11 NOL KILOMETER INDONESIA

Perutku keroncongan. Sudah masuk waktu makan siang. Pesawat yang kutumpangi lepas landas setelah Subuh. Untungnya pihak maskapai menyediakan sarapan di dalam pesawat. Tapi setelah kaki menjejak di Serambi Mekah, aku sudah dihadang dua agenda penting. Seperti kemarin-kemarin, kali ini tampaknya juga akan telat meletakkan koper di kamar hotel.

Masih dengan tim yang sama seperti di Makassar. Ada Mbak Kinan dan Mbak Pijar bersamaku. Tapi karena Mas Marwan harus mengurus administrasi tim lain, urusan teknis tim yang diterjunkan di Aceh ini dipercayakan Mbak Sekar.

Sementara waktu Zhuhur sudah lewat. Mobil yang kami gunakan berhenti di restoran Ayam Lepas. Makanan khas Aceh ini menjadi favorit Mbak Kinan. Dia bisa menghabiskan lebih dari satu potong ayam lepas. Sedikit merana untukku. Ayam yang katanya super enak ini tidak bisa aku coba—berhubung aku sudah sah menjadi vegetarian.

Untung tetap ada dendeng ikan yang rasanya gurih dan manis. Jauh dari bau dan rasa amis. Selain ayam lepas dan dendeng ikan, disajikan sayur dan lauk yang asing di mataku. Bukan daun pepaya yang ditumis, tapi bunga pepaya. Rasanya pedas dan kaya rempah. Seakan semua bumbu dapur masuk ke dalam sayuran. Mungkin karena tidak terbiasa, setelah menjajal pedasnya tumis bunga pepaya, perutku mules.

Indonesia memang kaya, kulinernya beragam. Cuma harus tetap hati-hati, bila lidah bisa dipaksa, lambung akan meronta. Syukurlah, serangan pedas dan rempah ini tidak berlangsung lama. Saat menuju kantor cabang di Aceh, perutku sudah bisa diajak kompromi.

Sudah agak sore, tapi tampaknya teman-teman juga belum pulang. Kak Icut, pimpinan kantor cabang, menyambut kehadiran kami dengan senyumnya yang merekah. Lengkap dengan logat Melayu yang terdengar mendayu-dayu di telinga.

Seorang staf Kak Icut membuat konsentrasi kami hilang—saat membawa satu piring mie aceh dan makan dengan lahap di depan muka kami. Padahal baru makan ayam lepas, tapi Mbak Pijar dan Mbak Kinan sudah tidak tahan melihat mie kebanggaan rakyat Aceh ini. Kak Icut pesan beberapa porsi mie aceh untuk kami.

Sedikit trauma dengan cabai dan bumbu yang telalu banyak, aku mewanti-wanti Kak Icut agar mie untukku sama sekali tidak pedas dan tidak perlu banyak bumbu. Tidak pernah aku makan mie rebus seenak ini. Semuanya pas. Bumbunya, kuahnya dan mienya yang tidak terlalu lodoh. Waktu sudah terlampau sore saat kami keluar dari kantor cabang. Mobil yang kami sewa mengantar sampai ke hotel.

***

Hari kedua di Aceh, tugasku sudah beres bersamaan dengan jam makan siang. Masih banyak waktu untuk keliling Serambi Mekah. Menuju sore, kami berangkat ke Masjid Raya Baiturrahman. Tidak seperti Masjid zaman sekarang yang berhias emas dan warna-warni. Masjid Baiturrahman terlihat elegan dengan warna hitam dan putih yang dominan.

Aksen emas tetap ada pada pintu yang beberapa sudutnya dipenuhi ukiran. Selain arsitektur Masjid yang menarik, Masjid ini punya taman yang indah. Siapapun yang mengikuti berita tentang tsunami 2004 pasti tahu, Masjid Baiturrahman menjadi tempat berlindung rakyat Aceh dari gempuran air setelah gempa.

Tidak jauh dari Masjid Baiturrahman, ada pasar yang cukup terkenal. Orang biasa membeli oleh-oleh di toko-toko—yang bisa dijangkau dengan jalan kaki dari Masjid Baiturrahman. Aku mengikuti langkah Mbak Kinan dan Mbak Pijar yang menuju ke toko oleh-oleh.

Kami sampai di salah satu toko. Penjualnya mirip orang Arab. Barang pertama yang aku incar di toko ini tentu saja bros Pintu Aceh. Banyak yang menitip bros ini. Pintu Aceh ini konon adalah lambang dari kemegahan Kerajaan Aceh Darussalam dahulu kala. Pintu ini adalah pintu gerbang kerajaan di Kutaraja.

Biasanya pintu Aceh berwarna emas. Ada juga yang berwarna perak. Pintu Aceh tidak hanya menjadi hiasan bros saja, tetapi ada di hampir semua oleh-oleh khas Aceh. Mulai dari tas, sepatu sampai songket. Seperti biasa, yang paling kalap saat belanja tentu Mba Kinan.

Dia membeli baju koko bordir Aceh untuk suaminya. Tas bersulam Pintu Aceh dan songket Aceh yang menawan untuk dirinya sendiri. Ada juga batik Aceh yang ditawarkan si penjual. Setelah omong-omong, si penjual mengaku batik khas Aceh ini dibeli dari Solo.

Kelar belanja, aku kembali naik ke mobil dan menjajal kopi Aceh yang melegenda. Belum sampai di Aceh kalau belum ngopi di Ulhekareeng atau Solong. Warung kopi tradisional yang ada di pinggir jalan Ulhekareeng selalu ramai. Kopi ini jenisnya robusta, berbeda dengan kopi Gayo yang berjenis arabica.

Kopi Ulhekareeng dimasak bersama air. Lalu disaring beberapa kali dengan saringan panjang dan besar. Melihat atraksi para pembuat kopi tentu menjadi hiburan tersendiri.

Selain roti srikaya, martabak Aceh juga tidak boleh dilewatkan. Martabak Aceh lebih mirip jajanan telur waktu di SD. Telur di dadar dan di atasnya diberikan sayuran. Lalu dilipat. Meski sederhana tapi rasanya sungguh nikmat.

Sampai hampir tengah malam, kami masih dimanjakan dengan riuh Ulhekareeng. Semakin malam, cuma lelaki yang duduk-duduk di kedai kopi Ulhekareeng. Hanya kami saja perempuan-perempuan yang masih ada di warung kopi.

Sedang ramai diperbincangkan, peraturan tentang larangan perempuan "ngangkang" saat naik motor. Peraturan ini tidak diberlakukan di seluruh Aceh. Tapi tetap mengundang perdebatan sengit sampai menyeberang Selat Sunda dan disiarkan acara berita di Ibukota. Rasa-rasanya, perdebatan itu lebih panas lagi di sini.

Hari ketiga di Aceh. Aku sedang membuat notula FGD yang berlangsung penuh pro dan kontra. Terlampaui serius rasanya, hingga tidak peka dengan guncangan yang membuat meja bergeser. Orang-orang di dalam ruangan langsung lari.

Aku dan Mbak Pijar yang duduk bersebelahan hanya bertatapan. Ketika sirene berbunyi, kami sadar yang sedang terjadi. Itu saja tidak cukup untuk membuat kami beranjak. Hentakan seorang peserta FGD yang membuat kami bangkit.

"Kenapa diam? Lari!!! Ini gempa!!!"

Sontak, aku meninggalkan ruangan. Kulihat Kak Icut dengan rok span panjang dan sepatu hak 5 cm sudah berada jauh di depan. Dengan rok seketat itu, Kak Icut bisa berlari dengan cepat. Tapi ternyata bukan hanya Kak Icut yang punya kemahiran itu. Hampir semua perempuan asli Aceh di dalam ruangan ini menggunakan rok panjang yang tidak lebar dengan sepatu berhak 5–7 cm dan mereka jago lari.

"Kami trauma, Dek!" Hanya itu kata-kata Kak Icut setelah kami berhasil keluar dari hotel dan berkumpul di lapangan parkir

"Betapa hancurnya kami saat tsunami terjadi. Semua orang Aceh belum lupa kejadian itu. Aceh luluh-lantak. Sekarang setiap ada gempa, kami ketakutan. Tidak pikir panjang. Langsung lari selamatkan diri." Kak Icut bicara lagi sambil terus mengelus dadanya.

Gempa besar baru saja menimpa Takengon. Daerah indah penghasil kopi Gayo itu terguncang. Beberapa kawan yang ada di sana mengirim gambar melalui telepon seluler. Jalanan retak, rumah hancur dan ribuan nyawa berstatus penyintas (pengungsi sementara).

Ketika situasi mulai kondusif, orang-orang kembali ke dalam hotel dan FGD dilanjutkan. Meski tentu, banyak peserta yang merasa was-was dan membuat diskusi hari ini selesai lebih cepat.

Sedikit ragu menyusup, besok rencananya aku ingin menyeberang ke Pulau Weh. Sendirian saja. Mbak Kinan, Mbak Pijar dan Mbak Sekar tidak ikut, karena harus kembali ke kantor. Waktuku lebih fleksibel, kesempatan ini aku gunakan untuk menjejakkan kaki di Nol Kilometer Indonesia.

Kesempatan tidak datang berkali-kali.

Kapan lagi aku bisa terbang ke Aceh? Tiket pesawat dan biaya penginapan tidak sedikit. Sudah sampai di Aceh, kupikir mesti sampai juga ke paling barat Indonesia. Kondisi memang tidak terlalu aman. Mbak Kinan bilang, sebaiknya aku cek dulu ke Pelabuhan Ulheelhee. Aceh gempa, bisa saja getaran di Takengon berpengaruh pada gelombang laut. Sekalian melihat Aceh pasca gempa di Takengon, Mbak Kinan dan Mbak Pijar ikut mengantarku ke Pelabuhan Ulheelhee.

Kami melewati Masjid fenomenal yang terpampang di media selama berhari-hari—saat ada liputan tsunami Aceh. Masjid kecil di dekat pelabuhan yang berdiri kokoh—saat seluruh bangunan di sekitarnya luluh lantak. Orang-orang bilang, itu Masjid Tsunami.

Biarpun ini waktunya matahari berada di atas kepala, ternyata langit tidak terlalu cerah.

Sedikit mendung menghampiri waktu kami sampai di Pelabuhan Ulheelhee. Aku mencari info pada petugas yang ada di pelabuhan. Kebetulan salah satu pejabat pelabuhan ada di sana. Petugas itu menyuruhku langsung saja menemui pejabat pelabuhan yang tengah berdiri menghadap ke laut.

Aku sapa lelaki berusia sekitar 50 tahunan yang berkulit coklat dan punya kumis tebal. Kami mengobrol di depan kapal-kapal feri yang merapat. Pejabat pelabuhan itu bilang, gempa tidak mempengaruhi keadaan laut. Besok kapal akan berlayar seperti biasa.

Lalu omongan berlanjut pada hal-hal pribadi. Dia bertanya tentang diriku dan orang-orang yang datang bersamaku. Dia juga cerita tentang istrinya yang meninggal dunia dan ketiga anaknya yang masih membuatuhkan ibu. Pria ini tampaknya sedang mencari istri. Lebih tepatnya ingin memperistri perempuan Jawa.

Lalu obrolan mendadak menjadi canggung, saat tiba-tiba, dia menanyakan kemungkinan aku untuk menjadi ibu dari ketiga anaknya. Wush! Angin laut menamparku yang terpaku dalam hening. Cepat aku tinggalkan pelabuhan dan tancap gas ke tempat lain.

Mobil yang kami sewa membawaku ke Lhok Nga.

Mbak Kinan—yang pernah menjadi relawan saat tsunami—ingin mengenang waktu-waktu mengharukan di Aceh. Dulu dia bertugas membantu korban di Lhok Nga. Badai menghantui mobil yang meluncur di jalanan dekat laut.

Sementara, ombak dari laut seperti lidah api yang menjulur hingga ke jalan raya. Bagai tangan yang siap menangkap apa saja yang lewat di atas jalan—untuk kemudian dibawa ke laut terdalam. Pantai yang menjadi salah satu favorit pemain selancar itu menjadi sangat mengerikan. Tanpa tsunami pun, gelombang tampak bernafsu menjamah daratan.

Hatiku bergidik. Aceh, tempat yang sekarang aku singgahi, pada masa Kerajaan Sriwijaya adalah bagian dari Kerajaan Lamuri. Tidak jauh dari kerajaan ini ada pula Kerajaan Samudra Pasai. Nusantara, Tanah-Air Bangsa Indonesia menurut Prapanca tahun 1365, meliputi pula daerah Lamuri dengan pusat pemerintahan di Kutaraja—yang kini menjadi Banda Aceh.

Pentingnya wilayah Aceh membuat pedagang dari seluruh dunia datang. Aceh kaya akan suku bangsa. Ada yang wajahnya mirip Arab, India dan Turki. Masuknya pedagang Portugis ke daerah Lamno membuat keturunan Aceh di daerah itu memiliki wajah mirip Eropa.

Cerita langsung dari orang Lamno yang aku temui, beberapa orang di Lamno memiliki bola mata berwarna biru. Bahkan ada cerita yang beredar di masyarakat Lamno. Katanya nama Lamno berasal dari kata "dalam" dan "no".

Jadi saat kapal Eropa datang, masyarakat Aceh sudah memperingatkan agar jangan turun begitu saja karena lautnya dalam, tapi orang Eropa yang tak mengerti hanya mendengar "lam" dan kemudian dijawab dengan "no". Jadilah daerah itu namanya Lamno. Entah kisah valid atau sekedar guyon, aku tidak paham benar.

Sekelumit cerita Lamno masih menemani khayalanku yang terjaga hingga lewat dini hari. Bersama Mbak Sekar, aku keluar dari kamar. Hotel tidak seperti malam kemarin. Malam ini, pintu-pintu kamar dibuka, koper diletakkan persis di depan pintu dan orang-orang tidur dengan pakaian lengkap.

Sisanya, mereka yang tidak bisa tidur seperti kami, harus puas membelalak menatap taman yang sunyi. Sesekali turun ke bawah dan duduk di lobi bersama tamu lain—yang terus memantau perkembangan gempa susulan dari informasi yang disampaikan petugas di hotel. Tidak ada yang tidak tegang malam ini.

Biarpun tidak bisa memejamkan mata malam tadi, aku tetap pada rencana semula, melawat kota bandar di Sabang. Mobil mengantarku ke Pelabuhan Ulheelhee lebih dulu, baru mengantar tim yang lain ke bandara. Kami berpisah. Aku menunggu sendirian di Pelabuhan Ulheelhee.

Masih teringat kejadian kemarin sore yang membuatku merinding. Ketimbang duduk di ruang tunggu dan bertemu pejabat pelabuhan itu lagi, aku memilih makan dan minum kopi di warung. Lumayan kopinya, bisa menghilangkan kantuk akibat kurang tidur semalam.

Satu jam kemudian, kapal feri siap berangkat. Aku berjalan cepat sambil menunduk. Sedikit was-was. Syukurlah, pejabat yang kemarin itu tidak terlihat batang hidungnya. Aku duduk di pagar yang membatasi kapal dengan laut lepas.

Ada seorang perempuan dan seorang lelaki di dekatku. Kami kenalan. Rupanya mereka dari Klaten. Ini kali pertama si perempuan naik kapal untuk menyeberang lautan. Tampaknya dia sangat tersiksa. Dia sampai bingung melihatku sempat tertidur nyenyak dalam kondisi duduk dan memeluk ransel.

"Hari ini cuaca dan angin sedang bagus. Ombak juga tidak terlalu ganas. Waktu tempuh pun hanya setengah sampai satu jam. Saya pernah menyeberang dari Karimunjawa ke Jepara. Sampai 8 jam di laut dengan ombak yang tinggi karena badai." Aku menjawab rasa heran perempuan itu.

Tidak berselang lama, kapal feri sampai di Sabang. Aku berpisah dengan perempuan itu dan saudara laki-lakinya. Jujur, saat keluar dari kapal aku kebingungan. Hendak ke mana aku ini? Tidak ada satu pun orang yang aku kenal di pulau paling barat Indonesia. Tiba-tiba saja dihadapanku berdiri seorang lelaki kurus dengan hidung mancung dan kulit hitam. Mirip India Tamil.

"Butuh ojek? Sudah ada yang jemput? Menginap di mana?" Lelaki itu memberondongku dengan banyak pertanyaan. Aku bingung dan hanya mampu menggeleng.

"Baru ke Sabang ya? Ayo saya antar. Jangan takut, saya biasa mengantar wisatawan," katanya lagi.

Situasi begini, aku seperti tidak punya pilihan selain percaya saja dan memanjat doa pada Tuhan. Aku dibonceng naik motor. Dia terus bertanya tujuanku. Aku bilang aku ingin ke Iboih, tapi belum punya tempat menginap. Dia menyarankan agar aku mampir dulu saja ke Pantai Gapang dan Nol Kilometer, nanti setelah itu diantar ke penginapan temannya di Iboih.

Aku masih juga merasa ragu. Takut sekali rasanya. Apalagi sepanjang perjalanan, yang aku temui adalah jalanan sepi dengan belantara di kiri dan kanan jalan. Sepertinya kami sudah meninggalkan Sabang, kota bandar yang ramai dan banyak bangunan tua. Tapi lagi-lagi aku juga bingung harus bagaimana? Lelaki yang ternyata bernama Jangkar itu menangkap rasa takutku.

Sambil terus mengendarai motor, dia berusaha meyakinkan.

"Jangan takut, Mbak, kami semua di sini orang baik. Kami hidup dari pariwisata. Kalau tempat ini tidak aman, kami sendiri yang rugi dan tidak bisa makan."

Aku pikir, benar juga kata-katanya. Mereka hidup dari sektor pariwisata. Kecil kemungkinan "menutup" pintu rezeki sendiri dengan tindak kejahatan. Motor Bang Jangkar akhirnya berhenti di pinggir pantai yang damai, tenang dan perawan.

Ini dia si Pantai Gapang. Garis pantainya panjang. Ombaknya tidak kencang. Pasir putih dan pinggir pantai yang berwarna tosca semakin membuat hati jadi adem. Hanya ada beberapa orang di pantai. Seluruhnya berparas Eropa.

Bule-bule berambut pirang sedang duduk berkumpul di meja kayu besar—seperti yang ada di kartun Flinstone. Mereka tidak berpesta. Malah lebih mirip diskusi serius. Ada yang diam menikmati suasana pantai. Semua turis mengenakan pakaian yang sopan, casual, dan tanpa dandan berlebihan.

Seseorang menarik perhatianku. Lelaki dengan rambut pirang keriting panjang. Rambutnya diikat. Dia memakai atasan katun putih besar, seperti yang sering dipakai pria Eropa Abad 18. Juga celana katun berwarna coklat muda. Penampilannya persis seperti pelaut Eropa zaman dulu yang tengah terdampar di pulau kosong.

Lelaki itu duduk di ayunan yang menggantung di pohon besar. Matanya menatap ke laut, sedang tangannya memegang buku dan pulpen. Seorang penyair tampaknya. Adakah dia tengah membuat puisi? Lelaki, laut dan keheningan. Sekali lagi menjebakku dalam detik yang seakan berhenti.

Rasa penasaranku terganggu suara Bang Jangkar. Dia memberi kabar baik, temannya punya kamar kosong untukku. Harganya relatif murah. Aku tinggalkan Pantai Gapang yang dihuni "bule-bule pintar". Itu sebutanku untuk orang asing yang ada di Gapang. Bang Jangkar bilang, kebanyakan dari mereka memang tinggal untuk waktu yang lama. Sekitar tiga bulan atau mungkin lebih. Mereka bukan hanya berlibur, tetapi juga mencari kedamaian hidup.

Kami keluar dari area Pantai Gapang. Melewati lagi jalan naik dan turun yang dikelilingi hutan. Jalan raya di Pulau Weh ini mulus dan tidak macet. Malah hampir tidak ada kendaraan yang lewat. Perjalanan yang cukup jauh bisa ditempuh lebih cepat. Waktu sudah sore. Tapi masih jauh menuju senja.

Aku sampai di Nol Kilometer. Kalau datang agak pagi atau siang, aku bisa mendapat sertifikat dari Monumen Nol Kilometer. Ya, disinilah bentang Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dihitung. Aku memasuki Monumen Nol Kilometer. Merasakan sensasi nasionalisme yang entah dari mana? Negeri bahari ini, ujung barat dan timurnya dipeluk samudera.

Aku hanya mengitari Monumen Nol Kilometer sebentar. Lalu keluar dan berkumpul bersama belasan orang yang duduk menatap Samudera Hindia. Ini tidak seperti Pantai Gapang. Samudera Hindia ada di bawah sana. Kami tidak bisa menjangkaunya. Tentu Samudera berbeda dengan tepi pantai. Setiap orang mengambil posisi terbaik untuk mengabadikan perjalanan sang surya.

Beberapa orang mengatur letak tripod dan kamera DSLR. Tidak ada satu pun yang ingin melewatkan senja di hadapan Samudera Hinda. Seperti sebuah ritual magis, kami melepas kepergian mentari di ujung barat Indonesia. Tiada jingga yang romantis. Hanya kemilau kelabu yang datang sesaat, lalu menghilang perlahan.

Resmi sudah petang ini berakhir. Garis horizon tidak lagi berhias setengah lingkaran. Orang-orang merapikan alat foto. Kembali pada kendaraan masing-masing. Kurasakan lelah di sekujur tubuh. Sejak tadi belum sempat meletakkan barang. Hari mulai gelap, Bang Jangkar mengantar ke penginapan temannya di Iboih.

Tiba di Iboih, kami bertemu dengan Bang Suar. Tampan si abang ini. Badannnya tinggi tegap, dengan perut yang rata. Kulitnya putih sedikit coklat. Hidungnya mancung dengan rahang tegas di wajahnya. Paling menarik tentu bola matanya yang berwarna coklat muda. Juga rambutnya yang berwarna senada. Bang Suar tidak hanya punya penginapan, tapi juga penyewaan alat snorkeling dan diving. Dia penyelam yang handal, pantas jika tubuhnya terlihat atletis.

Bang Suar sudah menikah. Tetapi istrinya tidak tinggal di Iboih. Istrinya yang sedang hamil tinggal di Banda Aceh. Si abang tampan ini mengantarku ke penginapan—yang ternyata berada tidak sampai 500 meter dari bibir pantai. Bahkan dari kaca jendelanya saja sudah bisa terlihat Pantai Iboih yang indah. Penginapan berupa satu rumah yang langsung diisi beberapa kasur besar dan empuk. Plus ruang kosong yang lumayan luas.

Aku bengong saat pintu kamar dibuka, tempat sebesar ini aku huni sendirian? Mendadak aku merasa takut. Belum lagi, ternyata kamar ini tidak punya kamar mandi. Kamar mandi bersama ada di luar. Harus jalan kaki sebentar. Tidak jauh. Tapi lumayan juga kalau lagi gelap-gelap begini.

Ini penginapan baru, memang belum jadi 100%, karena Bang Jangkar yang minta, akhirnya Bang Suar membuka kamar ini. Bisa dibilang, aku adalah orang pertama yang jadi penghuninya. Sebenarnya aku agak ngeri dengan kamar mandinya, tapi mau bagaimana lagi? Aku harus segera mandi dan sholat Maghrib. Terpaksa berjalan gelap-gelap.

Untung aku bawa senter. Wisata irit sendirian memang harus bawa peralatan yang lengkap. Aku tidak pernah tahu apa yang bisa terjadi.

Seperti saat ini, bagian atas kamar mandi terbuka lebar. Langsung menghadap cahaya bintang. Antara romantis dan mistis. Setengah stres, aku berusaha menutupi bagian atas dengan berbagai pakaian dan handuk. Sepanjang mandi, lihat ke atas terus. Perasaan ada yang melihat.

Saat kembali ke kamar, ada pesan masuk ke telepon selulerku. Ternyata dari si bapak pejabat pelabuhan. Aduh, aku jadi takut. Si Bapak menanyakan tempat aku menginap dan ingin menyusul ke Pulau Weh. Astaga, seorang perempuan lajang sendirian di tempat yang tak dia kenal dan seorang duda beranak tiga memaksa mendatanginya di kamar. Kepalaku jadi makin mumet. Pesan-pesan itu kuanggap angin lalu.

Tidak ingin terus dihantui rasa takut, aku keluar cari makan. Bingung mau ke mana, aku jalan kaki saja ke tempat penyewaan alat diving Bang Suar. Nah, di sana ada warung nasi. Ada Bang Suar juga. Langsung dia teriak memanggilku.

"Dek….sini! Ayo duduk sini. Mau ke mana malam-malam?" Tanya Bang Suar sambil tersenyum ramah.

Duh, bola mata coklat mudanya seperti magnet. Ditambah dengan lesung di pipinya yang terbentuk saat bibirnya tersenyum lebar. Duh, Tuhan, ingatkan aku kalau lelaki ini suami orang.

Aku duduk di dekatnya. "Cari makan malam, Bang."

Bang Suar lalu meminta si ibu pemilik warung melayani aku. "Nah Kak, tolong makanannya." Bang Suar melihat lagi ke arahku. "Pakai ikan dan sayur khas sini ya, Dek."

Tanpa aku sempat memilih, ibu pemilik warung sudah menyodorkan aku nasi, ikan dan sayur tumisan. Aku yang masih terhanyut dengan panggilan "Dek" tidak bisa berbuat banyak.

Pasrah saja dengan pilihan ibu pemilik warung. Ternyata setelah dicoba, enak masakan ini. Tapi aku tidak tahu jenis ikannya. Pastinya bukan ikan seperti yang biasa aku makan di tanah Jawa. Ikannya segar dan gurih.

"Kalau butuh apa-apa, nanti Adik ke sini saja, ini Kakak Abang juga." Bang Suar menunjuk pada si ibu pemilik warung. Si ibu hanya tertawa ramah.

Aku melihat wajah mereka berdua yang tidak mirip. Ibu pemilik warung lebih mirip orang Palembang yang berkulit putih dan bermata agak sipit. "Benar-benar kakaknya?" Tanyaku, polos.

Si ibu pemilik warung tertawa semakin keras. "Hahaha….kami di sini sudah seperti keluarga, Mbak, Suar ya seperti adik saya sendiri."

Baru aku paham, kalau mereka bukan saudara kandung, tapi sudah seperti saudara sendiri. Aku ingin bayar setelah makan, tapi Bang Suar melarang.

"Sudahlah, Dek, sudah Abang bayar. Uang kan bisa dicari. Tapi persaudaran dan silaturahmi harus terus dijalin, yang penting kan kita bisa silaturahmi."

Aku makin bingung dan melihat ke arah ibu pemilik warung, si ibu mengangguk. Memberi kode agar aku tidak perlu bayar. Malam ini, aku dibuat terharu dengan kebaikan Bang Jangkar yang membantuku ke beberapa tempat dan mencarikan penginapan. Terharu dengan ketulusan hati dan kebaikan Bang Suar. Terharu pula dengan keramahan ibu pemilik warung.

avataravatar