23 Ch. 23: Mahaguru

Butuh waktu dua jam bagi Gunawan untuk menjelaskan kepada adiknya. Pembicaraan mereka berlangsung cukup alot sebab Rachel terus mencecar Gunawan tentang asal-usul kedua perempuan yang bersamanya.

Rachel curiga kalau kakaknya telah 'macam-macam' di luar rumah, sehingga bersikeras menuntut kejujuran pria itu. Hingga akhirnya, sebab Gunawan gagal membujuk Rachel untuk menerima Elia dan Tika di rumahnya, si Gadis canggung pun angkat bicara.

"Nona Rachel, m–mohon tenang sebentar. Sebenarnya, k–kami berdua adalah mahasiswi fakultas antropologi Neo Batavia, d–dan k–kami bekerja sama dengan kakak anda untuk sebuah program!" tutur Elia sambil menunjukkan kartu pengenal mahasiswanya.

Skenario ini sudah direncanakan oleh Elia dan Gunawan sebelumnya, memanfaatkan latar belakang Elia sebagai mantan mahasiswi antropologi sebelum drop out karena alasan yang tidak ingin dirinya bicarakan kepada Gunawan.

Dahi Rachel menekuk beberapa lembar. "Program apa?"

Berseru dengan bersemangat, Tika menyergah sesaat Elia hendak membalas pertanyaan Rachel.

"Edukasi Seni Mistis!"

"Edukasi seni mistis?"

Panik sebab hal tersebut adalah hal yang harus dirahasiakan, Elia membungkam mulut Tika kemudian dengan gugup mengatakan kalau 'edukasi' tersebut adalah sebuah riset mengenai kaum Exodian.

Menyambung sandiwara yang Elia lakukan, Gunawan menimpalinya, "Y–yah! Dan itulah kenapa mereka akan disini sementara waktu! A–aku yang mengakomodasi tempat tinggal mereka, hahaha ..," tawa Gunawan canggung berharap sang adik percaya dengan dusta murahan miliknya.

"Kak, ikut aku sebentar."

Kompleksi Gunawan pucat seketika saat Rachel menariknya pergi ke arah dapur. Dia sengaja membawa sang kakak kesana agar Tika dan Elia tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Apa kakak tidak berpikir? Kita hanya punya dua kamar, bagaimana mereka akan tinggal disini?"

Mendengarnya membuat Gunawan menghela nafas lega. "Mereka bisa tinggal di kamarku."

"Lalu kakak tidur dimana?"

"Gudang? Ayolah, aku bisa tidur dimana saja."

Rachel mendengus, masih tak setuju dengan kakaknya yang menurutnya asal mengambil keputusan tanpa pikir ulang itu. Tetapi, Rachel melihat ada keuntungan di sisi lain kedatangan Elia dan Tika.

"Mmm, mereka tidur disini tidak gratis 'kan? Maksudku ... dalam kerja sama kalian pasti kakak mendapat 'untung' kan?"

Gunawan menekuk alisnya, membuat kernyit seolah berpikir keras kemudian mengembangkan senyum beberapa saat setelahnya.

"Iya!" Wajah Gunawan berbinar.

"Berapa banyak?"

"Sekitar 1.500 Dollar NW ... mereka disini sebulan."

Ekspresi Rachel menjadi genit, senyumnya penuh kelicikan. Dirinya menjabat tangan sang kakak sebelum mengatakan "Aku bangga pada kakak" kepadanya. Setelah itu Rachel tidak lagi mempertanyakan soal urusan Gunawan bersama Elia dan Tika.

***

Seni mistis, adalah teknik manipulasi energi astral dari dunia Exodian yang diajarkan hanya kepada Exodian terpilih. Mempelajari dasar-dasarnya cenderung mudah. Namun, cuma Exodian dengan tingkat energi astral tinggi serta mereka yang memiliki hati kuat yang dapat menguasainya.

Di dunia Exodian sebelumnya, kelompok yang mengajarkan seni mistis ialah Kultus Mata Horus dengan pemimpin mereka, Nayuma, seorang mahaguru seni mistis terkuat sebelum Akito menggusur posisinya sebagai penguasa teratas.

"Kota ini masih sama menjijikannya seperti 7 tahun yang lalu," ujar seorang Exodian berjubah biru gelap di atas sebuah gedung di wilayah tepian Neo Batavia.

Exodian itu adalah sang mahaguru seni mistis, Nayuma. Di balik jubahnya dia memiliki rupa mirip siput tanpa cangkang dengan tangan kurus serta kuku-kuku panjang.

"Jika anda merasa tidak senang dengan kota ini, kita bisa kembali Mahaguru." Di belakang Nayuma adalah salah satu muridnya, Exodian berkulit merah dengan dua mata polos tanpa pupil. Dia bernama Gaetan.

Sang Mahaguru mendecih. "Daripada meninggalkan kota ini lebih baik aku menghancurkannya saja!"

"Anda bisa melakukannya, Mahaguru."

"Ya! Tentu saja, jika saja tidak ada .... tidak ada bocah manusia sinting itu!"

Praktisi seni mistis dari kalangan Exodian semuanya mengenal julukan 'Bocah Sinting' yang Mahaguru sematkan kepadanya, siapa lagi kalau bukan Akito Kashiwagi? Fenomena aneh yang mengguncang dunia praktisi seni mistis dengan berhasil menguasai seluruh komando dalam rentang waktu 5 tahun saja.

"Apa kedatangan anda kemari berhubungan dengan Akito, Mahaguru?" tanya Gaetan.

"Ahhh, kalau itu bukan prioritasku. Ada hal lain yang membuatku ingin berkunjung ke kota terkutuk ini setelah sekian lama."

Gaetan segera memahami tujuan sang Mahaguru datang, dirinya memalingkan wajah ke arah kota Neo Batavia dengan panorama malamnya yang khas kota metropolitan tersebut. Dia menghela nafas sebelum berucap.

"Konsentrasi energi di kota ini sangat tinggi. Apakah mereka benar-benar akan muncul disini?"

"Kau buta jika masih meragukan itu, Gaetan. Mereka telah muncul ... sudah ada 6 entitas yang kurasakan hadir dalam indra rangsangku."

Semakin tinggi tingkat penguasaan teknik seorang pengguna seni mistis, semakin luas dan kuat pula kemampuannya untuk mendeteksi energi astral. Nayuma mampu merasakan energi astral dari jarak lebih dari 30 km, sementara Akito sanggup merasakannya lebih jauh lagi.

"Persiapkan dirimu, Gaetan. Kita periksa keadaan kota ini," perintah Nayuma sebelum tiba-tiba menghilang dari tempatnya berdiri.

Gaetan mengangguk setelah Mahagurunya pergi, kemudian dia melesat ke atas gedung-gedung pencakar langit ke pusat kota.

Gaetan tampak jijik dengan keadaan Kota Neo Batavia, atmosfer pengap dan suara bising disana-sini amat mengganggunya. Ditambah lagi, lingkungan yang kotor dan padat penduduk membuat Gaetan semakin enggan turun dari atas gedung.

Setelah beberapa lama melompati gedung-gedung, Exodian itu berhenti sejenak di atas atap bangunan apartemen. Dirinya berjongkok di tepi atap, sembari memperhatikan ke bawah gedung yang tingginya lebih dari 50 meter.

"Komando Pikiran: Panca netra."

Dengan teknik tersebut, Gaetan mampu membagi indra penglihatannya dengan lima makhluk lainnya. Gaetan memilih seekor tikus di trotoar di bawah gedung dan lima pejalan kaki acak yang kebetulan tengah melintas. Dia mampu melihat seluruh kejadian yang terjadi di saat yang sama di jalanan tersebut.

"Tch, pantas Mahaguru membenci kota ini. Keadaannya kumuh dan penuh dengan sampah," tutur Gaetan setelah melihat keadaan di bawah gedung.

Exodian itu hendak beranjak di saat pintu atap apartemen terdobrak dan beberapa orang keluar membawa pistol serta senjata tajam.

"Hei, siapa kau disini?" tanya salah seorang berwajah garang dengan codet di sekitar pipinya.

Diantara orang-orang yang kemungkinan adalah gangster itu, ada seorang perempuan Exodian penuh luka lebam di sekujur tubuhnya. Pakaiannya sudah compang-camping, seolah hanya bersisa sehelai kain melekat menutupi area pribadinya.

"Apa yang kalian lakukan dengan gadis itu?" Gaetan membalikkan badan.

"Bukan urusanmu. Lebih baik kau pergi saja sebelum sesuatu yang buruk terjadi padamu," tukas salah satu gangster.

"Lalu, kau akan memperlakukan gadis itu sesuka hatimu? Sebaiknya lepaskan dia."

"Hei, kuberitahu kau sobat. Lebih baik pergi dari sini selagi kami berbaik hati, kau tidak ada urusannya diantara kami atau gadis Exodian ini."

Gaetan tidak mengindahkan apa yang pria itu katakan dan tetap berada di tempatnya berdiri. Gangster-gangster tersebut mencoba mengusirnya lagi, namun Gaetan bersikeras tidak akan pergi sebelum mereka melepaskan si gadis.

"Tch, kau tuli ya?! Sudah kubilang itu bukan urusanmu!"

Gangster itu mendekati Gaetan dengan menenteng pisau. Dia menarik kerah baju Gaetan dan menyeretnya ke pintu atap apartemen.

"Jangan coba jadi pahlawan hanya karena kalian satu kaum!" bentak si gangster.

Alis Gaetan berkedut, dia teriritasi dengan perkataan si gangster. Rasisme dan persekusi antar ras memang menjadi satu masalah besar di kota Neo Batavia, tak jarang banyak perselisihan gang antar kaum yang diakibatkan karena hal tersebut.

"Manusia memang bedebah." Gaetan berujar lirih.

"Hah? Apa kau bilang—" Belum selesai gangster itu berujar, dia terbelalak ketika pandangannya tiba-tiba berputar. "A–Apa?!"

Gangster itu lebih terkejut saat suaranya tak dapat lagi terdengar, nyeri mulai merambat dari pangkal lehernya di saat yang sama. Gangster itu berusaha memegangi lehernya, namun dia tak mampu melakukan hal tersebut. Dia pun jatuh menggelinding ke atap apartemen sebelum menyadari jika tubuhnya ambruk tanpa memiliki kepala.

"M–Miguel!" Rekan si gangster terlambat menyadari.

Begitu melihat teman mereka tiba-tiba terpenggal, gangster-gangster itu segera menembaki Gaetan dengan senjata mereka. Namun, ratusan butir timah panas yang mereka tembakkan seolah tak mampu mengenai Gaetan yang hanya berdiam diri di tempat.

Gangster-gangster itu tercekat melihat Exodian di hadapan mereka. Tiba-tiba, ketakutan merasuk ke dalam sanubari manusia-manusia itu dan membuat mereka lari tunggang langgang.

Tinggal Gaetan dan si gadis Exodian berdua. Si gadis termenung takut, masih tertekan trauma atas apa yang gangster-gangster itu lakukan kepadanya ditambah aksi Gaetan yang memenggal salah satu gangster tanpa terlihat.

"Komando Pikiran: Telekinesis!"

Gaetan memejamkan mata dan menggunakan dua teknik komando pikiran yang berbeda; Telekinesis dan Panca Netra. Tak lama kemudian, beberapa teriakan terdengar dari lorong apartemen. Teriakan-teriakan tersebut berubah sunyi kala Gaetan membuka matanya sesaat kemudian.

"Kau tidak apa-apa?" Gaetan menanyai si Gadis Exodian.

"A–Aku ... " Si gadis terisak menahan tangisnya.

"Kenakan ini, lalu pergilah dari sini. Jangan sampai bertemu dengan orang-orang seperti mereka lagi."

Gaetan berpaling setelah memberi gadis itu jubahnya. Si gadis termenung diam beberapa saat sebelum dia memberanikan diri menanyakan nama Exodian itu.

Exodian berkulit merah itu hanya melirik dingin pada si gadis sebelum menjawab singkat, "Gaetan."

Dia segera pergi sebelum gadis itu kembali menanyakan lebih banyak hal.

avataravatar
Next chapter