Sreettttttt....Srakkk....
Srakkkk...
Srakkkk...
Srakkkk...
Dean telah usai melakukan pemakaman di halaman belakang rumahnya. Ia menutupinya dengan beberapa tanaman hias ibunya. Lalu, Dean menelepon beberapa petugas kebersihan yang biasa Ia sewa untuk membersihkan rumah. Bekas darah yang sudah di bersihkannya terlebih dahulu, peralatan menjerat leher manusia yang sudah di tanamnya bersama mayat Jeni. Ia berjalan ke kamar mandi yang berada di dalam kamarnya dan segera membersihkan diri.
---
Dua jam kemudian...
"Ugh.. Kepalaku..", kata Tiara yang terbangun. "Kok aku dikamar?", dalam hatinya bergumam.
..Sweet Ophelia
When young blood escapes
Vows that break
Go up up away...
terdengar nada dering Zella Day dari telepon genggam milik Tiara. Ia mengambil teleponnya di samping kasurnya.
Klik.
"Haa. Apaaa??", ujarnya malas.
"Kamu gak ke kampus?", kata Arumi di balik telepon.
"Aku pusing. Besok ajalah.."
"Pusing? Aku belikan obat ya. Nanti aku kerumahmu sama Alvian selesai kelas. Sisa satu matkul sih."
"Hah?? Alvian? Gila! Hahaha."
"Hehe. Aku ngedate sama dia! Nanti aku ceritain ya!"
"Buset dah.. Okelah. Aku juga mau mandi dulu."
"Sip."
Tiara bangkit dari kasurnya. Membuka pintu kamar dan melihat ada beberapa orang yang wira wiri membersihkan rumah.
"Hey. Kalian kok hari ini kesini? Kan bukan jadwalnya?", kata Tiara kepada salah satu petugas kebersihan.
"Iya. Tuan Dean yang minta."
"Oh. Okay."
"He-em.", ujar Petugas tersebut mengangguk.
Tiara berjalan ke dapur dan memanggil Jeni. "Jeni.. Where are you?"
"Jenii..??"
Dean mendatanginya menggunakan kursi roda mengatakan "Jeni pulang sehabis buat sarapan."
"Kenapa aku gak di bangunkan? Bisa-bisanya Jeni gak izin dulu, Den?", tanya Tiara sembari menyantap beberapa kue buatan Jeni dan Ia baru merasakan pipinya sakit. "Ouch!? Kok sakit sih?!", Tiara meraba pipinya yang lebam.
"Gak tau.", kata Dean mengangkat kedua bahunya memutar balikan kursi rodanya kembali ke kamar.
"Hey, Kak. Wait. Kamu sudah makan? Seingatku tadi Jeni menyuruh kita sarapan dulu."
"Sudah.", jawab Dean.
Tidak ada percakapan lagi setelah itu. Tiara mengambil ponselnya dan menyalakan kamera. Melihat ke arah kamera, pelipisnya tertempel plester. Seakan Ia mengalami amnesia setelah pingsan. "Ini kenapa ya?", gumamnya lagi.
Pikirnya itu tidak apa-apa. Mungkin terjatuh saat Ia tidur. Tiara tidak ingat apapun.
---
Zraashhh...
Suara guyuran hujan terdengar dari luar. Genggaman tangan Tiara yang merangkul siku siku lengannya memutar balik langkahnya kesana kemari melihat ke arah jendela. Beberapa langkah pijakan kaki yang terhentak terdengar dari luar pintu kamarnya di iringi ketukan pintu yang menggema kedap.
Dok,dok,dok..!
Tiara melangkah gesit ingin membuka pintu. Dari balik pintu terlihatlah wajah dua manusia yang tersenyum bahagia kuyup karna air dari langit.
"Tiaraaa..! Haiiii..!", peluk Arumi ke Tiara.
"Hai, Tir.", kata Alvian menengok dari belakang Arumi.
"Hei! Kalian berdua kebasahan! Aku ambilkan handuk dulu ya. Masuk sini.", sahut Tiara yang keluar berjalan menyusuri lorong rumahnya mengambilkan beberapa handuk di rubanah bawah tangga basement.
Kriet!
Tiara membuka lemari handuk. Saat Ia hendak kembali ke kamarnya, tanpa sengaja Ia melihat ada bercak darah di pinggiran dinding bawah tangga lalu Ia menyusuri titian bercak darah yang berakhir pada salah satu petugas kebersihan.
Petugas tersebut melihat ke arahnya datar tidak ramah tanpa senyum. Tiara yang tersentak kaget menunduk dan melajukan langkah kakinya menuju kamar. Detakan jantungnya terus melaju ketakutan. Sampai akhirnya Ia tepat di depan pintu kamarnya.
Ceklek!
Ia bersandar ke balik pintu menjatuhkan handuk buat Arumi dan Alvian. Mereka berdua sama kagetnya. Melihat wajah Tiara yang pasi dan pucat. Arumi mendatangi Tiara dan memegang pipinya.
"Tiara??"
"Hem?", sahutnya gemetar dengan tatapan kosong.
"Halo Tiara???"
"Aku gak apa-apa.", Ia segera meraih kembali kedua handuk dan memberikan ke Arumi. Senyumnya tidak berbentuk seperti biasa. Arumi yang bingung dengan arah mata kaku ke Alvian. Mata mereka saling berkomunikasi. "Ada apa dengannya?", itulah pertanyaan yang terlontar dari sepasang mata mereka berdua.
Tiara berjalan dan menduduki sofa santainya.
"Hei. Mana obatku?", tanyanya kepada Arumi.
"Ada disitu kutaruh.", menunjuk ke arah meja yang di belakangi Tiara.
"Oh oke. Thanks. Ada info apa nih?", tanyanya lagi.
"Nih.", kata Alvian menyodorkan beberapa penelitiannya. Tiara meraih berkas dan dokumen yang di berikan Alvian.
"Coba kamu baca dulu. Ada beberapa kasus yang gak masuk akal. Orang tua dari Brenda juga gak mau di wawancarai. Padahal anaknya meninggal gak wajar.", katanya lagi.
"Kenapa sih Tir, kamu bersikeras banget demi Brenda ini? Toh, kamu gak kenal ya sama dia? Cuma temannya Dean juga untuk apa kamu pikirkan sampai sedalam ini?", sahut Arumi dengan melontarkan beberapa pertanyaan.
"Wajahnya, mirip sama yang didalam mimpiku kemarin..", jawab Tiara.
"Mimpi apaan?", tanya Alvian penasaran.
"Duh.. Susah deh di jelasin. Banyak kejadian janggal. Aku takut banget akhir-akhir ini sama Dean.", katanya menjawab ringkas.
"Tapi kan.. Secara Dean gak bisa jalan, Tir. Harus takut kenapa sih???", tanya Arumi yang kesal.
"Serem deh Mi kalau aku ceritakan. Kayaknya kamu gak sanggup jadi aku. Hehe.", jawab Tiara meledek.
"Lebay.", kata Alvian terkekeh.
"Apasih sirik aja..","Kapan kalian mulai pacaran? Sudah bareng aja deh..", kata Tiara yang mengalihkan topik sambil melihat isi dokumen dengan bahasa yang tidak Ia mengerti.
"Ih enggak!", jawab mereka berdua serentak.
"Iya deh.. Tanya aja.. Eh, Mi. Dana sudah pulang dari rumah Neneknya?", tanya Tiara.
"Belum tuh. Tanya teman sekamarnya dong.", jawab Arumi memainkan bola matanya ke Alvian.
"Oh iya. Haha.", mata Tiara melirik ke arah Alvian.
"Seperti kata Arumi, Tiara..", jawab Alvian lembut.
"Hmmm.. Oke.. Oya, aku mau cerita. Kemarin tu aku ada ke Rumah Sakit. Karena jadwalnya Dean.. Terus waktu Medical Check Up Dean, ada yang aneh. Sama halnya waktu dia di rawat. Lagi rontgen mati lampu. Gak lama perawatnya teriak-teriak. Kerasukan gitu."
"Ah ngaco.", sahut Arumi yang cemas.
"Ih gila. Aku shock banget. Soalnya si Dean tiba-tiba keluar dari ruangan, jalan sendirian. Ke arah mana yo? Ke arah kamar MAYAT. Pas aku samperin, dia bilang mau jenguk teman namanya Brenda disitu."
"Wah...","Tiba-tiba disini dingin banget ya? Apa karna hujan?", sahut Alvian.
"Gak sih. Ini pakai penghangat.", jawab Tiara yang mengetik tiap kata-kata dari dokumen dengan bahasa yang latin yang tidak di mengertinya.
"Alvi...!", rengek Arumi.
"Apaan? Gak usah lebay deh, Mi.", sahutnya.
"Ah kamu.. Sensi amat."
"Sudahlah, kalian jodoh. Gih sana jauh-jauh.", kata Tiara yang masih sibuk menghubungkan kalimat.
"Hujannya sudah mau reda, Tir. Aku pulang dulu ya. Cepat sembuh..", kata Arumi menyemangati Tiara.
"Dah..", sahut Alvian melambai.
"Loh kamu stay?", tanya Arumi pada Alvian.
"Ntarlah. Pasti dia bingung sama bahasa latinnya itu."
"Eh iya Vi. Daritadi kek bantuin.", kata Tiara menimpali.
Lalu Alvian menjelaskan dengan seksama.
"Jadi, Brenda itu mati di bunuh. Dengan dalih bunuh diri. Aku ada ketemu detektif. Masih di selidiki sampai saat ini. Cuma di beratkan oleh keluarganya. Untuk kata latin itu, seperti kebangkitan. Artinya gak boleh kita ucapkan, mau di dalam hatipun gak boleh. Karna Ia akan bangkit.","Entah yang bangkit siapa aku juga gak ngerti. Sarkas banget ya? Orang tua mereka tertutup ketika ditanya hal itu, Gilbert temanku yang berada di South Easter, pernah baca tulisan itu di kitab apa gitu ya, aku lupa namanya.",
"Oke fine, Vi. Aku terlanjur baca dalam hati entah benar atau gak. Aku bolak balik translate nih.", sahut Tiara yang mulai berkeringat kecil.
Tiba-tiba suara petir menggelegar, pintu kamar dan jendela Tiara terbuka lebar. Suara angin meriuh kencang. Bayangan gelap berdiri didepan pintu kamarnya. Membawa tali tambang dengan tanduk yang runcing. Lalu pintu tertutup kembali.
Tiara melihat ke arah Arumi yang berdiri di dekat pintu masuk, mata dan rambutnya memutih, kukunya memanjang berwarna hitam. Mengucapkan kalimat latin yang di baca Tiara.
"..te..khi·yathʹ ham·me·thimʹ..!!"
"..te..khi·yathʹ ham·me·thimʹ..!!"
"..te..khi·yathʹ ham·me·thimʹ..!!"
Listrik berkelap kelip, cahaya matahari dari luar menghilang dan langit menjadi gelap gulita bak malam hari. Arumi menjerit hingga telinganya berdarah.
"AAAARGHHHHHH!!!!!"
Ia pun pingsan.
Tak lama semua kembali normal. Tiara yang sedaritadi menutup wajahnya, menengadah dan bertanya pada Arumi.
"Mi!!? Arumiii!! Plisss!! Kamu kenapaaa?!!", jeritnya ketakutan.
Sontak Arumi terkejut karna lengannya di cengkram oleh Tiara sangat kuat.
"Aku baik-baik aja!! Plis ini sakittt!","Aku gak apa-apa! I'm Fine! Lepasin ini sakit banget! Kamu yang kenapa! Bengong aja daritadi. Tiba-tiba datang pegang lenganku sampai begini!", jawab Arumi terheran sembari bertatap mata dengan Alvian.
"Tiara??!", teriak Alvian pelan menenangkan Tiara. Wajah Arumi yang kian ketakutan lantas meninggalkan Alvian sendiri di kamar Tiara.
"A...Aku., duluan pulang ya, Vi. Tolong perhatikan Tiara. Aneh banget. Bye.", lanjutnya.
"Oke. Bye.", sahut Alvian.
Tiara yang masih kebingungan melanjutkan perbincangan dengan Alvian.
"Aku kenapa?? Kamu gak lihat tadi?? Arumi berubah Vi!!?", kata Tiara panik.
"Well. Lupakan. Kamu sepertinya lelah deh.","Aku pulang juga sebentar lagi ya."
"Sial. Apaan tadi yang aku lihat Vi!"
"I don't know! Okey? Lupakan."
--
Satu jam berlalu, hujan sudah mereda, tidak lama Alvian juga beranjak pergi meninggalkan rumah Tiara.
"Kok ada tamu gak bilang?", tanya Dean yang menghampiri Tiara selepas mengantar Alvian menuju pintu depan rumah.
"Ya cuma teman-temanku. Tadi Alvi sama Arumi, but Arumi pulang terlebih dahulu, Den.", jawabnya tegas.
"Hmm..", kata Dean cuek.
--
Mohon maaf agak telat update, karena kondisi author yang lagi pindah rumah bahkan pindah provinsi. Dan ada beberapa kendala, laptop lupa di bawa ? , kesehatan Author juga lagi dalam masa pemulihan, semangatin ya ?
Selanjutnya entah kapan akan bisa update lagi. Mungkin akan di infokan segera mungkin kepada Readers. Terimakasih banyak telah membaca TDG, semoga banyak pelajaran & hikmah yang dapat di ambil dari cerita ini ya.. Terus like, komen & share.