1 Perjanjian

Mata Angelin masih nampak basah, setelah pembicaraan di ruang keluarga telah usai. Sebenarnya dia tidak terima perjodohan ini. Meskipun ini kali ketiga keluarga memohon pengertiannya untuk menyelamatkan reputasi dan ekonomi keluarga.

"Pokonya Elin tidak mau, Ma. kenapa harus Elin yang membayarnya? kanapa Elin yang harus dipertaruhkan?" ucap gadis mungil yang masih berusia sembilan belas puluh tahun itu.

Elin langsung berlari menuju kamarnya, di sana dia menumpahkan air mata yang dari tadi tidak mampu dibendungnya. Bu Siska yang melihat anak kesayangannya menangis pergi tidak bisa berbuat apa-apa. Dia juga tidak pernah mengerti urusan perkantoran suami yang sampai melibatkan putri semata wayangnya.

Gadis dengan rambut panjang itu kini hanya bisa menumpahkan kesedihannya pada sebuah catatan harian yang sudah setia menemaninya. Dia baru mengerti sekarang, kenapa selama sekolah dulu orang tuanya melarang untuk dekat dengan teman cowok yang ada di sekolah.

Pak Yudha yang sudah memiliki dua perusahaan besar, kini nyaris bangkrut karena ulah orang kepercayaanya yang berkhianat menyelewengkan dana perusahaan.

Satu-satunya jalan hanya mengikhlaskan putri semata wayangnya, menikah muda dengan seorang Direktur utama perusahaan yang menaungi perusahaannya.

"Alin, buka pintunya, Nak! kamu belum makan dari tadi siang." Bu Siska terus saja mengetuk pintu kamar Elin yang terletak di lantai dua. Namun, tetap saja Elin tidak menggubris panggilan Ibunya.

"Biarkan saja, nanti juga dia akan keluar," ucap Pak Yudha yang sudah mengerti perangai anaknya. Bu Siska yang mendengar perkataan suaminya segera berbalik menuju dapur.

Sebenarnya hati Bu Siska tidak tega melihat Elin diperlakukan begitu keras oleh suami. Namun, dia tidak tahu harus berbuat apa. Sikap keras suaminya telah dihadapi selama tiga puluh tahun.

Elin masih terisak di kamarnya, sebuah ruangan yang ditata dengan elegan. Matanya kini sudah terasa sembab, berkali-kali tangannya memegang handphon untuk sekadar berkaca. Tetap saja tidak ada perubahan pada kantung matanya yang membengkak.

Tidak pernah terpikir olehnya akan menikah muda dengan seorang yang juga sudah terpandang. Dia akan melupakan segala mimpinya yang pernah dibayangkan.

Gadis mungil itu memang seorang yang cantik secara fisik. Tubuhnya begitu ideal untuk seorang wanita muda. Dengan kulit putih dan bermata sipit. layaknya wanita Korea pada umumnya.

Elin termasuk wanita idola di sebuah sekolah ternama. Tidak jarang teman-teman cowok selalu menaruh hati padanya, mekipun tidak semua mereka mampu menyampaikan rasanya. Mereka sudah mengenal siapa Pak Yudha, seorang yang ikut andil sebagai donatur di sekolah itu.

Setelah kelulusan dia ternyata tidak mendapatkan jurusan yang diinginkannya. Dengan berat hati dia memutuskan untuk menunggu tahun depan kesempatan itu. Namun, Pak Yudha punya rencana lain yang membuatnya tidak bisa berkutik.

***

Berkali-kali Bu Siska mengetuk kamar Elin, Namun, dia tetap bungkam. Batinnya terasa berkecamuk ingin melampiaskan kemarahan pada orang tuanya, tapi dia tidak punya keberanian untuk itu.

"Sayang, buka pintunya. Mama ingin bicara sebentar," pinta Bu Siska sambil terus mengetuk pintu kamar Elin.

Lima belas menit sudah wanita yang masih terlihat cantik itu menunggu di depan pintu. Namun, tidak ada jawaban sama sekali. Bahkan dia juga tidak mendengar suara isakan putrinya dari arah dalam kamar.

Hatinya tiba-tiba gelisah, Ada saja pikiran buruk yang menghantuinya. Seketika wanita itu berlari ke arah suaminya yang sedang duduk di ruang tamu.

"Pa, Elin kok nggak nyahut ya? Mama juga tidak mendengar suaranya menangis. Jangan-jangan anak kita ... cepatan pa, buka pintunya dengan paksa," rengek sang istri yang sudah mulai gugup.

"Mama apa-apaan sih, mikirnya ke mana-mana," ucap Pak Yudha sambil meletakkan majalah yang dipegangnya di atas meja.

Mereka berdua terus berlarian menuju kamar Elin. Di depan pintu, Laki-laki berkumis tipis itu ikut mengetuk pintu dengan keras. Namun, tetap tidak ada jawaban.

"Ma, Pak Wawan ada di bawah? ayo panggil, Ma. Kita harus dobrak kamar ini."

Dengan cepat Bu Siska segera menuruni tangga dan memanggil-manggil Pak Wawan yang bekerja sebagai sopir pribadinya.

"Pak, bantu kami mendobrak pintu kamar Elin yang dikunci dari dalam," pinta Bu Siska dengan nafas yang sudah ngos-ngosan.

Tidak berapa lama seorang laki-laki paruh baya ikut berlarian menaiki tangga menyusul Bu Siska.

Sementara itu di depan pintu kamar Elin, mereka berdiri saling berjajar untuk sama-sama serentak mendobrak pintu kamar Elin.

"Nanti hingga hitungan ke tiga, kita dorong secara bersamaan ya?" ucap Pak Yudha yang sudah mulai khawatir pada anaknya seperti yang dirasakan Bu Siska.

"satu ... dua ... tiga ..."

Alangkah kagetnya mereka menyaksikan pemandangan yang ada di hadapan mereka.

Bersambung ....

avataravatar