webnovel

Butiran Debu.

Senyum cantik berseri kembali menghiasi Rina. Walaupun belum resmi digagalkan pernikahannya, tapi dia sudah yakin bahwa Bu Susi tidak akan melanjutkan perjodohan itu. Dia sangat yakin jika Bu Susi akan merasa tidak enak dan malu karena keburukan dati putranya.

Rina tidak mengatakan apapun yang baru saja dilihatnya. Ini segera masuk ke kamar mandi dan membersihkan diri. Dia keluar kamar mandi setelah azan Asar. Setelah itu dia melaksanakan salat lalu mengaji Al Qur'an.

****

Pesawat sudah take off. Runia menggenggam erat tangan suaminya ketika pesawat mulai naik.

"Modus. Habis marah-marah tanpa alasan sekarang nempel," ledek Hafiz Runia segera melepaskan tangannya. Hafiz kembali menarik tangan Runia dan meletakkan di telapak tangannya dia segera menggenggam erat tangan istrinya.

"Aku marah karena ada alasan. Tapi aku tidak berani berbicara. Baiklah lain kali aku akan bicara kalau ada apa pun cobaan. Bodoh juga sih aku tidak segera bicara," sadar Runia. Hafiz tersenyum kecil.

Matanya terlihat sedang mengamati seorang gadis yang duduk di depannya sebelah kanan. Runia memperhatikan arah dari pandangan Hafiz.

"Sebenarnya apa yang terjadi kepada Rina? Bolehkah aku tahu alasannya apa? Karena tadi aku melihat Mas sangat sedih. Mas?" Pertanyaan Runia tidak dijawab oleh Hafiz. Hafiz tetap fokus mengamati gadis dari samping itu.

"Dari tadi Mas di sampingku. Tapi mata Mas tetap tertuju kepada gadis itu," protes Runia, yang lalu menghadap keluar kaca.

"Aku hanya merasa kenal saja. Mungkin karena aku lelah, bayangkan saja aku beberapa hari tidak tidur. Karena aku membuatkan rumah untuk calon kakak iparnya Rina. Temanku saat SMA, Rina sangat mencintainya sejak lama. Ibaratnya cinta Rina buta kepada cowok itu. Tapi masih wajar sih, yang tidak wajar ya cowok itu. Dikhianati berkali-kali dia tetap bucin. Entahlah ... aku tidak bisa menyalahkan perasaan seseorang. Aku sendiri belum merasakan kebucinan seperti itu," ujar Hafiz selalu menghadap ke Runia.

Runia menolehkan wajahnya kearah Hafiz. Jarak keduanya hanya sejengkal. Untuk sejenak keduanya saling memandang dan seakan waktu berhenti.

Hafiz segera memandang ke depan. "Aku tadi mendengarkan, kamu tanya kenapa dengan Rina. Rina tidak kenapa-napa, cuma hatinya yang kacau dan perasaannya. Kamu bayangkan saja. Dia sangat mencintai seseorang. Tapi dia malah akan dinikahi adik dari orang itu. Udah kan semuanya pun tahu akhlak dari calon suaminya Rina. Ibaratnya sangkar yang sangat mengerikan. Tapi yakin sajalah insya Allah tidak akan terjadi hal buruk. Karena dia gadis yang baik." Hafiz memejamkan mata kemudian bersandar di bahu sang istri.

Runia tersenyum ketika suaminya terlelap di bahunya.

'Aku Jatuh hati kepadamu. Di awal pertemuan yang tidak sengaja. Jujur saja saat itu aku berdoa agar Allah mempertemukan kita kembali. Namun, pertemuan kedua kita direncanakan oleh Kak Elsa. Tapi ya semua memang kehendak Allah. Kita terjebak, tapi kenapa aku merasa kamu ada hati dengan gadis yang duduk di seberang sana? Apa memang dia masa lalumu, atau aku hanya menerka-nerka?' batin Runia bertanya-tanya.

"Jangan terus memandangiku. Aku salah tingkah. Tapi wajar saja aku memang ganteng," ujar Hafiz bangun lalu tersenyum. Pipi Runia memerah dia tidak berani memandang suaminya.

"Kenapa tidak lanjut tidur?" tanya Runia kepada Hafiz. Hafiz tersenyum singkat lalu kembali bersandar.

"Kamu tidak mudah mualkan?" tanya Hafiz sambil menguatkan mata untuk terbuka.

"Aku belum hamil. Kan belum ...."

"Dasar mesum apa pikiranmu tidak ada hal lain. Aku tanya, kamu mudah mabuk di perjalanan tidak? Malah hamil, hehehe." Hafiz tertawa tidak henti dengan menutupi bibirnya. Runia melirik dan tersenyum.

"Aku tahu ... aku sengaja mengatakan itu. Agar kamu tertawa," ujar Runia yang lalu memegang dadanya.

"Apa karena tawaku memang manis? Aku sangat yakin seperti itu. Hehehe." Mendengar itu dari suaminya Runia mendorong lengan Hafiz. Habis menatap tajam istrinya, memandang tanpa ekspresi. Kemudian Hafidz menyentuh kantung mata Runia.

"Lihatlah," kata Hafiz. Seketika Runia merasa gugup dan canggung apalagi mereka ada di tempat umum. Sentuhan lembut itu membuat guncangan dalam dada.

"Sangat hitam. Seperti pocong, hahaha." Hafiz tertawa puas tidak henti. Runia mencubitnya dengan kesal.

Runia diam dan menghadap keluar kaca. Dari atas sana dia melihat betapa kecilnya pulau dan kapal-kapal yang berlayar di lautan lepas.

Hafiz ikut menengok. "Sesungguhnya manusia hanya butiran debu. Yang bisa dibersihkan dan juga bisa kotor kembali. Kita sendiri yang bisa mengelola hati kita. Runia, Jangan mudah salah paham lagi. Jika memang ada masalah segera dituntaskan dengan saling berbicara. Aku akan berusaha meredam emosi ku. Kamu juga harus melakukan itu. Kita ini manusia yang sudah diberi amanah dalam hubungan. Aku belumlah sosok seorang yang bisa sabar. Aku sangat mudah emosi. Tapi Aku berani bersumpah aku tidak akan pernah menyakitimu dengan kedua tanganku."

Sangat terharu mendengar perkataan Hafiz. Kembang kempis dada Runia mengundang air mata haru.

"Sebisa mungkin kita membentuk pernikahan ini menjadi sesuatu yang sangat positif. Dan, aku harus jujur dari awal pernikahan kita. Aku belum mengatakan siapa aku sebenarnya. Jujur saja, aku ingin bertemu mantan kekasihku. Hanya sekedar minta maaf karena tidak bisa menepati janji. Bagaimanapun yang aku utarakan saat aku menjadi pacarnya. Yaitu. Janji-janji manis yang aku ucapkan, aku harus meleburnya. Apa kira-kira kamu mengizinkan aku bertemu dengannya?" tanya Hafiz sangat serius dengan memandang penuh harap.

"Silakan saja," jawab Runia terlihat tenang dan sangat percaya kepada Hafiz.

"Alhamdulillah. Kebetulan juga dia dokter yang merawat bibi. Semoga Bibi juga cepat sembuh. Aamiin." Hafiz menatap istrinya yang tidak melihatnya.

"Alhamdulillah ...." ujar Runia sambil menggambar di kaca pesawat.

"Ciye ... cemburukan?" ledek Hafiz, Runia menoleh sebentar lalu dia lanjut menulis di kaca yang berembun. Hafiz mengikuti jari telunjuk Runia. Runia menghindar.

"Kalau tidak cemburu kenapa menghindar?" tanya Hafiz yang lalu menggenggam tangan Runia.

"Sangat dingin. Kayaknya juga jalan pesawatnya di atas gumpalan mendung. Jadi bergoyang-goyang," ujar Runia. Hafiz mengerutkan kening lalu memundurkan badan dan melepas tangan Runia.

"Kok tidak nyambung?" gumam Hafiz bertanya. "Tapi aku juga tidak faham dengan yang dia katakan. Oh ... bodohnya aku. Jelas saja, telingaku juga merasa terganggu," kata Hafiz sadar.

"Aku tidak dengar ...." Kedua saling mengatakan itu, lalu mereka tertawa.

'Apa kira-kira saat aku mengatakan keinginanku dia juga tidak dengar? Mungkin saja, karena ketidakseimbangan tekanan udara. Maklumlah. Maskapai penerbangan beri aku kenangan indah. Agar saat turun nanti ada kesan tersendiri. Huft ... semoga aku juga bisa menerbangkan rasa yang tersisa kepada mantan kekasih. Semoga cepat hadir cinta ini untuk dia. Runia. Mereka sangat berbeda. Dia di sana. Aku tidak mau bilang dia mantan terindah. Karena terindah itu tidak akan menjadi mantan. Hahaha,' keluh kesahnya dalam hati.

Bersambung.