2 Bab 2- SAHABAT

Irvin serta sang istri dan juga Florence memasuki rumah Henry dan Viona Quill, orang tua dari Edward. Mereka memenuhi undangan jamuan makan malam. Kedatangan mereka segera disambut hangat oleh keluarga Quill, tidak terkecuali Edward, dia juga ikut menyambut mereka semua.

"Irvin." Henry, ayah Edward memeluk hangat sahabatnya. Begitu pula dengan istrinya, dia memeluk hangat Mia-ibunya-Florence. Senyum ceria tersemat di wajah mereka semua.

"Mari …" Viona mengajak mereka menuju ke meja makan. Semuanya berjalan beriringan. Sementara Florence dan Edward berjalan di belakang mereka.

"Kau yakin bisa berhasil?" bisik Florence sangat pelan.

"Aku tidak tau. Tapi kau harus memainkan peranmu seperti yang sudah kita rencanakan. Semoga saja berhasil," bisik Edward tak kalah pelan.

Mereka pun semuanya duduk di meja makan. Wine dituangkan pelayan ke dalam gelas kristal. Hidangan menggugah selera disajikan. Aroma lezat dari makanan menguar ke udara, memancing selera agar segera melahapnya.

Perbincangan ringan dan hangat terjalin di antara orang tua Edward dan juga Florence, sementara mereka sesekali saling menatap gugup, berharap dengan cemas rencana mereka akan berjalan dengan baik.

"Flo, kau sebentar lagi lulus, bukan? Mau melanjutkan ke universitas mana?" tanya Henry, Ayah Edward. Dia menatap gadis cantik nan anggun itu dengan tatapan hangat.

"Aku sebenernya mau jadi dokter, tapi ayahku melarangnya," ucap Florence dengan wajah sedih.

"Wah itu bagus sekali. Jadi dokter adalah pekerjaan mulia," tambah Henry menatap heran kepada Irvin sahabatnya.

"Ya, Mr. Quill. Aku ingin sekali punya rumah sakit anak. Rumah sakit milikku sendiri, tapi …. ya sudahlah." Florence menundukkan wajahnya dalam-dalam.

"Flo, kita sudah sepakat tentang hal ini, bahwa kita tidak akan membicarakannya lagi," tegur Irvin dengan nada dalam.

"Paman Henry yang bertanya. Aku hanya menceritakannya saja." Florence menghela napas panjang.

"Kau tidak mengijinkannya? Kenapa?" tanya Henry kepada Irvin.

"Dia harus mengurus perusahaan," ucap Irvin dengan nada dingin. Dia menyesap wine-nya.

Henry mengangguk pelan dan paham. Dia pun menyesap wine-nya dan membicarakan hal yang lainnya dengan Mia, Irvin dan juga istrinya. Mengenang dan menceritakan kembali masa-masa yang telah mereka lewati.

Setelah selesai menikmati makan malam, mereka ke ruang tengah. Kembali berbincang hangat, sementara Edward mengajak Florence duduk di pelataran rumahnya.

"Bagaimana ini? Sepertinya tidak berhasil." Florence berkata dengan cemas kepada Edward.

"Tenang, Flo. Tadi itu baru permulaan." Edward tersenyum hangat, "pelan-pelan ayahku akan mengajak ayahmu bicara. Mungkin dia akan langsung merubah keputusannya, tetapi lambat laun kuharap dia mempertimbangkannya."

"Tapi kalau lama-lama nanti pendaftarannya tutup." Wajah Florence merengut.

Edward tertawa geli melihat wajah gadis itu, "Kau bisa mendaftar tahun depan. Yang penting keinginanmu disetujui."

"Iya … benar juga, tapi sebenarnya sayang waktu setahun terbuang percuma." Wajah Florence kembali bersedih.

"Tidak ada waktu yang terbuang percuma, Flo. Jika waktu itu kau gunakan untuk menunggu sesuatu yang besar terjadi. Sabar saja menunggu waktu itu tiba, karena jika kau paksakan sekarang, ya, tidak bisa juga kan?"

Florence menghela napas panjang, "Iya … kau benar." Angguknya lemah.

"Ed, jika kita berhasil mengubah keputusan ayahku, kau mau kuberi apa sebagai hadiahnya? Tentu aku harus memberikanmu sesuatu sebagai ucapan terima kasih."

Edward tersenyum menatap Florence, "Menikah denganku." Mata cokelatnya berbinar terang.

"Hah? A-apa?" Florence terkejut dengan mata terbelalak lebar disertai mulut yang terbuka lebar.

Edward tertawa gelak melihat reaksi Flo, "Wajahmu lucu Sudah jangan dipikirkan. Aku tidak serius. Aku cuma ingin membantu," terangnya sambil mengusap kepala Flo dengan lembut dan hangat.

Florence tersenyum dan tersipu malu. Mereka kemudian membicarakan hal lain sambil bercanda. Gelak tawa keduanya mengisi kesunyian malam.

Sementara di dalam rumah Henry menyurungkan gelas berisi wiski yang telah terisi seperempatnya kepada Irvin, "Kau yakin dengan keputusanmu? Kasihan Flo. Jika minatnya menjadi dokter, kenapa ditentang?"

"Henry, dengar, ya. Aku sudah bulat dengan keputusanku. Putriku harus mengurus perusahaan."

"Maksudku begini, biarkan dia masuk universitas kedokteran. Kau tau tesnya tidak mudah, dan lagi saat menjalaninya pun belum tentu dia sanggup. Bisa saja dia keluar atau kau lihat saja dulu, apakah nilainya bagus?

"Irvin, jika dia berhasil dan menjadi dokter lalu memiliki rumah sakit sendiri seperti keinginannya, bukankah itu bagus? Uang yang masuk ke keluargamu bukan hanya dari perusahaan saja, tapi dari rumah sakitnya juga. Kita bisa menjadi investor atau mencarikan investor supaya rumah sakitnya menjadi semakin besar.

Dan hal itu juga sangat bagus, membuat namamu dan Florence semakin besar dan diperhitungkan." Henry berkata dengan wajah sangat serius.

"Bagaimana dengan perusahaan?" ucap Irvin dengan nada yang mulai melunak. Sepertinya dia mulai mempertimbangkan keputusannya.

"Pasti nantinya dia bisa mengurus perusahaan, kau jangan khawatirkan hal itu. Jika Rumah sakit semakin besar, kemungkinan dia hanya berada di balik layar. Dan jika saatnya tiba kau dan aku pensiun, Edward akan menggantikanku dan dengan pengalamannya mengurus rumah sakit dia akan cepat belajar bagaimana caranya mengurus perusahaan, meski berbeda, tetap dia sudah tahu caranya."

"Hmmm." Irvin menyandarkan punggungnya di sandaran sofa. Dia berpikir keras.

"Pasti nanti dia bisa mengurusnya dengan baik, karena itu memang miliknya, tetapi jangan kau paksa sekarang. Jangan patahkan keinginannya. Biarkan dia mengerjakan apa yang disukainya, dengan begitu dia melakukannya dengan bahagia. Jika kau paksakan keinginanmu, dia akan terpaksa dan tertekan. Aku takut, justru nantinya akan berakhir dengan tidak baik. Aku sangat khawatir dia justru akan menghancurkan apa yang kau bangun dengan susah payah." Henry menatap dalam wajah sahabatnya, berusaha meyakinkannya.

"Percayalah, Irvin. Dia pasti bisa mengurus perusahaan nantinya saat waktunya tiba. Justru dia akan sangat hebat karena bisa mengurus rumah sakit dan juga perusahaan. Pikirkan baik-baik saranku." Henry menepuk pundak sahabatnya.

Tidak lama kemudian, gelas mereka beradu pelan. Berdenting di sela tawa bahagia mereka. Mia senang karena sepertinya suaminya mulai melunak dan mempertimbangkan keputusannya.

***

Beberapa hari setelah acara makan malam di rumah Edward

Florence menikmati sarapan paginya bersama kedua orang tuanya sebelum dia berangkat sekolah. Sesekali dia menatap kedua orang tuanya, setiap hari dia berharap bahwa sang ayah akan merubah keputusannya. Namun, hingga detik ini ayahnya tidak pernah membicarakan hal itu, sepertinya dia memang tidak peduli dan tetap pada pendiriannya.

"Hm … Flo," ucap Irvin meletakkan alat makannya. Dia menatap putrinya lekat-lekat.

Florence pun mengangkat wajah dan balik menatap ayahnya "Hem?" gumamnya seraya menautkan kedua kening, menanti dengan penasaran apa yang akan dikatakan lelaki itu.

"Kau masih ingin menjadi dokter?" tanya Irvin memastikan.

"Iya," Flo mengangguk dengan cepat, "tapi, bukankah aku harus menuruti kemauanmu? Jadi aku tidak bisa apa-apa." Gadis muda itu mencebikan bibir seraya mengangkat kedua pundaknya. Dia hanya bisa pasrah.

"Kau boleh jadi dokter, tapi dengan syarat." Irvin menatap dalam putrinya.

"Syarat apa?" Flo menjadi tidak sabar.

"Kau harus masuk lewat jalur beasiswa." Irvin menawarkan kesepakatan.

"Oh, Dad! Itu sulit sekali. Aku harus bersaing dengan ratusan bahkan ribuan orang. Sementara mereka hanya memberikan jatah dua orang saja!" Flo sangat terkejut.

"Itu kesepakatannya."

"Dad! Peluangnya sangat kecil!" Florence merengut. Ayahnya sangat kaya. Bakan andai kata dirinya mempunyai 100 saudara dan semuanya ingin menjadi dokter, ayahnya sanggup dan tidak akan menjadikannya jatuh miskin, lalu kenapa bersikap seperti ini kepadanya.

"Maka gunakanlah sekecil apa pun peluang yang kau miliki dengan sebaik-baiknya." Irvin tersenyum dingin.

"Mom … tolong katakan padanya, jangan seperti itu," Flo meminta bantuan ibunya agar membujuk sang ayah.

Mia tersenyum hangat, "Kau pasti bisa. Semangat!"

Florence akhirnya hanya bisa mendesah pasrah.

avataravatar
Next chapter