5 .005.Permintaan William Lee

Pria dengan paras oriental, terlihat keluar dari gedung perkantoran, mengenakan kacamata hitamnya. Berjalan menuju lahan parkiran.

Seorang asisten sekaligus supir pribadinya membukakan pintu untuk untuknya, yang tengah sibuk menatap layar ponselnya.

Di dalam mobil, ponselnya terhubung dengan seseorang.

"Selamat pagi, Pak Rudi," sapa pria berwajah oriental.

"Cukup basa-basinya, ada apa pagi-pagi menghubungiku?" Pria yang disapa dengan panggilan pak Rudi menyindirnya.

"Tenang, Bos. Cuma mau memuluskan jalur aja." Pria berkepala pelontos terlihat terkekeh. Membuat supir di depannya memperhatikan dari kaca spion.

"Bicara yang benar." Suara bernada ketus dari Rudi Setiawan, membuat pria yang menghubunginya di pagi hari itu, tertawa.

"Bantu aku membujuk salah satu karyawanmu." Pria di seberang telepon sana mendesah.

Seharusnya ia tahu, jika salah satu pelanggan VVIP sekaligus sahabat rasa saudara memanggilnya dengan sebutan 'pak', pastilah pria itu menginginkan sesuatu darinya.

"Dia masih karyawan baru, percobaan tiga bulan. Jangan macam-macam dengannya, Will." Ancaman Rudi Setiawan tidak main-main. Bisa saja ia melaporkan tingkah laku tidak menyenangkan William Lee kepada ayahnya, Thomas Lee.

William Lee tertawa. "Ah, kau tahu siapa yang kuincar rupanya."

Bukan tebak-tebakan buah manggis. Rudi Setiawan sangat memperhatikan bawahannya. Ia memimpin TTO cabang Bogoria dengan prinsip kekeluargaan. Selalu berusaha dekat dengan para karyawan yang menjadi bawahannya.

Setiap keluhan, kesulitan para karyawan, hampir Rudi Setiawan ketahui. Ia meminta karyawannya untuk selalu terbuka, agar hubungan antar karyawan menjadi harmonis, dan kompak.

Perilaku tidak biasa William Lee selama dua bulan ini pun tidak luput dari pengamatannya. CEO arogan yang selalu ingin dilayani dalam setiap sektor kehidupannya, tiba-tiba rela mengunjungi TTOnya untuk mengambil tiket pesawatnya sendiri. Tidak lagi merepotkan asisten pribadinya, Ronald Nasution, untuk mengambilnya. Bahkan mengurus perkara refund tiket, Ronald Nasution yang mewakilkannya.

Siapa lagi yang bisa merubah kebiasaannya, jika tidak ada magnet yang menariknya untuk datang? Bukan sekedar kunjungan sebagai relasi atau sahabat, bahkan William Lee jarang terlihat memasuki ruangannya di lantai tiga gedung TTO itu untuk menyapa kawan lama.

***

William Lee datang ke TTOnya bertepatan dengan salah satu cabang maskapai penerbangan Majapahit Air menerima karyawan baru. Dan Wilma Herdian, satu-satunya karyawan wanita yang baru saja menandatangi kontrak kerja–setelah dua pekan sebelumnya mengikuti pelatihan sistem di kantor pusat–dan ditempatkan di TTO cabang Bogoria. Bersama dua karyawan laki-laki.

Saat itu hari perayaan bagi maskapai penerbangan Majapahit Air, meresmikan gedung baru, yang akan menjadi kantor cabang di Bogoria selanjutnya.

William Lee sebagai salah satu pelanggan VVIP terlama–sejak maskapai itu baru mulai merintis dengan penerbangan pertamanya ke Tanjung Pinang–sudah barang tentu mendapatkan undangan kehormatan untuk menghadiri acara gunting pita.

Wilma Herdian yang hanya membantu membawakan gunting di atas nampan, untuk digunakan oleh pemilik maskapai penerbangan Majapahit Air–Aaron Luo, memotong pita merah sebagai simbol peresmian gedung baru akan mulai beroperasi, telah mencuri perhatian William Lee.

Pria yang dikenal memiliki selera tinggi terhadap kriteria wanita–cantik, langsing, putih, tinggi semampai–tiba-tiba begitu tertarik dengan gadis polos seperti Wilma Herdian, tidak cantik–meski tidak jelek, kulit sawo matang, tinggi sekitar seratus lima puluh delapan sentimeter saja. Meski tidak memiliki tubuh ramping bak model–selera William Lee, tubuhnya tidak termasuk gemuk juga. Bisa dikatakan proposional. Hanya itu.

Tidak ada kelebihan pada fisik seorang Wilma Herdian, yang ternyata mampu membuat William Lee tidak bisa mengalihkan pandangannya.

Ke mana Wilma Herdian melangkah, pandangan William Lee selalu mengikutinya. Sementara yang dipandangnya, tidak merasakannya. Berkumpul dengan rekan-rekan sesama wanita, tertawa, bercanda, menikmati hidangan perayaan. Sama sekali tidak memperhatikan pria di ujung ruangan sedang bertanya perihal dirinya.

***

"Jadi bagaimana, Bos? Pinanganku diterima?" William Lee menuntut jawaban Rudi Setiawan.

"Aku tidak punya anak wanita, bahkan aku belum menikah. Kalau pun aku menikah, dan punya anak wanita. Tidak akan kuserahkan padamu!" Jawaban telak Rudi Setiawan.

Sindiran sarkas tidak akan mempan bagi William Lee. Ia akan menanggapinya dengan tenang.

"Ayolah, aku pinjam karyawan barumu itu." William Lee mulai membujuk.

"Wilma bukan barang yang bisa kau pinjam. Dan tidak. Aku tidak mengijinkan kau mendekatinya." Rudi Setiawan menjawab dengan tegas tanpa ragu.

"Aku tahu kebiasaanmu. Mencari wanita-wanita baru untuk menghangatkan ranjangmu," lanjutnya sengit.

"Oh, Bos, kau menyakiti hatiku."

Rudi Setiawan terbahak. "Kau punya hati, William Lee?"

"Hei!! Jika aku tidak punya hati, bagaimana tubuhku bisa menetralkan racun." William Lee mulai terlihat tidak sabar.

Mobil yang dikendarainya telah tiba di gedung kantornya. Ronald Nasution memarkirkan Maybach tuannya di tempat biasa.

William Lee turun dari mobil mewahnya, dengan ponsel masih menempel di telinganya. Berjalan menuju lift pribadinya.

"Ayolah Rud, hanya menemaniku makan siang. Tidak lebih. Jangan membuatku mati memohon padamu." William Lee menunggu asisten setianya menekan tombol di samping lift. Menunggunya beberapa saat. Kemudian mereka masuk bersama ke dalam lift.

"Hanya makan siang?"

"Ya."

"Tidak lebih?"

"Hei, sejak kapan aku tidak menepati janji?" William Lee sengaja terdengar tersinggung.

Pintu lift terbuka. William Lee dan Ronald Nasution keluar dari lift langsung menuju ruangan CEO di lantai teratas gedung.

"Awas kalau ternyata Wilma kedapatan hamil, sebelum masa percobaannya habis."

William Lee tertawa. "Kami akan main aman–" William memerhatikan layar ponselnya.

Seketika Rudi Setiawan mematikan sambungan teleponnya. William Lee, kau benar-benar tidak berubah!

Terdengar suara nada sambung. William Lee menanti dengan sabar.

Dua kali.

Tiga kali.

Lima kali.

"Aku tidak akan menyerahkan karyawanku untuk menjadi mangsamu!" Rudi Setiawan menerima sambungan telepon dengan gusar. Mengeraskan rahangnya.

"Tenang, Bos. Aku hanya becanda. Ke mana selera humormu?"

"Sudah kubuang ke laut, sejak kau mengincar karyawanku!" ketus Rudi Setiawan.

"Ambil lagilah. Oke, aku ikuti syaratmu. Asal kau bantu aku, bujuk Wilma menemani makan siang."

"Tidak ada kontak fisik. Simpan pesonamu untuk wanita lain. Jangan merayunya, apalagi mempermainkannya." Rudi Setiawan menyebutkan syarat-syarat yang harus William Lee taati.

"Waktumu hanya hingga jam satu siang. Jangan coba-coba membuka kamar. Atau aku akan buat perhitungan dengan ayahmu."

"Oke." William Lee menyanggupi.

"Jaga dia baik-baik. Dia membutuhkan pekerjaan ini. Harus lulus masa percobaan selama tiga bulan." Rudi Setiawan mengingatkan.

"Tenang. Jika Wilma gagal di kantormu. Dia bisa kuangkat sebagai sekretaris pribadiku. Bayarannya cukup ba–"

Lagi-lagi, Rudi Setiawan mematikan secara sepihak sambungan teleponnya. Pagi-pagi sudah membuat kesal. Apa tidak ada pekerjaan yang dikerjakan CEO gila itu?

William Lee kembali menghubunginya.

Satu kali nada dering, langsung Rudi Setiawan terima. Percuma menghindari CEO yang ambisius. Ia akan terus berusaha hingga keinginannya tercapai

"Oke, aku serius, Bos. Aku terima syaratmu. Bantu aku bujuk Wilma menemaniku makan siang." William Lee serius kali ini.

"Aku pegang kata-katamu. Jika tidak, aku buka rahasiamu pada ayahmu." Rudi Setiawan langsung mematikan sambungan telepon, sekaligus mematikan ponselnya.

CEO dingin, arogan, mengapa begitu terobsesi pada Wilma Herdian? Padahal ia bisa mendapatkan wanita mana pun yang ia inginkan selama ini. Tanya Rudi Setiawan dalam pikirannya.

***

Refund tiket: adalah pengembalian sejumlah uang yang akan Anda terima atas pembatalan pemesanan penerbangan yang bersifat bisa di-refund, serta tergantung pada kebijakan yang berlaku. Permohonan refund yang telah diajukan tidak dapat dibatalkan.

avataravatar
Next chapter