1 FLORENCE FOSTER 

Florence Foster gadis manis dan anggun berusia 17 tahun. Rambut indah berwarna merah kecokelatan mirip tembaga miliknya dibiarkan tergerai menutupi pundaknya.

Gadis itu menarik napas panjang dan berat sambil menatap kedua orang tuanya bergantian. Acara dinner bersama keluarganya malam ini terasa menakutkan. Dia takut ditolak dan takut justru akan mendapatkan kemarahan sang ayah karena dia tahu sebagai anak satu-satunya dia harus meneruskan memimpin perusahaan milik ayahnya.

"Mom, Dad, aku mau mengatakan sesuatu." Florence menatap menarik napas panjang dan membulatkan tekad.

Seketika tatapan kedua orang tuanya mengarah kepada putri mereka satu-satunya, "Ya … ada apa, Flo?" Irvin Foster, ayah-Florence menghentikan suapan makannya.

"Katakan saja," ucap Mia, ibu Florence menangkap keraguan di mata putrinya.

"Aku mau kuliah di universitas kedokteran. Aku mau jadi dokter Spesialis Anak nantinya. Sebentar lagi ada tes untuk siswa yang mau mendaftar," terangnya dengan takut-takut. Mata birunya berkedip beberapa kali.

"Flo … itu tidak mungkin dilakukan," jawab ayahnya tegas, "kau harus mengurus perusahaan kita nantinya."

"Tapi, Dad … aku mau punya rumah sakit anak. Aku mau mengurus rumah sakit, bukannya perusahaan." Florence menegaskan keinginannya.

"Tidak … Flo. Kau harus mengurus perusahaan kita. Aku tidak mau mendengarmu merengek-rengek tentang hal ini lagi di kemudian hari!" Irvin memandangi putrinya dengan tatapan intimidasi.

"Dad, aku suka anak kecil. Aku mohon," rengek Florence dengan nada mengiba.

"Flo! kita tidak sedang berdiskusi. Ini perintah, kau akan sekolah bisnis dan meneruskan memimpin perusahaan!"

"Apa salahnya menjadi dokter? Aku hanya ingin membantu anak-anak."

"Sama sekali tidak salah, tapi perusahaan tidak ada yang mengurus."

Air mata Florence mengaliri pipinya. Dia mengangguk lemah, "Aku sudah kenyang. Permisi," ucap gadis muda itu berdiri dari kursi lalu melangkah menjauh. Dia berlari menuju kamarnya. Rumah besarnya yang maha luas terasa begitu sempit baginya.

Mia menatap suaminya dengan menghela napas panjang. Dia merasa serba salah. Suaminya benar, perusahaan harus ada yang mewarisi dan menjalankannya, tetapi dia juga kasihan pada putrinya.

"Irvin, kau terlalu keras dengannya," kata Mia pelan dan lembut.

"Ini yang terbaik, Mia. Kau pasti tau kalau keputusanku benar!" ucap Irvin kepada istrinya dengan nada tinggi.

"Aku tau, tapi setidaknya kau bisa bicarakan dengan cara baik-baik." Mia tetap menyatakan keberatannya pada sang suami.

"Aku sudah bicarakan baik-baik, tadi dia tetap memaksakan keinginannya. Sudah cukup. Aku tidak mau kita membicarakan hal ini lagi. Dia harus mengurus perusahan dan mengambil sekolah bisnis." Irvin meletakkan alat makannya dan berlalu pergi bahkan sebelum makannya selesai.

Mia hanya bisa menarik napas dalam dan berat. Dia hanya inginkan kedamaian di dalam rumahnya. Namun, ia sadar Ayah dan anak itu sama. Mereka sama-sama memiliki keinginan teguh yang tidak tergoyahkan. Dia hanya takut perdebatan malam ini hanyalah awal dari keributan-keributan di lain hari.

Mia berjalan menuju kamar putrinya kemudian membuka daun pintu, "Flo…" panggilnya hangat saat melihat sang putri sedang menangis menutupi wajahnya dengan bantal.

Florence tidak mengindahkan panggilan ibunya, dia tetap dengan posisi semula, berbaring dengan wajah tertutup bantal sambil terisak.

Mia mengusap kepala anaknya dengan gerakan lembut, "Flo … tidak salah kamu mau menjadi dokter. Itu cita-cita yang mulia," ucap ibunya lembut.

"Tapi Dady tidak setuju, Mom," ucapnya di sela sedu sedan.

"Ya … begitulah. Tapi cobalah kau mengerti keadaanya. Kau satu-satunya anaknya. Perusahaan harus ada yang meneruskan. Kalau bukan kau, siapa lagi?" bujuk Mia dengan kata-kata lembut. Setelah berkata seperti itu dia meninggalkan sang putri sendiri, membiarkan anak gadisnya memikirkan kata-katanya.

***

Beberapa hari setelahnya

Florence berdiri di depan cermin. Malam ini adalah ulang tahun perusahaan sang ayah yang ke 20 dan diadakan pesta besar di dalam gedung kantor mereka. Sang ayah mewajibkan Florence ikut serta, sebagai satu-satu pewarisnya, dia akan memperkenalkan sang putri kepada semua orang.

Gadis itu menarik napas panjang dan berat karena harus melepaskan keinginan dan cita-citanya. Dia mematutkan diri di cermin, sekali lagi menatap wajahnya yang cantik. Setelah itu dia turun ke bawah menanti kedua orang tuanya.

Dia duduk di sofa, tidak lama kemudian kedua orang tuanya pun keluar dari kamar mereka.

"Flo … kau cantik sekali," sapa sang ayah melihat putri kesayangannya. Dia meraih kepala gadis itu dan mengecup keningnya. Ada rasa bangga di hatinya memiliki putri secantik dan sepintar Florence dan anak semata wayangnya itu tidak lagi membantahnya. Menuruti keinginannya agar bersedia mengurus perusahaan dan melupakan keinginannya menjadi dokter.

"Dad … Mom," sapa Florence sambil tersenyum, "Kalian terlihat mengagumkan." Dia memeluk hangat kedua orang tuanya. Mereka pun pergi ke acara pesta di gelar bersa.

Florence turun dari mobil dan berjalan anggun di belakang kedua orang tuanya.

"Flo!" panggil seseorang.

Florence pun mencari sang pemilik suara yang telah memanggilnya, "Ed!" serunya dengan senyuman lebar.

Lelaki yang dipanggil Ed pun mendekat dan memberikan lengannya. Dengan senyuman senang Florence mengaitkan tangan pada lelaki muda di sampingnya. Mia dan Irvin menoleh kebelakang. Senyuman di bibir mereka pun terkembang. "Edward," sapa Mia.

"Halo, Mr. dan Mrs. Foster," sapa Edward kepada kedua orang tua Florence.

"Mana ayahmu?" tanya Irvin pada anak sahabatnya.

"Ada di dalam. Dia sudah menunggumu," ucap Edward sambil mengangguk hormat.

"Baiklah, ayo kita masuk," ajak Mia.

Mereka pun masuk ke dalam. Sudah banyak para pekerja dan relasi bisnis mereka menghadiri acara itu. Semua tampak senang kecuali Florence.

Edward melihat hal itu. Mereka bersahabat sejak kecil karena orang tua mereka bersahabat, dan lagi ayah Edward adalah pemegang saham di perusahan Ayah Florence. Karena persahabatan kedua orang tua mereka, keduanya jadi sering bertemu, sehingga Florence dan Edward akhirnya juga menjadi teman baik.

"Kau kenapa? Sepertinya kau tidak senang," tanya Edward kepada gadis di sisinya.

"Aku bosan," kata Florence jujur. Ah, bagaimana dia tidak bosan, acara ini dipenuhi para orang tua. Tidak ada remaja seperti dirinya.

"Ayo kita keluar," ajak Edward pada Florence.

"Ke mana?" tanya Florence.

"Kita ke taman saja. Tunggu sebentar." Edward dia berjalan menuju meja saji dan mengambil empat kaleng bir. Setelah itu dia kembali menghampiri Florence dan mereka pun berjalan keluar. Duduk di taman di depan gedung kantor.

"Ada apa Flo? Kau kelihatan tidak bersemangat." Edward menyurungkan kaleng bir.

"Aku mau mendaftar ke universitas kedokteran, tapi Ayahku tidak mengijinkan. Dia berkata harus ada yang mengurus perusahaan."

Edward menatap dalam wajah cantik Florence, "Kau mau jadi dokter?" tanyanya memastikan.

"Iya, aku mau jadi dokter spesialis anak dan punya rumah sakit sendiri. Itu keinginanku," ucapnya sambil menundukkan wajah.

Edward lelaki muda nan tampan berusia 20 tahun itu tersenyum. Manik birunya melihat bulir hangat mengalir di wajah sahabatnya, "Aku akan membantumu."

"Membantuku?Apa maksudmu membantuku?" Flo mengangkat wajahnya menatap dalam-dalam wajah Edward.

"Kau bilang mau jadi dokter dan punya rumah sakit sendiri kan?"

"Iya." Angguknya cepat.

"Aku akan membantumu mewujudkannya," ucap Edward dengan yakin. Seakan-akan merubah keputusan Irvin semudah membalik telapak tangan.

"Tapi bagaimana caranya?" Florence terkejut.

"Aku akan membicarakannya dengan ayahku. Pasti dia mau membantu dan membujuk ayahmu nantinya."

"Apa bisa?" ucap Flo ragu.

"Tidak tahu, tapi kupikir kita harus mencobanya. Tidak ada salahnya." Edward mencebikan bibir seraya mengedikkan kedua bahunya.

"Terima kasiiiiih." Flo membuka kedua tangannya. Memeluk Edward erat-erat.

"Hey … kau terlalu cepat berterima kasih. Kita bahkan belum tau hasilnya." Edward tertawa.

"Setidaknya, terima kasih sudah mencobanya." Florence meloncat-loncat kegirangan.

"Sama-sama." Edward ikut tertawa bahagia melihat gadis itu kembali ceria.

avataravatar
Next chapter