24 MENGANTAR PULANG

-POV REZA-

Hati saya benar-benar perih saat tahu Chika meminta Nayla bekerja padahal dia belum makan siang. Jika saja saya tahu, takkan mungkin Nayla diizinkan untuk melakukan pekerjaan itu.

Saya jadi sangat menyesali semua yang sudah terjadi. Kekesalan pun akhirnya tumpah ruah pada Chika. Saya memakinya habis-habisan. Hah! Terasa lega memang, namun kemudian jadi merasa bersalah karena telah membuatnya menangis. Maafkan saya Chika. Jika saja dia tidak menjahati Nayla.

Saat ini, bersyukur Nayla sudah sadar. Namun, berkali-kali dicoba untuk mengingatkan bahwa saya ini Reza, tetapi dia tetap tidak juga bisa mengenali. Apa yang terjadi pada Nayla saya ini?

Ingin sekali rasanya mendekap dia sekali lagi. Mengutarakan rasa rindu yang tiada tara ini. Tetapi, urung dilakukan, sebab kondisi Nayla seolah menganggap saya adalah orang asing, dan saya tak ingin membuatnya takut.

Akhirnya hanya genggaman tangan saja yang terlaksana. Semula dia ingin melepaskan, tapi saya mengeratkan genggaman. Tidak akan saya lepas Nayla.

Dan sungguh ini membuat saya semakin tak habis pikir, dalam keadaan seperti ini, dia masih memikirkan bagaimana harus tetap bekerja dan mendapatkan uang. Memang yang ada dipikiran dia sepertinya hanya uang saja.

Saya akhirnya menegaskan agar dia tetap istirahat saja. Tak boleh bekerja dulu hingga benar-benar pulih. Saya takkan memotong gajinya, malah berniat akab memberinya bonus. Tetapi dia tetap bersikeras ingin pulang.

"Nggak ada nomor yang bisa dihubungi, Pak."

Saya mengernyitkan dahi mendengar ucapannya barusan. Zaman sekarang, tak mungkin ada orang yang tidak memiliki handphone. Hah! Benar-benar gadis pembual.

"Kalau begitu, biarkan saya yang mengantarkan kamu pulang, Nayla."

Dia menggeleng cepat. Seolah-olah tidak menginginkan agar saya mengantarnya pulang.

"Lalu mau kamu apa, Nayla?"

"Biarkan saya pulang sendiri, saya udah nggak apa-apa kok, Pak. Suwer tekewer-kewer!"

Nayla mengangkat tangan, lalu mengacungkan jari telunjuk dan tengah bersamaan.

Ya ampun, keras kepala sekali dia.

"Kamu masih di bawah tanggung jawab saya."

"Ini sudah lewat jam kantor, Pak!"

Dia masih menyanggah.

"Meski sudah lewat jam kantor. Tapi kamu masih mengenakan seragam yang ada tulisan Nabastalanya, jadi saya masih sangat bertanggung jawab untuk itu. Tolong mengertilah, Nayla."

Saya menatapnya penuh pengharapan. Benar-benar berharap sangat, dia akan luluh dan menerima tawaran saya.

Dengan begitu, saya jadi tahu tempat tinggalnya, serta bisa memastikan kebenaran yang akan membuktikan bahwa dia memang Nayla si Dua Dua. Orangtuanya takkan berubah, masih Om Razi dan Tante Melati tentunya.

Saya ingat betul dengan kedua orangtua Nayla. Mana mungkin lupa dengan orang-orang baik itu. Tetangga paling baik yang pernah saya temui, dan terlebih istimewa mereka adalah sahabat Papa.

"Tapi sungguh, saya bisa pulang sendiri kok, Pak."

Dia masih bersikeras menolak tawaran saya.

"Nayla, ini sudah malam. Nanti kamu bisa kenapa-napa di jalan."

"Nggak apa-apa, Pak. Saya bisa kok!"

Dia pun memaksa untuk bangun dan pergi. Saya tak bisa menahan. Tetapi sesampainya di pintu, ia kembali berdiam diri. Lalu perlahan menoleh pada saya.

"Ada apa Nayla?"

Dia tersenyum lebar, dengan wajah seperti tidak enak hati.

"Apa tawaran untuk mengantar pulang masih berlaku, Pak?"

Melihatnya dengan ekspresi lucu seperti itu, rasanya ingin sekali tertawa.

"Oh tentu saja, why not? Untukmu setiap ucapan saya tak ada masa kadaluarsanya."

Saya segera berdiri, dan berjalan menghampiri gadis yang sungguh sangat saya rindui setengah mati itu.

"Hmm.. Dan mengenai biaya rumah sakit, boleh ngebon ke Bapak dulu nggak? Tas saya ketinggalan di kantor sepertinya. Yang kebawa cuma kunci brankas."

Dia lagi-lagi menyengir sambil memerlihatkan sebuah kunci yang ia beri gantungan bola basket.

Saya pun akhirnya tertawa. Benar-benar lucu Nayla ini. Dia menatap saya lama. Seolah ada sinar kekaguman dari balik matanya.

Melihat dia menatap saya seperti itu, saya pun jadi tak mau kalah, balas menatapnya dengan sorot penuh rindu.

Beberapa lama kami saling menatap, hingga dia duluan yang memilih menyudahi.

"Hmmm..."

Membuat saya pun tersentak.

"Apa kita bisa pulang sekarang, Pak?"

Tanyanya dengan wajah tertunduk. Malu sepertinya. Wajahnya memerah.

Ah Nayla, saya sudah bilang. Bagaimana pun kamu, takkan mengurungkan rasa di hati ini. Cinderella atau kah Upik Abu, selama itu kamu, Nayla si Dua Dua, rasa di hati saya takkan pernah berubah. Saya tetap menyukai Nayla. Itu saja.

***

***

Kami akhirnya memasuki sebuah kawasan, yang benar-benar membuat saya tidak habis pikir. Lokasi apa ini? Sempit dan...

"Maaf, Pak. Mobil cuma sampai sini."

Katanya membuat saya semakin tak percaya. Kami berhenti di sebuah halaman luas, lalu di hadapan saya tampak banyak sekali rumah dengan gang-gang sempit. Memang tak ada celah untuk bisa dimasuki mobil.

Apa yang terjadi dengan keluarga Nayla? Rentenir itu, lalu ini. Dan bagaimana wajahnya yang dulu sangat cantik, bisa jadi seperti sekarang. Ya Tuhan, apa yang telah berlaku padanya selama saya pergi?

Saya menatap Nayla penuh rasa kasihan sekaligus tidak percaya. Seolah saya sedang dipermainkan saja olehnya. Atau apa mungkin takdir sedang bercanda dengan saya.

"Jadi kita turun di sini?"

Saya ingin memastikan lagi, sambil menatap wajahnya lamat. Mencari-cari celah yang akan membuat saya yakin bahwa dia sedang bercanda.

"Saya saja yang turun. Bapak boleh pergi, tak perlu mengantar sampai rumah. Saya malu, Pak."

Dia tak berani mengangkat wajah menatap saya.

"Tidak bisa Nayla. Saya bos kamu sekarang, jadi sudah menjadi tanggung jawab saya memastikan kamu sampai di rumah dengan selamat."

Tentu saja takkan saya biarkan dia pulang dalam keadaan seperti ini sendiri. Saya tak ingin nanti orangtuanya melabeli pimpinan Nayla sebagai orang yang tak punya tanggung jawab.

Nayla terlihat gelisah, seperti sedang mencari-cari alasan lagi untuk menahan agar tak diantarkan sampai rumah.

"Saya takut nanti pikiran Bapak yang tak selamat tentang saya."

"Apa maksud kamu Nayla?"

"Kehidupan saya terlalu tragis untuk diperlihatkan pada orang seperti Bapak. Jadi, saya tak ingin membuat Bapak jadi terlalu dalam berpikir tentang diri saya."

"Apa yang salah? Tidak ada kan? Saya juga ingin berkenalan dengan orangtuamu. Ayok kita keluar."

Saya lalu melepas seatbelt, menekan central lock mobil. Dan keluar. Saya pun juga membukakan pintu untuk Nayla, yang terlihat gugup dengan apa yang telah saya lakukan.

"Hmmm, anu. Kalau mobil Bapak ditinggal di sini terlalu lama, takutnya nanti dicuri orang."

Ucapnya sambil keluar dari mobil. Namun, tak juga berani menatap saya.

Sungguh, saya ingin tertawa lebih keras. Alasan yang ia lontarkan untuk menghentikan langkah mengantarnya sampai rumah, tak dapat menggoyahkan niat di hati saya.

"Siapa yang akan mencuri mobil ini, Nayla? Tidak mudah membawa lari kendaraan saya ini."

Tentu saja. Mobil ini sudah disetel dengan alarm anti maling. Sehingga jika ada yang mencoba mengganggu, alarm yang nyaring akan segera terdengar. Pun sudah dilengkapi GPS, jadi jika pun maling yang mencuri sudah berada di level mahir, sehingga mampu menaklukkan alarm yang sudah terpasang, keberadaannya tetap akan terlacak. So, memang tidak mudah mencuri mobil ini.

"Banyak yang hidupnya susah di sini, Pak. Jadi mereka bisa mencuri apa saja. Apalagi, mobil Bapak mevvah sekali."

Saya mendadak bingung dengan satu kata yang diucapkannya.

"Mevvah? Apa maksud kamu mewah?"

Nayla menutup mulutnya. Ia seperti tersadar bahwa telah salah berucap.

"I-iya mewah. Saya lupa Bapak kurang paham bahasa gehol."

"Gehol? Gaul maksudmu?"

Nayla akhirnya menatap saya. Ia pun tertawa setelah itu.

Saya jadi terbawa untuk ikut tertawa hanya dengan melihat cara ia menertawakan saya. Tak mengapa, senang melihat Nayla kembali ceria seperti ini.

***

***

avataravatar
Next chapter