25 TETAP MEMAKSA

-POV REZA-

Saya tak lagi menghiraukan alasan yang dia lontarkan. Kemudian dengan serta merta saya berdiri di belakangnya, dan mendorong tubuh mungilnya itu untuk berjalan maju.

Meski masih berusaha untuk mengelak, saya bahkan dengan lebih sigap terus menahan agar ia tetap berjalan. Sehingga mau tidak mau, Nayla akhirnya menurut saja.

Jalan untuk masuk ke dalam sana memang mengganggu pikiran. Banyak bau-bau yang tak diterima hidung tercium oleh saya. Tetapi, demi Nayla dan agar bisa bertemu dengan orangtuanya, saya kesampingkan semua yang tak disukai ini.

Jalan yang memang sempit, cukup terlihat tidak bersih, dan sangat jauh dari wangi, terjejaki juga oleh sepatu pantofel mahal ini. Saya juga bahkan melirik kanan dan kiri, saat beberapa rumah pintunya terbuka, lalu berpasang-pasang kepala wanita muncul dari sana.

Saya terkejut, lampu-lampu yang tersedia dan menyala tak begitu banyak. Sehingga, beberapa kali menoleh, memang membuat jantung saya berdegup kencang, bahkan mimik keterkejutan pun tak dapat saya hindari dari wajah ini.

Sementara Nayla, ia terus berjalan menunduk. Entah apa yang ia pikirkan. Beberapa ada yang ia tegur, dan sebagian lain hanya ia senyumi. Sisi ini yang tak berubah dari dirinya. Nayla masih dia yang dulu, ramah dan tidak sombong.

Setelah berjalan beberapa menit, cukup jauh juga. Ia pun berhenti di depan sebuah rumah. Saya mengedipkan mata beberapa kali, benarkah ini rumah Nayla.

"Assalamualaikum, Bu. Nayla pulang."

Dan memang itu rumahnya. Nayla mengetuk sekali, lalu terdengar suara sahutan dari dalam. Saya berdiri di belakangnya, namun agak sedikit ke kanan.

"Waalaikumsalam."

Wajah wanita dibalik pintu rumah itu benar-benar sosok yang sama. Tante Melati. Meskipun penampilannya kini sangat sederhana, dengan daster panjang dan kepala ditutupi hijab serta terlihat lebih kurus dan menunjukkan tanda-tanda penuaan. Tetapi, saya sangat yakin, ini memang Tante Melati.

Saya menatapnya dengan mata yang sedikit melebar, tanda keterkejutan, lalu beralih memandang Nayla yang menunduk lemas saja dihadapan Ibunya. Sementara Tante Melati, melihat saya dengan sorot tanda tanya.

"Nayla pulang dengan siapa?"

Tante Melati bertanya pada saya kah atau Nayla? Tatapannya masih tertuju pada saya.

Saya baru akan menjawab, namun Nayla telah mendahului.

"Bos Nayla, Bu."

Suara Nayla terdengar tidak bersemangat. Mungkin dia memang tidak senang saya mampir. Ia pun lalu masuk ke dalam, tanpa mempersilahkan saya untuk ikutan masuk terlebih dahulu.

Beruntung, Tante Melati berinisiatif mengajak saya masuk ke dalam rumahnya yang sangat sederhana, dengan ruangan yang sangat kecil menurut saya. Berbeda jauh dari rumahnya yang dulu.

"Silahkan masuk, Pak. Mohon maaf rumah kami seperti ini saja."

Saya langsung menyanggah, "Tidak apa-apa Tante."

Saya pun tanpa ragu masuk. Dan sekilas memang terlihat Tante Melati terkejut ketika ia dipanggil Tante. Mungkin, ia heran, kenapa saya menyebutnya begitu? Terkesan akrab. Saya akan memperkenalkan diri setelah ini.

Tante Melati membentangkan tikar plastik motif bunga-bunga berwarna pink di ruangan dekat pintu masuk.

Ada mesin jahit juga di dekat sana. Saya kembali tanpa ragu untuk duduk. Jika saja bukan Nayla, tentu saya urung melakukan ini semua.

"Mohon maaf, cuma bisa duduk lesehan di lantai. Kami tak punya sofa, Pak."

Saya tidak enak dipanggil seperti itu. Tante Melati adalah orang yang saya hormati. Jadi, tak mungkin telinga ini nyaman mendengar sapaan itu.

"Tante, jangan panggil saya 'Pak', panggil saya Reza saja."

Iris mata Tante Melati sedikit melebar, ada nuansa terkejut di sana. Beliau pasti ingat dengan nama itu, meski tidak dengan raga ini.

"Reza...?"

Ia tampak ragu untuk melanjutkan, dahinya berkerut seolah mencoba mengingat kenangan dibalik nama itu.

"Iya Tante, saya anak Bapak Dendra dan Ibu Ayu."

Wajah Tante Melati tiba-tiba berubah tegang. Seolah ada kemarahan yang terpancar dari sana.

"Nayla...!"

Ia pun memanggil Nayla, yang setelah masuk rumah tadi, entah kemana ia pergi. Mungkin masuk ke dalam ruangan yang ditutupi kain unik itu. Dan benar saja, ia keluar dengan muka kusut, seperti baru bangun dari tidur.

"Ya, Bu..."

"Bisa belikan minuman untuk bosmu ini, Nay."

Tante Melati bicara sambil membelakangi Nayla, ia terus menatap saya tajam. Ada apa? Sungguh saya tak paham dengan makna sorot itu.

"Loh, kenapa musti beli minum segala, Bu. Biar Nayla buatkan aja minuman."

"Ibu bilang tolong beli keluar?"

"Jauh Ibu, Nayla capek."

"Tolong sayang, Ibu segan kasih minum yang biasa-biasa aja buat orang seperti ini."

Saya terkejut mendengar kata-kata Tante Melati. Dia nampak sangat marah pada saya. Apa yang telah terjadi?

Rasanya dulu saya tak melakukan sesuatu yang salah. Atau, dia melihat saya memeluk Nayla ketika itu? Apa itu sebuah kesalahan hingga Tante Melati membenci saya sampai saat ini.

"Tidak usah, Tante. Saya cuma sebentar, kasihan Nayla..."

"Cepat Nayla."

Belum lagi selesai, kata-kata saya sudah terpotong begitu saja. Saya semakin dibuat bingung.

Nayla lalu keluar sambil menggaruk rambutnya yang mengembang. Ah, Ya Tuhan, kemana rambut panjang lurus nan indahnya dulu?

Ya sudahlah tak jadi soal bagi saya, karena itu adalah Nayla si Dua Dua.

"Apa yang kamu mau, Reza?"

Setelah Nayla pergi, Tante Melati akhirnya membuka pembicaraan. Saya menelan ludah. Apa yang sebenarnya terjadi? Yang tak saya ketahui.

"Tante masih ingat saya?"

"Tentu, saya takkan pernah lupa. Baik kamu apalagi orangtuamu."

Saya pikir ini sebuah ungkapan normal, Tante Melati takkan mungkin melupakan sahabatnya sendiri kan? Namun, yang berbeda di sini, cara Tante Mela menyampaikan. Ia memang tampak marah sekali.

"A-ada apa Tante? A-apa yang terjadi?"

Beliau tidak langsung menjawab. Lalu tersenyum bengis.

"Jangan kau ganggu lagi anak saya, paham!"

"Ma-maksud Tante apa?"

"Kau tanyakan saja pada Bapak Dendra yang terhormat itu! Apa yang sudah dia lakukan terhadap suami saya, anak saya. Hingga kehidupan kami jadi seperti sekarang! Belum puas juga keluargamu menghancurkan semua yang kami miliki!"

Saya sangat terkejut mendengar ucapan Tante Melati ini. Apa yang terjadi? Dan ada apa dengan Om Razi? Lalu Nayla? Kenapa?

"Ada apa ini Tante? Apa yang dilakukan Papa sama Om dan Nayla?"

Saya ikut terbawa situasi emosional ini. Jantung saya berdegub kencang. Namun, pikiran ini tak dapat menjangkau kejadian apa yang telah diperbuat oleh Papa, hingga meninggalkan torehan luka yang masih menyakiti hingga detik ini?

"Nayla takkan pernah saya biarkan untuk kembali mengingat kamu, Reza. Sudah cukup semua kesakitan yang kami tanggung akibat ambisi ayahmu! Dia bahkan tega melenyapkan semua milik saya, termasuk suami saya, yang tak lain orang yang telah berjasa membuatnya jadi sebesar sekarang!"

Saya tersentak hebat. Seolah nyawa lepas dari badan. Tubuh saya bahkan tersandar di dinding rumah itu. Bahkan ucapan Tante Melati barusan lebih terdengar seperti suara geledek yang memekakkan.

"Kamu tolong pecat saja anak saya! Dekat denganmu hanya akan membawa petaka baru bagi kami. Hanya Nayla yang saya miliki saat ini!"

Jangan katakan Om Razi telah meninggal dibunuh oleh Papa. Tidak. Saya menggeleng kuat.

"Saya tidak tahu apa-apa Tante. Saya mohon maafkan atas semua yang telah terjadi."

Mata saya memanas. Air sudah menggenang di sana. Ya Tuhan, apa yang telah dilakukan Papa? Jika benar semua kesimpulan yang saya ambil dari ungakapan kemarahan Tante Melati ini, sungguh, saya takkan dapat memaafkan diri sendiri.

"Tidak semudah itu Reza. Setelah suami saya meninggal, lalu Nayla kehilangan semua ingatannya, hingga hidup kami menderita seperti ini, dan Nayla kehilangan masa depannya. Sementara kamu! Menjadi sosok yang luar biasa! Ini tidak adil, dan akan sangat menyakitkan bagi anak saya, bila ia ingat semuanya!"

Nayla hilang ingatan!

Om Razi meninggal! Apa yang telah diperbuat Papa pada keluarga baik hati ini.

Saya menjadi sangat frustasi, hingga menutup wajah dengan telapak tangan, lalu mengusapnya kasar.

***

***

avataravatar
Next chapter