1 Part 1

Suara gebrakan meja terdengar sangat nyaring di ruangan 7x6 ini. Beberapa pasang mata saling bertabrakan dengan yang lainnya. Ketika mulut tak lagi bisa berbicara, maka mata lah yang bekerja. Hampir semua tatapan mata mereka bisa diartikan sedang berbicara 'kenapa?' tapi semua menggeleng, kemudian mengangguk dan mengangkat bahu. Atmosfir ruangan yang tadinya tenang, karena sedang fokus bekerja, berubah menjadi tegang.

Sedangkan, pelaku utama dari semua ini, sedang menenggelamkan wajahnya ke meja, kemudian bangkit dan keluar sembari membanting pintu dengan keras, sukses membuat 3 orang yang ada di ruangan tersebut merasakan punya penyakit jantung dadakan.

"Kenapa tuh si Figo? mau nikah kok uring-uringan." Tanya seseorang yang selalu menguncir rambutnya, semua biasa menyebutnya dengan Zalfa. Terkadang kebiasaan buruknya sering membuat orang jijik. Perempuan itu, selalu menggigit ujung pulpen dengan tidak terasa. Kerena sudah menjadi kebiasaan. Tak jarang dari mereka menegur, tapi selalu diulangi gadis itu. Membuat orang yang menegur menjadi malas, dan berubah jadi bodoamatan.

"Cieee perhatian, kenapa Mbak? Masih belum ikhlas ya, ditinggal nikah sama mantan gebetan. Mbaknya kurang gercep sih, makanya tikung di sepertiga malam. Uhuyyy, biar uwu." Kali ini si biang kerok Dewan. Si sok asik ini, selalu saja membuat orang jengkel dengan ucapannya. Untungnya dia anak orang kaya, jadi walaupun ngeselin selalu dibiarkan. Soalnya sayang kalau dijauhin. Ga ada yang bayarin makan lagi nanti. Tapi jangan salah, Dewan ini juga pelit, tapi teman-temannya selalu ada cara supaya Dewan mau berbagi dengan mereka. Soalnya anaknya sedikit polos. Jadi mudah dikibulin.

"Ngomong sama kaca nih, dianya aja matanya juling. Gak bisa bedain cewek cantik sama cewe antik." Ketus Zalfa yang tidak terima, dengan ucapan Dewan.

"Kamu sih bukan antik, tapi burik, gue kalau jadi Figo juga bakal milih Ervina yang cantik, pinter, anggun, dan proporsional. Haha..." Dewan tertawa sangat puas. Zalfa sudah siap dengan beberapa kertas yang dia gulung, untuk dilemparkannya pada lelaki itu.

"Gue doain semoga Figo gak jadi nikah. Biar lu bisa gue ketawain sambil guling-guling!" Teriaknya dengan kencang. Emosinya sudah sampai ke ubun-ubun kali ini. Entah kenapa, dia sangat benci ketika laki-laki berpikiran sempit seperti Dewan. Wanita itu punya kelebihannya masing-masing, harusnya Dewan bisa menjaga ucapannya. Sebagai wanita tukang tidak percaya diri. Mendengar hal itu, dirinya memanas. Ya karena dia jauh dari semua itu. Jika semua laki-laki berpikir seperti itu. Mungkin, akan lebih lama lagi dirinya menikah.

Padahal hampir semua teman-temannya sudah menikah. Kecuali mereka yang mengambil S2 di luar negeri. Benci banget rasanya mengetahui fakta, bahwa dirinya masih begitu-begitu aja di saat teman-temannya sudah sukses. Bahkan ada yang anaknya sudah masuk pendidikan usia dini. Dunia terasa tidak adil, berkali-kali jatuh cinta, tapi selalu gagal. Karena cowok yang diharapkan sudah punya pasangan. Mau dia tikung, sayang banget, ceweknya rata-rata lebih cantik dan pinter dari dia. Belum juga menikung, dah gak percaya diri. Jahat banget gak sih, suka sama pacar orang?

"Zalfa..., Omongan adalah doa." Yang kali ini menegurnya adalah lelaki paling kalem dan dewasa di antara mereka semua yang mengisi ruangan ini. Zalfa hanya bisa tersenyum. Berharap dimaafkan. Kemudian dia menatap tajam wajah Dewan. Pokonya semua ini karena Dewan.

"Abang, si Dewannya tuh gak mau diem. Akunya digangguin melulu."

"Kamu juga sama saja, sudah tau manusia satu itu gak ada akhlak."

"Haha, iya, pokonya aku gak mau dapet tugas bareng dia lagi. Males."

"Anak emas," sindir Dewan, dia terkadang malas. Jika menjahili Zalfa di depan Delvis. Lelaki itu, selalu saja memenangkan Zalfa, akhirnya dia yang kena semprot. Zalfa hanya menjulurkan lidahnya, tanda dia memenangkan debat kali ini. Memang Delvis yang paling terbaik.

"Biarin, dari pada situ anak orang kaya, tapi pelit."

"Enak aja, orang hemat. Ngerti hemat gak? Pantesan miskin terus."

Delvis menghela nafas, dia akhirnya harus memberikan kultum (kuliah tujuh menit) alias ceramah, untuk mereka berdua.

"Sudah. Kamu kembali lagi bekerja. Jika ada teman kalian dalam mood buruk, jangan dibuat semakin buruk. Itu akan mempengaruhi kerjaan. Kita ini satu kelompok, kalau satu ada yang tidak bagus kinerjanya, maka semua akan dipandang sama."

"Iya paham," ucap mereka berdua. Kemudian kembali bekerja.

Jam istirahat pun tiba. Namun, Zalfa melihat ke meja kerja Figo, lelaki itu belum kembali juga.

"Makan siang ayo!"

"Ngajak saya? Maaf sibuk."

"Sibuk merhatiin meja Figo?" Tanya Dewan yang membuat Zalfa naik pitam. Beruntungnya, Delvis datang dan menyeret mereka berdua. Mereka berdua berusaha untuk memberontak. Namun tenaga Delvis jauh lebih besar. Jangan ditanya lelaki itu gym di mana. Sejak masih sekolah Delvis memang sudah menyukai bidang olahraga. Laki itu tidak pernah absen, sekalipun sedang sibuk oleh kerjaan, dia akan menyempatkan olahraga walau hanya satu jam. Hidup sehat sudah menjadi prinsipnya. Dia tidak ingin menua bersama penyakit-penyakit yang timbul karena gaya hidup yang sembarangan.

Mereka sampai di kantin Kantor. Dan selalu menjadi kebiasaan, mereka duduk di meja yang ada di pojokan, katanya sih biar enak buat sandaran, kata Zalfa, dasar kaum rebahan. Biasanya mereka akan gantian memesankan makanan, bila hari ini Zalfa, maka besok Dewan, dan seterusnya. Kebetulan hari ini, jadwalnya Figo, sementara setelah Figo itu Zalfa. Jadi jadwal dimajukan menjadi Zalfa yang harus memesan. Perempuan itu sudah malas duluan, ketika melihat antrian yang padat. Dia memberikan tatapan emmohon pada Dewan. Agar lelaki itu lebih peka. Dasar si pelit, dia malah berpura-pura tidak melihat dan malah mengikuti Delvis yang sedang memainkan handphonenya.

Zalfa memutar otak, dia harus bisa membuat Dewan untuk memesankan mereka makanan.

"Aduh," ucap Zalfa merasa kesakitan.

Sontak saja, membuat ke dua laki-laki dihadapannya, menatap dengan penuh tanya, tiba-tiba saja, mendengar Zalfa meringis kesakitan.

"Kenapa?" Tanya Delvis lebih dulu dibandingkan Dewan.

"Sakit kakinya," ujarnya dengan wajah yang dimelas-melaskan. Dewan bersiap untuk nyinyir, dia tau, ini akal-akalan Zalfa saja.

"Bohong!"  Tegas Dewan yang tau itu hanya setingan.

"Apaan sih, orang beneran juga."

"Orang kamu tadi gak apa-apa, bilang aja males ngantri. Kenapa? Pendek ya? Jadi takut gak keliatan. Ck kasian sekali."

Delvis menyunggingkan senyum tipisnya, dia baru sadar wanita penuh drama di hadapannya ini sedang akting.

"Abang..., Aku serius ih. Jangan percaya omongan pentul korek itu, dia emang gak mau bantu temen aja." Ketus Zalfa pada Dewan. Dia berpikir, jika semua laki-laki seprti Dewan, mungkin wanita akan berpikir ulang untuk mencintai seseorang.

"Apa perlu saya yang pesan."

Dengan gerakan refleks, mereka berdua berdiri.

"Tuh kan, lu gak apa-apa. Dasar pemalas, begini orang yang mau dapetin Figo, pantesan gak dilirik."

"Dewannnn, awas aja lu ya, makanan lu gue kasih cabe 10 biar tau diri." Teriak Zalfa, sembari berjalan untuk memesan makanan.

"Adiknya serem banget Mas, untung jantung saya buatan Tuhan, kalau buatan manusia udah minder kali, ketemu suara kayak kaleng rombeng begitu."

Delvis hanya tersenyum, menanggapi ocehan temannya itu. Dalam hati, Dewan merutuki nasibnya tidak punya teman yang waras. Si tidak asik di depannya ini, selalu saja tidak menanggapi ocehannya.

Seseorang menghampiri mereka, dan duduk ditempatnya, yang biasa dia duduki untuk memakan sesuatu. Siapa lagi kalau bukan Figo.

"Dari mana lu?" Tanya Dewan, setelah melihat temannya yang tadi uring-uringan, terlihat masih kusut wajahnya.

"Atap, Zalfa mana?" Tanya Figo, setelah melihat ke sekeliling, tidak terlihat wanita itu.

"Tumben nanyain, kalau ada aja dianggurin." Sindir Dewan, lelaki itu memang bermuka dua, di depan Zalfa dia mengajaknya berantem terus, padahal jauh dari yang Zalfa tau, dia begitu membelanya di depan lelaki bodoh yang mensia-siakan Zalfa.

"Lagi antri makanan." Dan selalu ada malaikat yang menengahi mereka berdua, siapa lagi, suara itu adalah suara Delvis. Lelaki itu lebih dulu menjawab pertanyaan Figo, sebelum meja tempat mereka makan hancur karena mereka berkelahi.

Tak lama, yang di tunggupun datang, Zalfa sangat kerepotan membawa nampan berisi makanan untuk mereka. Beruntungnya dua lelaki itu cepat tanggap, dengan mengambil makanan mereka masing-masing, Zalfa melihat ada Figo di sana. Dia tidak tau, kalau lelaki itu akan datang. Figo menyadari kedatangan Zalfa, tapi dia masih menutup matanya sembari bersender, Figo sangat terlihat kacau di mana Zalfa. Tapi perempuan itu terlalu takut untuk bertanya. Dia takut Figo tersinggung, lalu mendiaminya. Salah satu sifat yang sudah Zalfa pahami. Setelah mengagumi Figo 3 tahun belakangan ini.

"Makan Fig," tawar Zalfa pada Figo, dia tau, lelaki itu tidak tidur.

"Zal, lu gak benar-benar kasih gue cabe 10 kan? Awal lu kalau gue masuk rumah sakit. Lu yang harus bayarin." Belum selesai mengoceh, tiba-tiba Figo bangun, lalu memakan ketoprak milik Dewan.

"Banyak omong, gak pedes sama sekali."

"Hey iblis, itu makanan gue."

"Kan gue cuma nyicipin. Takutnya lu diracunin."

"Gak ada acara begituan, kalau mau, mesen sendiri lah."

"Pelit banget sih, Malaikat pencatat amal buruk lu, sampe repot ambil buku baru terus, saking banyaknya, sampe gak muat."

"Gue bukan pelit."

"Tapi hemat. Udah apal, yaudah makan sih Dewan. Sama Figo diambil dikit aja rewel banget. Nih Fig, berdua aja sama aku." Zalfa menyodorkan ayam penyetnya, dia tau Figo juga suka pedes, jadi tak masalah.

"Makasih, takut lu gak kenyang."

Kalem. Hanya itu yang bisa Zalfa lakukan. Asem bener emang si Figo, susah banget buat dibaikinnya. Zalfa memutuskan untuk makan dengan lahap, walaupun mendapat tatapan mengesalkan dari si biang kerok Dewan.

Suasana menjadi hening, lalu berfokus pada satu telepon genggam yang diketahui itu milik Figo, di sana tertera nama Ervina dengan emot love, menelponnya, tapi Figo terlihat tidak peduli, padahal sebelumnya, jika sedang rapat sekalipun, Figo akan ijin ke toilet sebentar, untuk mengangkat telepon dari Ervina. Kemana si budak cinta Figo. Apa benar mereka sedang ada masalah, apa tak apa, mereka berantem, di saat beberapa bulan lagi akan menikah. Haruskah Zalfa senang? Atau bersimpatik?

avataravatar
Next chapter