15 .015.Sore Mau Pulang Bareng?

William Lee, tiba di kantornya sekitar pukul tujuh empat puluh lima menit. Di mejanya telah menanti dokumen yang dimintanya kemarin dari Ronald Nasution. Dokumen setebal lebih dari lima puluh halaman.

Selama ini, asisten kepercayaannya tidak pernah mengecewakannya dalam mengumpulkan informasi yang dibutuhkannya. Termasuk yang berhubungan dengan Wilma Herdian.

William Lee mengambil tempat duduk di kursi kebesarannya. Kemudian perlahan membuka amplop coklat seukuran kertas A4. Di dalamnya berisi berbagai macam informasi tentang Wilma Herdian.

Mulai dari biodata, pendidikan terakhirnya, makanan kesukaanya, rekam medis–termasuk info alergi makanan laut, beberapa foto masa kecil Wilma Herdian yang tampak menggemaskan, hingga informasi kedua orang tua, dan kedua adiknya.

Bahkan, informasi terkait pekerjaan sang ayah terdahulu–sebelum terkena PHK, penyebab perusahaan tempat ayahnya bekerja dahulu menjadi bangkrut, hingga informasi mengenai bea siswa yang diterima oleh kedua adiknya. Yang tidak lain adalah salah satu program amal milik perusahaan sang ayah, yang dikucurkan dananya melalui perantara maskapai penerbangan swasta pertama dan terbesar di Indonesia, Majapahit Air.

William Lee membacanya dengan seksama semua informasi berharga milik Wilma Herdian hingga beberapa menit. Setelah itu, ia terlihat tersenyum licik. William Lee mendapatkan sebuah ide, yang bisa menjerat Wilma Herdian, agar jatuh ke dalam pelukannya. Dan tidak akan mampu menolaknya lagi.

William Lee, kemudian menghubungi seseorang, yang ahli di bidangnya. Memintanya mengerjakan sesuatu dengan sebaik-baiknya. Berbincang beberapa saat, kemudian mematikan sambungan teleponnya. Senyum di bibirnya semakin terkembang. Ia akan memulai semuanya dari bawah, perlahan, namun pasti.

Wilma Herdian, kamu tunggu saja. Akan kubuat kamu jatuh cinta kepadaku.

*

Kediaman Wilma Herdian.

Pukul tujuh pagi, Wilma Herdian telah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Di hari Sabtu ini, ia giliran shift pagi, bergantian libur dengan rekannya pekan lalu.

Memakan sarapannya dengan tergesa, kemudian berpamitan kepada kedua orang tuanya. Ia harus berangkat sepagi ini, jika tidak ia akan terlambat. Mengingat, harus dua kali berganti angkot.

Harus mulai terbiasa dan tidak lagi tergantung pada Andi Nugraha yang hingga detik ini belum juga menghubunginya. Wilma Herdian menebak, orang itu masih marah kepadanya.

"Kakak, tunggu sebentar," Arka Herdian memanggil sang kakak, sebelum Wilma Herdian keluar dari rumahnya.

"Ini." Arka Herdian menyodorkan benda pipih berwarna ungu kepada Wilma Herdian.

Wilma Herdian, tentu saja mengenali benda di tangan sang adik. "Kamu dapet dari mana, Ar?"

"Semalam, ada yang mengantar saat Kakak di kamar mandi."

Wilma Herdian tampak kesal, menatap benda pipih di tangan sang adik.

"Diterima ajalah, Kak. Daripada mubajir." Arka Herdian mulai tidak sabar, ia ingin segera kembali ke dalam. Ada acara televisi kesukaannya, yang sebentar lagi tayang.

Wilma Herdian pun akhirnya mengambil benda pipih ungu itu dan memasukkan ke dalam tasnya sambil berjalan meninggalkan rumahnya.

*

Pukul delapan kurang lima menit lagi, Wilma Herdian tiba di TTO. Hari ini ia berjaga bersama bang Joe. Keadaan TTO masih sepi, hingga Wilma Herdian memutuskan untuk memainkan ponsel barunya.

Bang Joe, tentu saja tahu cerita di balik ponsel baru Wilma Herdian. Kecuali, cerita semalam. Hingga akhirnya ia harus menerima dengan terpaksa ponsel barunya itu.

Pagi tadi, ia sempat mengecek halte tempat ia kehilangan ponselnya. Dan, ponsel lamanya benar-benar sudah raib.

Bang Joe tampak tertarik dengan ponsel yang ada di tangan Wilma Herdian. Seingatnya, Wilma Herdian telah mengembalikan ponsel itu kepada William Lee–kurir Majapahit Air yang menceritakan.

"Jadi, kamu berubah pikiran, Wil?" tanya bang Joe penasaran.

"Terpaksa, Bang." Wilma Herdian menghela napas.

Wilma Herdian lantas menceritakan kejadian yang dialaminya semalam. Mulai dari ia memutuskan menolak tawaran Andi Pratama untuk mengantarnya hingga halte, kemudian mendapat panggilan telepon dari nomor yang tidak dikenal–karena tidak menyimpan nomor kontak William Lee. Hingga tiba-tiba didatangi pria mabuk yang hendak mengambil tas satu-satunya milik Wilma Herdian. Mau tidak mau, ia mempertahankan tasnya.

Lalu, bagian klimaksnya, William Lee datang, dan menghajar pria mabuk itu hingga babak belur dan membawanya langsung ke kantor polisi.

Dan terakhir, William Lee memaksanya untuk menerima kembali hadiahnya. Bahkan, menitipkannya pada Arka Herdian.

"Lain kali, kalau pulang malam, minta ditemani pak Arifin atau siapa, kek, Wil. Jangan sendiri lagi." Bang Joe menasehati Wilma Herdian, karena semalam menolak ditemani Andi Pratama.

"Lagian, Andi travel MM ke mana dia? Bukannya biasa antar jemput kamu, Wil?" Pertanyaan bang Joe mengingatkan lagi akan Andi Nugraha. Dan itu membuatnya murung.

Seperti berjodoh, orang yang ditanyakan oleh bang Joe, tiba-tiba muncul dari balik pintu otomatis TTO. Berjalan begitu saja, melewati Wilma Herdian langsung menuju loket kasir.

Wilma Herdian lekas menyembunyi ponsel barunya. Khawatir Andi Nugraha semakin marah dan membencinya.

"Ndi, kamu gak antar jemput Wilma lagi?" Suara bang Joe yang tiba-tiba, membuat Wilma Herdian menatapnya tidak percaya.

Saat hendak mengatakan sesuatu, pesawat telepon berbunyi dan Wilma Herdian harus menerimanya terlebih dahulu.

Mengucapkan greeting dan sebagainya, lantas disibukan dengan reservasi dan lain-lain, sehingga tidak menyimak apa yang dua lelaki seumuran itu perbincangkan tentang dirinya. Sesekali Wilma Herdian melirik ke arah Andi Nugraha, begitu pula sebaliknya.

Wilma Herdian telah selesai menerima panggilan telepon dan duduk terdiam, saat Andi Nugraha menghampiri mejanya dan duduk di hadapannya.

"Semalam, kamu dirampok, Wil?" Pandangan Andi Nugraha terlihat melembut.

Wilma Herdian, mendengar kata 'dirampok', langsung menatap bang Joe yang tengah duduk di kursi antrian, meminta penjelasan. Yang ditatap hanya mengangkat bahu, dan mengalihkan perhatiannya pada layar televisi.

"Wil?" Panggilan lembut Andi Nugraha, membuat Wilma Herdian terkejut, karena sempat melamun.

"Gak dirampok, Kak. Cuman hampir." Wilma Herdian mengonfirmasi ucapan bang Joe yang keliru.

"Tapi, kamu gak apa-apa, kan? Ada yang nolong, gak?" Pertanyaan pertama, Wilma Herdian bisa menjawab dengan lancar. Namun, pertanyaan ke dua, ia ragu-ragu untuk menjawabnya.

"Terus, yang nolong kamu semalam, siapa?" Andi Nugraha mengulang pertanyaan dengan nada yang terdengar tidak sabar.

"Um, itu ... itu ...."

"William Lee yang nolong!" seru bang Joe. Membuat Wilma Herdian tidak bisa berkata apa-apa, kecuali diam.

Andi Nugraha menatap wajah Wilma Herdian, tidak percaya dengan jawaban bang Joe. Ia menangkap raut wajah Wilma Herdian yang tampak ketakutan.

"Syukurlah kalau ada yang nolongin." Andi Nugraha langsung beranjak dan memakai tas ranselnya.

"Sore mau pulang bareng?" tanyanya sebelum meninggalkan TTO. Pertanyaan yang membuat hati Wilma Herdian tiba-tiba saja merasa lega. Mengangguk sebagai jawaban dan tersenyum.

"Nanti aku SMS lagi."

"Kak Andi, ponsel aku hilang, terjatuh kemarin di halte."

"Aku telepon kantor kalau gitu." Andi Nugraha lalu menghilang di balik pintu otomatis TTO.

avataravatar
Next chapter