webnovel

Chapter 2

Aku menatap kumpulan rumus matematika di buku catatanku. Sejak dulu sampai sekarang, aku paling lemah dengan mata pelajaran satu ini. Nilaiku tidak pernah menembus angka 9, paling tinggi hanya 8, itu-pun dengan penuh perjuangan untuk mendapatkannya.

Karena tidak juga menemukan ilham untuk menjawab soal pr matematika Bu Dian, iseng-iseng aku membuka tirai jendela kamarku. Hanya untuk mencari angin. Siapa tahu, aku bisa mendapatkan pencerahan.

Sudah 3 bulan aku berada di kota ini. Meskipun sejuk dan tidak terlalu macet di pagi hari, entah kenapa aku masih belum betah. Mungkin karena aku belum mendapatkan banyak teman disini, hanya ada Rani, teman sebangkuku yang akhirnya aku daulat menjadi sahabatku. Walaupun aku tidak bermusuhan dengan teman satu kelasku tetapi aku tidak terlalu akrab dengan mereka.

Aku menatap rumah bercat biru di depan rumahku. Itu rumah Felix. Rumah itu tampak sepi, wajar karena jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Rumah-rumah lain di sekitar kompleks itu juga tampak sepi.

"Ah, membosankan," pikirku. Angin bertiup semilir. Merasa udara mulai dingin, aku memutuskan untuk menutup jendela ketika kulihat sebuah pemandangan menarik.

Felix keluar dari rumahnya dengan terburu-buru. Tangannya mendorong sepeda dan dia memakai jaket yang cukup tebal. Setelah menutup kembali gerbang rumahnya, dia segera mengayuh sepedanya dan menghilang di kegelapan malam.

Mau kemana dia malam-malam begini? aku mengerutkan kening.

Aku merasa penasaran, mau kemana cowok itu?!

***

Pagi itu ketika aku hendak berangkat sekolah bersama papa, Felix keluar dari rumahnya bersama adik perempuannya, Elia. Adiknya itu masih sekolah di SD kelas 5.

"Kau hati-hati," kata Felix berpesan. Eli hanya mengangguk lalu pamit. Sekolah Eli hanya berjarak beberapa ratus meter dari komplek dan berlawanan arah dengan Felix, jadi cowok itu tidak bisa mengantar adiknya.

Felix menatapku yang sedang sibuk memperhatikan mereka. Tatapan wajahnya dingin dan tanpa ekspresi seperti biasa.

Dia membuang muka lalu mengayuh sepedanya menuju sekolah.

"Ngomong-ngomong semalam dia pulang jam berapa, yah?" pikirku.

"Sha, ayo berangkat," ajak papa membuyarkan lamunanku.

"Ah, iya," kataku lalu segera naik ke mobil.

Mobilku melewati Felix yang sudah setengah jalan dengan sepedanya. Pandangannya lurus kedepan dan tidak melihat kiri kanan.

"Dia teman sekolahmu?' Tanya papa tiba-tiba.

"Siapa?" tanyaku. Papa melirikku.

"Anak cowok tetangga depan rumah kita," jawab papa.

"Oh, Felix. Iya, dia teman sekolahku tapi dia berbeda kelas denganku, pa," kataku.

"Oh, syukurlah. Papa tidak suka dengan anak itu. Sepertinya dia bukan anak baik-baik," kata papa.

Aku bertanya-tanya, darimana papa tahu kalau Felix bukan anak baik-baik. Apa mungkin dari mama? Memang aku pernah bercerita pada mama kalau aku satu sekolah dengan Felix, dan dia sering kena masalah dengan guru. Mama hanya berpesan untuk menjauhi cowok itu dan sebisa mungkin untuk tidak berteman dengannya.

"Kamu jauhi anak itu, ya Sha," kata papa. Dari nada suaranya terdengar serius.

Aku hanya mengangguk. Toh, aku memang tidak berniat untuk berteman dengan Felix.

***

Siang itu sehabis pulang sekolah adalah jadwal piketku bersama beberapa teman sekelasku yang lain. Selesai menyapu dan memasukkan sampah ke dalam plastik yang disediakan, Rudi, teman sekelasku berniat untuk membuang sampah ke halaman belakang sekolah, tetapi dia tiba-tiba sakit perut, akhirnya aku memutuskan untuk menggantikannya membuang kantong sampah ke halaman belakang sekolah.

Sambil berjalan ke arah halaman belakang, aku bersenandung kecil. Saat itu aku mendengar suara cowok samar-samar dari arah halaman belakang.

"Eh, begini udah cukup kan?" Tanya suara cowok A.

"Kurang. Harus lebih frontal kata-katanya," kata si cowok B.

"Tapi, apa ga berlebihan?" Tanya cowok A.

"Gak lah. Biarin aja si Felix nanti di hukum lagi sama pak Yudi gara-gara ngatain guru itu di tembok sekolah," si cowok B tertawa kesenangan.

"Iya, juga yah. Biar tahu rasa tuh bocah. Sok banget jadi orang," kata si cowok A.

Aku mengintip sedikit dari balik tembok dan melihat 2 orang cowok berseragam putih abu-abu yang sama dengan seragamku sedang mencoret-coret tembok sekolah dengan kata-kata kasar menggunakan spidol hitam dan pilox.

Aku melotot. Jadi selama ini Felix melakukan hukuman atas kesalahan yang bukan dilakukan olehnya.

Aku ingat betul, 2 minggu yang lalu, Felix kembali di hukum oleh pak Yudi karena dituduh mengempeskan ban motor pak Dimas, guru kesenian. Cowok itu harus membersihkan toilet cowok hingga mengkilap.

"Ya ampun," tanpa sadar kantung sampah yang aku pegang jatuh dan menimbulkan suara yang keras. Cukup keras sampai membuat 2 orang cowok itu menoleh dan sadar bahwa mereka sedang di pergoki.

"Siapa itu?" Tanya si cowok A.

"Ayo cepat kita cek," kata si cowok B. "Bisa gawat kalo kita sampai ketahuan."

Aku membeku. Aku tahu bahwa 2 cowok itu bisa berbuat jahat padaku karena telah berani memergoki perbuatan mereka. Aku masih tidak bisa lari. Tidak tahu kenapa kakiku terasa lemas.

Tiba-tiba sebuah tangan menarikku masuk kedalam kelas yang berada di sekitar situ.

"Hmmmppph," tangan itu membekap mulutku.

"Bisa diam tidak?" kata orang itu menyuruhku diam. Suara seorang cowok.

Aku akhirnya diam dan memusatkan perhatian pada 2 orang cowok yang tadi ku pergoki.

"Kemana tuh orang?" kata si cowok A.

"Sepertinya tuh orang lari keluar. Liat nih kantong sampahnya berantakan," kata si cowok B. Lalu sambil berlari ke arah depan sekolah, kedua cowok itu mengumpat karena tidak bisa menemukanku. Sepertinya mereka takut apabila aku melaporkan perbuatan mereka.

Lalu kudengar cowok dibelakangku ini menghela napas lega.

Kali ini kuberanikan diri untuk mendongak menatapnya, dan cowok itu balas menatapku dari balik kacamatanya.

"Felix?" aku hampir memekik.

"Apa?" tanyanya heran.

Aku terdiam. Felix ternyata sudah tahu siapa pelaku yang selama ini memfitnahnya, tetapi kenapa cowok ini hanya diam menanggapi ketidakadilan yang menimpanya.

"2 orang tadi. Mereka mau memfitnah lo supaya elo di hukum, kenapa tadi tidak lo laporkan mereka pada pak Yudi?" tanyaku kesal melihat sikap Felix yang santai.

"Buat apa?" Tanya Felix. "Toh pak Yudi tidak percaya," katanya.

"Lagipula, lebih enak di hukum karena tidak harus masuk kelas untuk belajar. Belajar itu membosankan tahu."

Aku melongo. Cowok ini, apa sih yang ada dipikirannya?

Merasa sebal pada tingkahnya aku lantas menjitak kepalanya.

"Auw, lo ngapain sih?" Tanya Felix. Matanya mendelik dan tangan kanannya mengusap-ngusap kepalanya yang tadi aku jitak.

"Mukul kepala lo yang tumpul itu. Aish, kenapa lo begitu cuek dan bodoh begini?" kataku.

"Elo," Felix tidak meneruskan kata-katanya. Dia menatapku sebentar kemudian dia memilih untuk keluar dari kelas. Aku mengikutinya keluar dan baru sadar bahwa sampah-sampah kelasku masih berserakan didepan kelas ini.

"Sebaiknya lo beresin sampah-sampah ini sebelum mang Jajang datang. Dia bisa marah besar," kata Felix.

Mang Jajang adalah tukang bersih-bersih sekolah. Meskipun tukang bersih-bersih tetapi mang Jajang tidak bertanggung jawab pada kebersihan kelas. Itu menjadi tanggung jawab tiap murid kelas. Selain itu mang Jajang memang terkenal galak. Beliau paling tidak suka apabila ada kelas yang tidak bersih dan sampah berserakan dimana-mana.

Sambil menggerutu aku mengambil sapu di dekat ruang kelas dan mulai menyapu bersih sampah-sampah tadi. Sementara Felix masih belum beranjak pergi dari tempat itu sampai aku selesai membuang sampah dan kembali ke kelas. Mungkin dia menungguku, siapa tahu 2 cowok tadi akan datang lagi.

Saat aku kembali ke kelas, teman-temanku ternyata masih menungguku. Mereka keheranan karena aku lama belum kembali ke kelas, padahal hanya membuang sampah. Aku beralasan kalau tadi aku ke toilet sebentar.

Aku berjalan keluar gedung beriringan bersama yang lain. Kulihat Felix sedang menuntun sepedanya. Sepertinya sepedanya itu bocor karena ban depan dan belakangnya tampak kempes tidak ada angin sama sekali.

"Felix," aku mengejarnya yang sudah keluar dari gerbang sekolah. Dia sedang sibuk mencari tukang tambal ban di sekitar sekolah.

"Lo mau kemana?" tanyaku setelah berhasil mengejarnya.

"Mau ngapain lo ngikutin gue?" Tanya Felix tanpa menjawab pertanyaanku.

Aku terdiam mencari alasan apa yang mau aku katakan padanya.

"Ehm, gue mau berterima kasih sama elo," kataku.

"Buat apa?" tanyanya datar.

"Atas pertolongan lo tadi. Kalo ga ada elo, gue ga tahu apa yang bakal terjadi sama gue," kataku. Felix berhenti berjalan dan terdiam sebentar, setelah itu dia melanjutkan mendorong sepedanya.

"Lo udah berterima kasihkan? Lo bisa pulang sekarang," kata Felix tanpa memandangku. Aku mendengus, walaupun sebal dengan perlakuannya tetapi aku tetap mengikutinya.

Kami sudah sampai di tukang tambal ban. Felix berjongkok dan memperhatikan tukang tambal ban itu mulai memperbaiki ban sepedanya yang bocor. Tukang tambal ban itu sepertinya sudah sangat mengenal Felix.

"Duh, udah bocor lagi aja ban sepedanya mas Felix?" kata tukang tambal ban itu, Felix memanggilnya mang Bejo.

"Iya nih mang," kata Felix. Aku mengawasinya sambil duduk di bangku panjang dekat mereka.

"Padahal baru kemarin lusa di tambal. Masih suka diisengin yah mas?" Tanya mang Bejo.

"Diisengin? aku tertegun.Maksudnya?"

Felix cuma terkekeh. "Kayaknya masih mang."

Mang Bejo hanya geleng-geleng kepala. "Mereka keterlaluan sekali, ya."

Selama sekitar setengah jam mang Bejo sibuk memperbaiki ban sepeda Felix sambil mengobrol dengannya. Aku hanya diam mendengarkan.

"Nih," Felix menyodorkan sekaleng softdrink dingin kepadaku.

"Ah, terima kasih," kataku. Padahal aku pikir dia tidak menyadari kehadiranku.

Mang Bejo melirik-lirik kami. Ketika Felix menghampirinya untuk memberikan softdrink, mang Bejo menggodanya.

"Itu mas? Pacar ya?" Tanya mas Bejo.

"Yang mana?" Tanya Felix bego. Udah jelas-jelas cewek yang ada disitu cuma aku, tapi dia malah bertanya balik.

"Aduh mas Felix ini piye toh. Itu tuh, cewek yang disana," kata mang Bejo.

"Oh, dia. Bukan. Gue juga ga tau dia siapa. Dari tadi ngikutin gue dari sekolah," kata Felix cuek.

Aku yang sedang minum tersedak mendengar penuturannya yang terkesan blak-blakan.

Felix melirikku yang memelototinya. Sementara mang Bejo hanya diam sambil terus senyum-senyum. Kayaknya aku salah mengikuti dia sampai kesini. Padahal tadinya aku mau mencoba berteman dengannya karena Felix ternyata anak yang baik, meskipun sedikit sinting.

10 menit kemudian mang Bejo selesai menambal ban.

Felix hendak bersiap untuk menaiki sepedanya ketika dia berhenti dan menoleh padaku yang juga bersiap untuk mencegat angkot.

"Lo pulang kemana?" Tanyanya polos.

"Gue? Kerumahlah," kataku.

"Ayo gue anter," kata Felix. Aku terkesiap. Memang sepeda Felix terdapat boncengannya, tetapi tidak kusangka ternyata cowok ini peka juga. Selama hampir sejam menemaninya menambal ban, dia tidak membiarkan aku pulang sendiri. Meskipun bukan dia yang memaksaku untuk menemaninya.

Setelah pamit pada mang Bejo, Felix segera mengayuh sepedanya dengan kecepatan sedang. Dia tampak serius saat mengendarai sepedanya.

Aku memegang ujung seragam Felix karena tidak tahu harus berpegangan pada apa.

Tidak tahu kenapa, meskipun cowok ini tampak menyebalkan dan sedikit sinting, aku bisa merasakan kehangatan & kebaikan dari dalam dirinya. Dan aku merasa penasaran, orang seperti apa Felix sebenarnya.

Tiba-tiba terlintas dibenakku percakapan antara mang Bejo dengan Felix tadi bahwa Felix sering diisengi. "Eh, Felix. Gue boleh nanya ga?" tanyaku hati-hati.

"Dilarang nanya," jawabnya cuek.

Aku cemberut. Dia ini cuek sekali dan terkesan dingin. Benar-benar cowok menyebalkan. Karena tidak berhasil bertanya padanya, akhirnya aku memilih diam.

"Rumah lo dimana?" Tanya Felix yang tiba-tiba menghentikan sepedanya. Rupanya dia kebingungan harus mengantarku kemana.

Aku menepuk jidatku. Nih cowok benar-benar polos atau benar-benar bodoh. Aku ini tetangganya. Dan aku juga sempat bertengkar dengannya di lapangan basket, tapi kenapa dia bisa lupa padaku begitu saja.

Felix menunggu jawabanku, jarinya di ketuk-ketukkan ke stang sepedanya.

"Hei, cepat jawab. Masa lupa sama rumah lo sendiri," katanya tak sabar.

"Di perumahan Nusa Indah Blok B No.12," kataku santai.

Felix mengangguk-angguk lalu mulai mengayuh sepedanya lagi. Aku benar-benar tidak habis pikir kenapa dia tidak sadar juga kalau rumahku itu berada satu kompleks dengan rumahnya, bahkan kami bertetangga.

Mama sedang duduk diteras rumah ketika aku sampai dirumah. Beliau memperhatikanku yang turun dari sepeda.

Aku menatap Felix yang tampak keheranan. Itu tampak dari keningnya yang berkerut.

"Ini rumah lo?" tanyanya bego. Aku mengangguk. Aku tersenyum dalam hati. Pasti dia merasa sangat malu karena tidak mengenaliku sebagai tetangga barunya.

"Lo tetangga gue?" Tanya Felix lagi.

Kita emang tetangga sejak beberapa bulan yang lalu. "Lo kemana aja?" kataku nyengir.

"Gue ga punya waktu buat mikirin tetangga-tetangga baru disekitar rumah gue," sahutnya dingin. Lalu tanpa berpamitan cowok itu ngeloyor ke arah rumahnya.

Aku mendengus. "Ketus banget, sih," batinku. Sepertinya tidak akan mudah untuk berteman dengannya.

"Darimana saja, Sha?" Tanya mama. Tangannya bersedekap dan matanya melotot.

Aku nyengir. "Tadi habis piket, ma," jawabku.

"Piket sampai jam segini?" Tanya mama. Pandangannya tampak menyelidik. "Kenapa kamu pulang dengannya?"

"Dengan siapa?" tanyaku keheranan.

"Felix," mama masih menatapku.

"Ah, itu. Aku kebetulan bertemu dengannya di jalan jadi kami pulang bersama. Lumayan untuk menghemat ongkos bis," kataku berkilah berusaha membuat mama percaya.

"Sha, mama kan sudah bilang padamu, kamu jauhi anak itu," kata mama tegas. "Dia bukan anak baik-baik."

Aku diam dan tidak membantah.

"Iya ma," kataku pelan. Aku kemudian masuk kedalam rumah dengan perasaan kecewa.

Ah, andai saja mama tahu kalau Felix ternyata anak yang baik.

***

"Kak, ayo makan dulu!" teriak Eli dari ruang makan.

Felix turun dari kamarnya di lantai atas.

"Kamu ga bimbel?" Tanya Felix heran melihat adiknya ini masih ada dirumah.

"Sebentar lagi Eli berangkat," kata Eli. Gadis kecil itu tampak membereskan buku-buku lesnya.

"Kamu sudah makan?" Tanya Felix. Eli mengangguk.

"Selesai makan kakak akan mengantarmu," kata Felix.

"Ga usah, kak. Eli akan bawa sepeda sendiri," kata Eli menolak dengan halus.

"Tidak apa-apa. Kakak juga mau main basket setelah itu," kata Felix cuek.

Eli menatap kakaknya ini.

Keseharian kakaknya setelah pulang sekolah pastilah bermain basket di lapangan kompleks dan kalau sedang asik, kakaknya itu bisa lupa waktu. Eli hanya geleng-geleng kepala.

"Jangan pulang malam-malam, kak," katanya. Felix hanya diam saja. Eli mendesah melihat sikap cuek kakaknya ini.

"Ayo," kata Felix setelah selesai makan. Dia mengeluarkan sepedanya berniat mengantar adiknya ke tempat bimbel yang jaraknya cukup jauh dari komplek rumahnya.

Aku mengawasi gerak-gerik kakak adik yang baru saja keluar dari rumah tersebut. Felix tampak mengunci pintu gerbangnya. Lalu Eli menaiki boncengan Felix dan mereka menghilang di ujung jalan. Sepertinya Eli akan bimbel karena gadis kecil itu menyandang tas ransel yang cukup besar. Sedangkan Felix, cowok itu membawa tas berisi bola basket di pundaknya. Mungkin cowok itu akan bermain basket lagi di lapangan kompleks.

"Sha, kamu tidak mau makan?" teriak mama dari lantai 1.

"Iya ma sebentar," jawabku. Aku-pun segera bergegas turun ke bawah untuk makan siang bersama mama.

Next chapter