7 MEMBACA SITUASI

-POV REZA-

Rencana semula pergi berkeliling dengan Papa ke para kontributor dan orang-orang penting yang pernah terkait dengan Nabastala Magazine, dibatalkan. Papa tiba-tiba ada urusan mendadak keluar kota. Menghadiri rapat dengan pejabat setempat.

Saya juga sudah dikirimkan stuktur organisasi, serta data masing-masing karyawan yang bergabung dengan Nabastala. Satu per satu saya akan baca portofolio mereka. Ingat dengan kata pepatah 'Tak kenal maka tak sayang'.

Saya tidak berencana untuk menyayangi mereka semua. Hanya saja, ini perlu diketahui, agar saat bekerja sama dengan mereka, saya sudah tidak canggung lagi. Beda orang, pasti akan berbeda pula karakteristiknya.

Di sini, melalui email data karyawan yang sudah dikirim pihak DA Publishing selaku induk perusahaan Nabastala Magazine, saya bisa tahu latar belakang para karyawan yang nantinya akan berada dibawah naungan saya.

Meskipun belum bertatap muka, karena hari ini saya memutuskan untuk tidak ke kantor. Sejujurnya, jauh di dalam lubuk hati saya yang paling dalam, masih ada kegugupan berhadapan dengan dunia yang benar-benar baru ini. Seolah akan masuk ke dalam ruangan kedap, yang bisa memerangkap dan membuat kehabisan nafas.

Tetapi, saya hanya perlu mengingat, betapa besar perjuangan Papa mempersiapkan ini semua untuk saya. Hingga tak ada lagi alasan untuk mangkir dan berusaha menghilang dari sini.

Saya akan hadapi jalan di depan semampunya. Jika pun menemui kendala, tidak ada salahnya saya mencoba untuk menyingkirkannya dahulu, sebelum berkata 'Saya Menyerah'. Tidak. Terlalu naif diri ini. Belum apa-apa, sudah berpikir untuk mengangkat bendera putih.

Saya sedang berada di kedai kopi yang tadi malam sempat tutup saat dikunjungi, yang… Sebentar, saya ingat sesuatu.

Bukankah dia yang tadi di tempat forocopi? Dan bukankah dia juga yang semalam…? Kenapa dia ada dimana-mana?

Wanita penganggu pandangan yang barusan mengantar Esspresso saya. Meskipun hanya melihat punggungnya, saya rasa masih bisa mengenalinya, kali ini tatapan saya memang sedang mengamatinya.

Ya sudahlah, banyak yang harus saya baca lebih dulu.

Nanti yang akan langsung berada di bawah saya adalah Arka, dia Pemimpin Redaksi Nabastala, sudah bernaung di perusahaan selama empat tahun belakang. Bagaimana orangnya? Track record Nabastala selama dia menjadi Pemrednya cukup baik. Meskipun masih berada di urutan ke lima. Saya rasa, untuk majalah yang belum genap satu decade, sudah cukup bagus pencapaian ini.

Saya juga sudah melihat grafik penjualan majalah di Indonesia. Yang masih aktif di era digitalisasi ini ada sekitar sepuluh merek. Sejagad, Amore dan KUY magazine. Tiga teratas. Kemudian ada Element, baru sesudah itu Nabastala.

Selama delapan tahun kiprahnya, Nabastala belum pernah menduduki peringkat pertama. Pantas saja wajah Papa selalu tegang jika membicarakan prestasi Nabastala. Sebelum kedatangan saya, Nabastala dikelola dan dipercayakan pada Pemred. Dan pengawasan berkala dilakukan langsung oleh Ketua Grup DA Publishing. Bapak Dendra, Papa saya sendiri.

Namun, semua pencapaian sangat tidak memuaskannya. Berbanding terbalik dengan DA Publishing, yang bahkan sudah merajai dunia percetakan tanah air. Kualitas serta hasil yang sangat memuaskan. Hampir semua surat kabar, majalah dan buku dicetak di DA Publishing.

Bahu ini terasa pegal. Saya menaik-naikkannya, mencoba melemaskan. Tetapi, pandangan saya tetap fokus ke layar tab.

"Naylanya ada, Ce?"

Saya mendengar seorang perempuan menanyakan keberadaan Nayla. Tentu saja kepala saya terangkat dan mengarahkan pandangan ke asal suara. Kapan dia masuk?

Wanita yang sedang berdiri di depan meja kasir, memakai blazer dengan rok span di atas lutut warna senada dengan blazer yang ia kenakan, biru gelap. Rambutnya yang panjang dibiarkan tergerai. Tinggi semampai, kulit tubuhnya juga putih, terlihat dari warna kakinya, dan harus saya akui, itu kaki yang sangat indah.

Stilleto berwarna putih yang ia kenakan menambah kemenawanan ragawinya. Siapa wanita itu?

Eh, kenapa saya justru fokus pada dia. Seharusnya terfokus pada nama yang ia tanyai, Nayla. Apakah itu kamu Dua Dua.

"Nay, Aira nyari loe."

Kasir itu berteriak, memanggil orang yang bernama Nayla. Saya menunggu kemunculannya. Apakah dia…?

"Ya..."

Ya Tuhan, tidak mungkin.

Saya membatalkan niat untuk mengamati lebih lanjut. Tidak mungkin si wanita penganggu pemandangan itu adalah Dua Dua. Dahulu Nayla sangat cantik, rambutnya selalu panjang, wajahnya bersih, dan juga putih. Tidak mungkin dia itu Nayla saya. Mana bisa perubahannya sangat signifikan seperti ini.

Lagi pula, Nayla saya si Dua Dua, ia sangat modis. Penampilannya seperti putri di negeri dongeng.

Saya jadi membandingkannya di kepala.

Ah, benar-benar tidak mungkin. Saya mengibas lagi bayangan itu. Lalu kembali fokus ke layar tab.

Mereka duduk di bangku yang kosong, satu baris di seberang depan saya.

"Ini jam kerja, kok loe bolos terus?"

Saya tidak berniat menguping, tapi dia bicara keras sekali. Mungkin bisa di dengar sampai dapur.

"Gue punya info. Ada lowongan di kantor gue. Loe mau coba nggak?"

Apa-apaan pegawai seperti itu. Tidak disiplin, seenaknya saja keluar kantor di jam kerja, hanya untuk mengabarkan ihwal lowongan pekerjaan.

"Psst… Loe kalau ngomong soal ini pelanin dikit."

Saya sampai tergelak, dia meminta orang lain untuk bicara pelan, tapi suaranya saja masih terdengar hingga telinga saya. Kalau berbisik, seharusnya saya tidak perlu mendengar percakapan mereka.

"Posisi apa?"

Ya Tuhan wanita ini. Meskipun volume suaranya dikecilkan, tetapi masih bisa didengar.

"Sekretaris, soalnya kantor bakal kedatangan CEO resmi. Jadi dia butuh seorang sekretaris buat menyiapkan segala keperluannya."

Sama saja mereka berdua. Saya abaikan, walaupun tetap terdengar jelas.

"Apa mungkin gue bisa?"

"Coba aja dulu. Ijazah loe cucok."

"Hmmm… Loe kerja di mana rasanya?"

"Haistt, Nabastala. Loe inget, Nabastala. Awas loe lupa lagi."

Saya terbatuk.

"Hmmm… hmmm…" lalu pura-pura mendehem untuk membereskan gangguan di tenggorokan saya.

Saya tidak melihat ke arah mereka, tapi, sepertinya dua orang itu melihat ke arah saya.

Jika yang dia maksud adalah Nabastala Magazine. Dan CEO baru itu sudah pasti saya.

Sejak kapan ada penerimaan sekretaris? Tidak ada kabar-kabar dari siapapun yang sampai ke telinga saya.

"Ha! kenapa pelanggan loe yang itu ganteng banget sih?"

Siapa itu tadi namanya? Aira. Akan saya cari informasi tentang dia.

Aira Cantika, posisi Redaktur Pelaksana. Wow, seorang penanggung jawab ternyata. Bagaimana Papa melakukan perekrutan terhadap pegawai yang tidak disiplin seperti ini?

Saya buru-buru menghabiskan Esspresso, lalu memasukkan tab ke dalam tas kerja saya. Kemudian berjalan ke kasir, membayar dan pergi melewati mereka. Tidak sedikit pun memandang ke arah mereka.

Saya putuskan pergi ke Nabastla. Tidak ada batasan atau aturan bagi seorang CEO untuk keluar masuk kantor, meskipun belum memperkenalkan diri secara resmi. Saya juga sudah minta dibuatkan SK penempatan, untuk memperkuat posisi saya dalam mengambil keputusan apapun terkait kinerja Nabastala.

***

***

avataravatar
Next chapter