2 2. Sang Malaikat

Tik Tok Tik Tok. Waktu terasa lama sekali bagi Rissa. Ia terus menatap komputer, tangannya mengetik keyboard, menyelesaikan pekerjaannya memasukkan data. Sungguh membosankan. Rissa menatap jendela, langit di luar mulai mendung. Awan hitam mengumpul, bersiap untuk mengguyur kota Bandung.

Rissa tidak sabar menanti pukul empat sore untuk segera meluncur ke Gedung Serba Guna Rajawali untuk mengikuti latihan paduan suara. Karena Desember nanti Rissa akan mengisi acara drama natal di gerejanya.

Carissa yang lebih suka dipanggil Rissa adalah gadis berusia dua puluh enam tahun, bertubuh kurus dengan tinggi semampai. Rambutnya lurus, panjang dan hitam.

Teman kerjanya, Esther, adalah bagian kepala penjualan. Esther juga akan mengikuti latihan paduan suara dengan Rissa. Esther enam tahun lebih tua dari Rissa. Tubuhnya tinggi seperti Rissa, matanya besar dan rambutnya panjang bergelombang. Dia agak tertutup dan tidak terlalu banyak bicara. Rissa mengetahui kalau ayahnya adalah pemilik dari perusahaan tempat dia bekerja. Tapi tidak pernah sekalipun Esther bersikap pamer.

Esther telah menjadi temannya sejak pertama kali Rissa bekerja di perusahaan itu. Awalnya tidak berjalan begitu baik. Esther seringkali memarahi Rissa karena pekerjaannya kurang memuaskan. Tapi karena kegigihan Rissa, maka lama kelamaan Esther mulai menyukai Rissa. Bahkan sampai sekarang, mereka tampak seperti adik kakak. Estherlah yang mengajak Rissa ke gereja dan memulai pelayanannya di bidang musik.

Esther sudah menikah. Suaminya sering kali berada di luar negeri. Rissa berpikiran bahwa pernikahan mereka sepertinya kurang bahagia. Sampai sekarang Esther belum memiliki buah hati. Rissa tidak pernah berani untuk menanyakan apalagi membahasnya.

Akhirnya pukul empat tiba. Segera Rissa membereskan arsip-arsip, mematikan komputer. Rissa menghampiri Esther.

"Rissa, kamu pergi duluan saja. Kepalaku pusing. Sepertinya aku tidak ikut latihan," kata Esther.

"Kak Esther kenapa? Mukanya pucat sekali."

"Tidak apa-apa. Paling juga masuk angin. Sudah sana kamu pergi, nanti terlambat. Maaf ya aku tidak bisa antar kamu."

"Ya sudah Kakak langsung pulang saja ya. Istirahat yang banyak." Rissa mengangguk pada Esther dan Esther membalasnya dengan tersenyum. "Aku duluan ya. Cepat sembuh, Kak. Dah!" Tangannya melambai.

Rissa menuruni tangga dan segera naik bus. Waktu latihan dimulai pukul setengah lima. Untung saja letak kantornya tidak terlalu jauh dengan tempat latihan. Perjalanan menuju Gedung Serba Guna Rajawali hanya memakan waktu tidak lebih dari setengah jam. Rissa turun dari busnya dan memasuki pelataran gedung. Dari kejauhan Rissa bisa melihat gedung itu cukup besar dan mewah.

Rissa membuka pintu aula. Terdapat panggung setinggi satu setengah meter dengan beberapa buah anak tangga di sebelah kiri dan kanannya. Lampu kristal berkilauan menggantung di tengah aula. Kursi-kursi lipat berjejer rapih menjadi dua bagian.

Tidak begitu banyak yang memperhatikan kehadirannya. Rissa mendapati aula itu sudah berkumpul teman-teman gereja mereka seperti : Satria yang suaranya sangat indah, Marco sang pemain piano, Freddo sang pemain gitar, Feri pemain drum. Vivian, Evrine, Pamela, Elizabeth, dan Dennis adalah paduan suara. Hanya itu saja nama yang Rissa kenal. Masih sekitar lima belas orang paduan suara dan hampir tiga puluh orang lain para pemain drama yang Rissa tidak tahu namanya.

Untung saja ia belum terlambat. Rissa menyapa teman-teman paduan suara : "Shallom!" Mereka saling memberi high five.

Dari kejauhan Rissa melihat Satria tersenyum lebar padanya. Rissa hanya tersenyum sekilas. Ia menengok ke arah kursi, mencari yang kosong. Didapatinya kursi-kursi para penyanyi paduan suara di mana mereka biasa berkumpul, telah penuh semua dengan tas-tas. Tanpa ia sadari Satria telah berada di sebelahnya.

"Hai Clarissa. Baru pulang kerja ya?" sapa Satria ramah.

"Eh, Satria. Namaku Carissa. Panggil Rissa saja," jawab Rissa sambil lalu.

Satria mengikutinya. "Oke Rissa. Kamu sedang mencari kursi kosong ya? Disimpan di sana juga tidak apa-apa," Satria menunjuk ke arah kursi pemain drama. Terpaksa Rissa menurut, berjalan ke arah kursi yang ditunjuk Satria.

"Trims ya Satria." Rissa tersenyum seadanya.

Satriapun tersenyum semakin lebar, memamerkan gigi depannya yang besar-besar dan putih. Dari kejauhan Rissa melihat Pamela berlari ke arahnya.

"Rissa! Aku kangen sama kamu." Pamela merangkul Rissa dari samping. Rambutnya yang panjang menutupi wajah Rissa.

"Baru juga dua hari kamu sudah kangen, apalagi kalau dua tahun."

Pamela adalah teman yang ramah, ceria, dan sangat menyenangkan. Meskipun tingkahnya seperti anak kecil tapi sebenarnya usianya lebih tua dari Rissa.

"Oh ya, Rissa, mana Esther?"

"Dia tiba-tiba sakit kepala." jawab Rissa, matanya melirik Satria. Dia masih berdiri di sana, masih menatap Rissa lekat-lekat. Dia tampak seperti yang sedang menguping.

"Sayang sekali dia tidak bisa ikut latihan." Wajahnya tampak sedih sebentar kemudian berubah kembali ceria. "Ngomong-ngomong suara kamu makin bagus saja. Aku rasa kamu memang cocok sekali ikut paduan suara."

"Benarkah? Suara kamu juga bagus, Mel."

Sepertinya Satria baru menyadari sikapnya yang agak meresahkan. Dan iapun berlalu sambil melipat tangannya di belakang, bergabung dengan Freddo dan Dennis. Pamela terus saja berkicau, sementara Rissa memperhatikan Satria yang mulai membuat lelucon garing, yang anehnya membuat teman-temannya tertawa sambil menepuk bahunya.

Tak lama kemudian terdengar suara pintu aula terbuka dan kemudian sang pelatih, Ibu Kiki dan Pak Rudy, memasuki aula. Seketika aula menjadi hening. Tanpa Rissa sadari, Pamela sudah bergabung dengan Elizabeth.

Ibu Kiki adalah pelatih paduan suara, masih muda, usianya sekitar tiga puluh tahun. Sedangkan Pak Rudy adalah pelatih drama. Pak Rudy bertubuh tinggi besar, rambutnya agak keriting dan beruban.

Ibu Kiki membagikan kertas berisi teks lagu yang akan dinyanyikan nanti. Kemudian dia mulai mengabsen mereka satu per satu. Pak Rudy sedang mengatur para pemain drama untuk menempatkan posisi peran mereka masing-masing.

Pintu aula sekali lagi terbuka dan seorang pria masuk ke dalam aula. Rambutnya coklat. Tubuhnya yang tinggi sangat proporsional. Pria itu membentuk bibirnya yang sempurna dengan senyuman yang dihiasi dengan lesung pipi yang sangat indah. Cara jalannya yang gagah memasuki ruangan aula, sambil menenteng tas ranselnya, membuat Rissa terpesona.

Pria itu menyapa : "Shallom!" Semuanya membalasnya kembali. Pria itu meletakkan tasnya di kursi di sebelah Rissa, tanpa meliriknya sedikitpun, lalu berdiri di antara para pemain drama. Teman-temannya menepuk-nepuk punggungnya dan menjabat tangannya. Pak Rudy memberi isyarat padanya untuk berdiri di sebelahnya. Rissa berusaha berpaling dan memfokuskan diri pada teks lagu yang diberikan Ibu Kiki.

Jantung Rissa berdegup kencang. Ia mengerjapkan matanya seolah tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. Rissa tidak begitu mengenal teman-teman gerejanya karena gerejanya cukup besar dan para pengerjanya sangat banyak. Belum lagi ia baru saja memulai pelayanannya.

"Semuanya berkumpul! Sekarang kita mulai latihannya seperti kemarin," kata Ibu Kiki.

Lalu Ibu Kiki memanggil namanya. Rissa tersentak kaget. "Carissa, kamu berdirinya di sini." Ibu Kiki mengangguk ke arah pemain paduan suara.

Dengan wajah memerah, Rissa membawa kertas teks lagunya, bergabung dengan Pamela. Ia berbisik, "Kenapa kamu duduknya jauh-jauh?" Rissa hanya menggelengkan kepalanya.

Ibu Kiki berdeham dengan suara yang dilebih-lebihkan untuk meminta perhatian para muridnya. Pamela langsung berhenti bicara dan ruangan aula pun menjadi tenang.

Ibu Kiki menyuruh mereka untuk menyanyikan lagu pertama yang sudah sejak bulan lalu mereka latihan. Lalu pertama adalah White Christmas. Ini adalah lagu yang paling Rissa suka. Lagu itu dimainkan dengan nada jazz yang sangat kental. Suara Satria yang paling vokal, bertautan dengan suara yang lain, sungguh sangat indah. Dengan terpaksa Rissa harus mengakui bahwa suara Satria memang sangat bagus.

Permainan piano Marco yang sangat indah, mengalun begitu lembut menenangkan hati Rissa. Dipadankan dengan permainan gitar Freddo yang sangat menyenangkan. Sejenak Rissa mulai lupa dengan pria yang baru saja membuatnya terpesona.

Setelah lagu berakhir, para pemain drama mulai mengeluarkan bakat sandiwara mereka dengan begitu piawai. Rissa memperhatikan pria tampan itu memakai kostum malaikat dengan sayap di punggungnya.

Drama itu mengisahkan tentang seorang anak laki-laki yang sangat sederhana. Namanya adalah Deni. Ia sangat merindukan natal. Di saat semua orang berkumpul dengan keluarga, Deni malah menghabiskan malam natal dengan menjual koran dan kardus bekas untuk membeli makan. Ibunya di rumah sedang sakit lumpuh dan tidak sanggup melakukan aktifitas apa-apa. Hidupnya yang sangat miskin dan sulit, tidak sedikitpun membuat Deni menjadi sedih atau patah semangat.

Ada seorang anak lagi yang hidupnya sangat mewah. Namanya adalah Boby. Tetapi ia tidak pernah merasa cukup karena orang tuanya tidak pernah memperhatikannya. Sampai akhirnya Boby mengalami kecelakaan. Kepalanya terbentur dan berdarah. Ia terpisah dengan orang tuanya.

Deni mendengar seseorang sedang menangis. Lalu Deni menghampirinya dan melihat Boby dengan kepalanya banyak mengeluarkan darah. Deni membawa Boby ke rumahnya dan merawat lukanya. Deni memberinya roti yang ia beli dengan hasil jerih payahnya menjual kardus bekas.

Boby dengan sifatnya yang angkuh, menolak, bersungut-sungut terus menerus dan mengolok-olok Deni. Tapi Deni tidak lantas menjadi marah dan membenci Boby. Justru ia mendoakan Boby agar lekas sembuh dan dapat segera bertemu dengan orang tuanya lagi. Deni terus menerus merawat Boby dan ibunya yang lumpuh, sambil dengan giat menjual koran dan kardus bekas agar dia bisa membeli makanan dan obat-obatan.

Dari Surga Tuhan melihat ketulusan hati si anak yang miskin ini. Lalu Tuhan mengutus malaikatnya untuk menolong kedua anak tersebut. Datanglah seorang malaikat memberi nasihat : "Janganlah kalian takut. Aku adalah malaikat yang diutus Tuhan untuk menyampaikan pesan. Deni, bersukacitalah karena ibumu akan sembuh. Dan Boby, apabila kamu percaya kepada Tuhan sebagai Juruselamat yang hidup, maka kamu juga akan diselamatkan. Janganlah kalian khawatir. Tuhan pernah berkata : 'Marilah kepadaKu, semua yang letih lesu dan berbeban berat, Aku akan memberi kelegaan kepadamu. Pikullah kuk yang Kupasang dan belajarlah padaKu, karena Aku lemah lembut dan rendah hati dan jiwamu akan mendapat ketenangan. Sebab kuk yang Kupasang itu enak dan beban-Kupun ringan.' Maka dari itu letakkan kepercayaan kalian kepadaNya maka kalian akan mendapatkan keselamatan."

Boby menaruh iman kepercayaannya pada Tuhan. Seketika itu juga Boby menjadi sembuh dan ibunya Deni yang lumpuh bangkit berdiri dan bisa berjalan lagi. Deni sangat terkagum-kagum akan keajaiban dan kebaikan Tuhan. Kemudian Boby yang angkuh itu bertobat.

Keesokan harinya orang tua Boby datang dan menjemputnya. Orang tua Boby tersentuh oleh kehidupan Deni yang sangat sederhana itu. Mereka memberinya sebuah tempat tinggal yang layak dan sejumlah uang yang cukup untuk Deni dan ibunya untuk memulai hidup yang baru.

Kisah yang sederhana, tapi mengandung arti yang sangat penting, di mana kita sebagai umat manusia tidak boleh bersungut-sungut. Kita harus belajar bersyukur atas kehidupan yang dianugerahkan bagi kita oleh Tuhan, karena masih banyak orang lain yang hidupnya lebih susah, tapi masih tetap mau berjuang untuk hidupnya.

Para pemain drama melakukan perannya dengan sangat bagus dan penuh penghayatan. Adegan Boby dan ibunya yang lumpuh beberapa kali dihentikan oleh Pak Rudy karena dirasa kurang penghayatan. Pak Rudy terus menerus memberikan arahan kepada pemain drama. Tapi selebihnya mereka telah berlatih dengan cukup baik. Mereka sangat yakin kalau drama natal ini nantinya pasti akan berhasil.

Satria bernyanyi solo saat adegan pria tampan yang jadi malaikat itu menghampiri Deni dan Boby. Ini adalah latihan pertama untuk pemeran malaikat, karena sebelumnya belum ada yang memerankannya. Tapi sepertinya sang malaikat memang berbakat. Tidak ada selaan ataupun kritikan dari Pak Rudy. Pria itu memerankannya dengan sempurna. Suaranya yang dalam begitu pas saat melakukan dialog yang telah dihafalnya.

Satria membawakan lagunya dengan penuh keyakinan dan suaranya sangat merdu. Ia tersenyum lebar saat Rissa melihat ke arahnya. Rissa hanya menunduk, lalu memalingkan wajah.

Rissa merasa agak risih dengan sikap Satria yang selalu mendekatinya, menyapanya, memamerkan senyumannya yang sangat lebar. Belum lagi Satria selalu saja salah menyebut namanya. Sebenarnya Satria itu baik, sangat baik malah.

Rissa menangkap sepertinya ada sesuatu pada Satria yang berbeda setiap kali Satria menatapnya, sebuah perasaan spesial yang tidak pernah ia rasakan dari pria lain. Hanya saja Rissa tidak memiliki perasaan yang sama seperti dirinya.

Akhirnya semuanya beristirahat untuk makan malam yang telah disediakan. Rissa hanya makan sedikit. Ia melirik pria tampan yang sedang duduk bersama teman-teman yang lain, tertawa lepas sambil menikmati nasi kotak.

Selesai makan, semuanya berkumpul untuk diberi arahan oleh Bu Kiki. Lalu mereka semua berdoa pulang. Acara latihan mereka selesai pada pukul delapan malam. Mereka semua sudah sangat lelah. Masing-masing membereskan tasnya.

Rissa membereskan kertas lagunya, lalu menyerahkannya ke Ibu Kiki. Kemudian ia kembali duduk di kursinya, menungu Pamela yang sedang ke toilet, sambil melihat ponselnya. Rissa sempat memandang sejenak pada tas ransel yang diam tergeletak, milik sang malaikat. Seandainya saja ia bisa berkenalan dengan pemilik tas itu.

Ia memasukkan ponselnya ke dalam tas. Selesai beres-beres ia berdiri, tiba-tiba di sebelahnya muncul pria tampan yang membuatnya terpesona itu. Bahu mereka saling bertabrakan. Rissa terkejut bukan main. Dengan sayap masih menggantung di punggungnya, pria itu tampak seperti malaikat sungguhan. Ia tersenyum sekilas kemudian menyapa Rissa.

"Hai! Kamu tidak apa-apa?" Suaranya yang dalam terdengar khawatir. Pria itu menunggu Rissa menjawab, tapi Rissa hanya bisa mematung.

Wajahnya semakin khawatir. Tangannya mengusap bahu Rissa, membuatnya melonjak. Pria itu mengangkat kedua tangannya tanda menyerah.

"Maaf, apa itu sakit?"

Rissa mengusap bahunya yang baru saja disentuh pria itu. Sekujur tubuhnya menegang. Rissa berusaha membuka mulutnya untuk menjawab.

"Tidak sakit kok," cicit Rissa.

Senyum indahnya sekali lagi menghiasi wajahnya yang tampan. Pria itu memperhatikannya sejenak kemudian bertanya, "Kamu ikut paduan suara ya?"

Dengan bodohnya Rissa hanya bisa mengangguk, bengong cukup lama sambil mengagumi wajah tampan sang malaikat.

"Oh iya. Sepertinya aku belum mengenal kalian semua. Namaku Charlos." Dia mengulurkan tangannya. Dengan gugup Rissa menjabat tangannya yang kekar. Genggamannya kuat tapi menyenangkan.

Satria dan teman-teman pemain drama memanggilnya.

"Hei Charlos! Ayo kita pulang!" Satria berdiri di depan pintu aula sambil melambaikan tangannya.

Charlos melepas sayap di punggungnya, membuat otot di tangannya semakin terlihat jelas saat dia mengangkat tangannya ke atas. Charlos mengambil tasnya yang letaknya persis di sebelah tas Rissa.

"Baiklah. Sampai bertemu lagi." Ia kembali tersenyum pada Rissa yang tidak sempat Rissa balas. Rissa terlalu sibuk mengagumi cara pria tampan itu berjalan menghampiri temannya sampai-sampai ia lupa untuk menyebut namanya sendiri.

Satria melambai ke arah Rissa dengan senyum penuh semangat. Rissa mengangkat tangannya perlahan. Dengan sangat jelas Rissa melihat Charlos bertanya pada Satria : "Siapa perempuan itu?" Tapi kemudian merekapun keluar dari aula.

Tangan dan kaki Rissa gemetaran. Ia tegang setengah mati. Sebenarnya campuran antara gugup, kaget sekaligus senang. Tapi ia juga menyesal karena sikapnya yang dianggapnya bodoh itu benar-benar memperburuk kesan pertama saat berkenalan.

Rissa menepuk-nepuk pipinya untuk sedikit menyadarkannya dari rasa shock yang berlebihan. Kemudian Pamela menghampirinya, membuatnya kembali melonjak, lalu berkata, "Ayo kita pulang!" Rissa mengangguk, mengambil tasnya lalu berjalan mendahului Pamela.

"Kamu kenapa, Rissa?" Gawat. Sepertinya Pamela menyadari tingkahnya yang agak aneh.

Rissa berhenti, membalikkan badannya. Ia memasang senyum yang lebih mirip seperti seringai, "Aku tidak apa-apa. Mungkin kelelahan. Aku ingin cepat pulang."

"Oh. Oke," kata Pamela tidak peduli.

Mereka bergegas menuju mobil Pamela dan pulang. Untung Pamela tidak tahu yang sebenarnya bahwa Rissa memang baru saja mengalami sesuatu hal yang luar biasa dalam hidupnya.

Ketika mereka sudah di dalam mobil, Rissa sebenarnya sudah tidak sabar ingin menceritakan kejadian itu. Ia khawatir akan tanggapan Pamela yang berlebihan. Jadi akhirnya ia memutuskan untuk tidak bercerita.

Rissa tersenyum dalam hati mengingat kejadian tadi. Pria tampan itu menyentuh bahunya. Perlahan tangannya mengusap-usap bahunya yang pernah disentuh Charlos.

Pria itu bermain drama, yang berarti minggu depan Rissa akan bisa bertemu dengan pria itu lagi. Apa yang harus Rissa perbuat kalau mereka bertemu lagi nanti? Rissa menggeleng-gelengkan kepalanya. Mungkin ia akan bertindak konyol lagi. Tapi mudah-mudahan saja ada keajaiban.

Akhirnya setelah perjalanan yang terasa cukup lama, mereka tiba di rumah kontrakan Rissa di daerah Bandung Selatan.

"Trims ya, Mel. Sampai bertemu besok di gereja," kata Rissa dengan ramah.

"Oke. Sampai bertemu besok. Jangan telat!" jawab Pamela ceria.

"Tuhan berkati ya!"

Rissa turun dari mobil, menutup pintunya. Pamela melambaikan tangannya lalu menancapkan gas.

Rissa berjalan menuju ke dalam gang rumahnya yang kecil. Saat ia membuka pintu rumah, dilihatnya James, adik laki-lakinya sedang duduk sambil mengerjakan pekerjaan rumahnya. Mereka hanya tinggal berdua di rumah itu. Ayah mereka telah tiada. Sementara ibu mereka menikah lagi dan pindah ke Batam.

Terakhir kali Rissa bertemu dengan ibunya saat liburan natal. Itu berarti sudah hampir satu tahun mereka tidak bertemu, di mana natal tinggal satu bulan lagi. Ibunya belum mengabari akan datang lagi ke Bandung atau tidak. Atau mungkin saja Rissa yang akan main ke Batam.

"Halo, James!" sapa Rissa.

"Hai, Kak!" James menjawab sambil matanya masih melihat buku pelajarannya.

"Kamu sudah makan belum? Ini ada nasi kotak pemberian dari gereja. Kakak baru makan sedikit. " tanya Rissa.

"Sudah, untuk besok saja. Aku sudah makan," sahut James.

Rissa memasukkan nasi kotak itu ke dalam kulkas. Ia kemudian mandi dan bersiap-siap untuk tidur. Keluar dari kamar mandi, Rissa melihat James sedang membereskan buku pelajarannya.

"Sudah selesai bikin PR nya?" tanya Rissa.

"Sudah, Kak. Aku mengantuk sekali. Aku mau tidur." James menguap lebar sambil menggosok-gosok matanya.

"Ya sudah sana tidur. Besok jangan telat bangun ya."

"Iya," jawab James sambil berjalan menuju ke kamarnya.

Rissa pun masuk ke kamarnya, yang dulunya adalah kamar ibunya. Ia berbaring. Semua kenangan indah malam ini kembali memenuhi kepalanya. Ia bertemu dengan sang malaikat tampan. Bahu mereka saling beradu. Rissa tersenyum-senyum sendiri sambil mengusap-usap bahunya.

Ini merupakan hal yang sangat indah, setelah sekian lama dalam hidupnya Rissa tidak pernah bertemu dengan pria yang sanggup membuatnya begitu terpesona seperti Charlos. Ia begitu mengagumi bagaimana cara pria itu tersenyum. Dan tangannya... Rissa menyukai caranya menjabat tangannya. Ia tertawa kecil, seandainya ia ingat untuk mengucapkan namanya sendiri.

avataravatar
Next chapter