1 Namanya Nina

Namanya Nina, dia masih berusia enam belas tahun kelas tiga SMA, di sebuah daerah pinggiran kota kembang Bandung, anaknya ceria, ramah dan pintar bergaul. Ayahnya seorang pensiunan militer dan ibunya hanya ibu rumah tangga biasa.

Dia memiliki 1 kakak perempuan yang juga bersuami orang militer dan seorang adik perempuan juga yang masih duduk di kelas enam SD.

Setelah kepergian ayahnya, kehidupan mereka sedikit susah, jika kakaknya lebih beruntung bisa melanjutkan ke pendidikan hingga perguruan tinggi, tapi sepertinya tidak dengan Nina, untung saja dia masih bisa menyelesaikan jenjang SMA.

Pagi ini, seperti pagi pagi biasanya, Nina menunggu angkutan umum, karena sudah tidak ada lagi yang mengantar dan menjemputnya dengan sepeda motor seperti saat ayahnya masih hidup dulu.

"Nin, ngapain sih bengong di situ! sini barengan sama aku!" ujar suara yang dikenal Nina dari arah pertigaan sana.

Nina menautkan alis dan menajamkan tatapan matanya. Bukankah itu Melati ya, oh dia mana mau dipanggil Melati, kampungan katanya, dia hanya mau dipanggil Mela, lebih gaul katanya.

Nina sedikit berlari lalu hati hati menyebrang, dia menghampiri Melati yang duduk santai di depan mobil carry itu, Mela duduk di samping supir yang sedang menikmati sebatang rokok kretek diantara jari jemarinya.

Nina menautkan alis, heran. Melati ga sesak nafas ya, duduk dengan pria yang mengepulkan asap seperti cerobong kereta api zaman dulu?

"Eh Nin, lu mau ikut gue nggak?" tanya Mela memangku dagu dengan kedua tangan bersandar pada jendela mobil.

"kemana?" tanya Nina heran, lagian kok bisa sih Melati naik angkot yang berlawanan arah gini, ini kan bukan angkot ke arah sekolah mereka.

"adalah, pokoknya bakalan seru deh nin, ya ga kang?" ujar Melati pada pria di sebelahnya. pria itu mengangkat jari jemari tangan kirinya dan mencubit gemas dagu melati, membuat Nina merinding. sementara yang dicubit gemas hanya cengengesan genit.

"Enggak sekarang ya Mel, soalnya ada ulangan di kelas ku.." ujar Nina membuat alasan.

"Ah lu mah, ga seru deh! beneran coba ikut. Eh gimana kalau hari Minggu? tar janjian di sini aja. Gimana kang? Minggu jadi kan?" tanya Mela pada supir angkot di sebelahnya, kalau di lihat sih wajahnya lumayan juga, Nina jadi membalas tatapan supir angkot itu yang tak sengaja membuat bola mata mereka bertemu beberapa detik.

"hayu aja sih neng, tapi tar akang ajak temen akang ya, biar rame, biar tambah seru.." ujar pria iru mengangkat tangan dan menggaris senyuman.

Nina melirik jam tangannya, dia terkejut karena waktu cepat sekali berlalu. "Mel, aku duluan ya, bisa telat nih!" ujar Nina panik.

"eh neng Nina, Nina kan ya?" ujar supir angkot di sebelah Melati, dia mencoba menghentikan langkah panik Nina.

"iya kang.." Nina memang memiliki suara yang lembut. Gadis itu kembali dan menatap wajah supir angkot yang sedikit mengulurkan kepalanya, wajah mereka kini bisa saling menatap lebih lama dengan wajah Melati diantara keduanya.

"kenapa gitu manggil manggil Nina sih kang? nanti dia telat eh!" ujar Melati mengingatkan.

Plok plok plok!!

supir angkot menepuk tangannya menghentikan angkutan lain dari arah berlawanan.

Mendengar tepukan tangan supir angkot yang ditumpangi Melati seorang, sontak angkutan yang baru saja melintas berhenti.

"naik Nih, udah di stopin tuh sama akang!" uajr Melati meminta Nina segera naik angkot yang berhenti di depannya.

"Kang titip ya! itu adek saya!" ujar supir angkot tadi kepada temannya yang mobilnya dinaiki oleh Nina.

"siip lah!" balas temannya lalu melaju dengan kecepatan super.

Ketika Nina membayar onkos, supir ini malah menolak.

"ih jangan neng, kan tadi udah di pesenin sama si akang Indra, udah buat neng jajan aja uangnya.." Nina jadi tak enak hati. Oh jadi yang tadi itu namanya Indra.

"makasih atuh kang ya.." jawab Nina sungkan sebelum angkot itu melanjutkan perjalanan, mengantar penumpang lainnya.

Nina sih baru kali ini naik angkutan tapi tidak dipungut onkos.

"mungkin Mela mah ga pernah bayar onkos apa ya?" tanya Nina penasaran pada dirinya sendiri.

"enak amat ya, ga usah keluarin uang buat onkos.." ujarnya bergumam sendiri.

"dor! ih mikir apa kamu teh, pagi pagi udah ngelamun, ngelamun jorok ya!" Lilis dari arah belakang mengejutkan Nina.

"ih suka ngasal kalau ngomong teh, mana mungkin atuh." gusar Nina kesal dengan bibirnya yang manyun.

"liat Mela ga tadi di persimpangan, ih anak teh bandel, pasti bolos lagi deh! kenapa atuh dia ga nikah aja ya.. daripada kayak gitu, bonceng mobil Mulu anak teh ih, ga malu apa ya, satu sekolahan juga pada tau, nakal dia mah!" cerocos Lilis dengan mode ghibahnya yang melaju cepat seperti mobil balap di lap Sentul Bogor.

"ga usah mikirin Mela ih, kamu udah belajar belum, hari ini ada ulangan ih! pusing!"

"sama! malas ah belajar, mau nyontek aja sama Susan, atuh percuma punya teman pintar kalau ga dimanfaatin!" usul Lilis mendapat anggukan setuju dari Nina.

eh tapi tunggu dulu.. ngomong ngomong gosip tadi. Nina jadi ingat obrolan dia dengan ibunya tadi malam. wajah ceria Nina mendadak jadi suram.

'Nin, ibu ga bisa kuliahin kamu, gimana atuh ya.. ibu pengennya semua anak ibu bisa sekolah tinggi tinggi kaya si teteh, tapi keadaan kita lagi kayak gini.. ibu harap Nina ngerti.."

melihat wajah sendu ibu tadi malam, mana mungkin Nina bisa menjawab apalagi membantah, sejak ayah pergi memang semuanya jadi lebih sulit.

Meski ayah sudah pensiun, sesekali ayah dapat tugas jaga, kadang ayah juga melatih di sekolah sekolah, untuk tambah tambahan, sekarang sudah tidak ada lagi tambah tambahan, hanya bisa mengandalkan uang pensiun saja.

"Sehabis SMA ibu niat mau jodohin kamu, tapi itupun kalau Nina mau dan setuju. Ibu ga mau maksa Nina.."

Ibu bilang ga mau maksa Nina, tapi air wajah ibu tampak penuh harap dan butuh persetujuan Nina.

Nina cuma bisa menghela nafas panjang.

"ibu memangnya mau jodohin Nina sama siapa Bu?" Nina ikut penasaran juga pada akhirnya.

"coba aja Nina temuin dulu, dia kerjanya di Jakarta, kerjaannya Uda mapan, katanya gajinya juga gede Nin, jadi kamu ga bakalan idupn susah sama dia."

"iya.. siapa dia teh ibu?" tanya Nina benar benar pemasaran.

"Namanya Dito, anaknya baik, sopan dan dewasa.." ujar Ibu membujuk Nina.

"nanti ibu tunjukin fotonya sama Nina, ibu sudah lama kenal keluarganya, baik Nin, beneran baik ini mah, ibu bakalan senang kalau Nina jadi mantu Bu Eni, pasti hidup Nina lebih enak.."

"masa sih bu?" Nina tak mau mudah percaya.

"bentar ibu ambil fotonya dulu ya.."

tak berselang lama ibu membawa selembar foto usang dan menunjukkan pada Nina.

"ih ibu, ini foto Zaman kapan tau!" kesal Nina mendapati foto bocah laki laki sedang memegang permen.

avataravatar