3 3. Isteri Bos Yang Genit

65 tahun kemudian!

Juli, 2017,

Rumah itu kendati berkonstruksi besar dan megah, namun tampak tak terawat. Halamannya yang luas serta pagar besinya telah dipenuhi semak belukar.

Tampak bagian kaca jendela rumah dipenuhi debu tebal, serta sarang laba-laba yang mengantung di sana-sini, termasuk di fentilasi rumah yang dihiasi oleh ukiran dari lempengan besi.

Rumah itu terletak di pinggiran kota, agak jauh dari pemukiman penduduk.

Karena letaknya yang berada di pinggiran kota tak salah kalau di tempat itu masih banyak terdapat pepohonan rindang. Bahkan bisa dikatakan kalau rumah itu berada di tengah-tengah hutan kota.

Terkesan anggun, sejuk sekaligus mengandung misteri!

Cuaca tengah panas terik.

Dari ujung jalan terlihat sebuah mobil melaju pelan menuju rumah terpencil yang tak pernah terawat selama puluhan tahun itu. Beberapa saat kemudian mobil berwarna silver itu berhenti tepat di depannya.

Dua orang pria separuh baya turun dari mobil, dan memandang ke arah rumah. Salah seorang pria sejenak terpaku takjub. "Kondisinya masih bagus..." desisnya. Lalu ia berpaling kepada pria lain di sebelahnya.

"Kau yakin rumah ini tak bermasalah, Toni?"

"Haqqul yaqin, Bang, Arul! Ini rumah saya warisi dari kakek saya selaku pembeli pertama rumah ini, kita ada sertifikatnya kok. Lengkap!"

Arul tertawa seraya menepuk pundak Toni. "Percaya... percaya... cuma aku heran saja kenapa rumah sebagus ini tak pernah ditempati dan dibiarkan terlantar, he?"

"Itulah bang. Sejak zaman ayah saya, kami sekeluarga tak mau menempati rumah ini karena letaknya yang jauh dari pemukiman. Lagipula kami masing-masing sudah memiliki rumah yang ideal bagi kami, sehingga tidak ada keinginan untuk menempati rumah warisan ini," kata pria yang dipanggil Toni. "Terus terang, Bang. Sebenarnya almarhumah ayah sempat mewanti-wanti agar rumah ini jangan dijual. Tapi untuk apa? Mau dijadikan sarang hantu?"

Usai berkata begitu tiba-tiba: cletaaarrrr!!! petir di langit menggelegar. Membuat keduanya terperanjat.

Arul memandang langit dengan wajah masih diliputi perasaan terkejut. Ia menatap heran langit di atasnya. Langit itu masih terlihat bersih, tak ada tanda-tanda kalau bakalan turun hujan.

Ia menggeleng-geleng kepala dengan bingung, lalu tersenyum ke arah Toni yang masih belum hilang rasa kagetnya. "Ada-ada saja, tak ada hujan tak ada angin kenapa tiba-tiba petir menyambar? ah, cuaca ekstrim barangkali... cuaca yang sulit diduga," ia menggumam sendiri.

Toni tertawa. "Barangkali pertanda baik itu Bang! Mungkin itu tanda kalau abang jadi juga membeli rumah ini, ha ha ha..."

Arul ikut-ikutan tertawa. "Ha ha ha. Bisa saja kau! Ya jelas jadi lah! Tanpa petir itu juga aku memang jadi membeli rumah ini, kan sudah kubilang tadi kalau aku perlu rumah ini sebagai tempat peristirahatan keluarga, sekaligus kujadikan usaha penginapan, tapi nanti akan kurenovasi dulu! Mengenai harga tadi kita sudah sepakat, kan?"

"Sip, lah! Kita deal kalau begitu!"

Keduanya lalu saling berjabat tangan. Senyum terkembang di bibir keduanya.

Rumah tua itu tampak berdiri kokoh. Megah dan kuno. Tak ada yang tahu persis sejarah rumah itu karena status kepemilikannya yang berpindah-pindah sebelum dimiliki oleh ayahnya Toni.

Namun satu yang pasti.

Ada satu aroma kematian sedang mengintai di rumah itu...!

***

Satu bulan setelah transaksi itu, Arul, kontraktor besar dari kota Sampit begitu bernafsu ingin merenovasi besar-besaran rumah tua yang baru dibelinya.

Rumah itu memang terlihat megah dan mewah seandainya dirawat dan didiami dengan baik, disamping harganya yang juga murah untuk ukuran rumah sebesar itu. Hal itulah yang menyebabkan pengusaha itu tertarik membelinya.

Tanpa pikir panjang ia segera mengerahkan para tukang kepercayaannya untuk secepatnya memperbaiki rumah itu.

Dalam satu bulan mungkin sudah selesai, pikirnya. Dan ia berniat ingin memboyong isteri simpanannya bersama keluarganya untuk menikmati rumah itu saat liburan semester tahun ini, jika sudah selesai diperbaiki.

Ia tersenyum-senyum saat membayangkan selesainya rumah itu. "Pasti Norsy akan sangat senang jika tahu rumah ini bakal kuberikan padanya," pikirnya.

***

Renovasi berjalan dengan lancar. Arul, sang pemilik rumah, selain turun tangan langsung mengawasi jalannya kegiatan renovasi, juga dibantu oleh Adit, seorang pemuda lulusan arsitektur yang menjadi tangan kanannya jika menangani proyek-proyek besar.

Saat renovasi berjalan hampir mencapai 90 persen, Arul datang didampingi oleh isteri mudanya, Norsy meninjau rumah yang bakal diserahkannya kepada bini mudanya tersebut.

Norsy tampak mengenakan T-shirt ketat berwarna jingga, dengan celana pendek warna putih, memperlihatkan kedua kakinya yang putih mulus.

Isteri muda pengusaha kaya itu memang manis dan baru berusia 27 tahun, tampak anggun namun sedikit angkuh saat turun dari mobil Fortuner yang ditumpanginya ketika kendaraan itu berhenti di depan rumah.

Arul yang bertubuh sedikit agak gemuk menyusul keluar dari mobil sembari memayungi wanita itu yang melindungi matanya dengan kaca mata hitam. Wajah Arul tampak berseri-seri meski ia diperlakukan layaknya pembantu oleh perempuan itu.

"Inilah rumah yang kujanjikan itu. Bagus aja, kan?"

"Hm..." Norsy hanya bergumam pelan sembari memandang ke arah rumah. Wajahnya terlihat biasa-biasa saja, bahkan terkesan dingin, tak ada perasaan gembira berlebihan di raut mukanya.

"Kalau Dinda ingin melihat-lihat bangunan di bagian belakang aku antarkan, tapi semuanya masih dalam tahap perbaikan," kata Arul sembari menggamit lengan isteri mudanya ke dalam rumah.

Di dalam terlihat sejumlah tukang sedang membongkar dinding kamar bagian depan. Tampak dinding itu sudah lapuk dimakan usia, sehingga mudah dirontokkan saja saat prosesi pembongkarannya. Adit, si pengawas lapangan tampak sibuk memberikan arahan kepada seorang tukang yang tengah mengerjakan rehab plafon.

Ia menengok sejenak ke belakang saat Arul dan isteri mudanya melintas di belakangnya. Sang bos tersenyum sambil melambaikan tangannya.

"Gimana? Ada hambatan, Dit?" Ia bertanya basa basi kepada pemuda itu.

"Ada, om, ada sedikit masalah dengan bilik kecil yang ada di halaman belakang," kata pemuda itu seraya menepuk-nepuk tangannya yang berdebu. "Siang tante..." ia menganggukkan kepala kepada Norsy saat melihat isteri pengusaha itu tersenyum ke arahnya. Tapi kemudian ia cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah Arul.

"Oh ya? Apa yang terjadi?" Arul bertanya penasaran, tanpa menyadari Norsy juga menatap pemuda itu dengan pandangan penuh kekaguman.

"Kamar misterius itu, om. Kita kesulitan untuk membongkarnya, struktur betonnya sangat kuat. Tak ada pintunya, dan tak juga tak ada yang tahu apa fungsi bangunan itu dulunya," katanya setengah mengeluh.

Arul semakin mengerutkan alisnya. "Oh ya? Aneh juga ya? Tapi coba kau hubungi saja siapa yang kira-kira bisa membongkar bangunan itu, mungkin isinya adalah harta karun," katanya seraya tertawa," Namun sesaat kemudian wajahnya kembali terlihat agak serius. "Yang jelas, tak enak rasanya membiarkan bangunan tanpa fungsi di halaman belakang, mending dijadikan kolam renang..."

"Oke, om, besok saya usahakan," sahut Adit.

Arul mengangguk senang. "Ya, santai saja tak mengapa, tapi aku ingin lihat dulu bangunan yang kau sebutkan itu, siapa tahu ada gambaran untuk apa bangunan itu dibuat sebenarnya,"

Kontraktor itu lantas berjalan ke arah ruang belakang sembari tetap menggandeng mesra Norsy yang ada di sampingnya.

Sejumlah tukang bangunan yang sibuk bekerja tampak senyum-senyum melihat kemesraan kedua orang itu.

"Namanya juga bini muda, pasti masih disayang-sayang, kalau sudah tua dibuang," celetuk salah seorang pekerja, sembari terkekeh-kekeh.

"Kapan juga ya aku bisa seperti itu?"

"Astaga Hasan! Kau jangan berkhayal lah! Untuk mengongkosi isteri satu saja kau sudah megap-megap! Buru-buru mau kawin lagi... ha ha!"

"Sssttt...!" Adit mengacungkan telunjuknya di bibir saat melihat Norsy menoleh ke belakang. Ia melotot ke arah para pekerja karena takut isteri bosnya itu mendengar pembicaraan mereka.

Norsy memang menoleh, tapi bukan untuk marah, tapi justru tersenyum menggoda ke arah Adit sembari mengedipkan sebelah matanya dari arah halaman belakang.

Adit ternganga. Begitu pula kedua buruh yang ada di dekatnya.

"Astaga! Isteri pak Arul main mata dengan Adit! Dit, Dit, apa-apaan kau?! Kau suka main pelet ya?" Hasan berbisik sembari matanya melotot tak percaya. "Hati-hati, Dit! Nanti kau bisa dimutilasi Pak Arul!"

Adit mengibaskan tangannya kesal. "Apa-apaan?! Kalian jangan main tuduh sembarangan, ah! Baru saja kenal..."

"Hiii, Adiiit, aaaahhh..." Hasan sengaja mengodanya sembari meliuk-liukkan badannya seperti seorang penari erotis.

Adit senyam-senyum saja. Mencoba berusaha bersikap tak peduli, kendati hatinya sungguh penasaran, ada apa tiba-tiba isteri muda Pak Arul berusaha mencari-cari perhatian dirinya. Padahal dirinya sama sekali tidak mengenal perempuan itu.

Dan yang aneh, seminggu kemudian Norsy tiba-tiba datang lagi ke tempat itu, tanpa didampingi oleh Arul. Ia mengenakan pakaian yang semakin minim serta mengendarai mobil sendirian. Wajahnya terlihat ceria dengan senyum menghiasi bibirnya.

Tampak makin cantik dan menggoda.

Di tangannya tampak terlihat menjinjing tas kulit berwarna biru muda. Ia juga mengenakan setelan mini berwarna hitam dengan corak garis-garis merah muda.

Dengan melenggang-lenggok aduhai ia berjalan ke dalam rumah, melewati beberapa pekerja yang tengah asik memplaster tembok.

"Stttt... Nyonya cantik lewat tuh...!" seorang pekerja berbisik sambil menyenggol temannya yang ada di samping.

Sang teman menoleh, lantas terpana. "Ai, ai... Eloknya! Ada apa dia pagi-pagi ke sini? Sendirian pula?"

Norsy cuek saja melangkah ke dalam rumah, melewati ruang tamu yang dipenuhi para pekerja, lantas menuju ke arah halaman belakang, di mana saat itu Adit sedang berpikir sembari memperhatikan bangunan kecil bertembok yang ada di halaman belakang rumah. Keningnya berkerut sejak tadi.

"Hai? Lagi ngapain, Dit?" Norsy menyapa ramah di belakangnya. Adit terkejut dan menoleh ke belakang.

"Oh? Tante Norsy? Sendirian aja Tante?" Adit cepat-cepat mengambilkan sebuah kursi yang ada di tempat itu dengan penuh rasa hormat, lalu mempersilakan nyonya besar itu untuk duduk. Norsy tersenyum geli.

"Formil amat! Tak usah repot, Dit! Aku cuma sekedar mampir pingin tahu perkembangan renovasi rumah ini, sekalian juga aku masih penasaran dengan bangunan kecil di halaman belakang ini," kata Norsy seraya duduk manis di kursi yang disediakan Adit. "Lagipula kamu tidak perlu panggil aku Tante. Panggil saja aku Norsy."

"Baik nyonya Norsy, ada yang bisa saya bantu?" Adit menyahut setengah bercanda.

"Ada! Bisa gak kamu temani aku makan siang sekarang," Norsy menatap Adit dengan pandangan penuh harap. Adit gelagapan. "Oh, m-maksud mbak...?"

"Aku serius, Dit! Kamu mau tidak menemani aku makan siang?" Norsy kembali mengulangi tawarannya. Setengah mendesak.

Adit tercengang sejenak. Tak menyangka mendapat tawaran menarik sekaligus "membahayakan" itu dari Norsy.

"Oh? Hm, mau aja Norsy, tapi apakah Pak Arul tidak marah nantinya?" katanya pelan penuh kehati-hatian. Otaknya memancarkan sinyal tanda bahaya, karena dilihatnya Norsy seperti menyalakan rambu mengajak bermain api.

Norsy tertawa. "Adiiit, Adiiiit, kamu polos banget, sih! Masak harus bawa-bawa nama suamiku segala? Enggak lah! Mas Arul selalu nurut saja apa mauku, termasuk siapa pun yang akan menemaniku makan tidak jadi soal baginya, apalagi kamu kan orang dekatnya dia. Jangan norak, ah!" Norsy tergelak sambil mengibaskan tangannya. Jurusnya cukup ampuh.

Adit kendati penuh keragu-raguan akhirnya mengangguk mengiyakan.

"Naaah, gitu dooong!" Norsy berseru senang. Ia segera berdiri. "Yuk, ikut aku. Nanti sambil makan kita bicarakan lagi mengenai bangunan di belakang ini, gak usah pusing lah. Ini kan rumahku juga..."

Dengan gaya centil ia berjalan mendahului ke luar rumah. Tak peduli tatapan di sekitarnya yang memandangnya dengan tatapan aneh, serta terkandung kecurigaan.

Bahkan beberapa di antaranya berbisik-bisik seraya tersenyum penuh arti, saat melihat Adit melintas di hadapan mereka menyusul si perempuan cantik.

"Kasak-kusuk, kalian kupecat! Kerja saja yang benar!" ancam Adit sambil melotot ke sekelilingnya. Yang diancam pada mengkerut ketakutan sambil pura-pura kembali sibuk bekerja.

Tapi ada saja buruh yang mulutnya usil. Nyeletuk pelan hampir tak terdengar: "Orang yang sedang naik libidonya memang begitu, Bang, suka marah-marah gak jelas...!"

Untung saja Adit tidak mendengarnya!

Norsy terlihat gembira. Ia tanpa sungkan-sungkan, seakan sudah kenal lama, menggandeng lengan Adit memasuki mobilnya. Adit merasa sedikit ketakutan namun tidak berkutik. Takut ia kalau-kalau pemandangan itu dilihat orang lain.

"Tante, eh, Norsy... Kamu yakin ini tidak berakibat apa-apa? Aku takut nanti ketahuan Pak Arul..."

"Adiiit! Kamu ini kenapa, sih? Memangnya kita ngapain? Kita cuma makan-makan, kan?" Norsy mendelik ke arah Adit, tapi senyumnya kemudian mengembang menggoda.

"I-iya juga sih..." Adit menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal. Entah kenapa ia jadi linglung sendiri saat berhadapan dengan perempuan cantik namun bersikap super agresif itu. Pikirannya terasa buntu saat ia berusaha untuk berpikir logis. Terutama saat ia menyadari bahwa Norsy adalah isteri pak Arul atasannya. Dan itu artinya ia tidak boleh berbuat atau berpikir sekecil apapun terhadap isteri atasannya itu.

Itu kalau ia ingin selamat!

Tapi tampaknya Norsy termasuk golongan tupai yang pandai melompat. Selalu punya jurus ampuh buat merayu lelaki yang menjadi incarannya.

"Tapi kalau kamu ingin lebih dari itu, ya tak apa-apa juga, aku juga mau, kok," katanya memancing. Matanya melirik genit ke arah Adit yang tengah pusing tujuh keliling mengatasi gejolak hatinya.

Adit merasakan tubuhnya berkeringat dingin. Bagaimanapun ia hanyalah seorang pemuda polos yang tak pernah berurusan dengan kaum hawa, sehingga saat digoda seorang wanita hatinya langsung senut-senut tak keruan.

Norsy membelokkan mobilnya ke sebuah rumah makan ayam goreng yang ada di jalan Ahmad Yani.

Rumah makan itu termasuk rumah makan favorit di kota Sampit.

Ia duduk berseberangan meja dengan Adit, yang terlihat agak cemas sembari melirik kanan kiri takut kalau-kalau ada yang mengenali mereka.

Norsy cuek saja seraya memesan makanan. "Kamu mau pesan apa, Dit?" Ia menatap pemuda berkulit putih itu seraya menyorotkan daftar menu yang disorongkan pelayan.

Adit nyengir grogi. "Samakan aja dengan kamu," ujarnya. Norsy tersenyum. Hm, type pemuda yang polos dan mudah dipermainkan! Pikir Norsy. Namun dalam hatinya ia juga mengakui jika Adit memiliki potensi untuk menjadi seorang playboy.

Pemuda itu tidak sekedar tampan, tapi juga memiliki daya tarik yang tidak semua laki-laki memilikinya. Itulah membuat Norsy langsung tergila-gila saat pertama kali bertemu dengannya.

"Sejak kapan kamu bekerja pada suamiku, Dit?" Norsy membuka pembicaraan setelah beberapa saat mereka saling diam. Adit tampak lebih banyak melamun sambil menatap ke arah jalan. Pikirannya masih dipenuhi oleh persoalan bangunan berbentuk persegi yang ada di halaman belakang rumah itu yang belum juga tertangani olehnya.

"Eh, i-iya, mbak...!" Adit agak kaget ketika Norsy mencubit lengannya karena pemuda itu terlihat masih melamun saat ia menanyakan sesuatu kepadanya. "Ng, sudah dua tahun, mbak Norsy, kenapa?"

"Oh, ya? Kamu betah kerja dengan Arul?" Norsy terus menyelidik.

"Pak Arul orangnya baik, mbak! Tapi sebenarnya saya juga berpikir untuk membuka usaha sendiri, yah hitung-hitung kalau kita bekerja dengan orang lain terus mana bisa berkembang, mbak!"

Adit mulai terlihat sedikit enjoy berbincang-bincang dengan perempuan itu karena ia mulai menyadari Norsy tidaklah semenakutkan yang ia duga, kendati masih ada cap di kepalanya bahwa Norsy adalah wanita peselingkuh yang siap berkencan dengan siapa saja.

"Oh ya? Kamu ingin berusaha di bidang apa, Dit?" Norsy memancing. Tampak ada satu rencana di kepalanya.

"Dulu cita-citaku ingin punya toko buku sendiri mbak, aku dari dulu hobi membaca, jadi kupikir aku bisa menyalurkan hobiku sekaligus menghasilkan uang," jawab Adit.

Norsy tersenyum.

"Sekarang bagaimana kalau cita-citamu itu terwujud, dan aku yang akan mewujudkannya?"

"Maksud, mbak?" Adit mengerutkan alis. Norsy mendekatkan wajahnya ke wajah Adit, tercium aroma parfum yang wanginya menggoda. Adit langsung merasakan jantungnya berdebar aneh. "Katakan saja, Dit... Kau butuh uang berapa untuk membangun tokomu itu, nanti aku akan berikan. Aku serius!" Norsy berbisik seraya menatap lekat-lekat mata pemuda itu.

Adit ternganga, tak tahu harus berkata apa. Norsy kembali menarik wajahnya ke posisi semula. "Aku punya uang banyak, Dit, aku juga punya banyak usaha setelah perkawinan ku dengan Arul, tapi ada satu syarat yang harus kau penuhi, jadilah teman setiaku dan datanglah setiap saat aku membutuhkanmu..." Norsy tersenyum puas saat mengatakan itu.

Adit terdiam tak tahu harus berkata apa. Ia begitu kaget mendengar kalimat-demi kalimat Norsy yang sungguh-sungguh di luar akal sehatnya. Wanita itu begitu blak-blakan dan mendirikan bulu roma. Wanita itu benar-benar angin surga baginya, namun juga bisa membawa membawa petaka bagi dirinya.

"Dit? Hey! Kok kamu diam?" Norsy tertawa seraya mencubit mesra hidungnya. "Hello, hellow...!" Wanita itu agak keki juga melihat Adit tidak terlalu merespon ucapannya.

Adit hanya terlihat memandanginya dengan wajah bengong.

avataravatar
Next chapter