24 Ch. 24: Belajar

Hari pertama Gunawan belajar seni mistis adalah bagaimana caranya memahami ocehan Tika yang tidak ada habisnya. Gadis itu, meski melakukan apa yang telah diperintahkan kepadanya, sama sekali tidak menjalanlannya dengan baik.

"Begini, begini. Jadi, kau hanya perlu begini lalu begini dan begini kemudian akhirnya ... foila!" Tika memukul sebuah batang kayu dan memecahkannya. "Itu caranya menggunakam frasa pertama!"

Gunawan naik pitam. "Apaan sih maksudnya?!"

Cara untuk menggunakan teknik seni mistis adalah hal mudah. Dalam komando raga, seseorang hanya perlu mengalirkan energi astral mereka ke bagian tubuh tertentu diiringi gerakan-gerakan khusus dalam menggunakan frasa pertama. Komando raga mirip dengan gerakan bela diri, namun teknik ini sebenarnya menitik beratkan kemampuan seseorang untuk menyalurkan energi astral mereka ke media tertentu.

Sementara komando pikiran ialah teknik seni mistis yang berorientasi pada kemampuan psikis seseorang. Seperti Akito yang mampu menghipnotis musuhnya, atau Gaetan yang memiliki variasi teknik telepati yang memungkinkannya membagi indra penglihatannya dengan beberapa orang.

Sedangkan komando jiwa, adalah teknik yang hanya bisa dilakukan oleh seorang pengguna seni mistis berkemampuan tinggi. Dia harus menguasai kedua teknik sebelumnya agar bisa menggunakan teknik komando jiwa.

"Tika heran sekali denganmu, kenapa sih kau belum paham juga? Padahal Tika sudah mengatakan semua yang Tika ketahui kepadamu." Gadis pink itu memasang wajah sumringah seraya menggoyang-goyangkan kepalanya bak metronome.

"Kau mengatakan semuanya sampai aku tidak bisa memahami satu hal pun! Bagaimana aku mempelajari seni mistis kalau yang kau lakukan hanya mengoceh?"

"Gunawan harusnya paham, kan Gunawan pilar sama seperti Tika!"

"Kau!" Hampir saja Gunawan melampiaskan rasa jengkelnya. Begitu dia melihat wajah polos gadis bermata bentuk hati itu, dirinya menghela nafas lantas merebahkan diri ke tumpukan kardus yang ada di belakangnya. "Baik ... lanjutkan apa yang ingin kau jelaskan lagi."

Tika girang mendengarnya, seperti ada es yang menyentak punggung gadis itu. Dia kembali mengoceh kepada Gunawan, hasilnya tetap saja seperti sebelumnya. Tak satu pun yang Tika ajarkan dimengerti oleh Gunawan, yang pria itu pahami adalah bagian dimana Tika mengatakan energi astral bereaksi terhadap tekanan fisik.

Itu artinya, untuk mengalirkan energi astral seseorang juga harus menggunakan fisik mereka. Sebagai contoh, jika Gunawan ingin mengalirkan energi astralnya ke tangan maka dia harus membuat otot di sekitar telapak tangannya berkontraksi.

Hal tersebut sangatlah mudah bagi pilar perasaan. Namun, penjelasan Tika yang panjang lebar dan berbelit membuatnya kedengaran sangat sulit.

Sementara itu, Elia tengah termenung di atas balkoni kamar Gunawan yang ditempatinya bersama Tika. Dia berusaha mengabaikan kegaduhan di belakangnya, sudah cukup Elia kehilangan jam tidur semalam karena dengkuran Tika yang luar biasa meneror setiap inci gendang telinganya.

"Aku benci pekerjaan ini ... "

Elia Manningfield, gadis 20 tahun itu baru saja lulus sekolah saat dia terjerembab ke dalam dunia kelam Neo Batavia. Saat itu, Elia baru masuk hari pertama sebagai mahasiswi antropologi Universitas Neo Batavia. Naas, kampusnya diserang oleh sekumpulan makhluk astral yang menghabisi hampir seluruh mahasiswa serta dosen yang ada.

Meringkuk dalam ketakutan, rasa cemas dan khawatir akan kematian Elia membangkitkan energi astral dalam jumlah besar akibat dari stress yang dideritanya. Sayang, akibat itu para makhluk astral yang tengah berkeliaran di sekitar Elia mengetahui keberadaannya. Beruntung, datang Akito tepat waktu untuk menyelamatkannya.

Tak butuh waktu lama bagi Akito untuk menyadari jumlah energi astral di tubuh Elia. Alhasil, dia mengajak gadis itu bergabung dengan biro keamanan dan belajar seni mistis.

Meski sempat menolak, tetapi setelah Elia sadar bila keberadaannya yang mengundang banyak makhluk astral membahayakan keluarganya gadis itu setuju dengan Akito. Di samping itu, hal lain yang mendorongnya ialah rasa hutang budinya pada pria itu.

Sampai sekarang, Elia akan melakukan apapun yang Akito suruh walau dia sendiri berat hati melakukannya. Termasuk untuk mengawasi Tika dan Gunawan selama si pilar romantika itu mengajarinya seni mistis.

"Woah! I–ini dia! Aku berhasil!"

Tawa dan seruan girang itu memancing Elia untuk mengerling ke arah dua sosok paling dibencinya saat ini. Tampaknya, setelah berkali-kali mencoba Gunawan berhasil menggunakan frasa pertama komando raga. Buktinya, sebuah papan kayu telah mengalung di pergelangan tangan Gunawan.

"Hebat, hebat! Kau berhasil Gun, Gun!"

"Woah, jadi ini rasanya menggunakan komando raga ... ehh, tidak seperti di dalam dugaanku." Wajah Gunawan berubah masam.

Ekspektasi pria itu sedikit melenceng, dia pikir akan ada sensasi luar biasa dari dalam tubuhnya saat dia berhasil mempraktekkan frasa pertama.

"Manusia memang aneh, ya?" Suara berat menggema berbisik langsung pada telinga Elia.

Manik gadis itu melirik ke kiri jauh, tidak ada apapun selain hembusan angin pagi yang masih membawa beku sisa malam kemarin.

"Kalian lebih aneh lagi. Sudah jadi hantu masih bisa bicara dengan orang hidup," balas Elia pada suara itu.

"Spirit kind itu ada dua, Elia. Spirit Kind murni dan campuran. Kami spirit kind campuran memiliki bentuk fisik seperti Exodian biasa, tapi jiwa kami akan tetap abadi seperti spirit kind murni. Jangan samakan kami dengan onggokan-onggokan daging berjalan itu."

"Hmph, kalian adalah spesimen unik yang paling kubenci setelah hantu," timpal Elia.

"Ahhh, jangan bingung membedakan. Kami adalah jenis makhluk yang sama, asal muasal kami pun mengakar dari satu sumber yang sama. Bedanya, kami spirit kind jauh lebih kuat dari mereka!"

Yang barusan bicara adalah entitas tanpa raga yang mendiami tubuh Elia, dia spirit kind yang menjalin kontrak dengannya.

Biasanya bila spirit kind telah mendiami tubuh pengontraknya mereka tidak bisa berkomunikasi dengan siapapun lagi, namun dalam kasus Elia berbeda. Gadis itu menambahkan satu kesepakatan lain dalam kontraknya dengan bayaran kebebasan sang spirit kind untuk bicara kapan saja dengannya.

"Kau kelihatan sedih, ada apa?" Si Spirit kind cukup peduli untuk menanyakan kabar Elia.

"Apa kau peduli kalau kujawab? Apa Exodian mampu mengerti perasaan kami manusia?"

"Haha, kita sama-sama tercipta dengan empati tentu kita mampu mengerti perasaan satu sama lain. Tapi, kami Exodian tidak akan pernah memahami pola pikir kalian yang rumit itu," balas si Spirit kind sedikit mengejek kompleksitas yang Elia miliki.

"Kalau begitu diamlah! Jangan campuri urusanku!" bentak gadis itu pada si Spirit kind.

Suara berat bergema tersebut tak lagi berceloteh begitu Elia melampiaskan amarahnya. Dia sadar tidak ada gunanya berdebat dengan gadis itu yang sudah pitamnya sudah naik. Si Spirit kind biarkan Elia terus mendelik kepada kedua pilar perasaan yang tengah berbising-bising dengan urusan mereka masing-masing.

"Memuakkan."

avataravatar
Next chapter