20 TIDAK STABIL

-POV REZA-

Entah apa yang saya lakukan? Tertidur di dapur, lalu salah membuka pintu ruangan.

Saya melihat Nay… hmmm, maksudnya wanita pengganggu pandangan terjatuh dari kursi yang ia duduki. Dan bagaimana bisa, saat membuka pintu, mata saya justru tertuju pada kakinya yang berada di atas, lalu dengan gampangnya mengenali bahwa yang terjatuh itu dia.

Ah. Ada apa dengan saya?

Bahkan untuk mengalihkan kecanggunggan, terpaksa saya meminta siapa saja di sana memanggil Ovhie ke ruangan.

Apa yang akan saya bahas dengannya? Sungguh, kepala saya berdenyut.

"Permisi, Pak."

Dia sudah datang. Apa yang harus saya bicarakan.

"Ada apa memanggil saya, Pak?"

Saya belum menjawab, sementara tanpa disuruh pun, dia sudah duduk di hadapan, meletakkan agenda di atas meja. Mata saya menatap lekat pada benda keramat yang selalu dibawanya itu.

"Oh, agenda kamu! Tinggalkan di sini, saya butuh membacanya."

Untung saja langsung terpikir ke arah sana. Saya memang perlu melihat-lihat apa saja yang ia tulis, yang berhubungan dengan kantor ini.

Dia terlihat agak terkejut. "I-ini Pak? Apa tidak lebih baik jika saya rekap dulu yang perlu-perlu, supaya Bapak juga enak bacanya."

"Kenapa? tinggalkan saja itu. Saya pasti bisa membacanya."

"Hmm… A- anu…"

Saya meraih agenda itu cepat, dan memasukkan ke dalam laci meja.

Mulut Ovhie terbuka dan matanya melebar melihat apa yang saya lakukan.

"Kamu boleh keluar."

Saya lalu memutar kursi arah ke ruangan redaksi. Dari sini, terlihat apa yang mereka lakukan.

Wanita itu. Apa yang dia perbuat di sana? Tampaknya cukup dekat dengan Arka. Dan Aira? Kenapa dia tiba-tiba tidak memedulikan Wanita Pengganggu Pandangan. Ada yang tidak beres dengan kejiwaan gadis itu nampaknya.

Saya pikir, Ovhie sudah keluar. Ternyata dia masih di sini, bahkan mencoba mengambil agenda itu lagi, secara mengendap-endap. Beruntung saya cepat memutar kembali kursi kekuasaan ini.

"Apa yang sedang kamu lakukan?"

Dia terkejut mendengar suara saya, yang begitu jelas. Tentu saja, karena saya sengaja berbicara dekat pangkal telinganya.

Tidak sopan sekali perbuatannya itu.

Ovhie buru-buru keluar, tanpa berpamitan. Dia sudah malu sepertinya.

Setelah dia keluar, saya mengganti layer kaca jadi nomor dua. Dari sini, saya bisa memperhatikan mereka. Memang benar-benar tidak ada yang serius bekerja nampaknya.

Masing-masing sibuk dengan kegiatan yang tidak ada hubungan dengan pekerjaan sama sekali.

Arka, sibuk saja mengajak Wanita pengganggu pandangan bicara, bahkan mengajaknya masuk ke dalam ruangan segala.

Aira, perempuan itu. Pekerjaannya memang melamun saja dari tadi.

Ericka, sibuk berkipas-kipas. Ruangan itu sudah full AC, dia seakan meremehkan kualitas falisitas yang diberikan Nabastala.

Hah! Saya mendengus sebal jadinya.

Zizi, semula terlihat sibuk mengetik dan sesekali membetulkan letak kaca matanya. Tetapi, setelah melihat Ericka dan Jeki berbincang, dia pun jadi tidak fokus dengan pekerjaannya.

Helen, dia hanya berdiam diri saja. Mengamati orang-orang yang bergosip itu.

Saya menggeleng kesal. Lalu mengganti menjadi layer tiga.

Agenda itu. Saya jadi tergerak untuk memeriksanya. Laci sudah terbuka, dan benda itu pun sudah di tangan.

Sepertinya agenda ini memang selalu dibawa dan digunakannya untuk mencatat apa saja. Dari penampakan luar, terlihat sudah lecek, dan kertasnya pun sudah bergelombang, menampilkan bekas tulisan di sana.

Saya jadi penasaran, apa saja yang sudah dia rangkum di dalam buku ini.

Mata saya berkedip beberapa kali, lalu saya coba tekan-tekan dengan ibu jari dan telunjuk pangkal batang hidung, yang tinggi dan kecil ini. Apa mungkin saya pusing? Hingga melihat tulisan… semua tulisan di lembar-lembar buku ini, tampak lurus, seperti cacing melata. Hanya ada sedikit gelombang membentuk bukit dan lembah, dan itu pun hanya sedikit saja.

Saya mencoba menutup agenda itu, lalu mengurut dahi. Ah, rasanya pandangan saya normal. Tidak ada yang berputar-putar. Sudah saya uji coba menatap sekitar ruangan, hingga menatap langit-langit. Aman-aman saja.

Mungkin setelah ini semua akan membaik. Saya buka lagi.

Oh, sudah lah.

Saya lalu menelpon ke ruangan redaksi, agar mengutus Ovhie kembali ke tempat saya.

Tak lama, dia datang, saya sudah mengganti layer menjadi satu.

Takut-takut dia duduk di hadapan saya, karena tatapan saya yang tajam, sambil mengangkat agenda miliknya itu.

"Berkali-kali saya coba membaca, namun, saya memang tidak berhasil menemukan arti dari tulisanmu itu."

Saya melempar agenda itu ke hadapannya. Ovhie sedikit terkejut.

"Tolong kamu ketik semua yang penting untuk saya ketahui tentang kantor. Jangan masukkan yang tidak perlu."

Ovhie mengangguk sambil meraih agenda, yang sungguh, hanya dia saja mungkin yang dapat memahami isinya.

"Ya sudah, keluarlah. Saya tunggu sebelum jam tiga sore."

Ovhie mengangguk lagi. Lalu merundukkan kepala, dan keluar.

Saya mengintip jam di pergelangan tangan. Pukul dua belas. Mereka pasti akan pergi beristirahat.

Saya melepaskan jas, dan menggantungnya di gantungan yang tersedia. Melonggarkan dasi, dan keluar. Bukan untuk menuju kantin, atau restoran yang ada di dalam gedung ini. Saya tidak lapar.

Saya teringat harus melihat porsi berita dan artikel yang dimuat di majalah pesaing.

"Tidak istirahat?"

Chika masih tampak sibuk di ruangannya, yang berada di dekat pintu masuk pustaka. Ruangan untuknya memang tersendiri, karena tugasnya memang menyangkut tempat ini. Dari pustaka ia bisa bekerja.

Chika tampak terkejut dengan kedatangan saya yang tiba-tiba, tanpa mengetuk pintu kacanya terlebih dahulu.

"Oh, nanti saja, Pak."

Jawabnya memperbaiki letak kaca mata.

"Saya boleh masuk?"

Meskipun, saya atasan di kantor ini, tetapi, pustaka adalah wilayah kekuasaan Chika. Jadi saya harus meminta izin terlebih dahulu.

"Tentu, silahkan Pak Reza."

Katanya kemudian.

Saya lalu mendorong pintu pustaka. Tidak terlalu banyak rak-rak yang berjejer, hanya ada satu-dua. Selebihnya, buku-buku disusun di dalam lemari kaca yang menempel ke dinding. Sepanjang dinding di ruangan ini, ditempeli lemari kaca.

Rak-rak tanpa penghambat, terisi berbagai majalah dari merk berbeda. Edisi lengkap.

Saya mengambil tiga bulan terakhir di rak Sejagad, yang terletak di tingkat atas, rak yang tingginya, setinggi saya, seratus delapan puluh sentimeter, kira-kira lebih sedikit. Jadi tak terlalu susah menjangkaunya.

Kemudian, Amore, di tingkat kedua. Kuy Magazine, di tingkat tiga.

Rak ini hanya terdiri dari lima tingkat. Dan susunannya, sesuai dengan urutan rangking.

Apa memang seperti ini susunannya sejak awal? atau memang disengaja Chika menyusunnya sesuai nomor ranking.

Tidak terima rasanya, jika Nabastala terletak sejajar kaki. Ini harus dirombak lagi.

Saya menghempaskan beberapa majalah itu di atas meja. Entah kenapa, kesal saja rasanya.

Saya membolak-balik dengan kasar majalah-majalah itu. Hati tetap terasa tidak tenang.

Hah!

Saya bangkit, dan memanggil Chika.

"Ya, ada apa, Pak?"

Dia segera keluar ruangan, dan menghadap saya yang sudah duduk kembali di tempat tadi.

Saya menghembuskan nafas berat, dan melipat tangan di dada, lalu melirik rak majalah, yang sungguh membuat saya ingin sekali membanting benda itu.

"Kamu yang menyusun ini?"

Chika pun melirik ke arah pandangan mata saya.

"Iya, Pak."

"Atas dasar apa, Nabastala di letakkan sejajar kaki begitu?"

Chika menelan ludah. Ia mungkin tidak menyangka, hal ini akan jadi masalah bagi saya.

"Sa-saya…"

"Saya tidak mau tau, letakkan Nabastala di posisi teratas!"

Perintah saya, lalu memalingkan wajah dan menyibukkan diri dengan majalah-majalah yang sudah saya ambil.

Saya tidak mau tahu bagaimana Chika akan bekerja, yang jelas, perintah saya harus segera dikerjakan. Jika tidak, saya benar-benar akan merobohkan rak-rak itu.

***

***

avataravatar
Next chapter