25 Ch. 25: Jenuh

"Apa tidak terlalu berbahaya mengirim dua pilar itu bersama-sama?"

Suara lelaki tinggi besar itu menggema bak guntur di kala malam, nadanya tegas membuat kesan betapa gagahnya sosok lelaki berkulit gelap tersebut semakin mantap.

"Tenang, mereka diawasi oleh Elia. Aku yakin dia bisa mengendalikan situasi bila terjadi sesuatu." Pria dengan poni biru yang melangkah di hadapannya membalas.

"Aku takut bila nanti masalah yang timbul jadi lebih dari apa yang bisa Manningfield atasi. Banyak orang menginginkan pilar perasaan, alasan mereka sendiri bermacam-macam," jabar si lelaki berkulit hitam, Syafik namanya. Anggota biro keamanan yang ditugaskan menjaga ruang bawah tanah kantor biro, tempat mereka menyimpan beberapa barang berharga hasil sitaan dari semua kegiatan biro keamanan. "Bukankah terlalu rawan menjadikan distrik itu sebagai tempat persembunyian?"

Langkah Akito berhenti, membuat Syafik tersentak untuk melakukan hal yang sama. Pria itu hanyut dalam pikirannya sendiri selama sesaat, sebelum kembali melanjutkan langkahnya sekilas tanpa berkeinginan menjawab pertanyaan Syafik sebelumnya.

"Kenapa diam?" Lelaki berkulit gelap itu menuntut, gema suara baritonnya bergaung di telinga Akito.

"Pertimbanganku atas segala resiko yang ada tidak pernah salah, Syafik. Tika dan Gunawan jauh lebih aman jika bersama di distrik itu. Setidaknya, selama ada di bawah pengawasan Elia."

Syafik mengangkat bahunya, melepas kekhawatirannya. Beberapa menit menuju ke gudang penyimpanan barang sitaan, keduanya pun sampai di pintu gudang berukuran raksasa dengan mekanisme rumit yang hanya Syafik tahu cara mengoperasikannya. Lelaki itu melintas ke depan Akito. Sebelum membuka pintu tersebut dia bertanya.

"Bagaimana dengan misi kalian?"

"Masih kami jalankan. Kami saat ini menjalankan peran masing-masing," ujar Akito tenang.

Benak Syafik bergejolak, sesuatu yang janggal membuat perasaannya gundah. Namun, bukan tempatnya memberi nasehat untuk Akito tentang caranya memimpin tim dan menyelesaikan misi. Dia bukan siapa-siapa selain penjaga gudang, bahkan bertempur pun belum sekali pun dia lakukan.

"Aku hanya berharap kalian baik-baik saja. Banyak teman-teman yang mati setiap menjalankan misi."

Lelaki besar itu tampak murung dari nada bicaranya. Akito pun tahu dari gelagatnya menghela nafas dan mengendurkan bahu Syafik sedang memasang wajah muram. Akito lantas mendekat, menempelkan tapaknya ke bahu lelaki itu dan mengumbar kata pelipur padanya.

"Elia tidak kutugaskan dalam situasi yang sekiranya tidak bisa dia atasi sendiri. Jadi jangan khawatir, sobat. Semuanya akan baik-baik saja."

Manik Syafik yang sayu melirik pada pria berponi biru itu. Dia langsung menyunggingkan senyum saat dipandang. Sedikit angin segar menerpa relung hati Syafik, kemudian dia turut tersenyum dan membalas perkataan pria itu.

"Ya, tidak ada yang perlu kukhawatirkan."

***

Harapan Gunawan tidak sesuai dengan kenyataan yang dia terima. Sudah beberapa waktu sejak Tika mengajarinya seni mistis namun pria itu masih belum juga beranjak dari frasa pertama. Gunawan sudah jengah dengan itu dan merasa waktunya untuk belajar frasa kedua, namun penilaian Tika berkata yang sebaliknya.

"Kau masih belum bisa seperti ini, lalu ini dan ini! Mana bisa belajar frasa selanjutnya!" Tika memperagakan beberapa gerakan aneh di depan Gunawan.

Pria itu memutar bola matanya, kemudian bangun dan menuju ke balkoni kamar. Dirinya berpikir kalau apa yang telah dia lakukan selama ini hanya buang-buang waktu, tidak ada gunanya.

Perasaan itu menguar melalui aura yang terpancar dari diri Gunawan. Tika, sebagai pilar perasaan memiliki kepekaan lebih terhadap hal ini pun mendekat untuk menanyakan apa gerangan yang membuat Gunawan demikian.

"Sejak aku bergabung dengan biro keamanan, rasanya aku belum melakukan sesuatu yang penting. Aku hanya berjalan kesana-kemari berpatroli bersama Akito mencari hantu, dan itu pun selalu Akito yang membereskan. Aku jenuh."

"Wah, kalau begitu Guna butuh hiburan! Aku bisa bernyanyi untuk menghiburmu, bagaimana? Tika hafal semua lagu Queen, apa Guna mau dengar Tika menyanyikan Bohemian Rhapsody?"

"Hiburan? Pfft, jangan bercanda." Gunawan tidak ingin bersenang-senang. "Aku tidak ingin kau menghiburku, aku bisa mencari kesenanganku sendiri."

Tidak ada yang Gunawan lebih sukai daripada sebotol bir di bar kesayangannya. Tentu, kehadiran Hannah disana menambah antusiasnya sebagai pelanggan setia bar tersebut. Namun, hiburan manapun tidak akan bisa mengisi satu keping yang hilang dari pribadi seorang Gunawan.

"Rasanya begitu hampa setelah aku dan keluargaku mendapat semua kemudahan ini. Aku seolah tidak perlu bekerja lagi dan tinggal duduk manis menunggu uang turun dari biro," sambungnya.

"Bukankah itu bagus? Guna hidup enak, lho!"

"Y–yah, sisi baiknya itu. Tapi, aku seperti kehilangan passionku. Atau, memang aku tidak cocok dengan pekerjaan ini?"

Passion? Tika menjadi ikut memikirkan krisis yang Gunawan alami. Gairah adalah salah satu unsur pembentuk Tika sebagai pilar perasaan, itu membuatnya terikat pada suatu hal yang sulit untuk dia lepaskan.

Hal yang membuatnya terikat itu, ialah keinginan membahagiakan orang lain dan menebar cinta serta kasih sayang pada setiap makhluk di sekitarnya.

"Kalau begitu ayo bekerja! Kita keluar dan ... dan bersenang-senang dengan pekerjaan kita!" serunya keras.

"Aku tidak merasa bisa mengembalikan semangatku dengan berpatroli dan mencari hantu."

"Bukan itu. Tika tahu itu! Tapi, Guna bilang dulu pernah melakukan pekerjaan lain, kan? Kalau itu adalah yang membuat Guna senang, maka ayo lakukan itu bersama-sama!"

Heran pada ajakan Tika, Gunawan termenung diam tak habis pikir dengan gadis berambut pink itu. Dia tidak tahu kenapa Tika tiba-tiba dengan antusias seperti itu, namun terlepas kebingungannya Gunawan merasa senang bisa melepaskan unek-uneknya.

'Kalau sama Rachel aku pasti sudah diomeli habis-habisan,' batinnya.

Lantas, Gunawan mendekat ke depan Tika dan memegang pundak gadis itu seraya menghela nafas. Ada haru dalam tarikan nafasnya, manik pria itu berbinar bahagia.

"Aku telah menemukan belahan jiwaku," kata Gunawan pada Tika. Air mata pria itu sudah hampir jatuh dari pelupuk matanya.

"Apa maksudmu?" Tika tersenyum bingung.

***

Ketika pelita malam mulai menyala, adakalanya bagi penghuni kelam muncul ke permukaan. Exodian di Neo Batavia yang lebih banyak aktif di malam hari mulai berkeliaran melakukan kegiatan masing-masing.

Bar di sekitar wilayah padat penduduk itu pun mulai menerima pengunjung dari berbagai macam kalangan–tidak hanya Exodian saja. Rata-rata adalah pelanggan setia.

Tempat biasa terisi wajah-wajah akrab yang selalu datang tak mengenal waktu; seorang pria Exodian tua yang senantiasa duduk di sudut bar, empat orang bapak-bapak setengah baya di meja bundar sebelah pintu masuk serta banyak pengunjung lainnya.

Hannah sibuk melayani mereka, malam yang melelahkan baginya. Tetapi, perempuan itu cukup senang karena dengan ini laba yang didapat semakin banyak.

"Hannah!"

Datang seorang pria mendobrak masuk dengan wajah sumringah. Siapa lagi jika bukan Gunawan, bersama pria itu adalah seorang gadis berambut pink yang mencolok.

"Gunawan? Sudah lama kau tidak datang. Kemana saja?" sapa Hannah yang kedengaran rindu.

"Aku dapat pekerjan baru, karena itu aku sibuk akhir-akhir ini."

Langkah Gunawan menuju ke meja bar begitu mantap, terasa di tiap langkah yang dia ambil sebuah kebahagiaan. Tika mengekor di belakangnya, menjadi objek tatapan para pria pengunjung bar.

Gadis itu tidak tahu arti dari senyum mereka, tersirat niat buruk di dalamnya. Tika yang membalas mereka dengan senyum pun menambah girang pria-pria itu.

"Wah, wah. Jarang-jarang kau datang bersama orang lain. Dengan perempuan pula. Siapa dia, Gun?" Hannah mendekati keduanya.

"Hoho, dia temanku. Lebih tepatnya ... rekan kerjaku. Iya, kan? Tika?"

"Tentu, tentu! Tika sekarang menjadi rekan kerja Gun, Gun!" sahutnya antusias.

Mereka mencopet bersama seharian, Tika mengagumkannya amat berbakat melakukan aksi kejahatan tersebut hanya dengan sekali melihat Gunawan melakukannya. Hasilnya, saku mereka penuh uang dan dompet. Nominal yang keduanya raup tak tanggung-tanggung lebih dari 1.000 Dollar NW.

"Oke, jadi ... mau pesan apa?"

"Aku seperti biasa. Kalau kau bagaimana Tika?" tanya Gunawan.

Gadis itu mengatakan akan minum apapun sama seperti yang Gunawan pesan. Hannah mengangguk sebelum pergi menyiapkan minuman mereka.

Keduanya bersenang-senang malam itu, menghabiskan uang yang mereka dapat pada minuman serta makanan. Tawa dan canda mereka menggema keras diantara percakapan pengunjung lain yang sama lantangnya.

Sampai Gunawan mabuk, mereka masih bersenang-senang. Sementara itu, Tika tampak tak terpengaruh alkohol yang dia konsumsi sedikit pun.

Suka cita dua kawan itu larut bersama riuh tawa pengunjung lainnya. Semua yang ada disana bahagia, tenggelam dalam tuak dan euforia karena tinggi yang mendera. Bar itu bak surga untuk mereka.

Sedang orang-orang itu menciptakan nirvana bagi diri mereka sendiri, seorang gadis bermata coklat gelap termenung dalam kegelapan di seberang jalan. Dia tampak dingin dengan sorot mata sayunya pada mereka yang ada dalam bar.

'Ini menggelikan,' benak gadis itu.

Kata-katanya seolah menjadi kenyataan beberapa saat kemudian kala angin malam bertiup menggelitik tengkuknya. Manik Elia mengedar ke belakang, menelisik lorong gelap di belakangnya dengan degup jantung yang berdebar keras.

Iris Elia melebar saat melihat tiga bayangan di dalam lorong. Energi astral menguar kuat dari arah mereka, mencekat suasana dengan ketegangan yang luar biasa.

avataravatar
Next chapter