1 Bab - 1

"Lah, salah gue dimana, Cong?" tanya Rina, dengan wajah tanpa dosa.

"Uhhh, masih aja nanya salah elu dimana! Elu kagak mikir dan elu kagak ngerasa bersalah apa, semalem elu ngenalin gue sama aki-aki bau tanah kuburan, hah?!" sungutku kesal.

Rina tertawa, gigi ujung bawahnya yang berlubang terlihat jelas karena mulutnya yang mangap seperti pintu masuk ke dalam gua.

Karena kesal, aku pun beranjak dari bangku, hendak pergi meninggalkan Rina yang masih menertawaiku.

"Mel, elu mau kemana?" Dengan cepat dia menarik tali tas selempangku. "Dengerin gue dulu, Cong! Jangan ngambek kaya gitu, ah."

Aku mendelik ke arahnya itu, "Mau ngejelasin apa? Palingan juga elu mau maksa gue buat nerima itu aki-aki."

Tangan Rina menarik kuat tali tas selempangku, hingga aku kembali terduduk di sampingnya.

"Aki-aki mata lu soek, masih gagah kaya gitu. Dasar wajik buluk, lu! Dengerin gue dulu, Mel! Gue punya alesan kenapa gue ngenalin si Om Erick sama elu, karena gue tau, cuma dia yang bisa memenuhi semua yang elu butuhin."

"Tapi, jangan aki-aki dong, Rin."

"Elu, ya! Kalau ngomong kagak usah pake toa napa, Mel! Elu mau satu hypermarket ini tau apa, hah?!" Rina mentoyor kepalaku, bibirnya yang agak tebal bersungut sambil memperhatikan keadaan sekitar.

"Biarin aja, habisnya gue kesel banget. Masa iya gue kudu kencan sama cowok yang umurnya sama kaya bokap gue, hiiiiy."

"Elu mau masalahin umur? Ya sok atuh cari cowok yang sesuai dengan kriteria elu, yang muda, kinyis dan isi dompetnya berlapis-lapis. Hebat kalau elu bisa dapetin." Nada suara Rina mulai meninggi, nasi sisa makanku yang kini memenuhi mulutnya pun berhamburan ke atas meja makan. "Elu katanya kepingin kuliah, kepingin punya hape android canggih dan duit yang banyak. Mustahil kalau elu bisa ngewujudin itu semua dalam waktu yang singkat, Mel. Katanya elu kagak mau kalah dari si Eka, yang selalu ngerendahin elu."

"Iya, sih, gue kepingin, kuliah, banyak duit dan bergaya keren. Tapi --"

"Kagak usah pake tapi lagi, elu putusin aja, mau jadi "Sugar Baby" nya si Om Erick apa kagak? Si Om Erick itu kagak malu-maluin dibawa jalan, Cong. Badannya tinggi, gagah, atletis. Tampangnya enak dilihat, hidungnya bangir, bibirnya seksi, kharismatik dan gak keliatan kalau umurnya udah 40'an. Emang elu kagak merhatiin? Gayanya keren, kemeja, celana, sepatu, jam tangan yang dia pake bermerk semua. Kalau gue belum punya "Sugar Daddy", pastinya udah gue embat itu si Om Erick. Malahan, lebih ganteng si Om Erick kali dibandingin Om Leo, sugar daddy-nya gue."

Rina berusaha meyakinkan aku untuk menerima tawarannya menjadi seorang sugar baby-nya si bandot tua yang semalam bertemu denganku, huft! Aku sulit memutuskan, aku galau, di satu sisi aku butuh uang untuk bisa menyaingi SPG senior yang songongnya naudzubillah si Eka kisut, tapi di sisi lain ... aku gak mau berhubungan sama lelaki yang umurnya sama dengan ayahku.

"Woii, gue nyerocos ngomong, elu malah bengong."

"Tar deh gue pikir-pikir dulu, gue duluan ya! Jam istirahat gue udah mau abis, belum dempul komuk nih, tar customer gue pada kabur kagak mau beli susu gue kalau guenya bawuk."

Eits, maksudnya susu itu adalah produk susu yang aku jual loh yaa! Jangan ngeres dulu, aku ini seorang SPG susu cair, brandnya cukup terkenal di Indonesia yang gemah ripah loh jinawi ni.

"Okelah, tapi elu pikirin lagi, ya! Jangan kelamaan, tar keburu diambil orang loh itu si Om ganteng."

"Preet, ganteng tapi kisut."

"Duit di dompet elu yang kisut, lepet dan pada megang pedang semua, haha."

Aku terkikik mendengar ledekan Rina, kami pun berpisah. Rina tidak istirahat bersama denganku, karena tadi dia sedang datang barang, jadi setelah rampung display alias majang barang, barulah dia beristirahat.

Awalnya aku ingin menemani Rina, tapi si Eka songong yang sok menguasai lorong susu melarang kami untuk istrirahat bersama, karena dia dengan genknya ingin beristirahat bersama, salah satu diantara mereka tidak mau berganti waktu denganku. Maklum lah, namanya juga senior, jadi berasa lorong itu milik sendiri.

Wew ....

Eka adalah SPG DATA susu anak, brandnya sangat terkenal, membuat gajinya yang jauh lebih besar dariku atau Rina yang hanya sebagai SPG pajang biasa, sehingga membuat dia sombong dan jumawa.

Gajiku hanya UMR tanpa adanya bonus tambahan di setiap bulannya, hal itu karena tidak adanya target penjualan dan tidak ditugaskan mencari customer baru untuk memakai produk susu, seperti yang dilakukan si Eka itu. Aku dan Rina, hanya bertugas memajang produk sendiri, jika semua sudah selesai dikerjakan, maka kami wajib membantu memajangkan produk lain yang kosong di dalam rak pajangan.

Aku tak betah setiap kali bekerja, ingin rasanya aku berganti shift, tapi lawan shiftku tak mau menukar jadwalnya karena dia sendiri pun malas dengan tingkah polah si Eka and the genk-nya itu.

Sindiran bahkan ledekan tak segan Eka lontarkan langsung kepadaku, tak pernah bosan dia membandingkan brand makeup yang dia gunakan, higheels yang dia kenakan, jam tangan, handphone dan perhiasan yang menurutnya emas putih dengan kadar yang paling tinggi.

Huft! Aku muak dengan semua ocehan busuknya, ingin rasanya aku menyumpal mulutnya dengan gulungan lakban bekas perekat kardus susu, tapi aku tidak berdaya karena si Eka itu punya dekengan di tempat kami bekerja ini. Departement Manager kami yang terkenal killer itu adalah kekasih gelapnya.

Dengan bangga dan tanpa rasa malu, si janda beranak 1 itu selalu memamerkan kemesraan dengan Pak Ronald. Di kantin, di dalam kantor staff, bahkan di lorong jika keadaan sedang sepi; saat pagi sebelum buka atau saat malam menjelang tutup, mereka selalu berduaan, bermesraan, cuih ... jijik banget aku lihatnya.

Ting ... Pintu lift terbuka, aku menggeser posisiku ke samping, ketika si peot yang sok kecantikan itu hendak keluar bersama antek-anteknya yang tak kalah songongnya.

Saat melewatiku, dia sempat melirikku dan menarik ujung bibir atasnya sambil geleng-geleng kepala, "ckck, itu muka berminyak banget. Makanya pake bedak yang mahalan, itu muka apa panci penggorengan, hahaha," cemoohnya, diikuti suara ketawa sumbang dari para hantu dedemit yang berada di belakangnya.

Aku melengos pergi, masuk begitu saja ke dalam lift tanpa memperdulikan mulut busuknya yang sedang menghinaku.

Pintu lift tertutup, aku mengeluarkan cermin kecil bulat yang aku beli di Babang tukang jepit keliling yang mangkal di depan sekolah SD dekat tempat kostku, aku meringis membenarkan ucapan si Nenek sihir jahat itu tentang mukaku.

Mukaku berminyak dan kusam, padahal aku baru saja mentouch-upnya ulang, huft, ya ampun, ini pipi udah kaya bala-bala* (*bakwan), hiiii, ngeri sendiri.

Aku mendekatkan cermin kecil itu ke pipi bagian depan, di bawah mata, omaygat itu pori-pori udah kaya kulit jeruk sunkist, aku dekatin lagi, ya ampun si komedo berwarna hitam menambah kenistaan wajah ini. Seandainya aku punya uang banyak, aku pasti akan perawatan di klinik kecantikan seperti si Eka kisut itu, usianya yang sudah kepala tiga lebih, tapi aku akui penampilannya lebih muda dariku yang baru berusia 19.

Ting ... pintu lift terbuka, aku keluar dan segera melangkahkan kakiku menuju gudang untuk mengambil meja beroda yang berisi susu UHT yang belum sempat aku pajang karena keburu istirahat.

Aku menarik meja itu, menuju lorong susu. Aku berjaga sendiri, karena si Eka kisut itu selalu melakukan istirahat secara bergerombol bersama anggota genknya. Kami ada 7 orang, aku dan Rina selalu berdua jika waktu istirahat tiba, sementara 5 orang lainnya termasuk si kisut tak pernah mau dipisahkan dengan alasan apapun.

Sesampainya di lorong, aku bergegas bekerja, mengeluarkan sisa pajangan susu UHT yang ada di dalam rak pajangan ke dalam keranjang biru. Lalu mengeluarkan pisau cutter dari dalam saku celana coklat kopiku, untuk membuka lakban yang merekat di kardus susu yang hendak aku display.

Aku menata susu yang baru datang kemarin sore, lalu mulai menyusunnya ke dalam rak pajangan. Pada bagian depan, aku menata susu yang lama, yang tadi aku taruh di dalam kemasan.

Yang aku lakukan ini adalah FIFO alias First In First Out, produk yang baru datang wajib dan harus masuk atau dipajang pada bagian dalam, baru produk yang lama, hal ini demi menjaga kualitas susu, dimana susu yang baru datang tersebut masa kadaluarsanya lebih panjang dibandingkan susu yang lama.

Aku lakukan tugasku dengan tekun, tak pernah mengeluh, demi kelangsungan hidupku dan juga demi adik laki-laki yang kini masih bersekolah di SMA.

Aku adalah anak sulung dari 2 bersaudara, ayah adalah seorang pensiunan security di sebuah perusahaan swasta, lebih tepatnya ayah mengajukan pensiun dini, hal ini dilakukan karena penyakit stroke yang dideritanya kini.

Alhasil, di saat ayah sudah tak bekerja lagi, ibu-lah yang menjadi tulang punggung keluarga, dengan uang pensiun yang didapatkan ayah dari perusahaannya, ibu menjalankan bisnis kredit barang elektronik kecil-kecilan.

Awalnya bisnis yang dijalankan oleh ibu berjalan mulus, kami tak pernah kesulitan dalam hal keuangan, namun di enam bulan terakhir ini, ibu mulai kalang kabut, karena banyaknya kredit macet. Orang-orang baru yang mengambil barang secara kredit kepada ibu, mulai berkilah dan menghindar setiap kali ditagih.

Kami mulai kesulitan keuangan, niatan ibu untuk meneruskan sekolahku ke jenjang yang lebih tinggi pun pupus, setelah lulus SMA, aku langsung melamar pekerjaan kemana-mana, dan alhamdulillah, sudah 3 bulan aku memakai seragam atasan-bawahan coklat, sebagai seorang Sales Promotion Girl alias SPG di sebuah pusat perbelanjaan besar di kota Tangerang.

Karena jarak rumah dengan tempat aku bekerja itu lumayan jauh, jadinya aku memutuskan untuk ngekost.

Aku sebenarnya senang dan enjoy bekerja sebagai SPG, karena suasannya mengasikan, bisa bertemu dengan banyak orang yang berbeda-beda setiap harinya. Terlebih lagi, aku memiliki sahabat, yaitu Rina, SPG makanan bayi yang bernasib sama denganku, yaitu berasal dari keluarga yang kekurangan, yang membuat aku betah.

Aku tersenyum sendiri, saat pertama kali masuk ke dalam lorong di hari pertama aku bekerja, waktu itu aku memergoki dirinya sedang menyantap buah anggur merah yang merupakan barang batalan customer yang terselip di balik pilar pajangan produknya, waktu itu dia gelagapan dan wajahnya langsung pucat pasi, dia menyangka kalau aku ini security wanita yang baru.

Walaupun Rina orangnya ceplas-ceplos, judes dan sangat cerewet, tapi hanya dirinyalah yang baik dan ramah kepadaku.

"Hei, kok senyum-senyum sendiri?!" Suara Kak Derri, staff hypermarket mengejutkanku.

"Kak Derri, ih, aku kaget tau."

"Hehe, maaf. Sini, aku bantuin," ucapnya sambil tersenyum.

"Gak usah, Kak. Ini udah mau selesai kok."

"Ya udah kalau gitu, aku bantu lipat dan susun kardus-kardus ini aja ya, Mel?"

Aku mengangguk seraya menyunggingkan senyuman, Kak Derri membalas dengan senyum yang tak kalah manisnya dengan gula aren asli Jawa, hehe.

"Mel ...," panggilnya tertahan.

"Ada apa, Kak?"

"Hmm, besok kamu off, mau kemana?"

"Nyuci di kost, Kak. Hehe."

"Gak pulang ke Pandeglang?"

"Gak, Kak. Akhir bulan, tanggal tua. Isi dompet udah kembang-kempis, hehe."

"Oh gitu, kalau aku ajak nonton mau gak?"

Kutangkap sinyal cinta di mata Kak Derry, wajahnya tampak pias menahan grogi yang tak tertahan.

"Gak mau ya, Mel?"

"Eh, aku belum jawab apa-apa, Kak. Kok udah menyimpulkan kalau aku gak mau?"

"Jadi, mau?"

"Hmm, nanti aku kabarin, ya. Takutnya Rina ngajak jalan, hehe."

"Gak apa-apa, ajak aja si Rina, kita nonton rame-rame." Suara Kak Derri menurun, raut wajahnya seperti kecewa saat aku jawab belum bisa memutuskan mau atau tidak.

"Insya Allah nanti aku kabari, ya, Kak."

Kak Derri mengangguk, lalu kami pun bersama membereskan kardus dan sampah bekas lakban yang berserakan di lantai.

***

"Rin, besok elu mau kemana?"

"Ada janji sama Om Leo, mau main ke mal yang ada salju buatannya itu di Bekasi. Kenapa emang? Elu mau ngikut?"

Aku menggeleng dan kemudian mengeluarkan ponsel bututku, mengirim pesan kepada Kak Derri bahwa aku mengiyakan ajakannya.

[Ok, aku tunggu di pintu masuk mal, besok jam 1 siang ya, Mel.]

Aku membalas "OK" dan kemudian kembali memasukkan ponsel monophonicku ke dalam saku celana kerjaku.

"Elu sms siapa?" selidik Rina.

"Ah mau tau aja, lu."

"Jangan bilang itu si Derri!"

"Kalau dia, emang kenapa?"

"Ya ampun, Meeel. Dia itu kere, adeknya aja bnyak, berapa sih gaji staff supermarket? Mendingan Om Erick lah."

"Yaelah, si Bandot Tua lagi dibahas, kuping gue pengang denger namanya," jawabku, sambil menggosok-gosok telinga kananku.

"Jadi, elu nolak si Om?"

"Iya, ah. Gue gak mau main api, takut kebakar. Secara umurnya udah tuwir, tar gue diperkaos, hamil dan dia kabur, ih amit-amit jabang orok, hiii!"

"Terserah elu, dagh. Kalau gue sih enjoy sama Om Leo, orangnya baik, royal, apa yang gue mau pasti dipenuhi. Soal hubungan badan, si Om kagak maksa gue, Cong."

"Halah, bokis, lu."

"Sumpah, Mel. Gue sama si Om Leo, palingan cuma kissing dan main di sekitaran sekwilda doang."

"Sekwilda? Apaan tuh?"

"Sekitar wilayah dada, haha."

Aku bergidik ngeri, sementara Rina tertawa tanpa rasa malu dan risih karena aku tahu rahasia pribadinya.

Di sepanjang perjalanan pulang menuju kost, Rina terus menerus membujukku, agar mau menerima si Bandot Tua itu.

"Gue bilang, ogah, ya ogah."

"Yowes, tapi jangan pernah nangis lagi, kalau si Eka ngehina elu dan ngolok-ngolok elu lagi. Lu lihat sekarang sikapnya sama gue, semenjak gue mamerin android merk jeruk tipe terbaru, dia kagak berani lagi tuh ngeluarin hpnya lagi. Gue yakin, kalau elu udah mulai punya ini itu, dia juga bakalan mingkem."

"Gue mau cari cara lain aja."

Mendengar jawaban singkatku, Rina pun diam. Ia kembali fokus mengemudikan motor matic barunya, motor baru yang dibelikan oleh sugar daddynya, yaitu Om Leo.

***

Usai mencuci dan menjemur pakaian yang sudah segunung, aku langsung mandi dan kemudian bersiap untuk pergi nonton bersama Kak Derri.

Hanya dengan berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit, aku pun sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Kak Derri sudah menungguku di sana, pemuda hitam manis yang murah senyum itu tengah berdiri di depan dinding kaca sebuah toko peralatan olahraga.

Dengan tergopoh, aku berjalan setengah berlari menghampirinya.

"Kak Derri udah lama nunggu, ya?"

Dia menggeleng sambil menyunggingkan senyuman khas gula arennya.

"Syukurlah, soalnya aku tadi kesiangan bangun, jadi terlambat juga cuci bajunya, hehe."

"Iya, gak apa-apa. Terus kamu gak salat subuh, dong?"

Duh, kenapa sih si gula aren ini pake nanya soal salat segala, udah tau aku ini belang betong salatnya.

Aku nyengir kuda, sambil menggeleng.

"Mel, kita sebagai umat muslim wajib salat, loh. Maaf ya, bukan aku menggurui, jangan salah paham ya. Hanya saling mengingatkan aja."

"Eh, iya, Kak. Aku gak marah kok, insya Allah nanti aku perbaiki ibadahku."

"Alhamdulillah, yuk kita nonton. Filmnya bagus loh, Mel."

Aku dan Kak Derri berjalan berendengan, sambil berbincang seputar film yang akan kami tonton.

"Kak, boleh gak kita ganti film?" tanyaku sesaat sampai di dalam gedung bioskop.

"Emangnya kamu gak mau nonton film "Malih Angle", kah?"

"Kayanya, film horor "Rumah Singkong" lebih seru deh, Kak." Aku menunjuk ke arah monitor yang menayangkan iklan dari film tersebut.

"Boleh, deh. Aku antri dulu ya, kamu duduk aja."

Aku mengangguk dan berjalan menuju kursi tunggu.

Saat sedang duduk sambil asik mendengarkan musik, tiba-tiba saja dari arah toilet umum terdengar suara gaduh suara tertawa cekikian.

Aku menoleh ke asal sumber suara tersebut, lalu dari dalam muncullah si Kisut and the genknya.

Eka, si SPG senior di lorong susu tampil modis dengan balutan celana jeans ketat robek pada bagian lutut dan atasan kemeja lengan pendek press body yang dibuka 2 kancing atasnya, kakinya yang jenjang semakin terlihat cantik karena memakai sneaker putih model wedges, aku yang notabene sangat membenci makhluk Tuhan yang paling menyebalkan itu pun memuji penampilannya.

Eka, wanita yang menjanda karena suaminya selalu melakukan KDRT juga memiliki kelainan seks itu tampil tak kalah dengan 4 anggota genknya yang masih gadis, yaitu Lala, Septi, Indah dan Maya.

Aku berdecak kagum, tapi di dalam hati loh ya.

"Lihat, Kak Eka, itu si Bawuk," ucap Lala, sepertinya predikat "Bawuk" ditujukan kepadaku yang memang bawuk ini.

"OMG, iyaa, lagi apa dia di sini?"

"Ya nonton, lah, Kak."

"Ya kale, mau ngelamar kerja di sini, jadi tukang jaga pintu theater, biar bisa nonton gratis, hahaha."

"Hahaha."

Aku diam saja, pura-pura tak mendengarnya, asik memainkan game ular kelaparan yang nyari titik hitam untuk kemudian dilahapnya dan si ular pun menjadi panjang, di ponsel jadulku.

Si Kisut dan gerombolannya berhenti tepat di hadapanku, suara cemprengnya memanggilku, aku mentulikan telingaku, aku tetap bergeming sambil memainkan ponsel tak pintarku.

"Ya ampun, gaes, coba lihat si Unta ini, masa iya ke bioskop pake sepatu karet kaya orang mau kerja di pabrik, hihi. Tasnya juga itu, ya ampiyun, Mel. Kasihan banget sih kamu, pake tas rajut dekil warisan Emak lu waktu jaman jebot ya?!"

"Hahaha." Suara gelak tawa kembali terdengar.

Hatiku panas, tapi aku mencoba untuk tetap stay cool saja. Mataku tak berpindah dari layar ponsel.

"Ckck, kasihan ya si Unta ini, udah bawuk, dia budek lagi. Apa perlu gue kasih dia duit buat beli korek kuping ya?" Eka kembali menghinaku.

"Kasih aja, Kak. Kasihan," timpal Maya sambil cengengesan.

Eka membuka tas canglong KW super tanpa man, lalu mengeluarkan dompet merk Elvi tanpa Sukaesih yang kawe juga, dan plung ... gulungan uang pecahan sepuluh ribuan mendarat manis di pangkuanku.

"Beli cotton bud, Mel. Yang bagusan ya, harganya sepuluh ribu kurang cepek, supaya kuping lu yang caplang itu bersih dan gak budek, haha."

Usai mengeluarkan hinaan pamungkasnya, si Kisut  bersama para dedemitnya pun berlalu meninggalkanku.

Bulir bening menitik di ujung mata ini, aku bukan tak mau melawan sikap songong dan nyebelinnya si Kisut itu, tapi aku takut dia ngadu sama Pak Ronald dan imbasnya adalah nanti aku akan di CUT dari pekerjaanku ini.

Huft ...!

Memang ya, dimana-mana, uang itu sangat berperan penting. Buktinya saja, dengan uang si Kisut itu bisa tampil cantik, sehingga bisa menggaet siapa saja yang dia mau, termasuk Pak Ronald.

Maka wajar kalau si Kisut sangat bebas mau kapan bolos dan masuk, karena adanya campur tangan atasan yang punya wewenang.

Titik air mata yang meleleh di pipi ini, aku seka cepat dengan punggung tangan. Aku beranjak dan bergegas pergi meninggalkan gedung bioskop, tanpa pamitan kepada Kak Derri yang sedang antri untuk membeli pop corn dan soft drink untuk kami.

Aku pulang, mengurung diri di dalam kamar kost yang sempit. Tak ada perabotan khas anak kost, kecuali kasur lepet milik ibu kost dan kipas angin kecil warisan dari Rina yang sudah membeli kipas berbentuk panjang seperti miniatur gedung, entah apa itu namanya, yang anginnya sejuk kaya angin AC kalau berhembus.

Aku terisak, sikap, ucap si Kisut selama ini kepadaku kembali membayang di benak. Suaranya yang cempreng, kembali terngiang. Aku menutup kedua telinga, seolah bisa meredam hinaan dan caciannya untukku.

Tak lagi kupedulikan panggilan dari Kak Derri, aku sudah tidak mood untuk nonton. Aku mau sendiri, menyepi dan coba berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa membalas perlakuan si Kisut and the genk selama ini.

***

Setelah OFF kemarin, otomatis aku pun berganti shift, kali ini aku sedang shift siang. Pukul 13.15 aku berangkat dari kost bersama Rina dengan motor maticnya.

Aku tak cerita pada Rina tentang perlakuan si Kisut padaku kemarin, malas dan enggan untuk mengingat kembali, rasanya sakit banget.

Setelah sampai di area karyawan, aku langsung menuju loker untuk menaruh sweater, tas dan sepatu karetku untuk selanjutnya aku ganti dengan  sepatu kerja berwarna hitam.

"Mel, kamu dipanggil Pak Ronald ke ruangannya," ucap Tina, security wanita yang berjaga di ruangan khusus untuk karyawan itu.

"Ada apa, Tin?"

"Kurang tau, beliau cuma bilang katanya kalau kamu sudah datang, suruh menghadap beliau."

"Ok, makasih ya Tin."

"Ya, Mel."

Seketika jantungku berdegub kencang, telapak tanganku dingin dan keringat tiba-tiba keluar dari atas bibir dan dahi. Aku takut, sesuatu yang buruk akan menimpaku.

"Ada apa, Mel?" tanya Rina.

"Gue dipanggil Pak Ronald, Rin."

"Ada apaan?"

Aku mengangkat kedua bahuku, lalu berpamitan kepada Rina untuk duluan naik ke atas, karena aku harus menghadap sang Departemen Manager.

Keluar dari lift, aku berjalan dengan kaki gemetar menuju ruangan Pak Ronald, hatiku bertanya-tanya ada apa ini?

Setelah komat-kamit berdo'a, akhirnya aku mengetuk pintu ruangan kekasih si Kisut itu.

"Masuk ...!" Suara berat kudengar dari dalam.

Kuraih knop pintu, lalu masuk dan kemudian berdiri di depan meja coklat yang merupakan meja kerja Pak Ronald.

"Duduk, Mel!" perintahnya.

"I-iya, Pak," jawabku panik. "Ada apa, ya, Pak?" Aku memberanikan diri bertanya, daripada penasaran.

Pak Ronald menatapku tajam, jarinya memegang pulpen cair yang diketuk-ketukan ke atas mejanya.

"Kamu saya kenakan SP2," ujarnya, tidak ada angin, tidak ada hujan apalagi gempa dan tsunami.

Glek ...! Aku menelan saliva, keringatku mengucur, kedua telapak tanganku langsung berkeringat.

"A-apa, apa salah saya, Pak?"

"Hari kemarin, lorong susu shift kamu kosong, gak ada 1 orang pun masuk, harusnya kamu stay di sana kemarin, ini malah OFF."

"Loh, itu kan ... memang jadwal saya OFF, Pak. Apa salah saya?"

"Jelas kamu salah," tukasnya sambil menggebrak meja.

"Salahnya dimana, Pak? Saya off setiap hari Selasa, harusnya kalau ada yang harus disalahkan kenapa lorong kosong adalah SPG yang bukam jadwalnya off malah off, Pak."

"Kamu gak usah ngajarin saya, saya sudah 15 tahun berkecimpung di dunia ini, kamu baru 3 bulan. Eka dan teman-temannya sudah izin kepada saya, kalau mau off bersamaan. Harusnya kamu peka dong, bergantian, jangan seenaknya begitu."

Amsiyong tuh si Kisut, bikin aku mati kutu tak bisa berkutik, lagi-lagi dia bikin rusuh dan mau matiin rezekiku.

Selanjutnya aku harus tahan mendengar ocehan dan makian Pak Ronald kepadaku, dia mengancam kalau akan menelepon perusahaan dimana aku bekerja agar diganti saja SPGnya.

Gila ...!

Sumpah ...!

Jahat banget manusia-manusia laknat ini, sakit hati aku dibuatnya.

Bapak, seandainya Bapak masih kerja dan sehat, kayanya aku mau resign aja dan jadi anak gadis rumah tangga, gak apa-apa dah berkutat di dapur, sumur dan kasur juga, walaupun gak kuliah aku ikhlas yang penting bisa mendapatkan perlakuan yang adil. Gak kaya gini, hiks.

Setelah mulutnya pegal, aku pun disuruhnya untuk keluar. Emosi membuncah di dada, tapi aku tak punya daya dan kuasa. Hanya diam dan diam yang aku bisa.

Sampai di lorong, aku segera menyimpan map berzipper berisikan kertas laporan, absen dan kaca bulat ajaibku, hehe.

Setelah itu, aku kembali fokus bekerja. Melihat produk apa saja yang kosong atau stok menipis di rak pajangan tersebut, untuk selanjutnya aku mengisinya dengan stok yang ada di gudang.

Rak pajangan susu UHT letaknya di ujung belakang lorong, samar-samar kudengar suara tawa dari lorong bagian depan, tempat berkumpulnya manusia-manusia laknat itu.

Kulirik dengan ujung mata, si Maya dan Septi berjalan mendekat kepadaku. Tapi aku cuek, seolah-olah tak melihat kedatangan mereka.

Benar saja, mereka mau meledekku. Mereka tahu kalau aku habis kena SP, huft.

"Enak ya, yang baru dapet SP 2 dari Babeh, haha," ledek Maya.

"Iya, sebelumnya:

https://m.facebook.com/groups/488655531196343?view=permalink&id=2827724750622731

••

Usai mencuci dan menjemur pakaian yang sudah segunung, aku langsung mandi dan kemudian bersiap untuk pergi nonton bersama Kak Derri.

Hanya dengan berjalan kaki selama kurang lebih 10 menit, aku pun sampai di tempat yang sudah dijanjikan. Kak Derri sudah menungguku di sana, pemuda hitam manis yang murah senyum itu tengah berdiri di depan dinding kaca sebuah toko peralatan olahraga.

Dengan tergopoh, aku berjalan setengah berlari menghampirinya.

"Kak Derri udah lama nunggu, ya?"

Dia menggeleng sambil menyunggingkan senyuman khas gula arennya.

"Syukurlah, soalnya aku tadi kesiangan bangun, jadi terlambat juga cuci bajunya, hehe."

"Iya, gak apa-apa. Terus kamu gak salat subuh, dong?"

Duh, kenapa sih si gula aren ini pake nanya soal salat segala, udah tau aku ini belang betong salatnya.

Aku nyengir kuda, sambil menggeleng.

"Mel, kita sebagai umat muslim wajib salat, loh. Maaf ya, bukan aku menggurui, jangan salah paham ya. Hanya saling mengingatkan aja."

"Eh, iya, Kak. Aku gak marah kok, insya Allah nanti aku perbaiki ibadahku."

"Alhamdulillah, yuk kita nonton. Filmnya bagus loh, Mel."

Aku dan Kak Derri berjalan berendengan, sambil berbincang seputar film yang akan kami tonton.

"Kak, boleh gak kita ganti film?" tanyaku sesaat sampai di dalam gedung bioskop.

"Emangnya kamu gak mau nonton film "Malih Angle", kah?"

"Kayanya, film horor "Rumah Singkong" lebih seru deh, Kak." Aku menunjuk ke arah monitor yang menayangkan iklan dari film tersebut.

"Boleh, deh. Aku antri dulu ya, kamu duduk aja."

Aku mengangguk dan berjalan menuju kursi tunggu.

Saat sedang duduk sambil asik mendengarkan musik, tiba-tiba saja dari arah toilet umum terdengar suara gaduh suara tertawa cekikian.

Aku menoleh ke asal sumber suara tersebut, lalu dari dalam muncullah si Kisut and the genknya.

Eka, si SPG senior di lorong susu tampil modis dengan balutan celana jeans ketat robek pada bagian lutut dan atasan kemeja lengan pendek press body yang dibuka 2 kancing atasnya, kakinya yang jenjang semakin terlihat cantik karena memakai sneaker putih model wedges, aku yang notabene sangat membenci makhluk Tuhan yang paling menyebalkan itu pun memuji penampilannya.

Eka, wanita yang menjanda karena suaminya selalu melakukan KDRT juga memiliki kelainan seks itu tampil tak kalah dengan 4 anggota genknya yang masih gadis, yaitu Lala, Septi, Indah dan Maya.

Aku berdecak kagum, tapi di dalam hati loh ya.

"Lihat, Kak Eka, itu si Bawuk," ucap Lala, sepertinya predikat "Bawuk" ditujukan kepadaku yang memang bawuk ini.

"OMG, iyaa, lagi apa dia di sini?"

"Ya nonton, lah, Kak."

"Ya kale, mau ngelamar kerja di sini, jadi tukang jaga pintu theater, biar bisa nonton gratis, hahaha."

"Hahaha."

Aku diam saja, pura-pura tak mendengarnya, asik memainkan game ular kelaparan yang nyari titik hitam untuk kemudian dilahapnya dan si ular pun menjadi panjang, di ponsel jadulku.

Si Kisut dan gerombolannya berhenti tepat di hadapanku, suara cemprengnya memanggilku, aku mentulikan telingaku, aku tetap bergeming sambil memainkan ponsel tak pintarku.

"Ya ampun, gaes, coba lihat si Unta ini, masa iya ke bioskop pake sepatu karet kaya orang mau kerja di pabrik, hihi. Tasnya juga itu, ya ampiyun, Mel. Kasihan banget sih kamu, pake tas rajut dekil warisan Emak lu waktu jaman jebot ya?!"

"Hahaha." Suara gelak tawa kembali terdengar.

Hatiku panas, tapi aku mencoba untuk tetap stay cool saja. Mataku tak berpindah dari layar ponsel.

"Ckck, kasihan ya si Unta ini, udah bawuk, dia budek lagi. Apa perlu gue kasih dia duit buat beli korek kuping ya?" Eka kembali menghinaku.

"Kasih aja, Kak. Kasihan," timpal Maya sambil cengengesan.

Eka membuka tas canglong KW super tanpa man, lalu mengeluarkan dompet merk Elvi tanpa Sukaesih yang kawe juga, dan plung ... gulungan uang pecahan sepuluh ribuan mendarat manis di pangkuanku.

"Beli cotton bud, Mel. Yang bagusan ya, harganya sepuluh ribu kurang cepek, supaya kuping lu yang caplang itu bersih dan gak budek, haha."

Usai mengeluarkan hinaan pamungkasnya, si Kisut  bersama para dedemitnya pun berlalu meninggalkanku.

Bulir bening menitik di ujung mata ini, aku bukan tak mau melawan sikap songong dan nyebelinnya si Kisut itu, tapi aku takut dia ngadu sama Pak Ronald dan imbasnya adalah nanti aku akan di CUT dari pekerjaanku ini.

Huft ...!

Memang ya, dimana-mana, uang itu sangat berperan penting. Buktinya saja, dengan uang si Kisut itu bisa tampil cantik, sehingga bisa menggaet siapa saja yang dia mau, termasuk Pak Ronald.

Maka wajar kalau si Kisut sangat bebas mau kapan bolos dan masuk, karena adanya campur tangan atasan yang punya wewenang.

Titik air mata yang meleleh di pipi ini, aku seka cepat dengan punggung tangan. Aku beranjak dan bergegas pergi meninggalkan gedung bioskop, tanpa pamitan kepada Kak Derri yang sedang antri untuk membeli pop corn dan soft drink untuk kami.

Aku pulang, mengurung diri di dalam kamar kost yang sempit. Tak ada perabotan khas anak kost, kecuali kasur lepet milik ibu kost dan kipas angin kecil warisan dari Rina yang sudah membeli kipas berbentuk panjang seperti miniatur gedung, entah apa itu namanya, yang anginnya sejuk kaya angin AC kalau berhembus.

Aku terisak, sikap, ucap si Kisut selama ini kepadaku kembali membayang di benak. Suaranya yang cempreng, kembali terngiang. Aku menutup kedua telinga, seolah bisa meredam hinaan dan caciannya untukku.

Tak lagi kupedulikan panggilan dari Kak Derri, aku sudah tidak mood untuk nonton. Aku mau sendiri, menyepi dan coba berpikir bagaimana caranya supaya aku bisa membalas perlakuan si Kisut and the genk selama ini.

***

Setelah OFF kemarin, otomatis aku pun berganti shift, kali ini aku sedang shift siang. Pukul 13.15 aku berangkat dari kost bersama Rina dengan motor maticnya.

Aku tak cerita pada Rina tentang perlakuan si Kisut padaku kemarin, malas dan enggan untuk mengingat kembali, rasanya sakit banget.

Setelah sampai di area karyawan, aku langsung menuju loker untuk menaruh sweater, tas dan sepatu karetku untuk selanjutnya aku ganti dengan  sepatu kerja berwarna hitam.

"Mel, kamu dipanggil Pak Ronald ke ruangannya," ucap Tina, security wanita yang berjaga di ruangan khusus untuk karyawan itu.

"Ada apa, Tin?"

"Kurang tau, beliau cuma bilang katanya kalau kamu sudah datang, suruh menghadap beliau."

"Ok, makasih ya Tin."

"Ya, Mel."

Seketika jantungku berdegub kencang, telapak tanganku dingin dan keringat tiba-tiba keluar dari atas bibir dan dahi. Aku takut, sesuatu yang buruk akan menimpaku.

"Ada apa, Mel?" tanya Rina.

"Gue dipanggil Pak Ronald, Rin."

"Ada apaan?"

Aku mengangkat kedua bahuku, lalu berpamitan kepada Rina untuk duluan naik ke atas, karena aku harus menghadap sang Departemen Manager.

Keluar dari lift, aku berjalan dengan kaki gemetar menuju ruangan Pak Ronald, hatiku bertanya-tanya ada apa ini?

Setelah komat-kamit berdo'a, akhirnya aku mengetuk pintu ruangan kekasih si Kisut itu.

"Masuk ...!" Suara berat kudengar dari dalam.

Kuraih knop pintu, lalu masuk dan kemudian berdiri di depan meja coklat yang merupakan meja kerja Pak Ronald.

"Duduk, Mel!" perintahnya.

"I-iya, Pak," jawabku panik. "Ada apa, ya, Pak?" Aku memberanikan diri bertanya, daripada penasaran.

Pak Ronald menatapku tajam, jarinya memegang pulpen cair yang diketuk-ketukan ke atas mejanya.

"Kamu saya kenakan SP2," ujarnya, tidak ada angin, tidak ada hujan apalagi gempa dan tsunami.

Glek ...! Aku menelan saliva, keringatku mengucur, kedua telapak tanganku langsung berkeringat.

"A-apa, apa salah saya, Pak?"

"Hari kemarin, lorong susu shift kamu kosong, gak ada 1 orang pun masuk, harusnya kamu stay di sana kemarin, ini malah OFF."

"Loh, itu kan ... memang jadwal saya OFF, Pak. Apa salah saya?"

"Jelas kamu salah," tukasnya sambil menggebrak meja.

"Salahnya dimana, Pak? Saya off setiap hari Selasa, harusnya kalau ada yang harus disalahkan kenapa lorong kosong adalah SPG yang bukam jadwalnya off malah off, Pak."

"Kamu gak usah ngajarin saya, saya sudah 15 tahun berkecimpung di dunia ini, kamu baru 3 bulan. Eka dan teman-temannya sudah izin kepada saya, kalau mau off bersamaan. Harusnya kamu peka dong, bergantian, jangan seenaknya begitu."

Amsiyong tuh si Kisut, bikin aku mati kutu tak bisa berkutik, lagi-lagi dia bikin rusuh dan mau matiin rezekiku.

Selanjutnya aku harus tahan mendengar ocehan dan makian Pak Ronald kepadaku, dia mengancam kalau akan menelepon perusahaan dimana aku bekerja agar diganti saja SPGnya.

Gila ...!

Sumpah ...!

Jahat banget manusia-manusia laknat ini, sakit hati aku dibuatnya.

Bapak, seandainya Bapak masih kerja dan sehat, kayanya aku mau resign aja dan jadi anak gadis rumah tangga, gak apa-apa dah berkutat di dapur, sumur dan kasur juga, walaupun gak kuliah aku ikhlas yang penting bisa mendapatkan perlakuan yang adil. Gak kaya gini, hiks.

Setelah mulutnya pegal, aku pun disuruhnya untuk keluar. Emosi membuncah di dada, tapi aku tak punya daya dan kuasa. Hanya diam dan diam yang aku bisa.

Sampai di lorong, aku segera menyimpan map berzipper berisikan kertas laporan, absen dan kaca bulat ajaibku, hehe.

Setelah itu, aku kembali fokus bekerja. Melihat produk apa saja yang kosong atau stok menipis di rak pajangan tersebut, untuk selanjutnya aku mengisinya dengan stok yang ada di gudang.

Rak pajangan susu UHT letaknya di ujung belakang lorong, samar-samar kudengar suara tawa dari lorong bagian depan, tempat berkumpulnya manusia-manusia laknat itu.

Kulirik dengan ujung mata, si Maya dan Septi berjalan mendekat kepadaku. Tapi aku cuek, seolah-olah tak melihat kedatangan mereka.

Benar saja, mereka mau meledekku. Mereka tahu kalau aku habis kena SP, huft.

Mau apa sih mereka itu?!

avataravatar