webnovel

Ch. 22: Solusi Untuk Kekuatan Yang Tidak Terkendali

Luperto berlari, meniti jalan setapak becek penuh genangan air dan sampah berserakan. Langkah kera itu terseok-seok, luka di wajahnya memang bisa pulih tetapi adrenalin yang memacu kencang jantungnya tidak akan reda dalam waktu cepat.

Kera itu terhenti saat menemu jalan buntu di arah belokan kiri dari gang yang sedang dilewatinya. Bukan, bukan karena tembok itu yang menghalangi jalannya, namun karena disana ada dua sosok masing-masing berambut pirang dan yang satunya mengenakan penutup mata.

Si penutup mata tampak sibuk dengan gawainya, sedang si Pirang enggan mengikuti hal yang sama. Dia lebih memilih membaca sebuah buku di tangannya.

"Tuan! Saya kembali." Luperto merendahkan tubuhnya, memberi hormat kepada dua orang itu.

"Wah! Cepat juga kau kembali. Bagaimana? Sukses merebut gedung itu untuk kita?" si Pirang yang menanyai.

Luperto ragu untuk menjawab, lidahnya tercekat ketika dia hendak berucap. Tapi, dengan segenap keberanian yang kemudian dia kumpulkan Luperto lalu berujar.

"Maafkan saya, tetapi saya gagal mendapatkannya."

"Owh." Sorot mata kekecewaan perlahan tampak di kedua manik merah pemuda itu. "Kenapa?"

"Saya tidak tahu siapa namanya, Tuan. Tapi, saya yakin jika orang-orang yang menghalangi saya adalah petugas biro keamanan. Salah satu diantara mereka adalah pengguna seni mistis dan yang satunya ... "

Si Pirang mengucapkan kata "Ah" begitu mendengar penuturan tersebut. Dia langsung paham mengapa Luperto gagal melaksanakan tugas yang dia berikan.

"Hmph, kenapa orang-orang menjijikan ini begitu peduli pada suatu fiksi, sih?" si Berpenutup Kepala tiba-tiba menyeru, mengagetkan kawannya.

"Ada apa?"

"Kenapa banyak orang yang terlalu dramatis soal hal fiksi? Maksudku itu bahkan tidak nyata! Berhentilah menangisi karangan orang!"

Sedengus tawa keluar dari bibir si Pirang. Dia tak sependapat dan menyangkal pikiran temannya itu. Buku yang dia pegang si Pirang tutup dan letakkan di sisi tempatnya duduk.

"Hakekatnya sebuah karya seni dibuat untuk dinikmati. Kau tidak bisa mengkritisi bagaimana cara orang menikmati karya-karya itu."

Si Berpenutup kepala membalas, "Oh, ayolah. Lagipula semua itu hanya cerita bualan belaka. Cuma kisah khayalan yang tak ada sangkut pautnya dengan kehidupan nyata. Kau merasa logis bagi mereka terlalu emosional kepada hal semacam itu? Ayolah, bung."

"Kau tahu apa itu escapism sobat? Semua orang pernah melakukan itu. Yah, kecuali jika kau seorang 'realis' menyedihkan yang begitu ironis tidak mau menganggap dirinya pernah berchuunibyou. Hei, apa hidupmu sangat berat sampai-sampai kau tidak bisa menikmati sebuah karya fiksi?"

"Tidak, tidak. Justru karena itu karya fiksi kau tidak perlu berlarut-larut terbawa suasana—"

"Haha. Oh, apa kenyataan pahit hidup membuatmu beku kepada sesuatu seemosional itu?"

Si Berpenutup kepala tetap kukuh kepada apa yang dia percaya. Baginya, hanya orang bodoh yang terbawa suasana oleh hal tidak nyata. Itu konyol, dan aneh.

"Ya, terserah apa maumu saja sih. Yang jelas, meski kau menganggap orang-orang itu aneh ... jangan menganggap dirimu sebagai orang paling rasional. Lagipula, kenapa kau peduli pada orang yang kau anggap aneh? Bukankah itu lebih aneh lagi?"

"Itu hanya buang-buang waktu saja," timpal Luperto.

Sebuah desis keluar dari bibir si Bertopeng. Mengabaikan mereka berdua, dia kembali fokus pada gawai miliknya.

"Nah, Luperto. Bisa kau beritahu kami lebih jauh orang-orang yang menggagalkan rencana kita untuk memiliki rumah?" cakap Si Pirang mengambil bukunya.

"Baik, Tuan ... "

Luperto kemudian memberitahu tentang Akito dan Gunawan pada bosnya. Si Pirang kaget kala tahu Luperto selamat dari Akito yang memiliki reputasi besar di kalangan Exodian sebagai pengguna seni mistis terkuat terlepas rasnya adalah manusia. Tapi, ketika mendengar penuturan Luperto soal Gunawan dan kekuatan yang dimilikinya, iris si Pirang melebar penuh kegembiraan.

***

Gempar, tentu kata itu yang mewakili reaksi para petinggi dan petugas biro keamanan yang mengetahui pertarungan tim Akito melawan Luperto.

"Bagaimana bisa ada begitu banyak korban jiwa? Apa kau tidak mengevakuasi area disana?"

"Anda pikir aku tidak berusaha melakukan itu?"

Kepala Biro meneguk sendiri ludahnya, penuturan Akito membuatnya tercekat. Pria itu sebelumnya telah berusaha sebisanya memperingatkan para pejalan kaki di area pertarungan untuk menjauh, tetapi memang jangkauan jaring laba-laba Luperto terlampau luas. Akito tidak mengatakan jika Gunawan turut andil dalam korban jiwa ekstra tersebut.

"Kera itu bukan Exodian sembarangan, Pak. Aku juga heran saat dia berada di sana."

Kepala Biro kembali ke kursinya, menautkan jari seraya memijit dahi kala berusaha tenang. Kaburnya Luperto adalah satu hal yang bisa biro urus nanti, tapi korban jiwa akibat peristiwa ini bukanlah sesuatu untuk disepelekan. Nama baik biro dipertaruhkan sebagai pelindung nomer satu Neo Batavia di mata pemerintah.

"Apa kita punya informasi tentang si Luperto ini? Aku baru mendengarnya."

Aylin yang membalas pertanyaan Kepala Biro. "Tidak, Pak. Kita tidak memiliki informasi apapun yang berkaitan tentang Luperto. Kepolisian juga tidak menyimpan catatan kriminal dari individu bernama Luperto. Kemungkinan dia orang baru atau sangat rapi dalam menjalankan tindak kriminalnya."

"Aku tidak yakin kera itu secerdas yang kau katakan," sergah Akito. "Dia bukan tipe penjahat seperti itu."

"Kalau begitu kemungkinannya semakin mengerucut ke dugaanku yang pertama," timpal Aylin.

Masalah Luperto ini kemudian Kepala Biro anak tirikan, misi pencarian Pilar Perasaan tetap jadi yang diutamakan.

Untuk mencegah peristiwa yang mencoreng nama baik biro keamanan ini bocor ke ranah publik, Kepala Biro memohon-mohon pada Kementrian Keamanan guna merahasiakan semua pihak yang terlibat. Akhirnya, kepolisian lah yang menjadi kambing hitam dalam peristiwa kontroversial ini.

Hal tersebut membuat Kepala Biro menuntut Akito dan timnya menyelesaikan misi mereka sesegera mungkin karena merasa berhutang budi pada kepolisian.

Akito jujur merasa beban itu tak sedikitpun memberatkan pundaknya, sebab Gunawan lah yang membuat pria itu cemas saat ini.

"Aku khawatir bila dia tidak bisa mengendalikan kekuatannya maka Gunawan bisa membahayakan siapapun di sekitarnya. Tak peduli lawan atau kawan."

Dengan segelas cola di tangan, Akito mengutarakan kemelut dalam pikirannya pada Aylin yang duduk di sisinya. Mereka biasa bila tengah gundah akan berduaan di kursi depan toko kelontong di dekat kantor biro.

"Hmm, itulah pilar keputus-asaan. Sekali dia menggunakan kekuatannya, tindakan orang itu tidak akan bisa ditebak ... "

Sekepul asap membumbung dari puntung yang Aylin hisap, menguap begitu saja kemudian lenyap di udara malam.

"Dan tidak ada cara bagi Gunawan untuk mengendalikan kekuatannya, kau tahu itu. Apa Gunawan sudah tahu hal ini? Dan bagaimana caramu mengatasinya?" tanya Aylin menambah kernyit di dahi Akito.

"Hmmm, bagaimana, ya? Aku tidak mau mengatakan kebenarannya sekarang. Soal menanganinya, kurasa aku saat ini masih cukup untuk itu."

"Bukan, bukan begitu. Maksudku, apa solusimu untuk mengatasi kekuatan Gunawan yang tak terkendali itu?"

Akito berkata, "Aku ingin mengajarinya seni mistis. Tapi, masalahnya aku tidak punya waktu banyak untuk itu. Mungkin Gunawan bisa kuajari satu frasa komando raga, tapi kalau kuajari sampai menguasainya ... aku ragu."

Membuang asap kembali, Aylin turut merenungkan masalah kawannya. Beberapa kejap gadis itu termenung, lalu dia kembali berujar dengan buah pemikiran yang berhasil dia petik.

"Kenapa tidak kau suruh saja orang untuk melatihnya? Kirim saja Gunawan ke gurumu itu."

"Eh?! Tidak! Tidak! Lebih baik Gunawan tetap menggunakan kekuatannya daripada belajar dengan Exodian sinting itu!" tentang Akito.

Dia belajar seni mistis dari seorang guru Exodian. Proses belajar itu membuatnya sedikit trauma karena metode latihan yang digunakan terbilang terlampau cadas.

Darah dan keringat tidak cukup dipertaruhkan dalam pelatihan yang guru Akito berikan, murid-muridnya butuh mempertaruhkan nyawa mereka. Tapi, terlepas kekejaman dalam proses latihannya hasil latihan tersebut berbuah manis, buktinya adalah Akito sendiri.

"Hahaha, ada-ada saja. Kau lah pengguna seni mistis terkuat diantara semua orang, tapi kau malah masih trauma pada gurumu," kekeh Aylin.

"B–Bukan itu yang membuatku takut kepadanya!" tukas Akito dengan wajah merah.

Udara malam kian bertambah dingin, semakin cepat pula berhembus mengirim sejuk ke tulang-tulang mereka yang masih ada di luar ruangan. Satu lagi puntung rokok yang Aylin sulut, begitu pula dengan satu rokok lagi yang dia buang. Begitu siklus tersebut terus berlanjut, hingga Aylin kehabisan rokok untuk dia hisap.

"Kalau begitu perintahkan Elia. Siapa tahu dia mau." Aylin kembali mengutarakan buah pemikirannya.

Perkataan gadis itu hanya dibalas dengan sebuah kekehan dari Akito. Hanya dalam mimpi Elia mau mendekati Gunawan, apalagi mengajarinya seni mistis.

"Hmm, kalau begitu perintahkan saja si Pilar Romantika itu. Sebagai emboditas perasaan yang lahir murni dari kumpulan energi astral, tentu dia punya pengetahuan tentang seni mistis bukan?"

"Tika, ya? Umm, kenapa tidak kau saja? Kau seorang Spirit Kind, bukan?"

"Aku orang sibuk, sama sepertimu. Kalau aku punya waktu aku sudah mengajari Gunawan sejak dulu."

Usulan dari rekan kerjanya itu Akito pertimbangkan. Sekiranya, memang itu adalah hal paling baik yang bisa dia lakukan sekarang. Tidak ada hal lain lagi yang lebih baik untuk Akito putuskan, walaupun sebetulnya ide tersebut tidak terlalu bagus menurutnya.

***

Rachel berada di depan televisi, memangku Charcoal yang tidur lelap seperti bayi disana. Sesekali, Rachel melirik ke arah telefonnya mengecek setiap pesan yang masuk. Dia harap ada kabar dari kakaknya, sebab hari sudah selarut ini.

"Apa kakak mabuk-mabukan lagi, ya?" benak Rachel.

Kala sang adik sibuk mencemaskan sang kakak, seseorang mengetuk pintu rumah memecah lamunan perempuan itu.

"Tunggu sebentar!" sahut Rachel.

Dia beranjak meletakkan Charcoal dengan lembut ke atas sofa sebelum membukakan pintu bagi tamu yang datang. Rachel pikir rancu ada orang yang datang berkunjung, siapa yang mau bertamu jam setengah 12 malam begini?

Dia harap Gunawan lah yang berada di ambang pintu ketika dia membukanya.

"Halo! Selamat malam, Nyonya. Senang bertemu denganmu!"

Namun, adalah seorang perempuan berambut pink, bersama seorang perempuan 20 tahunan yang kelihatan begitu gugup. Rachel heran siapa gerangan keduanya, lantas dirinya pun menemukan sang kakak berada di belakang mereka berdua.

"Kakak? Siapa mereka?" tanya Rachel.

Gunawan bingung bagaimana untuk menjelaskan. Dia juga merasa sangat kelelahan. Jadi pria itu utarakan hal pertama yang melintas di kepalanya tanpa memikirkannya ulang.

"Uhhh, mereka ... mulai sekarang mereka akan tinggal bersama kita."

"Apa?!" Rachel melotot.

Next chapter