webnovel

o TERBAIK UNTUKMU

(c) Miiya K.

"Jangan coba-coba memikirkan itu!" Andi memperingatkan kakak perempuannya yang sejak tadi asik memperhatikan salah satu cowok yang sedang nongkrong bersama teman-temannya di seberang jalan besar di depan rumah mereka.

"Memikirkan apa?" tanya Jehan tak mengerti.

"Aldo. Dari tadi kakak ngeliatin dia kan?" tuduh Andi menyipitkan mata ke arah sang kakak.

"A-apaan sih?" Mendapat tebakan yang tepat dari Andi, Jehan langsung salah tingkah, dia kemudian berpura-pura menyapu teras lagi.

Andi mendengus melihat kelakuan kakaknya. "Sudahlah jangan pura-pura nyapu seperti itu, bohongnya jadi makin kelihatan."

Jehan merengut, dia menoleh dan memelototi Andi yang kemudian asik duduk bersila di teras sambil memperbaiki senar gitarnya yang putus.

"Dia bukan cowok yang baik kak. Aku pikir kakak sudah tahu tentang hal itu, dia kan teman SMA kakak."

Jehan mendesah, mengembalikan sapu ke tempatnya, dia lalu ikut duduk bersila di lantai, memperhatikan Andi yang sibuk dengan gitarnya.

"Iya Aldo teman SMA-ku, tapi dia baik kok, sopan, dan nggak pernah kurang ajar." Setidaknya sama aku, Jehan menambahkan dalam hati.

Andi memutar mata mendengar pembelaan kakaknya. "Tapi kakak tahu sendirikan di desa ini dia dikenal sebagai apa? Berandalan tukang buat onar, sering berkelahi, suka mabuk-mabukan, dan sering bolak-balik kantor polisi."

"Iya sih, tapi ..." Jehan menoleh untuk menatap fitur Aldo yang sedang tertawa-bercanda bersama teman-teman sesama berandalannya. Aldo termasuk ganteng, dia memiliki tinggi sekitar seratus enam puluh tujuh centimeter, postur tubuh yang bagus, kulit hitam manis, hidung mancung, dan mata gelap yang tajam. Dia mempunyai wajah yang enak dipandang. Namun sayangnya desas-desus tentang Aldo yang beredar selama ini sangat buruk. Reputasinya jelek. Seperti yang dikatakan Andi tadi, semua orang mengenalnya sebagai seorang pembuat onar yang suka mabuk-mabukan. Tapi ... Entah kenapa perasaan Jehan mengisyaratkan bahwa Aldo adalah laki-laki yang baik.

Mendengar kakaknya berhenti bicara, Andi mendongak dan dia mencibir saat melihat Jehan sibuk memandangi Aldo. Dia tahu kakaknya naksir berat pada cowok yang dikenal sebagai berandalan kampung itu, dan tentu saja Andi tidak menyetujuinya.

"Sudah kubilang jangan coba-coba memikirkan Aldo. Aku tahu kakak naksir sama dia."

Jehan tersentak mendengar teguran Andi. Wajahnya memanas karena malu. "Andi!" Protesnya sambil memelototi Andi.

"Papa nggak akan senang lho kalau dapat calon menantu seperti itu."

"Kamu ..." Geram Jehan sebal sembari menggetok kepala Andi menggunakan bogemnya, lalu bangun, menghentakan kaki kesal, kemudian masuk ke dalam rumah.

"Dasar!" Andi meringis mengusap kepalanya yang digetok Jehan. Walaupun umurnya tiga tahun lebih muda dari Jehan, tapi dia selalu bisa berpikir jernih, dan memberikan beberapa nasihat berguna untuk kakak perempuan satu-satunya yang kekanakan itu.

Merasa ada seseorang yang memperhatikan, Andi mengangkat kepalanya, dan tatapannya bersirobok dengan mata gelap Aldo yang berdiri di seberang jalanan besar bersama teman-temannya. Andi melengkungkan alis. Apa dari tadi Aldo memperhatikan pertengkarannya dengan Jehan?

***

Pulang kuliah adalah saat-saat yang paling menyebalkan bagi Jehan. Dia harus berdiri tegak di depan gerbang kampus untuk menunggu kendaraan yang lewat, seperti angkot atau ojek. Tapi sayang sepertinya hari ini kendaraan yang liwat di depan kampusnya sepi.

Jam telah menunjukan pukul tiga sore, Jehan sudah mencoba menelpon Andi untuk menjemputnya, tapi Andi bilang dia sedang sibuk berada di rumah sang calon mertua. Hal itu membuat Jehan kesal. Dia menggerutu panjang pendek tentang belajar mengendarai motor, dan dia juga mengatakan akan menusuk ban motor Andi menggunakan pisau dapur setelah sampai rumah nanti. Sepertinya akan terjadi pertengkaran saudara yang seru.

Jehan terus menggerutu sendiri, mengabaikan tatapan aneh beberapa mahasiswa yang keluar masuk di kampusnya. Dan dia juga tidak menyadari ketika sebuah motor sport berwarna hitam berhenti tepat di depannya.

"Aku nggak tahu kalau kamu cerewet banget."

Jehan mendongak dan matanya melebar saat melihat bahwa orang yang menegurnya adalah Aldo. Dia masih duduk di atas motor tampak rapi dengan celana jins biru, kemeja putih, jaket hitam, dan tas yang tersampir di punggung. Aldo juga mengenakan helm yang berwarna senada dengan motornya. Kelihatannya dia juga baru pulang kuliah. Aldo dan Jehan kuliah di kampus yang berbeda. Jehan kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Pendidikan, sementara Aldo kuliah di Sekolah Tinggi Ilmu Hukum.

"A-Aldo?" Jehan akhirnya mendapatkan suaranya kembali.

"Ya."

"Ng. Ngapain kamu di sini?" tanya Jehan salah tingkah.

Aldo tertawa. "Tadi aku sedang dalam perjalanan pulang, trus aku ngeliat kamu yang lagi ngomel nggak jelas kayak bebek jadi aku berhenti, buat mastiin teman sekelas aku waktu SMA masih waras atau udah gila."

Jehan mendelik mendengar ejekan Aldo. Aldo kembali tertawa.

"Nunggu jemputan orang rumah, apa nunggu kendaraan umum?" tanya Aldo lagi.

"Tadinya sih nunggu dua-duanya. Tapi karena jemputan nggak bakal datang," Jehan mengernyit memikirkan bagaimana cara untuk membalas Andi. "Jadilah aku cuma nunggu kendaraan umum buat pulang."

"Oh. Mau pulang bareng?"

"Apa?" Jehan terkejut mendengar tawaran Aldo.

"Mau pulang bareng?" ulang Aldo sembari menyerahkan sebuah helm berwarna putih khusus cewek pada Jehan. Helm itu sejak tadi dia simpan di bagian depan motornya.

"T-tapi ..."

Aldo memiringkan kepala, menatap Jehan tepat pada matanya. "Aku nggak nerima alasan apapun, aku cuma butuh jawaban ; iya? Atau tidak?"

Jehan tediam sejenak untuk berpikir. Jika dia menolak untuk pulang dengan Aldo maka dia harus menunggu kendaraan umum lebih lama lagi, dan bisa-bisa dia pulang menjelang maghrib. Tapi kalau dia menerima tawaran Aldo ... Jehan bergidik membayangkan omelan yang akan dia terima dari Andi dan Papanya. Sejak dulu Papa Jehan yang seorang pensiunan Polisi tidak suka pada Aldo dan teman-temannya.

Baru saja dia berpikir untuk menjawab tidak, tapi mulutnya malah mengatakan "Iya," pada Aldo.

"Kalau begitu ini." Aldo mengacung-ngacungkan helm pada Jehan.

Sial! Jehan mendesah, lalu menerima helm dari Aldo. "Terimakasih" ucapnya kemudian naik ke atas motor dengan dibantu Aldo.

"Motor yang bagus," kata Jehan skeptis saat melihat posisi sadel tempat duduk penumpang yang condong ke arah pengemudi.

"Terimakasih," cengir Aldo.

Jehan pikir pinggangnya akan sakit kalau dia tetap duduk tegak untuk menahan tubuhnya agar tidak condong ke arah Aldo dan bahkan memeluknya.

"Pegangan yang erat."

"Apa?" Jehan melongo, bengong. Pegangan pada Apa? Pikirnya bingung sambil mencari pegangan di motor Aldo. Besi kecil mengkilap yang melengkung pada bagian belakang motor? Tidak mungkin! Pinggang Aldo? Memikirkan hal itu membuat wajah Jehan memerah karena malu.

Melihat kelakuan Jehan melalui bahunya membuat Aldo terkekeh. Dan tanpa peringatan dia mulai menghidupkan dan menjalan motornya dengan kecepatan menengah.

"Aldoooo!" Jehan menjerit ngeri. Refleks dia melingkarkan kedua lengannya di pinggang Aldo.

Aldo hanya tertawa tanpa berniat memelankan laju motornya.

Dalam perjalanan pulang, Jehan merasa seperti seorang penderita penyakit jantung. Tubuhnya menempel erat pada punggung Aldo, harum tubuh Aldo menyeruak masuk ke dalam indera penciumannya hingga Jehan merasa pusing. Kedekatannya dengan Aldo membuat jantungnya berdegup kencang. Jehan berharap Aldo tidak mendengar bunyi detak jantungnya yang menggila.

Wahai jantungku, tenanglah. Pikir Jehan—yang entah kenapa merasa bahagia—sambil memejamkan matanya.

"Sudah sampai."

"Apa?" Jehan mengerjap bingung mendengar suara Aldo.

"Kita sudah sampai Je." Aldo menjelaskan dengan sabar sambil menoleh melihat Jehan dari balik bahu kanannya.

"A-aa." Jehan kelimpungan, dia menatap sekelilingnya bingung, dan dia kemudian menyadari kalau mereka sudah sampai di depan Rumahnya. "U-udah nyampe ya?" tanyanya kelabakan sembari berusaha turun dari motor sport yang ukurannya lumayan tinggi untuk tubuhnya yang mungil itu.

Aldo tersenyum geli melihat Jehan yang berdiri salah tingkah di samping motornya, gadis itu terlihat berusaha melepaskan helm dari kepalanya.

"Kamu ketiduran ya tadi?"

Jehan tersentak. Dia makin salah tingkah karena malu. Jadi tadi Aldo tahu kalau Jehan memejamkan mata sambil membaringkan kepalanya di punggung Aldo? Sialan! Maki Jehan dalam hati.

"Iya. Kecapaian gara-gara kuisnya terlalu sulit," dia memberikan alasan yang lumayan tidak masuk akal.

"Owh." Aldo mengangguk, menerima helm yang disodorkan Jehan.

"Terimakasih ya Al."

"Sama-sama." Aldo mengangguk lalu melajukan motornya pergi.

Jehan terus mengamati Aldo sampai motor cowok itu menghilang di sebuah tikungan gang yang letaknya tak jauh dari rumah Jehan. Setelah Aldo menghilang, gadis itu kemudian berlari masuk ke dalam rumah. Dia lega karena Papanya tidak melihat kalau dia diantar pulang oleh Aldo.

Sementara itu, Andi yang baru saja pulang dari rumah pacarnya, mengintip melalui tirai jendela ruang tamu. Dia tertegun melihat keakraban kakaknya dengan Aldo. Firasatnya mendadak buruk.

***

"Kak." Andi melirik gelisah ke arah Kakaknya yang sedang sibuk mengerjakan makalah tugas Linguistik Umum di ruang keluarga. Tivi menyala di depan mereka memperlihatkan acara sinetron malam yang membosankan, sementara Fathan, adik bungsu Jehan dan Andi yang duduk di bangku kelas tiga SMP sedang asik bersms ria dengan pacarnya—sambil berpura-pura belajar, katanya takut ketahuan Papa.

"Kak!" panggil Andi lagi sambil melempar kakaknya menggunakan bantalan sofa yang dari tadi dia pegang.

Jehan yang sedang asik duduk bersila di lantai sambil menulis makalah, menoleh dan memelototi Andi. "Apaan?" tanyanya gusar sembari balas melempar Andi dengan bantalan sofa tadi.

"Aku mau bicara sama Kakak," katanya ragu.

Jehan tampak tak acuh. Dia kembali menekuni makalah linguistik umumnya. "Bicara apaan?"

Andi menatap kakaknya sebentar, "Ini tentang Al ..."

"Jehaann!" Suara panggilan Mama yang terdengar dari dapur memotong perkataan Andi.

"Iya Ma!" Jehan langsung meninggalkan makalahnya, lalu pergi menuju dapur untuk mendengarkan perkataan Sang Mama.

Andi mendesah. Dia menggaruk kepalanya frustrasi, bingung bagaimana cara menyampaikan pada Kakaknya bahwa Aldo itu ... Errr ... Berbahaya. Well, selama ini dia sudah sering mengatakan pada Jehan bahwa Aldo itu tidak baik, tapi Jehan mengabaikannya.

Bagi Andi, Aldo bukan hanya tidak baik, tapi juga berbahaya. Dari salah seorang temannya di desa tetangga, Andi mendapatkan informasi bahwa Aldo terlibat dalam kasus pembunuhan seorang pemuda di desa Runggu. Dia membacoknya. Kasus itu memang belum tersebar, karena keluarga si korban sedang menyelidiki siapa yang membunuh anak mereka, setelah mereka mengetahuinya mereka pasti akan membalas dendam. Dan menurut Andi, kalau sampai Jehan dekat dan pacaran dengan Aldo, itu pasti akan berbahaya bagi Jehan.

Andi tidak mau nyawa kakaknya berada dalam bahaya karena pemuda berandalan itu. Well, dia juga memang bukan orang baik, tapi Andi sangat menghawatirkan Jehan. Jehan memang anak sulung dan lebih tua dari Andi, tapi Andi sangat menyayangi Jehan dan malah memperlakukannya seperti seorang adik.

"Mau kemana?" Sebelah alis Andi terangkat saat melihat Jehan yang kembali dari dapur pergi menuju ke kamarnya.

"Ganti baju. Minyak goreng habis, Mama nyuruh aku ke warung Bu Ade buat ngebeli," jawab Jehan lalu masuk ke dalam kamarnya. Dan tak berapa lama kemudian dia keluar dari kamar dengan menggunakan kaos putih pas badan, dan celana kargo selutut berwarna biru navi.

"Aku antar," ucap Andi datar sembari bangun dari kursi, dan tampa menunggu persetujuan dari kakaknya, dia berjalan untuk membuka pintu.

Jehan memutar matanya sebal melihat sikap protektif adiknya. Belum sempat mereka berangkat menggunakan motor matik Andi.

"Andiiii!" Mama tiba-tiba memanggil Andi.

"Iya. Ma!"

"Jemput Papamu di bengkel Pak Taufik, Papanya Denny!" Mama muncul di depan pintu.

Andi mengerutkan kening. "Memangnya papa kenapa Ma?"

"Motor Papamu mogok. Jadi cepat jemput di bengkel sebelum Papa ngomel!" Perintah Mama.

Andi menatap Jehan ragu.

"Udah sana. Biar aku jalan kaki," kata Jehan kemudian beranjak keluar dari pekarangan rumahnya.

Setelah Jehan menghilang pada sebuah tikungan gang, Andy lalu mengeluarkan motornya dan pergi untuk menjemput si Papa.

***

"Weits. Ada cewek cakep nih!" Jehan bergidik mendengar godaan dari seorang pemuda berandal yang nongkrong di gang itu. Dari kegelapan yang remang dia bisa melihat sekitar enam atau tujuh pemuda seumurannya yang nongkrong di sebuah bale-bale di ujung gang, di temani sekitar dua atau tiga remaja perempuan seksi yang mengenakan pakaian ketat yang minim.

"Aku belum pernah ngeliat dia. Apa dia cewek baru di kampung ini?"

Jehan terus berjalan sambil menunduk. Dia memang tidak dikenal oleh sebagian orang ataupun anak muda di desa itu, Jehan tipe cewek rumahan yang jarang bersosialisasi.

"Ummm. Iya. Mungkin juga cewek baru di kampung ini," salah satu pemuda berandal berambut gimbal menimpali.

"Hai cewek. Kenalan dong!" Langkah kaki Jehan berhenti ketika seorang berandal bertubuh cungkring, dengan kaos dan jins gelap, dan rambut cepak yang jarang dikeramas.

Mencoba memberanikan diri, Jehan mendongak dan memelototi cowok kurang ajar yang menghalangi jalannya.

"Namaku Agus. Namamu siapa?" tanya cowok itu memamerkan cengiran lebarnya pada Jehan.

"Namaku adalah aku-tidak-tertarik." sahut Jehan memberikan penekanan di tiap kata yang ia ucapkan. "Dan panggilanku adalah cepat-menyingkir-dari-hadapanku."

Si cungkring dan teman-temannya tertawa mendengar gertakan Jehan. "Owh. Cewek ini ganas juga. Bakal asik nih meloncoin cewek baru ini rame-rame!" katanya sambil memamerkan senyum kurang ajar disambut siulan riuh dari teman-temannya.

"Minggir!"

"Jehan?" Tubuh Jehan membeku mendengar suara itu. Dia menoleh dan matanya melebar mendapati Aldo yang tengah berada di bale-bale dengan seorang cewek berpakaian ketat duduk menempel di pangkuannya, sementara tangan Aldo berada pada salah satu bagian tubuh si cewek. Aldo tampak tertegun melihat Jehan berada di sana.

"Kamu kenal dia, Do?" tanya salah seorang temannya.

"Dia ..."

"Ah! Aku ingat! Dia kan kakaknya Andi?!"

"Andi? Andi Setiawan maksudmu?" tanya Si cungkring ragu, seolah dia takut pada Andi. Memangnya apa yang akan Andi lakukan?

"Iya. Andi yang mana lagi? Andi Setiawan, ketua geng Sapu Rata, yang anak buahnya terdiri dari pemuda-pemuda kuat dari empat desa."

Jehan melongo mendengar penjelasan salah satu pemuda berandal tentang Andi. Yang benar saja? Pikirnya tak percaya. Andi ketua geng yang ditakuti? Dia mengerjap mencoba mengingat kembali profil adiknya. Andi tinggi, badannya bagus, nggak gemuk dan juga nggak kurus-kurus amat, kulitnya putih, dan untuk urusan tampang sudah jelas Andi ganteng—lihat saja kakaknya cakep. Tidak ada yang menyeramkan dari Andi, tapi kenapa bisa dia terpilih jadi ketua geng?

Si cowok bertubuh tinggi datang menghampiri. Dia hampir mirip dengan Aldo, hanya saja dia terlihat sedikit lebih tua. "Jadi dia kakaknya Andi?" tanyanya disertai sebuah senyum penuh arti. "Cantik juga."

Wajah Aldo tampak pucat saat cowok dipanggil Edo itu berdiri tepat di depan Jehan. Dengan segera dia menyingkirkan cewek yang dari tadi duduk di pangkuannya, dan turun dari bale-bale.

"Bang. Jangan!" katanya terlihat takut.

"Bagaimana kalau kita gunakan dia untuk menantang Andi," ucap Edo mengabaikan Aldo. Sebuah seringai kejam tersungging di bibirnya. Jehan gemetar, dalam hati dia berdo'a semoga dia selamat sampai rumah dan membawa minyak goreng untuk mamanya.

"Jangan Bang!" Aldo langsung berdiri diantara Edo dan Jehan.

"Kenapa Aldo?" Edo melengkungkan alis menatap adiknya. "Jangan bilang kamu takut sama Andi, si anak ingusan yang sok jago itu."

"Nggak! Aku nggak takut sama Andi, Bang. Cuma pikirin, kalau kita makai Jehan buat mancing Andi, bukan hanya Andi yang marah tapi juga Pak Irwan Hamzah. Tahu sendirikan bapaknya dia ini kalau marah gimana?" Dia bergidik mengingat kegalakan Pak Irwan Hamzah, papanya Jehan yang sangar dan punya body seperti Agung Hercules itu. "Lagian keluarganya Andi itu pendatang di desa ini. Well, ngelukain Andi bisa jadi nggak ada masalah karena dia nggak bakal ngasih tahu papanya." Jehan melotot mendengar perkataan Aldo. "Tapi ngelukain Jehan," dia menatap Jehan melalui bahunya. "Itu bisa memicu pertikaian antar desa. Kalau papanya Jehan ngerahin orang-orang di desa asalnya buat ngeburu kita bisa bahaya. Papanya Jehan kan orang yang berpengaruh."

Edo terdiam mendengarkan perkataan Aldo, ia lalu mengangguk membenarkannya.

"Kamu boleh pergi," katanya pada Jehan, yang langsung kabur mengambil langkah seribu.

Aldo mendesah lega menatap punggung Jehan yang menjauh dalam kegelapan.

***

Jehan masih terguncang dengan pertemuannya dengan Aldo dan kawan-kawan. Tubuhnya gemetaran. Dia takut dan cemburu, takut pada teman dan abangnya Aldo yang berandalan itu, dan cemburu melihat Aldo bermesraan dengan cewek lain.

Sialan, kenapa aku harus cemburu? Dia bukan apa-apaku, dia cuma teman SMA! TEMAN SMA Je! Sadar, rutuk Jehan dalam hati.

Setelah selesai membeli minyak goring di warung Bu Ade, Jehan kebingungan. Bagaimana dia akan pulang tanpa melewati gang tempat para berandalan itu nongkrong? Dia mendesah bingung. "Aku tidak bertemu lagi dengan Aldo dan teman-temannya," keluhnya sembari menendang pelan beberapa kerikil yang dia lewati.

Jehan berjalan lambat-lambat berharap Aldo dan teman-temannya sudah pergi. Dan saat dia hampir sampai di persimpangan tempat para berandalan itu nongkrong, Jehan terkejut ketika ada seseorang yang menyentak dan menarik tangannya, menyeretnya menuju ke arah yang berlawanan.

Jehan ketakutan setengah mati, dia hampir saja menjerit untuk meminta tolong, namun waktu melihat siapa yang menyeretnya. Jehan mengernyit bingung.

"Aldo?"

"Sssstttsss." Aldo memberi Jehan isyarat untuk diam. "Aku antar kamu pulang. Kita lewat jalan pintas."

"Apa?"

"Aku tahu kamu nggak mau ketemu lagi sama teman-temanku tadi. Jadi jangan banyak protes."

Jehan diam. Dia menurut saja ketika Aldo menyeretnya masuk ke sebuah jalan kecil yang ada di samping warung Bu Ade.

Dan ketika mereka sudah sampai di depan Rumah Jehan.

"Je ... Soal tadi aku minta ma ..."

"Terimakasih," potong Jehan cepat sembari buru-buru kabur ke dalam dengan sebotol minyak goreng di tangan, meninggalkan Aldo yang berdiri mematung di luar pagar rumahnya.

***

Andi mendesah frustrasi. Siang ini seperti biasa dia berada di rumah Naufal, sahabatnya, untuk menghindari omelan sang papa. Beberapa bulan belakangan tekanan yang dia hadapi benar-benar berat. Setiap hari Andi terus menjadi sasaran kemarahan Papanya, karena pilihan karir yang ingin dia ambil. Setelah lulus SMA tahun lalu, Andi langsung mengikuti tes untuk menjadi seorang TNI, sementara Papa Andi lebih setuju Andi mengikuti tes sebagai seorang Polisi seperti dirinya.

Waktu itu Andi tidak lulus untuk menjadi seorang Tentara kara gagal di tes MI (Mental Intelegency) dan tahun ini Andi berniat untuk ikut tes Secaba untuk menjadi tentara lagi. Tapi Papanya berniat mendaftarkan Andi untuk mengikuti tes Akademi kepolisian. Perbedaan pendapat dan pilihan karir itu membuat Andi frustrasi. Belum lagi masalah kedekatan Jehan dan Aldo yang menambah beban pikirannya.

Kalau dekat biasa sebagai teman sih nggak apa-apa, tapi masalahnya Kak Jehan naksir Aldo.

"Ndi." Naufal yang sedari tadi asik ber-chatting ria dengan cewek cakep di laptopnya tiba-tiba memanggil Andi, dia memutar kursi belajarnya hingga menghadap ke arah Andi yang sedang asik berbaring di atas tempat tidurnya.

"Hmmm?"

"Aku lupa ngasih tahu kamu." Naufal tampak ragu memberitahu Andi. Andi bergeming, dia masih menutup matanya menunggu Naufal melanjutkan ucapannya. "Semalam aku ngeliat Kak Jehan digangguin geng Brandalz di gang Lavendo."

Andi tersentak, matanya yang sejak tadi terpejam langsung terbuka lebar.

"Aku nggak berani ngedekat, soalnya jumlah mereka banyak," jelas Naufal sedikit ngeri melihat ekspresi Andi yang mendadak keras. "Aku sudah siap-siap mau nelpon kamu kalau mereka berani apa-apain Kak Jehan. Tapi ..." Alis Naufal bertaut saat akan melanjutkan kalimatnya. "... Aku nggak tahu apa yang Aldo omongin sama Bang Edo, sampai dia mau ngelepasin Kak Je ... Andi!" Naufal belum menyelesaikan ceritanya ketika Andi bangun dari tempat tidur dan dengan marah keluar dari kamar Naufal.

***

Jehan hanya bisa mengernyit bingung saat Desi, gadis bertubuh bongsor, yang merupakan teman sekelasnya, memberitahu dia bahwa ada seorang cowok ganteng yang menunggunya di taman dekat ruang tata usaha. Jehan tidak bertanya pada Desi tentang siapa yang menunggunya, dia pikir itu Andi yang ingin menjemputnya.

Tapi ... Kenapa buru-buru? Aku masih ada satu mata kuliah lagi? Pikir Jehan bingung, dan dia segera pergi menuju taman.

Jehan merasa jantungnya tenggelam, ketika melihat bahwa yang menunggunya adalah Aldo. Bukan Andi.

Aldo dalam balutan jersey tim sepak bola Spanyol, dan celana pendek dengan banyak kantong berwarna gelap, terlihat mengagumkan. Menyadari bahwa Jehan sudah sampai, Aldo mendongak dan bangkit dari bangku taman putih yang dia duduki untuk menghampiri Jehan.

"Hai," sapanya dengan nada hati-hati.

Kening Jehan berkerut. "Hai," jawabnya ragu.

"..."

"Ngapain kamu ke sini?" tanya Jehan to the point. Ingatan mengenai teman-teman berandal Aldo, dan juga cewek seksi yang duduk di pangkuannya, membuat Jehan kembali ketus.

"Aku datang ke sini buat ketemu kamu. Kita harus bicara," kata Aldo putus asa.

Sebelah alis Jehan terangkat bingung melihat kelakuan Aldo. "Nggak ada yang perlu dibicarain. Sebaiknya kamu pulang, aku masih ada satu jam mata kuliah."

"Jehan. Plis, dengarin aku," pinta Aldo seolah apa yang akan dia jelaskan adalah sesuatu yang sangat penting baginya. "Aku tahu kamu marah sama aku gara-gara kejadian tadi malam. Tapi ... Aku benar-benar nggak tahu kalau kamu yang digangguin si Agus."

Jehan diam. Sebelah alisnya melengkung tajam menunggu kelanjutan penjelasan Aldo.

"Soal geng adikmu dan geng kami ... Well. Sebenarnya itu cuma masalah lama antara Bang Edo sama Andi. Mereka pernah bertarung-maksudku berkelahi, saling adu tinju ..."

Jehan menganga mendengar cerita Aldo, dia tidak bisa membayangkan bagaimana Andi adiknya yang manis, berkelahi dengan orang sangar seperti Bang Edo, kakaknya Aldo. Dia bergidik. Ternyata Andi adalah orang yang mengerikan.

"Dan ... Entah bagaimana adikmu itu bisa menang melawan Bang Edo."

Kepala Jehan berputar mengingat beberapa momen antara papa dengan Andi. Bagaimana papanya itu mengajari Andi tentang ilmu bela diri, dan juga ajian-ajian—yang dipercaya— untuk melumpuhkan musuh.

"Bang Edo dendam banget sama Andi, dan dia pengen ngadain tanding ulang. Tapi Andi nggak mau ..."

Jelas Andi nggak mau, kalau sampai ketahuan papa atau kalau sampai punya catatan kriminal di kantor Polisi, tamat sudah cita-citanya buat jadi tentara. Salah satu persyaratan tes buat jadi TNI kan dengan adanya surat kelakuan baik dari kantor polisi.

"Dan soal Erna tadi malam ..." Jehan menggertakan giginya mendengar Aldo menyebutkan nama cewek yang dia pangku semalam. "... Kami cuma ..."

"Aku udah maafin kamu kok. Terimakasih sudah ngejelasin," potong Jehan buru-buru kabur dari sana. Dia tidak mau mendengar kelanjutan perkataan Aldo tentang hubungannya dengan si cewek bernama Erna. Well, itu bukan urusanku, pikir Jehan sambil tersenyum pahit.

***

Sore itu Jehan duduk di teras rumahnya sambil membaca beberapa novel yang baru dia beli. Salah satu diantaranya adalah salah satu novel misteri karangan penulis favoritnya Agatha Christie.

Jehan sendirian di rumah, dia menunggu Papa dan Mamanya yang sedang pergi ke acara resepsi pernikahan kolega mereka. Sementara Fathan sedang bermain di rumah temannya, dan Andi juga mungkin sedang berada di rumah temannya?

Saat sedang asik membaca, Jehan dikejutkan oleh kehadiran Naufal sahabat Andi. Cowok manis berambut kribo itu terlihat pucat, ketakutan, napasnya terengah-engah seperti habis berlari dari jarak yang sangat jauh.

"Kak Jehan! Kak!" Dia membuka pintu pagar. Jehan yang panik berlari menghampirinya.

"Ya Ampun Naufal ada apa?!"

"Om Irwan mana?" tanya Naufal, matanya bergerak liar mencari keberadaan Papa Jehan.

"Papa sama Mama lagi kondangan," jelas Jehan bingung dan panik. "Memangnya ada apa?"

"Ya Tuhan! Bagaimana ini?" Naufal malah mengeluh. Dia terlihat sangat ketakutan.

Jehan menggeram. Menarik kerah baju Naufal, dia memaksa pemuda itu untuk menatap ke arahnya. "KATAKAN PADAKU APA YANG TERJADI!" bentaknya garang membuat Naufal makin pucat.

"Andi dan Aldo berkelahi di gang Lavendo." Mata Jehan membelalak mendengar perkataan Naufal. "Geng Brandalz dan Sapu Rata juga siap tempur, mereka bakal tawuran.

Dengan segera Jehan berlari keluar rumah, pergi menuju tempat perkelahian Aldo dan Andi. Ya ampun tawuran antar geng? Wajah Jehan memucat memikirkannya. Dia ngeri membayangkan senjata apa saja yang dibawa anggota geng, berandalan kampung dalam perkelahian mereka.

"KAK JEHAN! Aduh! Tuh orang kenapa malah pergi ke sana sih? Aku bisa diamuk Andi kalau Kak Jehan ikut campur!" Gerutu Naufal.

***

"Bang Edo!"

Edo yang sedang berada di bengkel, mengautak-atik motornya hanya bisa mendengus tak acuh saat mendengar salah satu anak buahnya memanggil.

"Apa?"

"Aldo dikeroyok anak-anak Sapu Rata di gang Lavendo."

Dan kegiatan mengautak-atik motor pun tak terselesaikan, karena si empunya motor langsung keluar dari sana, mengambil senjata seperti golok untuk menghadapi musuh yang sudah berani mengeroyok adiknya.

***

Buk!

Aldo tesungkur saat pukulan tinju kiri Andi bersarang tepat di pipi kanannya. Dia memiliki pukulan yang keras, hingga sudut mulut Aldo berdarah dan bibirnya sobek.

Beberapa teman Aldo menggeram, ingin membantu Aldo. Namun mereka tidak berani maju, karena jumlah anggota geng Sapu Rata yang membawa senjata tajam seperti panah, badik, ketapel kelereng, dan pistol rakitan, jauh lebih banyak dari jumlah mereka.

"Aku udah bilang sama kalian, jangan pernah ganggu atau bawa-bawa Kakak dan Adik aku dalam pertikaian geng kita." Andi menuding Aldo marah. "Tapi kenapa tadi malam geng kamu malah ngeganggu Kakak aku?!"

Dengan susah payah, Aldo bangkit berdiri. Dia menghapus darah yang mengalir di sudut bibirnya menggunakan punggung tangan.

"Aku nggak ngegangguin Jehan. Aku nyelamatin dia. Teman-teman aku nggak tahu kalau dia kakak kamu," jelas Aldo.

"Bohong!" Andi dan Aldo melangkah pelan membentuk lingkaran, mata mereka awas, saling mengamati kelemahan lawan.

"Aku nggak bohong."

"ANDI!!!". Andi, Aldo, dan teman-teman mereka sama-sama menoleh mendapati wajah pucat Jehan yang terkejut melihat perkelahian mereka dan juga senjata-senjata mengerikan yang dibawa oleh anggota dari dua geng itu.

"Kakak?" Andi yang tadi memasang kuda-kuda untuk menyerang Aldo kembali ke posisi defensifnya. Dia kaget dan khawatir melihat Jehan ada di sana.

"Jehan?" Aldo berdiri tegak, menatap Jehan dengan sorot pandangan meminta maaf.

"Apa-apaan ini?" tanya Jehan, matanya terfokus pada Andi, perlahan dia melangkah-berjalan menghampiri dua petarung yang berdiri di tengah barisan lingkaran para serdadu.

"Aku bisa jelasin ini asal kakak pulang dulu dan tunggu aku di rumah," kata Andi, matanya hilang fokus. Dia menolak untuk menatap Jehan.

Jehan mengabaikan perintah Andi. Dia lalu mengalihkan pandangannya ke arah Aldo. Sorot mata gelapnya terluka dan menuduh.

"Kamu bilang kamu nggak bakal ngelukain adik aku. TAPI KENAPA KAMU MALAH BERKELAHI SAMA DIA?!"

"Maaf Je. Dia yang nyerang aku duluan," sahut Aldo. Suaranya melembut.

"Apa?"

"Dia pikir aku dan teman-temanku nyakitin kamu. Tapi dia salah aku nggak bakalan bisa nyakitin kamu." Tubuh Aldo mundur beberapa langkah karena dorongan kasar Andi.

"Apa maksud perkataanmu itu? Hmmm!" tanyanya gusar sorot matanya dipenuhi amarah.

"Andi!" Jehan memegang erat lengan Andi, takut adiknya itu hilang kontrol.

Aldo menatap Andi tepat di matanya. Dan dengan tenang dia berkata, "Aku nggak bisa nyakitin Jehan. Aku ... Aku sayang sama dia," lanjutnya.

Tubuh Andi dan Jehan sama-sama menegang. Dan sepersekian nano detik kemudian, Jehan tidak sanggup lagi memegangi Andi. Dia menyerang Aldo, memukuli wajahnya bertubi-tubi.

Jehan histeris. "ANDI! ALDO!" Seseorang teman Andi langsung memegangi pegelangan tangan Jehan. "ANDI! ALDO! Tolong hentikan!" Dia menangis, "ANDI BERHENTI!"

Aldo membalas serangan Andi. Mereka saling memukul, menendang, dan menjatuhkan.

Dan suara teriakan marah yang datang dari arah utara menghentikan perkelahian mereka. Edo, dan beberapa anak buahnya berdiri di jarak seratus meter dari tempat Andi dan Aldo berkelahi. Dia melotot garang pada Andi dan teman-teman gengnya.

Andi menyeringai. Dengan senyum menghina dia menarik kerah baju Aldo yang sudah semaput lalu mendorongnya kasar ke arah sang Kakak. Edo menggeram marah.

"Ajarin adikmu berkelahi gih. Masa kalah sama anak kecil?" cemoohnya.

"Kamu ..." geram Edo hendak maju dan mencincang Andi dengan goloknya, namun Andi dengan cepat memberi isyarat pada temannya yang memegang senjata rakitan untuk mengarahkan pistol rakitan laras panjang itu ke arah kepala Edo.

"Bang!" Aldo dan teman-temannya berseru khawatir.

"Aku penasaran, mana yang lebih cepat, peluru pistol? Atau golok yang diayunkan?" kata Andi skeptis.

Jehan tertegun. Baru kali ini dia melihat Andi yang begitu menakutkan dan kejam.

"Andi ..."

Mendengar kakaknya memanggil, Andi menoleh, melihat Jehan melalui bahu kanannya. Dia lalu menoleh untuk menatap tajam pada Aldo yang sudah babak belur karena ulahnya.

"Jangan coba-coba dekati kakakku lagi, atau kepalamu akan kupecahkan," ancamnya kemudian berbalik memberi isyarat pada anggota gengnya yang lain untuk pergi.

"Kak. Ayo kita pulang," dia meraih tangan Jehan dan menuntunnya pergi dari sana. Sementara Jehan hanya bisa diam dan menurut, tubuhnya gemetar karena shock. Jehan menoleh ke belakang, dan hatinya terluka saat melihat Aldo yang menatapnya dengan ekspresi sedih.

Kisah cinta yang sudah lama kuimpikan kenapa malah jadi mengerikan seperti ini? Pikirnya muram.

***

Setelah semua anggota gengnya berpamitan pulang, tinggal Andi dan Jehan berada di rumah. Andi duduk gelisah di sofa ruang tamu, bersiap menghadapi introgasi kakaknya.

"Jadi ..." Jehan menarik napas tajam, mencoba menenangkan diri. "... Sudah berapa lama kamu terlibat dalam hal mengerikan seperti ini?"

"Sudah tiga tahun. Sejak aku duduk di bangku kelas dua SMA," jawab Andi sambil menunduk.

Jehan terperangah. Ternyata adiknya sudah lumayan lama menjadi berandalan, dan terlibat dalam organisasi geng-geng yang sok jagoan di tiap desa.

"Kakak tahu kan waktu aku sering kabur dari rumah? Aku. Sering pergi ke rumah Taufik. Dan kebetulan Taufik itu anggota geng sapu rata, dia sering ngajak aku ke markas mereka. Dan ..." Dia mengangkat bahu, enggan memaparkan cerita secara spesifik pada kakaknya.

Jehan mendesah gusar. "Kamu pernah mikir nggak, kalau kamu terlibat dalam kegiatan geng seperti ini, nama kamu bakal ada dalam catatan hitam polisi. Dan kamu nggak bisa dapatin surat kelakuan baik." Dia bangun dari kursi lalu berjalan mondar-mandir di depan Andi.

Andi tersenyum tipis. "Kakak tenang aja. Aku nggak bakal berurusan sama polisi kok."

Sebelah alis Jehan terangkat, meragukan pernyataan Andi. Jadi ketua geng yang nggak berurusan sama polisi? Gimana caranya? Anggota gengnya Andi keliatannya sadis-sadis, apalagi senjatanya, Jehan bergidik mengingat senjata yang dibawa teman-teman Andi.

Andi memutar mata, seolah mengetahui isi kepala Jehan, dia kemudian berkata, "Kakak nggak perlu tahu soal urusan gengku. Tapi Aku bisa jamin sama kakak kalau aku nggak bakal punya catatan kriminal di kantor polisi."

Jehan diam. Dia kemudian mengangguk melihat kesungguhan adiknya.

"Oh ya kak."

"Hmmm?" Jehan yang hendak beranjak menuju ke kamarnya, berbalik mendengar panggilan Andi.

"Kakak mau kan janji satu hal sama aku?"

Melihat ekspresi serius Andi, firasat Jehan mendadak tidak enak. "Ya?" jawahnya ragu.

"Mau kan kakak ngejauhin Aldo? Demi aku ..." Mohon Andi.

Jehan tertegun mendengar permintaan Andi. Dia diam, lidahnya kelu karena tak bisa menjawab.

Bisakah aku melakukan itu?

"Kak Jehan?" desak Andi halus.

Dengan terpaksa Jehan mengangguk. Demi adikku, pikirnya sedih.

***

Tidak mudah bagi Jehan untuk menjauhi Aldo. Beberapa kali dia harus menghindari pemuda itu ketika Aldo datang ke kampusnya untuk bicara. Dan sekitar lima atau enam kali Aldo menemuinya di kampus, namun Jehan menolak kehadirannya, hingga akhirnya Aldo menyerah.

"Kakak makan apa sih? Berat banget!" protes Andi sembari terus berusaha melakukan push up sebanyak dua puluh kali dengan Jehan yang duduk manis di atas punggungnya, sambil ngemil kripik singkong. Seperti biasa keduanya sedang main di teras rumah.

"Lagi makan kripik singkong. Nggak liat nih!" ucap Jehan sembari menyodorkan kripik singkong pada Andi.

Andi merengut. "Aku nggak nyangka, orang yang badannya krempeng. Dan doyan makan kripik singkong ternyata berat badannya sama kayak kingkong," ledek Andi.

"Apaan?" seru Jehan tersinggung. Dia menarik rambut hitam-ikal-cepak Andi gemas.

"Hei! Hei jangan marah. Itu fakta," ejek Andi sembari tertawa-tawa. Tubuhnya tengkurap, kesulitan untuk bangun karena berat badan Jehan.

Saat keduanya sedang terlibat perkelahian kecil menyenangkan antara kakak beradik, sebuah motor yang lewat menarik perhatian Jehan, wajah cerianya berubah muram ketika melihat si pengemudi dan penumpang motor yang lewat. Pengemudi itu melirik sekilas ke arah Jehan, lalu melajukan motor sportnya dengan kecepatan tinggi.

Menyadari perubahan suasana hati kakaknya. Andi ikut mendongak untuk melihat apa yang menyebabkan Jehan mendadak sedih, dan dia hanya mendesah pahit saat mengetahui bahwa yang dilihat kakaknya adalah Aldo dan Erna.

"Cemburu?"

Jehan menghela napas berat, lalu melirik ke arah Andi. "Memangnya itu perlu?"

"..."

Jehan mendesah. "Kamu nyuruh aku ngejauhin Aldo karena dia nggak baik buat aku. Lalu apa aku perlu cemburu sama orang yang harus kujauhi? Lagian ... Aku sama Aldo nggak pernah pacaran."

Andi tahu, walaupun sudah berusaha sebaik mungkin untuk menyembunyikan perasaannya dengan memasang ekspresi datar, hati Jehan terluka.

"Maafin aku kak. Aku nggak bermaksud bikin kakak patah hati. Aku cuma ..."

"Udahlah jangan melankolis gitu, aku nggak apa-apa." Jehan nyengir jahil sambil kembali duduk manis di punggung Andi yang berbaring tengkurap. "Sekarang lanjutin push up-nya. Di tes jas* buat masuk TNI itu, biar bisa lolos harus nyampe berapa kali push up?" Tanya Jehan.

"Sekitar tiga puluh kali."

"Ya udah. Kalau gitu lanjutin push up-nya sampai tiga puluh kali," timpal Jehan seenak udelnya.

"Yeee. Gimana mau tiga puluh kali, wong kakak berat banget," ledek Andi mencoba meredakan suasana tegang diantara mereka.

"Berat apaan? Kurus gini, jangan bohong deh."

"Badan kakak memang krempeng, tapi jangan salah tulang kakak berat kayak tulang dinosaurus ... Aduh duh!" Andi menjerit saat Jehan menarik keras rambutnya. "Aduh kak lepasin! Sakit tahu. Mama! Kak Jehan ngelakuin KDRT nih!"

"Cengeng!"

"Jehan! Andi! Jangan berantem kayak anak kecil!" seru Mama dari dalam rumah.

***

"Seriusan? Orang-orang dari kampung bawah mau nyerang kita?" Andi menelan ludah mencoba mencerna informasi yang dari salah satu temannya yang bernama Rifki. Malam ini dia dan teman-temannya yang lain nongkrong di pos jaga di depan rumah Naufal.

"Lebih spesifiknya sih, nyerang anak-anak Brandalz."

Sebelah alis Andi terangkat tinggi. "Brandalz? Memang apa yang mereka lakuin sampai buat orang-orang kampung bawah marah?"

"Beberapa anak-anak geng Brandalz ngeroyok Hamdi, anak dari kampung bawah, mereka ngebacok dia di punggung, sampe punggung Hamdi harus dijahit," jelas Rifki.

"Mereka itu nggak ada kapok-kapoknya cari masalah," gerutu Naufal. "Yang bakal dilawan itu orang sekampung lho, bukan anggota geng."

"Memangnya siapa aja yang ngeroyok Hamdi?" tanya Andi pada Rifki.

Pemuda bertubuh mungil dengan kulit hitam manis dan alis yang lumayan tebal itu menerawang, mencoba mengingat. "Katanya sih Agus. Tio, sama Aldo."

"Owh." Wajah Andi berubah datar. "Biarin aja, kita nggak usah ikut campur."

***

Malam ini suasana di rumah Pak Irwan Hamzah terdengar sangat meriah. Pertengkaran antara Jehan dan Fathan membuat kedua orang tuanya tertawa geli.

"Ya ampun. Fathaaaannnn balikin hape kakak!" geram Jehan sembari mengejar Fathan yang berlari mengelilingi lingkaran sofa di ruang keluarga yang diduduki oleh kedua orang tua mereka.

"Nggak! Pinjam bentar ngapa? Pelit amat," cibir Fathan sambil berlari menghindar dari Jehan.

"Kayak kamu juga pernah baik sama kakak," desis Jehan. "Balikin! Kamu kan punya hape sendiri Fathan!" Dia mulai kesal karena dipermainkan oleh adik bungsunya.

"Hapeku nggak ada pulsanya kak. Pinjam dulu!" Fathan berlari ke arah ruang tamu, lalu ke teras dengan diikuti Jehan.

"Fathaaannn!"

'Dhuak!'

'Prang!'

"Cari anak-anak sialan tukang bikin onar itu!"

Wajah Jehan dan Fathan langsung berubah pucat saat melihat keramaian yang terjadi di jalan raya besar di depan rumah mereka. Sekelompok penduduk desa laki-laki yang marah tampak membawa golok, parang, dan bambu, berjalan melewati rumah mereka sambil meneriakan makian dan menyerukan nama orang-orang yang mereka cari.

Melihat kemarahan warga yang mencari para anak muda tukang buat onar, pikiran Jehan langsung tertuju pada Adiknya, Andi.

Ya Tuhan, semoga yang mereka cari bukan Andi. Batinnya cemas. Sejak mengetahui bahwa Andi adiknya adalah ketua geng, Jehan tidak bisa berhenti menghawatirkannya.

"Papaaa!" Fathan langsung berlari ke dalam rumah, melaporkan pada Papa dan Mamanya tentang apa yang terjadi di luar.

"Ya ampun!" Pak Irwan tertegun melihat keramaian itu. Beberapa anak muda memukulkan senjata mereka seperti linggis dan bambu runcing ke jalan raya, meneriakan kata-kata tantangan untuk para anak muda kampung atas agar tidak bersembunyi dan maju melawan mereka.

"Apa yang terjadi? Apa mereka dari kampung bawah?" gumam Bu Irwan cemas sambil memeluk kedua anaknya.

"Mungkin?"

"Ya Tuhan Pa, tolong cari Andi. Dia bilang tadi sedang main di rumah Naufal!" pinta Bu Irwan khawatir.

"Ya. Dan kalian semua masuk ke dalam rumah dan kunci pintu."

***

"Jadi yang mereka cari itu anak-anak sok yang namain diri mereka geng Brandalz?" Pak Irwan mengangguk mendengar penjelasan Andi yang telah berhasil dia bawa pulang ke rumah. Sekarang, Pak Irwan, istri, beserta ketiga anaknya sedang berada di ruang keluarga, membahas mengenai pokok utama yang memicu kemarahan warga.

"Iya Pa." Andi mengangguk. "Anak-anak geng Brandalz ngeroyok Hamdi, dari kampung bawah. Itu yang anaknya Om Usman. Mereka ngebacok Hamdi sampai punggungnya sobek dan harus dijahit," jelas Andi.

Pak Irwan mendesah. "Ah. Anak-anak itu ... Bagaimana keadaan Hamdi sekarang?"

"Masih di rumah sakit."

"Lalu siapa yang menusuknya?" tanya Bu Irwan.

Andi melirik Jehan ragu. "Emmm. Aldo dan teman-temannya," jawabnya pelan.

Tubuh Jehan menegang, matanya melebar. Dia menatap Andi tak percaya. Dan Andi mengangguk pelan ke arahnya.

Ponsel di saku celana jins Andi berdering, dan ternyata itu dari dari Naufal. Mereka berbicara sepatah dua patah kalimat, sebelum Andi mengucapkan terimakasih dan mematikan ponselnya.

"Siapa?" tanya Pak Irwan.

"Naufal. Dia bilang ..." Andi melirik kakaknya perihatin. "Rumah Aldo ... Hancur diamuk masa."

Jehan merasakan dunianya seakan runtuh. Dia jadi sangat mengkhawatirkan Aldo. Dalam hati dia berdoa—berharap Aldo baik-baik saja.

***

Perang saudara antar penduduk satu desa itu terjadi selama beberapa hari. Edo dan Aldo yang tidak terima rumah orang tua mereka dirusak warga kampung bawah, mengumpulkan teman-temannya dan juga senjata untuk membalas orang-orang kampung bawah.

Saling memprovokasi dan menyerang di jalanan besar yang kebetulan berada di depan rumah Jehan dan Andi. Beberapa kali Bu Irwan berusaha membujuk suaminya agar mereka pergi mengungsi ke rumah kerabat untuk berjaga-jaga kalau keributan besar terjadi, namun Pak Irwan menolak untuk mengungsi. Beliau mengatakan ; "Mereka nggak akan ngegangguin kita. Kita nggak ada hubungannya sama kerusuhan ini." Bu Irwan hanya bisa mengalah menerima keputusan suaminya.

"Tawuran lagi? Di siang bolong?" Jehan mengernyit heran saat melihat beberapa lelaki mondar-mandir di jalan besar depan rumahnya dengan membawa golok dan panah.

"Sepertinya begitu Kak," sahut Naufal yang siang itu nongkrong di rumah Andi. Katanya sih mau nonton tawuran. "Di depan gang Lavendo, beberapa anak-anak Brandalz udah siaga sama senjata masing-masing."

Jehan mengangguk dan ikut duduk di teras bersama adik-adiknya dan Naufal.

"Katanya hari ini mereka mau nyerang kampung bawah," gumam Andi sambil mengiris mangga harum manis yang baru saja dia colong dari kulkas Mama.

"Iya." Naufal kemudian tertawa. "Si Tio dari pagi tadi udah siaga di Lapangan ngumpulin teman-temannya buat nyusun strategi. Gayanya sok kayak pemimpin pasukan militer."

Andi mendengus sinis. "Mau pake strategi apapun mereka tetap bakal kalah. Jumlah mereka sedikit, yang dilawan orang sekampung, kalau mereka berani nyerang ke kampung bawah yang pulang idup-idup palingan cuma dua atau tiga orang," gumam Andi sembari memakan irisan mangganya, "Seperti Edo, Aldo, sama ... Errr ... siapa tuh yang dekil yang badannya besar?" Dia bertanya pada Naufal.

Naufal terbahak. "Sam?"

"Iya. Sam."

Tak lama kemudian, anak-anak geng Brandalz yang sedang dibicarakan lewat di depan rumah mereka, sambil menenteng senjata tajam (seperti golok, linggis, panah) dan senjata api rakitan. Edo dan Aldo ada dalam kelompok itu. Beberapa diantara anak-anak geng Brandalz melirik sinis ke arah Andi, Naufal, Jehan, dan Fathan, yang hanya dibalas Andi dengan seringai mengejek.

Mata Jehan tertumbuk pada pada tatapan gelap Aldo, mereka saling berpandangan selama beberapa detik, setelah itu Aldo membuang muka dan berjalan mendahului teman-temannya ke tempat tujuan.

"Kita namain mereka apa nih An?" tanya Naufal geli. "Pasukan militer Israel atau gerilyawan Palestina?"

Andi terkekeh. "Apa aja boleh deh."

Perang antar saudara satu desa yang berlangsung siang itu memakan korban tiga orang, dan semuanya dari kampung bawah. Dua orang terkena panah di lengan kanan, dan perutnya. Sementara satu orang terkena peluru senjata rakitan di leher.

Anak-anak geng Brandalz pulang dengan ekspresi puas setelah membuat beberapa musuh mereka terluka.

***

Pukul dua belas tengah malam, semua orang yang berada di kampung atas dilanda kepanikan. Si jago merah melalap habis beberapa rumah. Dan orang-orang dari kampung bawah tiba-tiba menyerang dengan membabi buta untuk mencari anggota geng Brandalz, mereka marah karena Brandalz kembali melukai tiga orang dari pihak.

"Sialan! Apa-apaan mereka?!" geram Pak Irwan kesal sambil berusaha mengeluarkan motornya dari garasi. Di luar rumah orang-orang telah berhamburan panik.

"Kita mau kemana Ma?" tanya Fathan takut. Tubuhnya gemetaran melihat kekacauan yang terjadi. Beberapa rumah tetangga mereka telah dibakar warga.

"Kita ke rumah Nenek, Sayang," jawab Bu Irwan terlihat agak kerepotan dengan barang bawaannya. Koper pakaian, dan tas yang berisi berkas-berkas penting.

"Surat-surat penting dan Ijazah anak-anak udah dimasukin, Ma?"

"Iya. Ada di tas ini," Bu Irwan menunjukan tas besar yang dia tenteng. "Surat-surat penting, Ijazah Jehan, Andi, Fathan, sama beberapa ATM dan buku tabungan semua ada di sini," jelasnya.

"Ya udah ayo kita pergi. Andi bonceng Kakakmu!"

"Iya Pa!" sahut Andi sembari mengeluarkan motor matiknya dari garasi. Dia masih sedikit mengantuk. Andi dan Jehan sama-sama masih memakai pijama dan baju tidur mereka.

Motor Pak Irwan dan motor Andi yang membonceng Jehan melaju beriringan. Motor Pak Irwan tak mendapat masalah apapun saat melewati perbatasan desa, namun motor Andi ditahan oleh beberapa pemuda bertopeng yang membawa senjata tajam.

"Sialan!" gumam Andi waspada sembari turun dari motor, dan menjaga Jehan agar tetap berada di belakangnya.

"Kamu anak kampung atas kan?" tanya salah satu pemuda bertopeng, yang bertubuh tinggi, dia memutar-mutar goloknya dengan penuh gaya.

"Ya. Aku tinggal di kampung atas, tapi aku bukan anggota Brandalz," jawab Andi hati-hati.

"Halah! Bohong," sambar teman si 'tubuh tinggi'. "Semua anak muda kampung atas yang seumuran kamu anggota Brandalz, jangan coba-coba bohong sama kami!"

Andi mendesah. Dia tahu orang-orang di depannya tidak akan percaya pada apapun yang dia katakan, jadi dia harus bersiap untuk segala kemungkinan terburuk.

"Kak Jehan," bisik Andi pada Jehan yang sudah pucat dan gemetaran di belakangnya.

"Andi?" Jehan mencengkram lengan Andi takut.

"Kalau aku nyuruh kakak lari, kakak harus langsung lari dan sembunyi," instruksinya. Mata Jehan melebar ngeri.

"T-tapi ..."

"Nggak ada tapi-tapian. Pokoknya kalau aku bilang 'lari', kakak harus lari." Andi menatap Jehan tajam, setelah beberapa detik terdiam, Jehan kemudian mengangguk.

Dan ketika beberapa pemuda bertopeng itu mengambil ancang-ancang untuk menyerang, Andi berseru pada Jehan, "Lari Kak!"

Dengan ketakutan Jehan berlari meninggalkan Andi yang dikeroyok oleh para pemuda kampung bawah. Sesekali dia menoleh ke belakang, untuk melihat sang adik yang mencoba melawan mereka.

Jehan menangis. Dia ketakutan dan kebingungan. Dia terus berlari tak tentu arah, berharap tak terjebak dalam perkelahian dan ada seseorang yang menyelamatkannya.

***

Dengan panah di tangan, Aldo mengintai dan mengawasi musuhnya dari sebuah rumah kosong yang ada di sebelah kanan gang Lavendo. Mereka semua (anak-anak Brandalz) tidak menyangka kalau orang-orang kampung bawah berani menyerang, Aldo dan teman-temannya pikir orang-orang kampung bawah akan menunggu sampai besok pagi untuk menyerang, karena setelah kerusuhan yang terjadi siang tadi polisi mulai berjaga di perbatasan kampung atas dan kampung bawah.

Mungkinkah para polisi tidak sanggup menahan massa?

Aldo mendengar suara langkah kaki yang mendekat ke arah tempat persembunyiannya. Dia segera menyiapkan busur dan panah, dan perlahan melangkah ke arah pintu untuk membidik siapapun musuh yang mendekat.

Dan ketika panah itu ditodongkan ke kepala si musuh, musuh itu memekik ketakutan hingga jatuh berlutut ke lantai.

"Jehan?" Aldo tertegun saat mengetahui bahwa Jehan adalah orang yang dia todong. "Je?" Menurunkan busur dan panahnya, Aldo berlutut di depan Jehan yang terisak histeris, tubuh gadis itu bergetar hebat.

Jehan menangis, tak menyahut panggilan Aldo.

"Ya Tuhan, Jehan," ucap Aldo perihatin sembari memeluk dan menenangkan Jehan, dia lalu membawa Jehan untuk bersembunyi di dalam rumah kosong. "Je. Ngapain kamu kelayapan di sini? Seharusnya kamu pergi ngungsi sama keluarga kamu. Bahaya kalau kamu tetap ada di sini," dia menangkup wajah Jehan dengan kedua tangannya, menghapus air matanya menggunakan jempol tangan.

Jehan tak menjawab. Dia masih menangis sesengukan.

"Oh ya. Andi mana? Adik macam apa dia? Nggak seharusnya dia ninggalin kamu di tempat yang berbahaya seperti ini?" geram Aldo.

"Andi ... Andi ..." gagap Jehan. "Andi dikeroyok anak-anak kampung bawah di perbatasan desa."

"Ya Tuhan." Aldo mendesah putus asa sambil kembali memeluk Jehan.

Suara keriuhan teriakan dan dentingan senjata yang dipukulkan ke jalanan, meredam suara isakan gadis itu.

Setelah tangis Jehan mereda, Aldo kemudian berbisik padanya. "Kita harus pergi dari sini. Aku bakal ngebawa kamu ke tempat yang aman." Dia terdiam sejenak. "Mungkin aku bakal ngebawa kamu ke perbatasan desa buat mastiin kamu nggak terluka." Dia merenung lalu mengajak Jehan berdiri bersamanya.

Mereka mengendap-endap keluar dari rumah kosong. Menghindari untuk bertemu dengan para warga kampung bawah yang mengamuk. Jehan kembali gemetar takut, dia mencengkram erat lengan Aldo, saat melihat lidah api yang menjilat-jilat rumah warga di kegelapan malam. Hampir semua rumah warga kampung atas terbakar, termasuk rumah Jehan.

"Sssstttss." Aldo memberi isyarat pada Jehan untuk diam, ketika mengetahui gadis itu akan kembali histeris. "Tenang Je, jangan takut. Aku ada disini buat jagain kamu," janji Aldo.

Aldo menuntun Jehan ke arah jalan menuju sawah dan kebun. Dia ingin membawa Jehan ke desa tetangga melalui jalan pintas, setelah memastikan Jehan aman dia akan kembali ke kampung atas untuk membantu teman-temannya.

"Sial!" maki Aldo pelan saat melihat tiga orang laki-laki dari kampung bawah, membawa golok, berjalan di sekitar pematang sawah. Dengan cepat dia menarik Jehan agar bersembunyi di semak-semak.

"Apa yang mereka lakukan?" bisik Jehan takut.

"Patroli mungkin. Sepertinya mereka takut kami akan kabur ke desa tetangga melewati jalan ini," ujar Aldo.

Mereka kemudian terdiam, menunggu orang-orang itu pergi, supaya mereka bisa kabur ke desa tetangga melalui pematang sawah.

Hening.

"Kenapa?" tanya Jehan pelan sambil menatap kegelapan di depannya.

"Hmm?" Aldo menoleh ke arah Jehan.

"Kamu masih bisa menjalani kehidupan yang lebih baik. Tapi kenapa kamu malah ngambil jalan kayak gini? Maksudku ..." Jehan mengangkat sebelah tangannya sambil lalu. "... Dengan ikut-ikutan Kak Edo jadi anggota geng. Terlibat hal-hal gila seperti ini ..."

Aldo mendesah. "Aku nggak pernah punya pilihan Je."

Nggak pernah punya pilihan? Jehan melengkungkan alis.

"Bang Edo. Aku nggak bisa ngebantah dia, bukan berarti aku takut sama dia. Aku cuma ... Nggak mau ngecewain dia." Jehan menghala napas berat saat mengetahui bahwa Aldo mulai bercerita tentang keluarganya. "Kamu tahu kan, sejak Ayahku meninggal, Bang Edo yang ngenggantiin posisi Ayah buat jadi kepala keluarga. Dia banting tulang buat ngehidupin kami semua—aku, Ibu, dan kedua adikku. Kehidupan yang keras bikin Bang Edo kayak ... Well, seperti yang kamu tahu, ketua geng, tukang buat onar dan segala macamnya. Tapi Je, asal kamu tahu, Bang Edo itu orang yang baik. Dia penyayang." Aldo menatap Jehan serius, sebuah senyum tersungging di bibirnya saat menceritakan tentang sang kakak. Jehan dapat menyimpulkan kalau Aldo sangat mengagumi Edo.

"Dan untuk kasus Hamdi ..." Aldo mengerutkan kening. "Aku sama Bang Edo nggak tahu kalau anak-anak lain nyari masalah di kampung bawah. Agus, Tio, Baldi, sama Abdilah. Ya Tuhan. Anak-anak itu benar-benar sumber masalah," Aldo mendengus frustrasi. "Hamdi itu teman SMA-nya Baldi sama Tio, mereka lulus dua tahun lalu ... Mmm ... Kalau nggak salah mereka adik kelasnya Andi."

Dahi Jehan berkerut mencoba mengingat seperti apa wajah Baldi dan Tio, yang merupakan anggota geng Brandalz. Dia yakin pernah melihat atau bertemu dengan mereka di beberapa kesempatan. Tapi ...

"Aku benar-benar lupa seperti apa muka mereka," kata Jehan polos.

Aldo mendengus geli. "Dulu Hamdi sering ngatain Baldi sama Tio itu cemen, banci. Dan sekarang Baldi sama Tio pengen ngebuktiin sama Hamdi kalau mereka nggak cemen kayak dulu lagi. Tapi mereka malah cekcok, dan ..." Dia mengangkat bahu, "... Terjadilah insiden pembacokan."

"Trus kenapa mereka, maksudku gosip yang beredar bilang, kamu terlibat. Padahal kamu nggak tahu apapun soal masalah Hamdi dan yang lainnya?"

Aldo menyeringai pahit. "Resiko jadi adiknya Bang Edo," jawabnya singkat.

"Maksudmu?" tanya Jehan tak mengerti.

"Kamu nggak perlu tahu soal itu. Yang jelas sekarang sebaiknya kita bergegas," Aldo mengintip orang-orang kampung bawah yang tadi berpatroli dari tempat persembunyian mereka. "Orang-orang itu sudah pergi. Ayo!" Dia segera bangun dan menyeret Jehan untuk berlari ke arah pematang sawah. Mereka akan mengambil jalan pintas ke desa tetangga.

"Cepat Je!" seru Aldo saat Jehan beberapa kali terjatuh di pematang sawah.

Sial bagi mereka, sekelompok laki-laki dari kampung bawah memergoki Aldo yang kabur bersama Jehan lewat sawah.

"ADA YANG KABUR LEWAT SAWAH!"

"SIALAN! TANGKAP MEREKA!"

"ALDO!" Jehan memekik ngeri. Aldo terus menyeret Jehan. Dan kemudian dia berhenti lalu berbalik untuk memasang anak panah pada busurnya lalu membidik orang-orang yang memburu mereka. Dia memanah beberapa kali.

Satu.

Dua.

Dua orang kena!

Setelah itu Aldo kembali lari bersama Jehan.

"SIALAN!" Suara raungan kesakitan dan teriakan marah terdengar di belakang mereka.

"KEJAR MEREKA!"

"Jehan," panggil Aldo setelah memikirkan beberapa opsi yang tepat untuk menyelamatkan Jehan.

"Ya?"

Aldo menghela napas berat. "Aku mohon sama kamu. Apapun yang terjadi kamu harus terus lari."

Langkah Jehan terhenti mendengar perkataan Aldo.

Tidak, tidak, jangan lagi ... Jangan seperti Andi, batin Jehan ketakutan.

"Aku bakal hadapin mereka." Dia memegang pundak Jehan. "Kamu harus lari dan cari pertolongan ke desa sebelah," mata Aldo melembut saat melihat air mata mengalir deras di pipi Jehan. "O-okey?"

Jehan menggeleng, tak mampu menjawab.

"Jehan. Plis. Kita nggak punya banyak waktu ..." Aldo melirik panik pada sekelompok orang marah yang menuju ke arah mereka.

Jehan masih menggeleng. Enggan pergi meninggalkan Aldo.

Aldo mendesah frustrasi. "Jehan. Plis. Plis. Tolong ... Lari. Demi aku. Demi Andi," mohon Aldo. "Kalau sampai terjadi sesuatu sama kamu, aku nggak bakalan bisa maafin diri aku sendiri," katanya.

"Aku sayang sama kamu Je, tolong pergi. Demi aku," bujuk Aldo lagi. "Demi Andi …"

Dan ketika orang-orang itu makin dekat, Aldo mendorong Jehan kasar. "PERGI!" Serunya sembari merentangkan busur dan anak panah untuk membidik orang-orang yang menyerang.

"Aldo." Jehan menangis.

"PERGI JEHAN!" teriak Aldo marah.

Pelahan Jehan melangkah mundur meninggalkan Aldo untuk menghadapi musuh-musuhnya.

"Aldo …"

"PERGI JEHAN! LARI!"

"Hiks … Aldo."

Dan hal terakhir yang Jehan ingat pada malam itu adalah dia yang berlari menjauh, dan orang-orang kampung bawah telah mencapai Aldo. Mereka mengerumuni dan mengeroyoknya hingga …

"ALDOOO!"

… Jehan Jatuh pingsan di tengah sawah.

***

Jehan tersentak bangun karena mimpi buruk yang baru saja dialaminya. Dia terengah. Matanya membelalak liar selama beberapa saat, lalu mengerjap bingung, mencoba mencerna apa yang terjadi.

Jehan sadar, saat ini dia tidak berbaring di tengah sawah seperti yang ada dalam mimpinya. Sekarang dia sedang berada di dalam sebuah bilik kamar, dengan sebuah tempat tidur berseprai putih, dan meja kecil di sampingnya.

Bangun dari posisi berbaringnya, Jehan mendengus saat menyadari bahwa kausnya basah oleh keringat.

Sudah tiga tahun setelah perang antar saudara sedesa itu selesai, namun Jehan masih tidak bisa menghilangkan traumanya. Melihat Andi dan Aldo dikeroyok oleh orang-orang yang membawa senjata tajam, membuatnya berpikir bahwa dia telah kehilangan dua orang laki-laki yang sangat penting dalam hidupnya.

Tapi kenyataannya melegakan, Andi selamat, walau dalam keadaan babak belur, setelah berhasil mengalahkan para pengeroyoknya, Andi berusaha mencari sang kakak. Sedangkan Aldo, dia memang berada dalam kondisi kritis karena pengeroyokan itu, tapi dia selamat. Hanya dia harus mendapat beberapa jahitan pada bagian punggung dan perutnya. Selain itu lengan kanannya patah, dan rusuknya memar. Sementara Jehan, karena sebuah keberuntungan dia tidak tersakiti, polisi dan warga menemukannya pingsan di tengah sawah, dengan luka memar pada bagian lutut kaki dan siku.

Polisi berhasil mengendalikan keadaan di desa. Beberapa provokator yang memicu penyerangan warga kampong bawah ke warga kampong atas ditangkap. Anggota geng Brandalz, seperti Agus, Tio, Baldi, dan Abdilah, juga ditangkap karena mereka dianggap sebagai biang dari permasalahan yang terjadi.

Setelah kejadian itu hubungan Andi, Edo, dan Aldo membaik. Keluarga Pak Irwan Hamzah, sementara harus pindah ke rumah saudara mereka di desa lain, sampai rumah mereka—yang sudah hangus dan rata dengan tanah—selesai dibangun kembali. Dan Aldo, seminggu setelah keluar dari rumah sakit, Aldo mengumumkan secara resmi bahwa dia keluar dari geng Brandalz, dia mati-matian mengubah imejnya dari pemuda berandal tukang buat onar menjadi pemuda baik-baik untuk … well, baca saja sendiri kelanjutannya.

"Je?"

Jehan menoleh saat pintu kamar terbuka, memperlihatkan siluet sosok laki-laki tegap yang sedang membawa plastik belanjaan.

"Hai," sapa Jehan muram. Dia menggigil saat merasakan dinginnya udara laut malam yang menyelinap melalui celah pintu yang terlambat ditutup oleh si lelaki.

"Mimpi buruk?" tanya laki-laki itu perihatin sembari berjalan menghampiri Jehan, lalu meletakan barang belanjaannya di meja yang berada di samping tempat tidur.

Jehan mengangguk. Laki-laki itu mendesah sedih, dia mengacak pelan rambut Jehan.

"Kamu dari mana?" tanya Jehan pada suaminya.

Aldo tersenyum lembut. "Habis keluar sebentar beliin cemilan buat kamu di kapal. Ada biskuit, roti, pop mie, sama beberapa minuman kaleng." Dia mengacak-acak belanjaannya. "Well, sejak perjalanan naik bus dari Jakarta ke Surabaya, kamu selalu lapar dan nggak bisa berhenti ngemil. Dan setelah naik kapal di Banyuwangi, aku baru sadar kalau cemilan kamu sudah habis. Jadi deh aku turun buat belanja. Aku nggak mau istri aku kelaparan," Aldo tersenyum nakal sambil mengedipkan sebelah matanya pada Jehan, yang dibalas Jehan dengan pukulan ringan main-main pada lengan kanannya. Mereka menikah dua tahun yang lalu, dan sekarang Jehan dan Aldo dalam perjalanan pulang ke desa untuk menemui orang tua mereka.

"Aku selalu lapar karena aku hamil Al," kata Jehan sembari menepuk pelan perut hamilnya yang masih agak rata, karena baru berusia tiga bulan.

"Itu bagus."

"Kalau lapar dan makan kayak gini terus, bisa-bisa di bulan kelima kehamilan aku udah segendut induk kerbau," keluh Jehan menarik tangan Aldo untuk duduk di sampingnya.

"Nggak apa-apa, orang yang endut itu seksi lho."

"Halah! Gombal!" gerutu Jehan sambil memutar matanya. "Oh ya, sekarang kita ada di mana?"

"Masih di Selat Bali, kayaknya nunggu antrian buat berlabuh. Di pelabuhan masih banyak kapal," jelas Aldo.

Jehan mengangguk. "Owh, pantas aja kamarnya masih muter-muter," komentar Jehan skeptis. Dia baru menyadari kalau dia mabuk laut.

Aldo terkekeh. "Ya udah kalau gitu kamu istirahat aja."

Jehan menggeleng. "Nggak mau. Makin tiduran makin pusing, ngeliat langit-langit kamar muter."

"Kita duduk di luar aja kalau gitu. Rame lho, asik.

Jehan menyipitkan matanya ke arah Aldo, "Kamu mau aku muntah di dek?"

"Terus kita ngapain?" tanya Aldo. Ekspresi bingung pengacara muda itu berubah menjadi senyuman hangat saat Jehan menyusup masuk ke dalam pelukannya. "Kamu mau kita duduk kayak gini?"

"Hu'um, kalau kayak gini aku nggak pusing," jawab Jehan sambil mengangguk.

"Ya udah. Aku bakal peluk kamu kayak gini terus, sampai kapalnya berlabuh di pelabuhan."

Jehan hanya tersenyum mendengar janji Aldo. Sejak dulu, ketika pertama kali melihatnya, Jehan sudah tahu kalau Aldo adalah lelaki terbaik untuknya.

SELESAI