webnovel

Chapter 1 : Cisa Part

Rejected

Chapter 1: Cisa Part

Hari ini, adalah salah satu hari yang paling membahagiakan dalam hidupku selama 14 tahun ini. Karena hari ini aku akan pulang ke kampung halamanku dan segera bertemu dengan teman masa kecilku. Dia adalah orang yang paling ingin kutemui saat ini. Karena sebelumnya, saat kami masih kecil kami pernah membuat janji. Tidak, lebih tepatnya ia yang membuat kita berdua saling berjanji. Jika suatu saat aku akan kembali kesini, kita berdua harus menikah.

Yah, karena dulu masihlah anak-anak. Mengucapkan kalimat menikah akan lebih mudah daripada yang lainnya. Haha, mengingat masa kecil dulu. Dimana kita berdua selalu bermain bersama sebagai seorang pengantin. Membuatku merasa senang.

Bagaimana reaksinya nanti ya? Saat aku muncul tiba-tiba di depannya? Apakah ia akan kabur secara tiba-tiba karena malu? Atau malah ia merasa bahagia dan langsung mendekatiku? Aahhh, aku tidak sabar melihat reaksinya.

Aku yang saat itu sedang duduk di dalam bisa, tepatnya di kursi paling belakang samping jendela. Tersenyum-senyum sendiri seperti orang gila.

Sesaat kemudian, aku melihat sebuah jalan yang sangat familiar. Walau bangunan di jalanan itu sudah hampir berubah semuanya, sepertinya aku masih mengenali jalan ini.

Tak lama kemudian, halte berikutnya terlihat. Bis pun menepi. Sambil membawa tas gendong milikku, aku berjalan keluar dari bis.

"Haaaah, aku ingat jika lurus melewati jalan ini maka akan bertemu dengan sebuah bangunan sekolah yang cukup besar dan selalu kami idolakan. Kuyakin dia pasti masuk ke sekolah ini," gumamku dengan senang dan mulai berjalan meninggalkan halte bersamaan dengan bis yang kembali berjalan.

Hanya memakan waktu sekitar 10 menit, bangunan sekolah itu sudah terlihat. Kebetulan saat itu sudah hampir jam 4 sore, jamnya para murid pulang sekolah. Aku diam-diam menunggu di bagian paling ujung dinding sekolah tersebut. Sambil terus memperhatikan semua murid yang keluar.

Tapi, setelah 15 menit berlalu, aku sama sekali tidak melihatnya keluar. Apakah ia benar-benar sekolah disini? Atau aku aja yang tidak melihatnya saat ia pulang?

Aku menghela nafas panjang dan mulai menyerah. Sesaat aku mulai berniat pergi. Ada dua orang terakhir yang berjalan keluar dari gerbang sekolah.

Aku yang melihatnya dari sisi samping, menyadari bahwa sosok itu sangatlah familiar. Ya! Dia adalah teman masa kecilku, Cisa.

Namun, di saat yang sama aku merasa sangat kaget. Saat ia berjalan berduaan bersama dengan sesosok laki-laki yang cukup tinggi dan tampan, kutebak sia pasti berada di ekskul basket.

Terlebih lagi, sepertinya Cisa sedang merasa sangat senang dan tersenyum melihat laki-laki itu. Apakah mungkin Cisa menunggu hingga ekskul basket selesai, dengan kata lain menunggu laki-laki itu?

Argh!! Pikiranku dipenuhi berbagai hal negatif. Saat itu juga badanku bergerak beberapa langkah menuju mereka, saat suaraku mencoba berteriak memanggil namanya. Secara reflek tubuhku berhenti.

"Tidak, jika aku menyapanya dengan situasi seperti ini, ini hanya membuat semuanya menjadi canggung. Dan jika benar laki-laki itu benar pacarnya. Bisa-bisa aku dihajar. Lebih baik aku menunggu di rumahnya, ya benar!" Aku berbalik dan mengambil sebuah jalan pintas yang masih sama menuju rumahnya Cisa.

**

Sekitar 5 menit kemudian, aku menghela nafas dengan kelelahan karena tadi berlari. Aku berhenti tepat di depan pintu rumah miliknya.

"Tunggu! Badanku secara reflek bergerak ke sini, bagaimana ini? Jika aku mengetuk pintunya secara tiba-tiba dan orang tuanya tidak mengenali wajahku. Apa yang akan terjadi," teriakku di dalam hati dengan panik.

Di saat yang sama, seseorang membuka pintu dan mata kami berdua langsung bertemu.

"Eh? Ian?" ucap ayahnya Cisa sambil menatapku kaget.

"A-aahhh ... Halo om," sapaku sambil tersenyum canggung.

***

5 menit kemudian~

Aku sudah duduk di dalam ruang tamu milik keluarganya Cisa.

"Aaahhh ... Apa kabar nak Ian? Sudah hampir 7 tahun ya kita tidak ketemu," tanya Ibunya Cisa sambil menyajikan teh di atas meja.

"Ah, maaf. Jadi ngerepotin nih tante."

"Tenang aja, ga ngerepotin kok."

"Lalu, kapan kau kembali kesini?" tanya ayahnya Cisa yang sudah duduk di sofa sambil memakan kue.

"Ah, itu. Baru aja sih om."

"Oiya, om, Tante. Ian ada oleh-oleh nih."

Sesaat kemudian, aku mengambil tas yang kugendong, dan mengeluarkan tiga bungkus kotak.

"Ah, gak usah repot-repot nak Ian. Soalnya kan ...." Perkataan Ibunya Cisa terhenti karena tau bagaimana kondisi keluargaku.

"Sudah, gapapa ambil aja. Oiya, gimana kabar Cisa?"

"Ah, anak itu ya ... Dia masih tetap hyper aktif seperti biasanya, nilainya juga sangat bagus di kelas. Hanya saja, belakangan ini dia selalu pulang telat tidak tau kenapa," jawab ayahnya Cisa sambil meminum kopinya dan sedikit memasang wajah sedih.

"Eh? Pulang telat? Jadi, apakah yang kusaksikan saat itu benar? Tidak, tidak, tidak. Aku tidak boleh berburuk sangka," responku di dalam hati yang langsung menjernihkan pikiranku.

"Ah, mungkin Cisa ada sesuatu yang harus di kerjakan di sekolahnya. Seperti, ekskul mungkin?" jawabku yang mencoba merubah suasana hati ayahnya Cisa.

"Hummm, mungkin juga. Soalnya dia ada ngomong kalau dia lagi gabung ke sebuah ekskul."

"Nah!" ucapku yang ikut merasa lega, seketika semua pikiran negatif itu hilang.

"La-lalu, bagaimana kehidupanmu disana nak Ian? Apakah semuanya baik?" timpa Ibunya Cisa mencoba merubah suasana.

"Haaaah, soal itu ...." Aku menghela nafas panjang, lalu menceritakan apa yang terjadi selama ini.

**

15 menit kemudian~

"Hidupmu selalu berat ya nak Ian. Tante saja merasa salut kau masih bisa selalu terlihat baik-baik saja."

"Haaaah, om ini aja merasa tersentuh saat kau berbicara tentang membantu ibumu, om merasa bangga terhadapmu Ian."

"Haha, om sama tante bisa aja. Sebenernya ga terlalu hebat kok."

Sesaat kemudian, ayah dan ibunya Cisa tersenyum senang. Tanpa di duga, akhirnya terdengar suara ketukan pintu. Reflek ayahnya Cisa ingin bangun dari sofa.

"Ah, om duduk aja, biar Ian yang bukain pintu. Itu pasti Cisa."

Ayanya Cisa tertawa kecil.

"Yaudah sana, biar kalian ketemuan dulu."

Ayahnya Cisa pun kembali duduk, lalu menyeruput kopinya lagi.

Aku berjalan menuju pintu depan, sambil menarik nafas panjang-panjang, dan dengan perasaan yang sangat berdebar-debar. Kira-kira apa yang akan terjadi ya?

Dengan penuh persiapan diri, aku membuka pintu dan menatap Cisa. Saat itu juga aku langsung tersenyum dan merasa senang. Namun, semua perasaan senang itu langsung hilang saat aku melihat Cisa pulang bersama laki-laki yang tadi kulihat. Terlebih lagi saat itu aku melihat bahwa laki-laki itu memegang tangan Cisa. Laki-laki itu yang sadar langsung melepas pegangannya.

"Hahaha," tawaku geli di dalam hati. Aku menertawakan diriku sendiri yang terlalu bodoh.

"Hah? Siapa Abang ini? Kok Abang yang bukain pintu?"

Mendengar perkataan itu, hatiku merasa semakin sakit. Jadi, aku sudah benar-benar dilupakan ya? Apakah selama ini hanya aku yang terus berjuang? Haha, menyedihkan sekali diriku sendiri.

Aku mengambil nafas dalam-dalam. Sambil menahan air mata, aku mencoba tersenyum.

"Ah, maaf. Aku hanya tamu yang sedang mengirimkan paket. Kebetulan aku mengenali kedua orang tuamu, jadi sambil beristirahat, kami sedikit mengobrol," jawabku saat itu yang merasa sangat sulit untuk tersenyum.

"Oh, begitu rupanya," jawab Cisa dengan acuh yang kemudian masuk dan membuka sepatunya. Ia lalu mempersilahkan laki-laki itu masuk.

Sepertinya karena badanku yang agak tinggi, dan saat itu aku sama sekali tidak memakai seragam. Ia menganggap ku sebagai sesosok anak SMA yang sedang menjalankan kerja sembilan. Karena itu ia merasa biasa saja dengan hal ini.

Cisa berjalan melewatiku bersamaan dengan laki-laki yang dibawanya. Laki-laki itu memasang ekspresi kebingungan dengan apa yang terjadi.

"Cisa pulang," ucap Cisa sambil menggantungkan tas miliknya di dinding.

"Nak, akhirnya kau pulang," balas ayahnya Cisa sambil menatapnya.

"Eh? Siapa dia Cisa?" tanya Ibunya Cisa yang melihat seorang laki-laki berdiri di belakangnya.

"Ibu, kenalkan. Dia adalah salah satu kakak kelas yang selalu membantu Cisa. Dia sangat baik Bu," jawab Cisa sambil merasa sangat senang memperkenalkannya.

"A-ah, salam kenal tante."

Melihat hal itu, kedua orang tuanya Cisa langsung terdiam. Mereka menyadari apa yang harusnya kurasakan saat ini.

"Ah ibu, apakah itu adalah paket yang dikirimkan oleh abang itu?" Cisa melirik ke tiga buah kotak yang ada di atas meja.

"Eh? Paket?" respon Ibunya Cisa sambil terlihat kebingungan.

Wajah ayahnya Cisa langsung menjadi serius.

"Nak, apakah kau tidak kenal dengan orang yang membukakan pintu?"

"Tidak, memangnya dia siapa? sepertinya Cisa pernah melihat wajahnya sih, tapi lupa siapa," jawab Cisa dengan kebingungan sambil mengingat-ingat.

Ayah dan ibunya Cisa langsung saling menatap, mereka berdua kemudian menghela nafas panjang dan seperti menyerah akan sesuatu.

"Eh! Memangnya ada apa sih? Kok ibu dan ayah kelihatan aneh gitu," ucap Cisa yang merasa sangat kebingungan.

"Nak, dia adalah ...."

"Sudah tante, seperti yang Ian ucapkan tadi, jika situasinya seperti ini. Maka Ian akan langsung pulang," potongku yang secara langsung masuk kedalam situasi serius itu.

"Eh, tapi. Apakah kau serius nak Ian?" jawab ayahnya Cisa yang merasa sedih.

"Ian sangat serius om." Aku pun berjalan menuju tas milikku yang berada di sofa, dengan berat hati aku mengambilnya dan memakainya.

"Ada apa sih? Ian, sepertinya aku sangat familiar dengan nama itu," ucap Cisa di dalam hatinya semakin merasa kebingungan.

"Makasih ya om, tante. Dulu selalu ngejagain Ian. Sekarang Ian pamit, maaf Ian gabisa ngasih barang yang bagus," ucapku yang saat itu mencium tangan mereka berdua sebelum pergi.

"Nak ...."

Sesaat kemudian aku berjalan menuju Cisa. Aku berjalan ke depan wajahnya.

"A-ada apa?"

Saat itu aku sekali lagi mengambil nafas panjang. Dan langsung tersenyum ke arahnya.

"Selamat tinggal," ucapku sambil menatap wajahnya dan tersenyum dengan sangat lembut.

Setelah mengatakan itu, reflek aku langsung meninggalkan rumah Cisa.

***

[Cisa POV]

Cisa tersentak kaget, ia seperti mengenali senyuman itu.

"I-ibu, si-siapa sebenarnya ...."

Tanpa pikir panjang, ibunya Cisa memberikan sebuah kotak yang harusnya kuberikan langsung padanya. Cisa pun mengambil kotak itu dan secara cepat membukanya. Di dalam kotak itu terdapat sebuah kalung beraksesoris bintang dengan salah satu ujung bintangnya patah. Saat itu juga, Cisa tersentak kaget. Ia langsung berlari menuju kamarnya.

Ia mengobrak-abrik lemari pakaiannya. Cisa mencari sesuatu yang pernah menjadi barang yang sangat penting baginya. Ia berlanjut mencari di atas rak bukunya. Hingga tanpa sengaja menyenggol tempat pena dan membuat penanya berserakan di lantai. Cisa pun menunduk dan berniat mengambil penanya. Akhirnya ia pun ia ingat sesuatu.

Cisa memasukkan tangannya kedalam kolong kasurnya. Dengan usaha keras. Akhirnya Cisa mendapatkan apa yang ia cari. Ia berdiri sambil mengangkat sebuah kotak berwarna biru.

Ia membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat sebuah kalung dengan aksesoris bulan. Cisa mengambil gelang bintang rusak itu dan bulan miliknya. Ia menyandingkan kedua kalungnya. Ia pun ingat semuanya.

***

"Hey, apakah kau tidak tetap disini saja?" Cisa yang berumur 7 tahun menangis di depanku.

"Maaf, sayangnya hal itu tidak bisa."

"Hiks, ba-baiklah. Cisa akan menjadi gadis baik dan tidak menolak lagi."

"Tapi, bisakah kau berjanji satu hal pada Cisa?"

"Baiklah, tapi kau harus berhenti menangis dulu," balasku yang saat itu mencoba terlihat kuat dan memegang tangannya.

Melihat hal yang kulakukan, Cisa langsung berteriak sekuat tenaganya dan menangis. Karena hak itu aku langsung panik dan bingung harus melakukan apa.

Namun, tak lama kemudian ia langsung menghentikan tangisnya. Dan mulai mengelap air matanya. Perlahan-lahan Cisa mengangkat kepalanya lalu menatapku sambil tersenyum.

"Baiklah. Tapi kau harus berjanji. Saat kau kembali ke sini, kau akan menikahi ku dan kita bisa bermain bersama lagi."

"E-eh! Ta-tapi, bagaimana jika aku kembalinya terlalu lama?"

"CISA TIDAK PEDULI! CUSA AKAN SELALU MENUNGGU!"

"Ta-tapi. Kalau seperti itu ...."

"TIDAK PEDULI!!" Cisa berteriak dengan kesal dan menghentakkan kakinya.

"Asalkan kau berjanji akan kembali, maka Cisa akan selalu menunggumu," tambahnya sambil mengusap air matanya yang kembali jaguh.

Mendengar itu, aku sudah tidak bisa berkata-kata lagi.

"Baiklah, aku berjanji," balasku yang tersenyum dengan lembut.

Saat itulah, ibuku langsung keluar dari rumahnya Cisa dan secara buru-buru menggendongku menuju bis.

"TEPATILAH JANJIMU!!"

"PASTINYA!"

Aku dan ibuku masuk kedalam mobil dan langsung menunju kursi belakang.

Sesaat setelah duduk, aku langsung menunduk dan menutup wajahku, lalu menangis dengan kuat.

Tersenyumlah saat kau di depan orang lain, terutama di depan orang yang berharga bagimu. Dan menangislah saat kau sudah sendiri.

Itulah prinsip yang diajarkan oleh ibuku sejak kecil

***

Setelah mengingat semuanya, tanpa disadari Cisa mengeluarkan air matanya. Di saat yang bersamaan. Sebuah surat terjatuh dari kotak yang kuberikan.

"Kau tau, kau itu seperti bulan. Hanya ada satu, dan bersinar paling terang daripada semua benda langit lainnya saat malam hari. Sedangkan aku itu hanya salah satu bintang kecil, yang ada di sekitar bulan tersebut. Dan mengangumi cahayanya yang terang."

Membaca itu, Cisa langsung menangis dengan kuat. Reflek ia mengusap air matanya dan berjalan keluar dari kamarnya.

Saat ia mencapai ruang tamu, teman laki-lakinya sudah disuruh pergi oleh orang tuanya Cisa, karena saat ini sedang ada situasi serius.

Cisa tanpa pikir panjang berjalan secara cepat ke pintu keluar. Di dekat pintu keluar, ada ayahnya Cisa yang sedang bersandar di sana dan merokok.

"Mau kemana?" tanya Ayahnya Cisa dengan nada datar.

"Mengejarnya dan meminta maaf padanya," balas Cisa sambil langsung memakai sepatu dan menatap kosong.

"Tidak, kau sudah terlambat. Ia sudah pergi dari sini dan tak akan kembali."

Cisa langsung tersentak kaget.

"Apa!! Bagaimana ayah tau!"

"Yah, karena ayah dan dia sudah berbincang-bincang panjang dan lebar. Ayah sendiri sudah merasakan aura kedewasaannya. Ia sendiri yang memutuskan pilihan ini. Karena sekarang keluarganya sedang mengalami krisis serius. Ia tidak ingin ada yang membebani hatinya. Jadi ia memutuskan untuk membuang beban ini, dengan sebuah jawaban yang pasti. Namun, karena saat itu kau, nak. Mencoba melupakan semuanya, dan tidak menduga bahwa ia akan benar-benar kembali. Membuatnya mendapat jawaban yang pasti, walau hal itu akan terasa sangat sakit."

Mendengar penjelasan dari ayahnya. Cisa langsung menunduk dan melanjutkan tangisannya. Ia benar-benar merasa bersalah dan putus asa.

"Huaaaa!!! Bagaimana ini! Bagaimana ini ayah, Cisa sudah membuat Ian benci pada Cisa," tangis Cisa yang begitu kuat dan benar-benar merasa bersalah.

"Maaf nak, ayah tidak bisa melakukan apapun. Itu adalah keputusannya sebagai lelaki setelah apa yang ia lewati."

"Tidak! Ini tidak bisa berakhir seperti ini! Cisa harus meminta maaf!"

Saat itu juga Cisa bangkit, dan berlari menuju kamarnya. Ayahnya tersenyum melihat anaknya mendapat motivasi baru untuk menjadi seorang perempuan ideal. dan hal itu sangat penting baginya.

***

[Ian POV]

Aku yang sedang di dalam bis, menutup wajahku dan mengenakan headset. Aku menangis dengan deras karena benar-benar merasakan sakit.

>>

Stay inside my room.

High school doesn't Miss me.

Didn't go to prom.

Had no one to go with me.

I didn't wanna ask you out.

Cause i'm not who you talk about.

Yeah i'm used to this, the same old sh*t.

Left alone wharever i sit.

Why this place so dry?

No love to find.

You're the only one that ever acts kind.

Music: I'm used to it

By: Powfu

***

Ciiittt!!

Bis mengerem karena sudah sampai di tempat yang dituju.

Aku turun dari bis dan di sambut oleh ibuku yang sedang duduk di kursi tunggu sambil menjaga semua barang-barangnya.

"Nak, bagaimana? Apakah ...." Perkataan ibuku terhenti, saat ia sadar bahwa aku baru saja menangis.

"Ah, duduk dulu sini, lalu minum ini. Kau pasti lelah kan," tambah ibuku yang langsung mengeluarkan sebotol air minum.

Saat itu aku tersenyum kecil.

"Memang ya, insting seorang ibu tidak boleh diremehkan," batinku di dalam hati. Aku pun duduk di sebelahnya.

"Maafkan ibu ya nak, ibu tidak bisa ikut bersamamu. Ibu takutnya kalau ibu kesana, semua orang akan langsung datang dan menagih hutang ayahmu. Dan itu pasti menyebarkan rumor buruk lagi," ucap ibuku dengan nada sedih.

"Sudah, lupakan saja Bu. Ian tau situasinya kok."

"Heuh, jadi ... Yakin ikut ibu ke kota untuk kerja? Sekolahmu pindah lagi loh."

"Sangat yakin, karena sekarang sudah tidak ada lagi yang mengganjal di hati Ian Bu. Dan Ian bisa bertindak bebas setelag meninggalkan kampung halaman."

"Yakin? Ibu cuman kerja sebagai pembantu, jadi kita akan serba berkecukupan seperti biasanya, bukankah lebih baik tinggal bersama adik ibu?"

"Tidak, Ian lebih nyaman tinggal bersama ibu. Karena itu Ian bisa mandiri dan selalu bantu-bantu di rumah."

Ibuku tersenyum bahagia.

"Jika itu keinginanmu nak."

Mobil bis yang berikutnya datang, kami berdua langsung membawa barang-barang masuk kedalam bis, dan melanjutkan perjalanan.

~Bersambung

>>Higashi<<

Next chapter