu pun Dean sudah sangat tahu apa pilihanku. Aku akan tetap memilih apel agar aku tak perlu mengupas dan juga memotongnya dulu sebelum makan. Praktis sudah menjadi nama tengahku, dan itu berlaku untuk semua hal yang terjadi di hidupku. Aku tak menyukai apapun yang memiliki tingkat kerumitan di atas rata-rata, aku harus memastikan semuanya dalam keadaan sederhana.

"Aku pikir kamu udah mulai suka semangka, padahal ini keliatan enak-enak banget, Ra. Liat deh, semangkanya merah-merah banget, kamu yakin tetep milih apel?" tanya Dean sekali lagi untuk memastikan.

Aku lupa jika Dean ini kebalikan dari sifatku. Jika aku menyukai sesuatu yang sangat sederhana, maka Dean sangat mencintai sesuatu dengan tingkat kerumitan tinggi. Tebak apa pekerjaannya? Ia adalah kepala tim laboraturium di perusahaan besar yang memproduksi makanan instan, aku tak perlu menyebutkan perusahaan mana, kan?

Pokoknya, Dean selalu memaksaku untuk segera menghilangkan sifat malas gerak yang kumiliki ini dan segera memiliki kehidupan yang normal. Memangnya hidupku selama ini tak normal? Dia memang selalu seperti itu, dia selalu memberikan komentar manis jika bertemu Anastasia, tapi selalu memojokkanku di berbagai kesempatan.

Jika saja aku bukan sahabat mereka, mungkin aku akan mengira jika mereka sedang berpacaran. Gelagat mereka sangat cocok untuk hal seperti itu, tak masalah juga jika mereka berpacaran di belakangku, aku akan bahagia, asal mereka memberitahuku alih-alih menyembunyikannya.

**

Ada satu hal yang sangat tak kusukai jika ini menyangkut pekerjaan yang sedang kujalani saat ini. Aku benci mengakuinya, tapi ini termasuk rahasia umum yang hampir seluruh karyawan di departemenku mengetahui hal ini. Manajer yang saat ini menjabat. Dia memang tampan, aku mengakuinya, dan hampir semua karyawan wanita di sini juga mengakuinya.

Hanya tampan, apalagi yang ia miliki? Oh, dia seniorku di kampus dulu, dan yang terpenting, dia adalah playboy most wanted di kantor ini dan juga di kampus dulu. Dia tampan, ya apalagi yang ia perlukan selain menjadi pemain wanita, karena ia juga sangat di gemari oleh banyak wanita juga.

Oh, dan ini yang terpenting. Aku pernah mengatakan jika koneksi sangat penting, kan? Jika saja aku memilikinya saat ini, mungkin aku yang akan menduduki jabatan manajer itu. Dari segi kinerja aku lebih baik, dan aku juga lebih lama bekerja di sini di banding dirinya. Hanya karena ia memiliki om yang juga bekerja di kantor ini, dan menduduki posisi penting di perusahaan, ia menjadi manajer dengan mudah.

Bayangkan betapa kecewanya aku karena kalah telak begitu saja darinya, tanpa ada perjuangan yang berarti. Ya, aku paling membenci ketidakadilan seperti ini. Itulah kenapa aku membenci pria itu yang saat ini menduduki jabatan manajer itu.

"Ra, Pak Theo mau ketemu kamu," ucap Rani.

Aku menghembuskan nafas lelah, aku tahu hari ini akan tiba karena aku yang tiba-tiba menunda menyerahkan laporan yang seharusnya sudah kuserahkan kemarin. Anggap saja ini bagian dari Tamara yang membelot semua perintah seorang manajer. Aku siap kapanpun ia ingin memecatku, aku bahkan sudah menyiapkan surat pengunduran diri di laciku yang akan kuserahkan kapanpun aku ingin.

"Kenapa? Kamu ngelakuin kesalahan lagi?" tanya Rani lagi.

"Lebih tepatnya aku yang sengaja buat kesalahan, aku udah muak banget sama Theo-Theo ini," jawabku dengan berapi-api.

Di kantor ini, hanya aku yang dengan berani menentang semua pendapat manajer di setiap rapat yang ada. Bahkan Mbak Dewi yang lebih lama bekerja di sini dariku saja tak berani melakukan itu. Memang seperti ini

Tamara yang sebenarnya, lagipula mereka yang membutuhkanku, tanpaku, pemasaran perusahaan ini sangat buruk. Aku akan mulai menunjukkan seberapa sombong diriku, agar si Theo ini juga sadar sedang berhadapan dengan siapa.

Aku bangkit dari dudukku dan membawa beberapa map di mejaku menuju ruangan Theo yang terhormat. Aku seharusnya juga membawa secangkir kopi panas untuk kusiramkan di wajah tak terlalu—tampan—itu.

Ya, aku sebenci itu padanya.

Theo ini sudah sekitar satu tahun ini menjadi manajer, dan satu tahun itu aku harus menahan kebencian ini. Jika kalian mengharapkan aku yang tiba-tiba mencintainya seperti yang terjadi di banyak drama, maka tahan keinginan itu.

"Permisi, Pak, ini laporan yang Bapak minta kemarin," ucapku. Sehalus mungkin, bahkan kalah halus dengan kulit wajahku.

"Bukankah aku memintamu untuk menyiapkan laporan ini kemarin?" tanyanya dingin.

"Saya sudah mengirimkan email yang mengatakan jika saya akan terlambat menyelesaikan laporan ini sekitar dua hari kedepan. Laporan-laporan lain yang sedang saya kerjakan juga sudah banyak menanti, di tambah dengan tugas lapangan yang ada. Itulah kenapa saya mengirimkan email konfirmasi itu, saya pikir Bapak sudah membacanya," jawabku dnegan santai.

Theo memberikan seringai kecilnya, apa maksudnya semua itu? Apa dia sedang mengejekku? "Itulah kenapa Pak Hadi sangat menyukaimu, kamu terlalu berani," ucapnya.

Apa itu pujian? Kenapa terdengar seperti sebuah hinaan? Aku jelas-jelas merasa seperti itu. Ah, ia mencoba untuk memperdayaku dengan semua kebaikannya itu. Percayalah, itu tak akan mempan untukku yang sudah sangat tangguh dan terlatih untuk situasi tertentu.

"Kamu boleh keluar, saya akan memeriksa terlebih dahulu dan akan menghubungimu jika ada kekurangan."

Tanpa mengatakan hal lain lagi, aku segera keluar dari ruangan itu, dengan wajah tertekuk tentu saja. Suasana hatiku tak pernah baik jika ini tentang Theo. Beruntung sekali, kan, pria seperti Theo itu? Tampan dan memiliki koneksi, lalu di gilai banyak wanita. Pria tampan memang selalu beruntung.

**

Seperti hari jum'at sebelum-sebelumnya, aku dan lima orang anggota kami akan makan malam bersama dan sekadar saling bertukar cerita dan keluh kesah selama satu minggu ini. Lebih tepatnya 'menggosip'. Ayolah, semua pekerja kantor pasti seperti itu. Kami melepaskan stres kami dengan cara seperti ini, dan sekarang ini sudah menjadi rutinitas kami.

"Diapain kamu kemaren sama si Theo itu, Ra?" tanya Rani.

Aku mengangkat kedua bahuku. Hampir semua orang tahu bagaimana rasa benci yang mendalam ini tertuju pada Theo.

"Padahal ya, aku udah email dia tentang keterlambatan laporan yang aku buat, tapi dia kayak gak tahu apa-apa gitu. Sampe bawa-bawa Pak Hadi buat nyindir aku, 'Itulah kenapa Pak Hadi sangat menyukaimu, kamu terlalu berani.'." aku menirukan ucapan terakhirnya sebelum mengusirku dari kantornya.

"Berani? Wah, ambigu banget emang itu bos satu," Jay menimpali.

Semua yang ada di meja itu tertawa mendengar kalimat singkat yang di ucapkan Jay. Jay ini sebenarnya salah satu teman Theo yang juga satu jurusan dengan Theo di Administrasi Bisnis, entah kenapa Jay ini bisa masuk dalam geng kami. Jangan-jangan Theo itu sengaja menyuruh Jay untuk memata-matai para bawahannya yang tak bisa ia lakukan secara langsung. Hal seperti itu bisa saja terjadi.

"Aku pikir kamu sahabat Theo," ucap Siska. Ia menopang dagu wajahnya dan menatap Jay intens, seolah Jay ini adalah mangsa terakhirnya malam ini.

Ada fakta baru yang harus kalian tahu, Siska ini pria. Namanya Samuel, tapi ia mengganti namanya dengan sukarela menjadi Siska. Ingin tahu kenapa? Sudah sejak dulu sebenarnya, ketika aku bertemu Siska ini pertama kali di kantor, ia sudah seperti ini. Tapi, aslinya ia sangat baik dan selalu nyambung jika sudah menjadi tong sampah semua curhatanku tentang pria.

"Kayaknya malam ini bakal jadi malam panjang antara Siska dan Jay, nih." Bara mengompori. Jika ada satu saja kelebihan yang di miliki Bara, maka dia adalah tukang memanas-manasi suasana. Malam ini dia lebih diam daripada sebelumnya.

Kami mulai bersorak sorai setelah tatapan panjang Siska pada Jay yang membuat pria berkacamata itu tersipu. Tersipu? For real? Kupikir Jay normal. Bercanda. Jay memang normal, Siska saja yang memang suka menggoda pria-pria di kantor. Theo juga pernah menjadi korbannya.

Oke, kenapa sejak tadi aku selalu mengaitkan semua hal dengan Theo? Efek terlalu banyak mendapatkan pekerjaan dan juga mengerjakan laporan, membuat otakku tak bisa berpikir dengan normal.

"Ra, kamu gak ada niatan buat nge-gebet Theo ini?" tanya Gita.

Jadi, kami sekarang ini jumlahnya semuanya ada enam orang. Aku, Jay, Rani, Gita, Bara, dan Siska. Ini adalah anggota tetap kami yang akan berkumpul tiap jum'at malam, tempatnya bisa berbeda-beda tergantung jumlah suara di grup.

"Kamu serius ngomong kayak gini di depan Jay?" tanyaku dengan geli.

"Aku gak se-pengadu itu kali, Tamara. Aku memang sahabatan sama Theo, tapi di sini aku jadi geng rumpi kalian, harus profesional, dong."

Aku tergelak dengan kalimat Jay, Bara pasti akan protes dengan sebutan 'geng rumpi' oleh Jay. "Heh, maksudnya geng rumpi apaan? Berasa kita lambe turah kali, ah," protes Bara.

"Sok paling laki, ye, Bar. Padahal tiap jam makan siang, nongkrongnya bareng Siska mulu," timpal Gita.

"Tapi boleh juga ide Gita tadi, tuh. Kayaknya belakangan ini Theo belum dapet cewek deh, terakhir pacaran dua bulan yang lalu," ujar Jay.

"Pas banget, tuh, kamu kapan terakhir pacaran sih, Ra? Sama siapa tuh, Tom, Jerry, siapa deh itu …"

"Jeremy," potongku.

"Nah, Jeremy. Lagian ribet banget, sih, punya nama. Aku punya kesepakatan yang bagus kalau kamu bisa macarin Theo. Kate Spade atau Hermes, sebut aja, aku bakal dengan senang hati beliin spesial buat kamu."

Aku menatap Gita dengan seksama. Aku tak suka jika sudah di tantang seperti ini, jiwa kompetitifku mendadak meronta-ronta mendengar taruhan seperti itu. Gita ini juga sudah terlahir dalam keluarga sosialita, ia bekerja hanya untuk bersenang-senang dan mengisi waktu luangnya. Jadi, aku juga tak ragu untuk berpikir berkali-kali.

"Suka, deh, kalau udah kayak gini. Kamu yakin gak mau, Ra, kapan lagi dapet barang branded gratis. Yakin, deh, itu gaji sebulan kamu juga gak bakal cukup buat beli merek begituan."

Siska dan mulut lemesnya itu yang kadang-kadang ingin kusumpal dengan tisu toilet. Aku juga tahu kalau gajiku tak akan cukup untuk membeli semua itu, kenapa harus di perjelas, sih? Aku melengos. Sebenarnya aku tinggal menjawab 'iya' saja, dan semua wajah-wajah ingin tahu itu akan menghilang. Membuat mereka bertanya-tanya juga cukup menyenangkan.

"Batas waktunya?" tanyaku.

"Take your time, sweetheart. Aku tahu gak semudah itu buat macarin Pak Bos."

"Siapin aja sih, itu blackcard kamu, Git. Jangan sampe nangis kalau kamu kalah," ejekku.

**

Next chapter