3 Chapter3 Rinjani Cafe

 

Ansel dan Elea berpamitan pada anggota keluarga Ansel setelah merayakan ulang tahun Cindy, adik dari Ansel.

Tidak Ada pilihan lain bagi Ansel selain menuruti apa mau Elea saat ini. Karena selain Elea bersikap baik pada seluruh anggota keluarganya, Ia juga telah memberikan perawannya pada Ansel. Meski memang Ansel tak pernah puas dengan apa yang telah Ia miliki saat ini.

Saat sedang berada di dalam mobil milik Elea, Ansel tak henti bertanya pada Elea saat Ia seharusnya fokus pada jalanan yang ada di depannya.

"Sayang, sebenarnya kamu mau bicara tentang apa, sih? Kelihatannya sangat serius?" tanya Ansel yang sesekali menengok ke arah Elea.

"Kita bicara nanti saja kalau sudah sampai, Sel."

Hanya butuh waktu dua puluh menit bagi Ansel dan Elea untuk sampai di Rinjani Cafe.

Ansel dan Elea mulai memasuki area Cafe. Di mana Cafe tersebut masih sangat sepi.

Dua sejoli ini memesan minuman yang biasa mereka pesan jika berkunjung ke Rinjani Cafe. Yaitu, segelas kopi beraroma Matcha untuk Elea, dan kopi beraroma Latte untuk Ansel.

Sembari menunggu pesanan datang, kini Ansel mulai bertanya pada sang kekasih hati tentang apa yang membuat dirinya ingin sekali berbincang dengan Ansel.

"Sayang ... Sekarang jelaskan padaku. Ada apa? Kenapa tiba-tiba kamu ingin bertemu padahal kemarin kita baru saja bertemu? Apa ini ada kaitannya dengan apa yang kita lakukan kemarin?" tanya Ansel yang tak hanya satu.

"Ini nggak ada hubungannya dengan apa yang kita lakukan kemarin, Sel. Tapi ini tentang ayahku."

"Ada apa dengan ayahmu, Elea?"

"A---Ayah ... Ayahku ingin aku menggantikan dirinya menjadi CEO di Perusahaan Property miliknya."

Ansel meresponnya dengan sedikit menunjukkan rasa heran. Ia mengerutkan kedua alisnya.

"Loh, kenapa? Bukankah itu adalah hal yang bagus buat kamu? Kamu bisa dengan mudahnya mendapatkan posisi yang diinginkan oleh banyak orang!" ucap Ansel.

Elea memandangi wajah Ansel. Ia menggeleng-gelengkan kepalanya kala mendengarkan segala ocehan Ansel yang menurut Elea, Ansel sama sekali tidak peka tentang hubungan mereka.

"Kamu ... Kamu tuh benar-benar tidak pernah memikirkan tentang kita ya Ansel! Kalau aku menerima posisi CEO seperti yang kamu bilang itu bagus, bagaimana dengan hubungan kita? Kamu bilang akan segera menikahiku, tapi aku tidak bisa menikah dengan kamu dalam waktu dekat jika aku menjadi seorang CEO!" tegas Elea.

Ansel terdiam kembali. Entah apa yang sedang Ia pikirkan dengan kalimat yang dilontarkan Elea tersebut.

"Elea ... Kamu tahu kan, bahwa aku sampai saat ini masih belum mendapatkan pekerjaan. Mungkin akan sulit bagus kita untuk merealisasikan rencana kita untuk menikah."

"Jadi, menurutmu sebaiknya bagaimana?" tanya Elea.

"Menurutku, tidak ada salahnya kamu menjadi CEO. Kita bisa menunggu. Siapa tahu, aku akan mendapatkan pekerjaan di waktu kamu menjadi seorang CEO."

"Bukan ini yang aku mau, Sel. Aku mau kamu datang menemui ayahku dan berkata bahwa kamu mau menikahiku!"

"Elea. Rasanya itu tidaklah mungkin. Ayah kamu tidak akan setuju dengan hubungan kita. Apa lagi kondisiku saat ini bukankah siapa-siapa!"

"Ansel! Aku hanya ingin kamu berjanji di depan ayahku bahwa kamu tidak akan meninggalkanku walau apapun yang terjadi!"

Sepertinya pembicaraan Elea dan  Ansel akan sulit menemukan titik terang. Bagaimana tidak, mereka tidak satu paham dengan pemikiran satu sama lain.

Elea sangat kecewa dengan apa yang hendak dikatakan oleh Ansel. Maka dari itu, Elea lebih memilih pergi dari Rinjani Cafe dan meninggalkan Ansel sendiri.

Di saat Ansel sendiri termenung dan masih berada di Cafe Rinjani, tak sengaja Ia melihat teman SMA nya yang bernama Jessica.

Ansel menyapa Jessica, begitu juga sebaliknya. Pertemuan itu tak berlangsung lama karena Ansel harus pergi.

~~~

Tiga minggu pun berlalu. Hubungan Elea dan Ansel kini sedang tak harmonis sejak perbincangan mereka di Cafe tiga minggu yang lalu. Elea masih berkecimpung dengan kebimbangannya karena tiga minggu sudah ia menghabiskan waktu hanya untuk berpikir apakah ia harus menerima tawaran sang ayah, atau justru sebaliknya.

Selama tiga minggu ini Ansel pun tidak diam. Ia terus mencoba menghubungi Elea. Namun sikap Elea yang sedang tak ingin di ganggu, membuat dirinya acuh tak acuh terhadap Ansel. Selama itu pula Ansel seperti sedang kebakaran jenggot karena takut Elea benar-benar meninggalkannya. Ada satu alasan yang Ansel sembunyikan mengapa ia tak ingin putus dari Elea.

Selepas pulang dari kampus, Elea dengan sengaja mengunjungi rumah Ansel. Sepertinya Elea sudah mempunyai keputusan yang benar-benar tepat untuk ia utarakan pada ayahnya ketika waktunya tiba nanti.

Elea menarik rem mesin mobilnya saat ia sampai di depan rumah Ansel. Ia melihat sekitar, terlihat sepi dengan pintu tertutup. Karena biasanya, pintu rumah Ansel selalu terbuka saat semua berada di rumah.

Elea berjalan perlahan dan sampailah ia di depan pintu masuk. Elea sesekali mengintip lewat gorden jendela yang terbuka sedikit. Tak ada siapapun di dalam. Padahal saat Elea datang ke rumah Ansel, itu di waktu mau magrib yang seharusnya semua orang sedang berkumpul.

Elea mengetuk pintu lagi dan lagi hingga akhirnya pintu rumah Ansel pun terbuka.

KREK~~~

Ternyata Ansel yang membuka pintu. Ansel memancarkan raut wajah yang sedikit terkejut ketika Elea datang. Elea hanya menghea napas panjang ketika melihat Ansel.

''Elea!'' sapa Ansel seraya mengucek matanya. Sepertinya Ansel baru bangun dari tidurnya. Pemandangan yang tak aneh bagi Elea sat Elea datang mendadak ke rumah Ansel. Sudah pasti Ansel hanya tidur di kamarnya. Dan hal itu bisa sehaian Ansel lakukan.

Elea pun masuk tanpa berkata sepatah kata pun. Ia duduk seperti berada di rumahnya sendiri. Lalu Elea bertanya kenapa suasana rumah sangat sepi. Ansel menjawab seraya pergi ke dapur untuk membuat minuman bagi Elea. Ansel berkata bahwa ibu, ayah dan adiknya sedang pergi ke luar kota mengunjungi rumah neneknya yang berada di Yogyakarta.

Saat Ansel kembali dari dapur dengan membawa segelas es teh manis untuk Elea, Elea pun bertanya kembali pada Ansel yang merasa aneh kenapa Ansel tidak ikut dengan keluarga besarnya itu.

Jawaban yang tak terduga keluar dari mulut Ansel yaitu, ''Sayang, aku tahu apa yang harus aku lakukan jika kamu sedang bersikap dingin padaku. Aku harus menunggu di rumah sampai kamu datang. Karena aku tidak bisa mengunjungi rumahmu dengan bebas. Aku buktikan, sayang. Aku lebih memilih menunggu kamu datang daripada aku harus pergi,'' ujar Ansel.

Mendengar kalimat yang di ucapkan oleh Ansel, sedikit membuat Elea pun bahagia. Meski dirinya masih kesal dengan Ansel, namun rasa rindunya terhadap Ansel mengalahkan argumen-argumen Ansel yang sempat membuat Elea kecewa.

Ansel memegang kedua tangan Elea. Ia bertanya, ''Kamu ke mana saja sih sayang? Kamu tidak tahu bahwa aku sangat merindukan kamu?''

Ansel membiarkan kepalanya menyandar di pundak Elea. Sikap manja Ansel membuat Elea sangat merindukan kekasihnya itu. Namun, masalah yang sedang mereka hadapi saat ini sungguh bukan masalah biasa.

''Sel, bisa kan kita bicara serius sebentar saja?'' ucap Elea.

avataravatar
Next chapter