11 .011.Andi Nugraha Tidak Menjemputnya

Sisa waktu enam jam di TTO, sebelum kantor tutup, terasa begitu lama bagi Wilma Herdian pada hari itu.

Melayani pelanggan maskapai yang datang silih berganti, baik yang mengambil tiket, melakukan refund, atau hanya sekadar menanyakan jadwal penerbangan yang ada di Majapahit Air.

Sang bos pun, Rudi Setiawan pada hari itu tidak datang ke TTO. Sehingga Wilma Herdian tidak bisa menitipkan hadiah pemberian William Lee kepadanya, untuk dikembalikan.

Sepuluh menit jelang kantor tutup, bahkan Andi Nugraha tidak menghubunginya sama sekali. Sekadar mengirim pesan perihal pria yang sudah dianggapnya sebagai kakak sendiri baginya dan kedua adiknya, bahwa ia akan datang menjemput seperti biasa ataukah tidak.

Sambil menunggu waktu jam tutup TTO, Wilma Herdian dan Kartika Sari closingan jumlah tiket. Menghitung jumlah uang yang diterima–baik cash atau dengan kartu, dengan kuitansi dan jumlah tiket yang keluar, serta total penjualan mulai dari pergantian shift hingga closing. Ditambah dengan tambahan uang dari accounting–biasanya berupa pecahan seribuan, lima ribuan, dan sepuluh ribuan, untuk uang kembalian.

Semua harus dikerjakan dengan teliti, jika ada selisih sedikit saja, mereka bertiga yang harus bertanggung jawab. Menambah kekurangan uang setoran.

Sejauh ini mereka mengerjakan tugas dengan baik. Tidak ada selisih setiap kali berjaga hingga TTO tutup.

Usai merapikan tiket yang tersisa, juga menyimpan uang setoran ke brangkas di ruang accounting, mereka bertiga mulai mematikan lampu ruang ticketing. Mengunci pintu TTO dan menarik rolling door untuk keamanan, kemudian menggemboknya. Meski ada satpam yang berjaga, kewajiban semua karyawan adalah bekerjasama menjaga keamaan TTO.

"Kak Andi belum datang, ya, Wil?" Kartika Sari menunggu tunangannya datang menjemput.

Wilma Herdian menggeleng lemah. Tidak berharap banyak Andi Nugraha akan menjemputnya malam ini. Menghubunginya lebih dahulu pun, Wilma Herdian cukup tahu diri.

Selama ini ia selalu merepotkan tetangga masa kecilnya. Dan apa balasannya yang ia berikan hari ini? Membuatnya kecewa, seolah-olah masih berhubungan dengan William Lee.

Wilma Herdian menghela napas sejenak. Menatap lampu jalan.

Andi Pratama tinggal di basement TTO, jadi dia tidak ikut pulang, sebagai perantauan, memilih tinggal di mess milik kantor yang memang disediakan untuk karyawan, cukup hemat. Ia tinggal membeli makan untuk mengisi perutnya.

Kartika Sari akhirnya dengan berat hati berpamitan pada Wilma Herdian, ketika tunangannya telah datang menjemput.

"Hati-hati, ya, Wil," pesan Kartika Sari ketika motor yang diboncengnya perlahan menjauh.

"Mau aku antar?" Andi Pratama menawarkan diri. Di TTO ada kendaraan operasional yang boleh digunakan untuk karyawannya. Ada mobil dan juga sepeda motor.

Berhubung Andi Pratama hanya mengantongi SIM C, ia hanya bisa menawarkan mengantar Wilma Herdian dengan sepeda motor milik kantor.

"Gak usah, Ndi. Aku jalan aja ke depan. Naik angkot aman, kok." Wilma Herdian menolak dengan halus.

Ini kali pertama dalam seharian, Andi Pratama tidak menggodanya perihal hadiah dari William Lee. Mereka tiba-tiba menjadi rekan kantor yang rukun.

Andi Pratama cukup bisa menahan diri tidak menggoda Wilma Herdian pada hari itu. Sejak menerima paket misterius berisi ponsel mewah, dan ditinggal begitu saja oleh Andi Nugraha, mood Wilma Herdian menjadi terasa buruk. Ia tidak ingin memperkeruh hati Wilma Herdian. Wanita muda yang seumuran dengannya ini, jika sedang marah, cukup menakutkan juga.

Wilma Herdian akhirnya berpamitan pada Andi Pratama yang dengan tulus menemaninya berjalan hingga ke halte. Menunggunya naik angkot. Dan tidak lupa berpesan untuk berhati-hati di jalan.

Di dalam angkot, Wilma Herdian mengeluarkan ponsel lamanya, mengecek isi pesannya. Berharap, Andi Nugraha menghubunginya. Namun, nihil.

Menghela napas sejenak, Wilma Herdian menaruh kembali ponselnya ke dalam tas. Menatap pemandangan di luar sana yang berkelebat karena cepatnya angkot ini melaju. Di dalam angkot hanya ada dirinya dan seorang pria yang tampaknya tengah sibuk dengan ponselnya.

Lebih kurang empat puluh lima menit, setelah dua kali naik-turun angkot, Wilma Herdian tiba di depan rumahnya. Teras rumahnya terasa sepi. Seperti keadaan hatinya saat ini.

Setelah mengucapkan salam, adiknya, Arka Herdian membukakan pintu untuknya. Sepertinya semua keluarganya tidur lebih awal malam itu. Terlihat dari mata Arka Herdian yang terlihat masih mengantuk, dan menguap beberapa kali. Ya, hari ini kali pertama Wilma Herdian pulang shift malam tanpa diantar Andi Herdian, sehingga membutuhkan waktu lebih lama untuk tiba di rumah. Hampir pukul sembilan malam.

Arka Herdian kembali tidur. Ia menempati ruang tamu untuk tidur. Dengan menggelar kasur di sana. Karena di rumah ini hanya ada dua kamar tidur. Sehingga mau tidak mau, adik lelakinya ini mengalah tidur di luar. Terkadang bergantian dengan Wilma dan Layla Herdian.

Wilma Herdian membersihkan diri sebelum beranjak tidur. Ia memilih tidur di luar bersama Arka Herdian, di ruang tamu. Pikirannya kembali kepada Andi Nugraha.

Selepas membersihkan diri dan berganti pakaian dengan piyama, Wilma Herdian kembali mengecek isi ponsel lamanya. Sama sekali tidak ada pesan satu pun dari Andi Nugraha.

Wilma Herdian merasa, Andi Nugraha kali ini tidak masuk akal. Bukan salahnya, jika William Lee memberinya ponsel mewah, yang tidak pernah terbayang dalam benak Wilma Herdian ia akan memiliki barang mewah itu.

Salahkan William Lee! Dialah manusia yang harus bertanggung jawab. Karena dialah yang mengirim ponsel mewah itu.

Tidak lama, akhirnya rasa kantuk menyerang Wilma Herdian, ia pun tertidur di atas sofa ruang tamu.

Jelang pagi, Wilma Herdian baru saja usai menunaikan ibadahnya di dalam kamarnya. Tiba-tiba saja suara ibunya, Adelia Hamid, mengagetkannya. Suaranya berasal dari ruang tamu.

"Wilma!" Sekali lagi suara sang ibu terdengar memanggilnya dari ruang tamu.

Secepatnya Wilma Herdian merapikan mukenanya dan menggantungnya di dinding kamar, dan segera menghampiri sang ibu.

"Ada apa, Ibu?" Wilma Herdian menangkap sesuatu yang berada di genggaman tangan sang ibu. Sejenak perasaannya menjadi berat.

"Ini dari siapa? Kenapa kamu bisa dapat ini?" Adelia Hamid, mengangkat kotak berbentuk balok itu. Nada suaranya terasa mengintimidasi.

Wilma Herdian semalam lupa mengamankan hadiah itu. Terlebih lagi, kartu ucapannya itu masih berada di dalam kotak–tepat di atas benda pipih berwarna ungu. Pastilah ibunya sudah memeriksa isinya. Jika tidak, bagaimana Adelia Hamid dapat menebak dengan jitu, yang sekarang berada digenggaman tangannya adalah hadiah untuknya.

Wilma Herdian menarik napas sejenak dan mengeluh. "Bukan dari siapa-siapa, Ibu. Wilma tidak akan menerimanya. Wilma akan kembalikan."

"Kamu kerja di sana gak macem-macem, kan, Wilma?" Seketika suara Adelia Hamid, terdengar lirih. Bergetar. Sang ibu menahan sesuatu di hatinya.

Inilah yang Wilma Herdian takutkan, jika kedua orang tuanya tahu siapa yang pernah berhubungan dengannya. Meski sekali lagi Wilma Herdian menegaskan, dirinya hanya menemani pria itu makan siang. Tidak lebih. Tidak terjadi sesuatu di luar norma.

Rasa sesak di dadanya perlahan menghimpit. Wilma Herdian menahan air matanya untuk keluar saat itu. Tidak ingin membuat ibunya bersedih.

***

Closingan, semacam tutup buku penjualan per hari itu.

avataravatar
Next chapter