12 .012.Mengembalikan Kepada Pengirimnya

"Ibu, tenang saja. Wilma gak akan bikin Ibu atau ayah malu." Wilma Herdia mengatakan ini dengan penuh keyakinan. Ia sangat yakin bisa menjaga diri.

"Apa yang bikin ayah malu?" Tiba-tiba suara sang ayah terdengar dari arah pintu. Bagas Herdian baru saja pulang dari tempat ibadah, bersama Arka Herdian.

"Tidak ada, Ayah," jawab Wilma Herdian singkat.

Pandangan sang ayah tertuju pada kotak berbentuk balok di tangan istrinya. "Apa itu, Bu?"

Bagas Herdian tanpa banyak berbicara, mengambil kotak itu dan memeriksa isinya. Kartu ucapan masih tersimpan rapi di dalam amplop lembayung. Tangan sang ayah terlihat bergerak untuk mengeluarkan isi dari dalam amplop.

Wilma Herdian tertunduk pasrah. Apa pun yang akan terjadi. Terjadilah.

"Apa dia kekasihmu, Wilma?" Pertanyaan sang ayah yang terdengar lembut, membuat Wilma Herdian tercengang.

Bukan hanya Wilma Herdian yang terkejut dengan pertanyaan Bagas Herdian, akan tetapi Adelia Hamid pun merasa aneh. Mengapa tiba-tiba suaminya terdengar melunak.

Wilma menggeleng pelan. "Bukan Ayah. Bukan siapa-siapa. Hanya pelanggan istimewa di Majapahit Air. Dia tahu bulan lalu Wilma ulang tahun dan memberikan itu."

"Hari ini, Wilma akan kembalikan hadiah itu, Ayah," lanjutnya.

"Berapa usianya?"

Ada apa dengan ayahnya ini? Untuk apa menanyakan usia? Sejak di-PHK ayahnya banyak berubah. Sebulan yang lalu tiba-tiba mengijinkan untuk pertama kalinya, jalan keluar–tanpa kepentingan darurat–bersama laki-laki, meski orang itu adalah Andi Nugraha. Laki-laki yang tentu saja dikenal baik sang ayah.

Sekarang, selain ayahnya tidak marah, Wilma Herdian mendapatkan hadiah mahal dari pria asing yang sama sekali belum dikenal oleh sang ayah, tiba-tiba menanyakan usia William Lee?

Dan, sungguh, Wilma Herdian tidak mengetahui dengan pasti. Selama issued tiket milik William Lee, dan pria itu menyerahkan KTPnya untuk dicocokkan dengan nama di reservasi, Wilma Herdian tidak pernah tertarik melihat tanggal lahir sang CEO.

"Kira-kira, seumuran kak Andi, Ayah." Wilma Herdian hanya menjawab asal. Dan berharap sang ayah berhenti bertanya seputar William Lee.

*

Siang harinya, sekitar pukul sebelas, Wilma Herdian bersiap untuk berangkat kerja.

Lagi-lagi, Andi Nugraha tidak datang ke rumahnya, seperti biasanya selama dua bulan terakhir. Wilma Herdian mulai membulatkan tekad, tidak lagi tergantung padanya. Belajar mandiri. Sudah saatnya, dan memang seharusnya.

Akan tiba saatnya nanti, Andi Nugraha menemukan tambatan hatinya. Kemudian menikah. Saat itu, Wilma Herdian tidak mungkin lagi mengharapkan, pria beristri untuk selalu mengantar jemput dirinya. Apa kata orang?

Sambil menanti angkot, Wilma Herdian mengecek ponselnya. Sempat tertegun sesaat, kotak berisi hadiah dari William Lee. Benda pipih itu belum juga Wilma Herdian nyalakan.

Bimbang sesaat, apakah ia coba nyalakan saja? Dan melihat apa yang terjadi?

Wilma Herdian menghela napas.

Sebegitu putus asanyakah seorang Wilma Herdian hari ini? Ke mana semangatnya selama tiga bulan lalu?

Baru saja satu hari, Andi Nugraha mengabaikannya. Dunianya berasa sempit dan hampa seketika.

Tidak lama, angkot yang dinantinya tiba, Wilma Herdian pun naik, dan memilih duduk di pojok kursi.

Berganti angkot dua kali, akhirnya Wilma Herdian tiba di TTO lima menit sebelum pukul dua belas siang. Hari ini begitu terik. Peluh membasahi keningnya. Make up tipisnya luntur seketika.

Ruangan ticketing yang sejuk benar-benar bagai oasis di padang pasir. AC 2 PK yang terpasang di dua tempat, perlahan menurunkan suhu tubuhnya. Istirahat sejenak di kursi tunggu.

Saat itulah, pria yang kemarin tiba-tiba menghilang membalikkan badannya dari depan loket kasir TTO.

Pandangan matanya sempat bersirobok, namun dengan angkuhnya, Andi Nugraha melewati begitu saja Wilma Herdian, yang pandangan matanya mengikuti ke mana Andi Nugraha melangkah.

Sakit rasanya.

Wilma Herdian mencoba menahan gejolak di dadanya. Bukan saatnya untuk menangis. Tidak di sini, di depan rekan-rekannya yang lain.

Perlahan, Wilma Herdian bangkit dari kursinya, menuju bagian belakang TTO, tujuannya ke lantai dua. Tempat shift siang untuk menerima telepon reservasi atau lainnya. Di sana, Kartika Sari dan Andi Pratama sudah menempati mejanya masing-masing. Mereka kembali bekerja bertiga hingga malam.

Jelang sore, saat jam istirahat shift ke dua. Wilma Herdian pergi ke lantai tiga, menuju ruangan Rudi Setiawan, BM TTO. Dengan membawa kotak berbentuk balok di tangannya.

Mengetuk pintunya sekali, Rudi Setiawan sudah menjawab dan mempersilakannya masuk.

Tanpa basa-basi, Wilma Herdian meletakkan kotak itu di meja Rudi Setiawan. BM TTO itu terlihat mengangkat kedua alis, seolah bertanya 'untuk siapa kotak itu?'

"Maaf, Pak. Mungkin ini bakal merepotkan Bapak. Tapi, saya mohon bantuan Bapak, untuk mengembalikan barang ini pada pengirimnya."

Rudi Setiawan semakin menaikkan kedua alisnya dan membuka mulut hendak berbicara. Namun, Wilma Herdiam kembali berucap, "Pak William Lee yang kirim. Dan saya tidak tahu di mana Pak William Lee tinggal."

Rudi Setiawan bergerak sedikit, agar bisa melihat dengan jelas isi kotak di hadapannya. Alisnya kembali terangkat, dan diikuti oleh senyuman.

"Yakin, gak mau nerima ini, Wil?" Nada suara Rudi Setiawan terdengar menggoda Wilma Herdian.

Tentu saja yakin! Wilma Herdian tidak akan ragu untuk menolak segala yang bakal menyulitkannya di masa yang akan datang.

Sebulan lalu menemani makan siang. Kemarin mengiriminya ponsel mewah. Lalu besok, apakah ada jaminan William Lee tidak akan meminta balas budi?

"Yakin, Pak!" seru Wilma Herdian.

Rudi Setiawan mengangguk sekali. Kemudian Wilma Herdian, undur diri dari ruangannya dengan perasaan lega. Kembali ke lantai dua dan mulai membereskan barang-barangnya. Ia dan kedua rekannya bersiap turun ke lantai satu, menggantikan rekan shift pagi.

*

Kembali ke ruangan BM TTO, di lantai tiga.

Rudi Setiawan, membuka tutup kotak dengan penasaran. Dilihatnya amplop berwarna lembayung. Merasa mendapat mandat, ia pun melihat isinya. Membacanya sesaat. Terbit senyum di bibirnya. Tangannya dengan cekatan mengeluarkan benda pipih berwarna ungu. Dan, menyalakannya.

Menunggu beberapa saat.

Suara nyaring nada dering khas ponsel mewah itu mulai terdengar. Tampak di layar, nama kontak William Lee. Rupanya CEO aneh itu sudah menyimpan nomornya sendiri di ponsel yang seharusnya menjadi milik Wilma Herdian.

Rudi Setiawan mulai menghitung di dalam hati.

Satu kali.

Dua kali.

Tiga kali.

Hingga dering ke lima, Rudi Setiawan lantas menggulirkan tombol menerima, tanpa bersuara. Mendengarkan dengan seksama suara dari seberang sana.

"Hallo, Sayaaaaaang. Kok, baru diaktifin ponselnya? Atau memang baru sampai?" Nada ceria yang terdengar genit dan menggoda terdengar dari seberang.

Rudi Setiawan masih memilih diam.

"Hallo? Wilma?"–jeda beberapa saat, pria di seberang sana memastikan ponselnya masih terhubung atau tidak–"Wilma? Kok, diem aja? Kamu lagi kerjakah?"

Merasa tidak ada jawaban dari Wilma Herdian, William Lee memutus sambungan telepon. Kemudian beralih menjadi panggilan video.

Rudi Setiawan tampak menahan tawa. Merasa geli dengan tingkahnya sendiri.

Pada nada sambung ke dua, Rudi Setiawan menggulirkan tombol menerima. Dan mengamati reaksi sahabatnya di layar, yang tampak terkejut, dan mengumpat.

Tidak tahan, Rudi Setiawan akhirnya tertawa terbahak. Puas menertawakan CEO yang biasanya cerdas, tiba-tiba terlihat konyol.

avataravatar
Next chapter