webnovel

Prolog

Tangan yang akan berlumuran darah itu mengusap pipi putihnya, dari pipi perlahan menurun ke arah leher, satu tangannya lagi memeluk erat pinggul lawan jenisnya. Sensasi geli terasa aneh, tetapi tidak juga. Ya, itu perasaan aneh yang terjadi saat pria yang di depan mendekatkan dan membenamkan wajahnya.

Napas hangat sangat nyata diikuti oleh rasa dingin yang menyelimuti keadaan. Pria yang ada di depannya bagaikan sedang mencicipi leher gadis itu—

"Hah!!"

Aku terperanjat bangun dari kasur. Melihat sekeliling kamar yang seperti biasa. Aku menutup seluruh wajah dengan telapak tangan. Jika diturunkan, pasti warna wajahku sedang semerah tomat.

"Apa-apaan mimpi itu?! Saking nyatanya aku kira itu beneran ... Ahhh!!"

Aku menendang-nendang selimut dan masih menutup wajah yang sudah seperti habis direbus ini. Aku menghela napas berat dan segera beranjak dari tempat tidur. Pagi ini ada kuliah dan aku sangat benci itu.

Keseharian biasa yang aku jalani. Bersiap untuk pergi ke kampus. Bosan dan malas. Namun, tidak apa-apa, karena inilah jalan kehidupan. Mengalir dan tersendat. Lalu, mengalir lagi. Yah, inilah kehidupan.

Aku pandangi diri di depan cermin. Wajah malasku terpampang seperti biasa. Mengikat rambut dan mengoles parfum di leher—aku teringat kembali mimpi tadi. Sialan, aku seperti gadis mesum saja.

***

Aku berjalan kaki menuju gedung kampus. Jarak dari gerbang menuju ke pintu masuk itu lumayan jauh, jadi selalu kuanggap ini sebagai olahraga harian. Keseharian biasa, damai dan ...

"Hoy, pagi!!" sapa temanku—yah, bisa dibilang teman.

"..."

Aku tak menjawab sapaannya. Itulah diriku. Orang yang malas, tetapi rajin. Hum, bagaimana itu?

Bisa dibilang, aku rajin-rajin saja menjalani hidup. Akan tetapi, tidak untuk bersosialisasi. Mungkin aku bisa hidup normal sampai sekarang karena adanya sekolah. Di sekolah kita diwajibkan untuk bersosialisasi, seperti kerja kelompok, istirahat bersama dan lain sebagainya. Kalau tidak diwajibkan, dapat dipastikan aku akan menjadi orang penyendiri yang menyedihkan.

"Kamu seperti biasa, ya! Males banget. Jawab sapaan wajib aja nggak mau," lanjutnya lagi.

"Emang wajib? Perasaan nggak deh ..."

"Wajiblah bambank!!" amuknya di dekat telingaku.

Ah ... Berdenging sekali.

"Kalau wajib, seterusnya akan aku jawab. Puas?"

"Kok ngeselin, ya ..." gumamnya sambil melihatku.

Yah, dia pasti kesal. Lihat saja urat di kepalanya sampai muncul jelas.

"Adegan yang itu mantap banget tahu!!!"

"Iya bener banget! Apalagi sang MC-nya itu loh. Luar biasa!"

"Roti sobeknya apalagi!!"

Keramaian di belakangku tiba-tiba melundak. Berbicara mengenai hal yang tidak bisa aku mengerti.

"Pagi-pagi udah berisik aja. Berikan sebagian energi semangat kalian padaku." Aku sangat berharap hal itu.

"Lah, kamu belum tahu, ya? Itu loh, novel yang baru-baru ini keluar ...! Kalau diingat-ingat lagi ... MC-nya ...! Kyaaa!"

Hah? Apa ini?

Semangatnya menular, kenapa tidak terjadi padaku?

"Thiarfa! Masa kamu nggak tahu novel itu?! Ih, beneran keren banget–"

Mungkin memang karena Dina, temanku ini terlalu semangat atau sedang memikirkan hal yang berkaitan dengan novel, dia mimisan sambil masih melanjutkan ceritanya. "Din, lebih baik berhentikan dulu itu darahnya–"

"Nggak! Ini bukan saatnya menghentikan darah di hidung!" bantahnya cepat menepis tanganku yang hendak mengusap darah hidungnya, "kamu harus banget baca itu novelnya! Harus—eh, bentar ... masa kamu belum baca novel itu? Padahal 'kan kamu penggemar novel."

"Finansial pribadiku lagi kritis, makanya aku puasa beli novel dan kuota di hp juga dah ludes. Ini aku mau pakai wifi kampus buat online lagi."

"Pantesan. Soalnya novel ini tuh baru rilis kemarin, setelah rilis langsung ... Boom! Terkenal! Orang-orang yang nggak suka sama membaca jadi suka, gara-gara buku itu. Kyaaa, aku pengen baca ulang deh ..."

Lagi-lagi Dina menggila, tetapi kalau dipikir lagi aneh juga. Dina bukanlah orang suka membaca, jika dipilih baca novel dia lebih suka mendengarkan lagu. Semenarik apa novel itu ya? Sepertinya besok aku bakalan makan legenda itu lagi, mie goreng.

***

Hasratku membeli novel sudah menggebu-gebu. Setelah pulang dari kampus, aku langsung tancap gas berlari ke arah toku buku. Ternyata benar, banyak orang yang membawa keluar plastik yang berisikan buku itu dan poster cover buku itu dipajang lebar-lebar di pintu masuk.

Debaran jantungku semakin malaju. Aku berjalan ke arah rak besar yang berisi hanya buku ini. "Pangeran Monster." Itulah judulnya. Covernya ada seorang pria berambut merah tua yang memeluk mesra wanita berambut pirang. Sang pria di gambar ini memakai topeng yang menutup seluruh wajah kecuali matanya yang berwarna emas.

Dari desain karakter sepertinya ini sangat menarik. Lalu, ada tulisan novel dewasa di belakang buku ini. Sangat menarik. Tanpa basa-basi lagi aku langsung ke kasir dan membeli buku tersebut.

"Selamat, Anda mendapat bonus poster mininya," ujar pelayan kasir sembari menggulung poster yang dimaksud.

Aku tak bisa melihat gambarnya karena dia menggulungnya ke dalam. Tidak masalah, aku bisa melihatnya di kos nanti.

Membayar buku sangat menguras kantong, sepertinya aku untuk seminggu ke depan hanya bisa makan makanan legenda itu. Yah, yang penting aku masih makan.

***

Sesampainya rumah aku hanya melepas sepatu dan langsung duduk anteng membuka bungkusnya. Harum buku, cover yang masih mulus, dan poster mini yang digulung lalu dikaitkan karet. Aku membuka poster mini itu terlebih dahulu.

"Wah ...!" Poster ini ternyata memperlihatkan tokoh lainnya selain sang MC. Di belakangnya ada pelayan tua, pria muda berambut cokelat, gadis imut berambut perak, gadis berambut merah tua ... Mungkin ini adik si MC, karena wajah mereka mirip.

Dilihat dari cover dan posternya saja sudah membuatku berdebar ingin membuka halaman pertama.

"Pangeran Monster."

Bercerita tentang dunia sihir dan ras lainnya hidup berdampingan.

Yah, sejauh ini aku dapat memahaminya.

Mereka hidup berdampingan di bawah kepemimpinan Kekaisaran manusia yang agung dan kompeten. Akan tetapi, semenjak kelahiran sang Pangeran. Pihak kuil ramai mendapat wahyu dari Dewa. "Yang Mulia! Pangeran membawa kutukan!"

Wah, Author di buku ini langsung saja membuat si MC menderita. Aku tebak sang Pangeran pasti menderita selama hidupnya.

***

"Hey! Hey! Bangun, dasar pemalas!!"

Aku mendengar omelan tak jelas. Siapa? Di kos ini hanya aku sendirian dan tadi ... Aku 'kan tadi membaca buku, tetapi kenapa bisa tiba-tiba tidur. Apa aku terlalu lelah dengan pelajaran kampus dan tertidur sendiri?

Buk!

Terasa rasa sakit perutku. Pasti tendangan— pola rasa sakit ini seperti telapak kaki yang menghantam keras perutku. Mataku susah sekali terbuka, padahal ingin sekali aku memukul balik. Rasa nyerinya masih saja terasa.

"Wah, benar-benar anak ini ... Bangun ...!"

Tak puas menginjak, sekarang orang ini menarik rambutku dan akhirnya aku terbangun. Saatnya balas dendam–

"...!"

"Akhirnya bangun juga! Ck, nyusahin aja sih! Sana makan, keburu beberapa jam lagi basi," ucapnya sembari melepas rambutku dan berjalan ke pintu. Lalu, pintu tertutup keras.

"..."

Apa ... Ini ...?

Ini di mana? Eh, aku diculik?!

Ya Tuhan, ujian apa yang engkau berikan kepadaku. Apa selama ini karena kehidupanku terlalu santai dan akhirnya diberi yang level expert? Apa karena aku mempunyai musuh—tidak, aku juga jarang bersosialisasi.

Saat ingin berteriak minta tolong, tenggorokanku tidak bisa mengeluarkan suara yang diinginkan.

Eh ..?! Tenggorokanku rasanya kering banget! Sudah berapa lama aku diculik dan tidak diberi setetes air? Nyawaku lebih terancam oleh tidak ada air daripada oleh manusia.

Aku melihat sekitar dengan seksama. Sebuah kamar. Tembok yang hanya diplester semen, jadi warnanya terlihat suram. Kasur tempat aku sekarang putih kekuningan, bukti sudah lama sekali tidak pernah diganti. Luas hanya seperti garasi mobil dan bentuknya juga, banyak debu dan berpasir.

Jiwa kebersihanku bergejolak saat melihat juga banyak sarang laba-laba yang menggantung. Jika keadaan ruangan ini, dipastikan ada keco—jangan berpikir yang aneh-aneh!

Sekarang tenangkan jiwa. Aku menghirup udara dalam-dalam– "Uhuk!!"

Ah, aku lupa. Kamar ini banyak debu. Cari cara lain untuk memenangkan diri. Yah, aku menurunkan kaki menyentuh lantai penuh debu dan pasir.

"Eww ... Aku harus mencari sapu."

Ada meja rias, karpet, perapian dan meja duduk kecil. Aku memilih segera berjalan ke arah meja rias. Kakiku terasa gemetar saat berjalan.

"Aku lapar ..."

Ternyata tidak hanya lantai, cerminnya juga penuh akan debu. Ah, buram banget kelihatannya. Mau tak mau aku mengusapnya memakai tangan, debu tebal menempel di seluruh telapak tangan. "Eww–!"

Lagi-lagi aku dibuat terkejut. Siapa gadis ini? Rambutnya seperti besi baru yang menggulai ke pinggul. Matanya juga sepery madu—bergerak?! Gadis ini bergerak. Dia juga berkedip-kedip! Apa jangan-jangan dia terjebak di sisi lain cermin ini?

Aku memegang cerminnya lagi dan gadis itu juga mengikutiku. "A, apa? Ini 'kan jelas-jelas aku, tapi ... Tubuh siapa ini?"

Next chapter