27 SAYA TIDAK AKAN MENYERAH

-POV REZA-

Belum apa-apa saya sudah mendapat peringatan keras dari Tante Melati. Beliau meminta saya untuk tidak lagi mendekati Nayla, jangan mencoba membangkitkan ingatan Nayla tentang saya, kehidupan masa kecil kami, bahkan beliau sangat mengotot agar Nayla dipecat saja. Beliau beralasan, hal tersebut hanya akan memyakiti Nayla, jika tahu kebenaran tentang hidup pahit yang membuatnya harus menjalani masa yang sulit berdua dengan Tante Melati, hingga kini.

Semula saya ingin menuruti, namun ketika melihat Nayla di depan, dekat mobil saya yang ia jaga dari orang yang akan mengganggu, lalu dengan gayanya yang ceplas ceplos meminjam uang untuk membayar minuman dan berangkat bekerja keesokan hari, membuat saya berpikir dua kali. Bagaimana bisa memecatnya? Tak ada alasan yang membuat saya harus memecat orang yang sangat diingini berada di sisi setiap waktu.

Nayla juga tidak ingat pada saya. Dan tadi, saya hanya menyetujui untuk takkan mencoba membangkitkan ingatan Nayla tentang masa kecil yang benar-benar terhapus dari memori.

Sehingga saya bertekad, akan menjalin kedekatan dengan Nayla, sebagai Reza yang lain, yang tak lain adalah Bosnya sendiri. Ini tentu tidak akan membuat saya mengingkari janji pada Tante Melati.

Tak mengapa dia tidak ingat saya, si Dua Puluh. Sungguh ini tidak masalah. Saya hanya ingin ia tetap berada di sekitar saya, tak jauh dari jangkauan mata setiap hari, setidaknya setiap kerja.

Ia terlihat sangat menyukai uang yang saya beri. Dan mulai detik ini, saya akan memberinya bonus-bonus spesial, di luar dugaan. Saya pun akan mencari cara agar Nayla bisa memiliki posisi yang lebih dekat dengan saya.

Sepanjang perjalanan kembali ke rumah, saya terpikir apa yang telah dilakukan Papa pada keluarga Om Razi, yang baik hati itu. Saya benar-benar merasa ikut sangat bersalah atas perbuatan Papa.

Andai saja, semua itu tak pernah terjadi. Kecelakaan yang menewaskan Om Razi dan membuat Nayla menjadi hilang ingatan. Mungkin kejadiannya takkan menjadi seperti ini. Serumit ini, dan Tante Melati pun takkan membenci saya sampai begini.

***

***

Saya sudah sampai di rumah megah orangtua. Telah pula memarkir kendaraan di posisi biasa, lalu bergegas masuk ke dalam. Ingin sekali bertemu dengan Papa, dan mencoba meminta penjelasan atas semua informasi yang baru hari ini saya ketahui.

Namun, tanda-tanda keberadaannya pun tidak terdeteksi. Hanya Mama yang menyambut saya pulang dengan senyuman hangat. Seperti biasa, ia akan memeluk dan mencium pipi kanan dan kiri.

"Papa kemana, Ma?"

Saya mencoba untuk menanyakan pada Mama perihal keberadaan ketua Grup DA tersebut.

"Beliau ada urusan mendadak keluar kota. Ada apa Reza?"

Dan Mama balik bertanya. Ia membawakan saya segelas lemon tea hangat, yang sudah dibuatkan oleh asisten rumah tangga kami.

Saya menatap Mama penuh selidik, beliau pasti tahu tentang peristiwa belasan tahun lalu itu.

Saya akan tanyakan padanya.

"Ma... Apa kabar Om Razi dan Tante Melati?"

Akan saya awali dengan pancingan ini. Jika ia tahu, wajahnya pasti akan berubah tegang.

Dan tepat sekali. Wajah Mama menjadi sedikit pias.

"Mana Mama tahu, Reza. Kita sudah tak lagi tinggal di kawasan tempat tinggal mereka."

Beliau terlihat sedang mengatur suasana hati, yang terkejut atas pertanyaan tak terduga dari saya itu.

Saya tak lagi perlu memancing. Semua sudah jelas. Saya hanya perlu bicara to the point dengan Mama.

"Saya tadi ke rumah Nayla."

Saya sengaja menggantung ucapan, melihat wajah Mama tampak terkejut. Mungkin tak menduga, hal ini akan saya lakukan, mencari Nayla ketika sudah sampai ke Indonesia. Mama tahu betul perasaan saya pada si Dua Dua itu.

Papa juga tahu, hanya saja, beliau seolah menutup mata. Mungkin baginya, perasaan saya pada Nayla, hanya sebatas suka-suka biasa, istilahnya cinta monyet. Tetapi, tak ada yang akan menduga, bahwa ternyata, meskipun terpisah jauh dengan rentang waktu yang tak singkat, perasaan di hati saya, justru semakin bersemi saja pada Nayla.

"Rumah Tante Melati, Ma. Saya sudah tahu semuanya. Tante Melati memberi tahukan."

Mama terlihat semakin pias.

"Semua yang dia katakan tentang Papamu itu bohong Reza!"

Mama bahkan membantah sesuatu yang belum saya katakan secara rinci. Sangat jelas sekali kepanikan yang terpancar di sana. Baik dari wajah, pun dari cara beliau berkata.

"Saya belum mengatakan hal yang barusan Mama bantah."

Ucap saya membuat wajah Mama bertambah pucat. Beliau tertunduk.

"Tolong katakan pada saya, apa yang sebenarnya terjadi pada keluarga mereka, Ma?"

Saya terkesan mendesak. Rasanya nyeri di dalam hati, mendengar fakta menakutkan yang telah dilakukan Papa, justru pada orang yang juga terlanjur saya sayangi.

Mama belum menjawab. Seperti sedang memikirkan sesuatu.

Saya menunggu, sampai beliau buka suara, dengan sejujurnya.

"Tidak ada yang diperbuat oleh Papa pada keluarga mereka."

Dengan lantang Mama akhirnya menjawab, sambil menatap wajah saya tajam.

"Kamu pahamilah, kondisi dulu dan sekarang itu berbeda. Jika ada yang menceritakan hal buruk tentang Papamu, sudah pasti itu hanya bualan semata. Jadi kamu tak perlu memercayai siapapun. Pahami itu Reza."

Mama berkata tegas, ia bahkan langsung pergi meninggalkan saya seorang diri di meja makan besar itu. Bagaimana bisa saya tidak memercayai mereka? Padahal sudah sangat jelas akibat dari perbuatan Papa pada Nayla dan Om Razi, juga Tante Melati. Dan tak mungkin Tante Melati akan berbohong. Papa memang mempunyai alasan kuat kenapa sampai tega melakukan semua ini pada Om Razi. Sebab, saya tahu betul bagaimana sikap ambisiusnya Papa, terhadap semua tujuan yang hendak ia capai.

Kehidupan Nayla dan Tante Melati bahkan berbanding seratus delapan puluh derajat dari hidup kami, yang super mewah, segala yang dibutuhkan ada, tak perlu waktu dan upaya keras untuk menggapainya.

Sementara bagi Nayla, semua terasa begitu sulit. Ia bahkan harus bekerja sangat keras demi mendapatkan apa yang ia ingini. Belum lagi para penagih hutang itu. Ya Tuhan. Saya takkan bisa membiarkan hidup Nayla terus menerus dalam kesusahan.

Jika saja dia ingat semuanya!

Apa mungkin masih bersedia melihat wajah saya?

Saya mengusap wajah cemas. Sungguh, saya sangat takut Nayla akan menjauhi saya seperti yang diingini oleh Tante Melati.

Jangan sampai itu terjadi. Sebelum semua yang ditakutkan ini menjadi nyata, saya harus melakukan tindakan pencegahan. Merebut hati Nayla, tanpa tahu bahwa saya adalah Reza Denyu, anak dari orang yang sudah merenggut kebahagiaan, yang seharusnya menjadi miliknya seutuhnya.

Saya sangat menyayangkan ini semua harus terjadi.

Nayla... Sungguh maafkan semua yang telah terjadi padamu.

Saya berjanji akan membahagiakanmu dengan cara saya. Nayla sudah cukup dengan deritanya.

Saat ini pun, saya tak bisa memilih antara keluarga dan Nayla. Dua bagian ini penting.

Tidak mungkin saya meninggalkan orangtua untuk bersama Nayla, pun takkan bisa diminta untuk menjauhi Nayla, sebab dia juga merupakan bagian terpenting dalam hati ini.

***

***

avataravatar
Next chapter