webnovel

Prolog

Ketika orangtua menceritakan tentang tegarnya anak sulung dan rapuhnya anak bungsu, maka izinkan anak kedua untuk menceritakan tentang dirinya yang sudah tahan banting.

.

.

.

.

Menjadi anak tengah adalah takdir bagi Hana. Dipaksa mencontoh sang kakak dan juga harus bisa memberikan contoh yang baik untuk adiknya. 

Ketika kakak dan adiknya selalu dibanggakan oleh orangtuanya, Hana hanya bisa menangis di dalam kamar. Hana sudah melakukan yang dia bisa semaksimal mungkin, namun sayang orangtuanya tidak pernah menghargai itu.

Ketika kakak dan adiknya di ajak berlibur oleh orangtuanya, Hana hanya bisa menjaga rumah seperti babu.

"Hana pingin banget jadi pramugari, Bun. Hana pingin ngajak bunda dan ayah travelling keliling dunia," ungkap gadis yang disapa Hana. Gadis itu kini sedang membantu bundanya memasak. Sedangkan kedua saudaranya sedang tidur nyenyak di pagi hari ini. Bukan hanya sekali atau dua kali saja gadis itu diperlakukan begitu, tapi setiap hari.

"Itu gak mungkin, Hana. Itu hanya mimpi," sahut bundanya yang sedang mengiris cabai dan bawang. Dari dulu bundanya tidak pernah mendukungnya melainkan mengatakan 'itu hanya mimpi'.

Hana menghela napas. "Iya bunda itu mimpi," sahut gadis itu menunduk.

"Mimpi yang akan menjadi kenyataan," gumamnya yang tidak didengar oleh ibunya.

"Kamu itu gak pernah juara kelas seperti kakak dan adik kamu, Hana. Jadi gak mungkin kamu bisa jadi pramugari," ujar bundanya yang diakhiri dengan tawaan meremehkan. Hana hanya menunduk sambil tersenyum pahit.

"Bunda, lauknya udah mateng?" tanya seorang laki-laki yang mengenakan seragam putih abu-abu yang bernama Wira. Wira adalah kakak satu-satunya yang Hana miliki. Wira sedang menempuh semester 4 di SMA Bintang Cahaya.

Bunda alias Vina menoleh ke belakang untuk melihat putra semata wayangnya itu. "Loh, Wira? Tumben hari gini udah rapi?"

"Iya, Bun. Wira ada piket kelas," ujarnya pada Vina. 

"Kamu rajin banget, Nak!" puji Vina tersenyum.

"Lauknya udah belum, Bun?" tanyanya lagi.

"Sebentar lagi mateng kok, Nak!" jawab bunda.

"Bunda! Selamat pagi!" pekik gadis yang berseragam putih-biru, Reisa. Reisa menghampiri Vina lalu mengecup pipi Vina. Reisa kelas delapan SMP.

Vina memeluk Reisa, lalu terkekeh, "Ih kamu nih! Udah sana kalian tunggu di meja makan, gih! Ini biar bunda sama Hana yang urusin," suruh Vina pada Wira dan Reisa sembari menunjuk makanan di atas kompor. Wira dan Reisa segera duduk di atas kursi makan.

Itulah Vina, seorang ibu yang selalu mengorbankan anak keduanya, Hana. Hana merasa, ia selalu dibanding-bandingkan oleh kakak dan adiknya. Dan selalu dijadikan seperti babu oleh bundanya.

Sedangkan Hana hanya melihat dari jarak yang lumayan jauh. Seumur-umur dia belum pernah merasakan seperti yang saudaranya rasakan. Anda Vina tahu, Hana juga ingin di peluk seperti Reisa dan dipuji seperti Wira.

Hana menunduk. "Bunda, Hana belum siap-siap! Bunda aja ya, yang beresin ini! Nanti Hana telat!" ujar Hana menundukkan kepalanya. Entah mengapa ia takut jika harus berbicara pada bundanya itu.

"Bantuin bunda membereskan ini dulu, Hana! Kalo udah selesai, kamu boleh siap-siap!" jawab Vina tegas.

"Kan ada Reisa yang bisa bantu, bunda!"

Vina mulai menatap tajam ke arah Hana. Sedangkan yanh ditatap tajam hanya menunduk. "Dengar, Hana! Kamu itu udah gede, kamu itu udah menjadi kakak buat Reisa. Seharusnya kamu mandiri! Bukan malah nyusahin adikmu!" ujar Vina sedikit membentak.

"Maaf, Bun!" lirih Hana lalu ia membereskan peralatan dapur yang berada di depannya.

"Huh!" Hana menghela napas, lalu menghapus setetes keringat diwajahnya. Inilah rutinitasnya setiap pagi. Disaat saudara-saudarinya tertidur nyenyak dan duduk tenang, Hana menyiapkan sarapan dan membereskan rumah, seperti layaknya pembantu.

Hana menaiki anak tangga dan berjalan ke arah kamarnya. Lalu ia bersiap-siap dengan seragam putih abu-abunya, rambut yang dikuncir satu seperti ekor kuda, juga jangan lupakan rok yang dibawah lutut.

Jam 07:00. Hana membelalakkan matanya kaget saat melihat jam dinding di kamarnya. Ia lari turun ke bawah. Saat ia melewati meja makan, disana tidak ada lagi kakaknya maupun adiknya.

"Bunda, kak Wira udah pergi?" tanyaku pada Bunda yang sedang berbincang pada ayah.

Vina menoleh. "Udah! Kamu tadi ditungguin, tapi lama!" sahut Vina lalu menoleh kembali pada Hardi, ayah Hana. Seorang pria yang memakai baju kantor sambil menikmati sarapannya.

Hana menghanpiri ayah dan bundanya yang sedang berbincang. "Ayah, Bunda, Hana pamit!" pamit Hana sembari menyalim tangan orang tuanya.

"Kamu gak sarapan?" tanya Hardi.

Hana menggeleng. "Enggak ayah, nanti Hana telat!" jawabnya dan ditanggapi anggukan oleh ayahnya. 

Hana terus berlari keluar pekarangan rumahnya. Ia menghambat angkot yang kebetulan melewati sekolahnya. 

Ia bernapas lega saat ia sudah mendapatkan kendaraan. Ia menoleh ke arah jam tangannya, ternyata sudah jam 07:05. Ia membutuhkan waktu 15 menit untuk sampai ke sekolah. Pas sekali ia bel berbunyi jam 07:20.

Tinn! Tinnn!

Bunyi klakson menggema dijalan raya. Ya, kini keadaan sedang macat. Padahal kurang lebih 200 m lagi ia akan sampai sekolah.

Hana menoleh ke jam yang melekat ditangannya. "Kayaknya macetnya panjang!" gumamnya dan tak habis pikir ia turun dari angkot, tidak lupa membayar ongkosnya, lalu berlari di pinggir jalan raya yang ramai.

Hana ngos-ngosan sambil menekuk kakinya berlutut saat sudah berada di depan gerbang sekolahnya, SMA Bintang Cahaya.

"Jam berapa sekarang?" tanya seorang laki-laki beralmamater kuning berlogo osis itu, Fahri. Fahri termasuk cowok dingin dan datar. Fahri adalah cowok yang Hana suka sejak ia masuk sekolah. Hana tidak berani mengungkapnya, ia hanya memendam perasaan ini. Karena dengan memendam, Hana tak menemukan sebuah penolakan.

Hana menoleh ke jam tangannya. "J-jam tujuh lewat dua puluh lima, Kak!" jawabnya gugup.

"Terus?" Hana menunduk. 

"Ck!" Fahri berdecak. "Keliling lapangan lima kali!" perintah Fahri tegas sambil menunjuk ke arah lapangan. 

Hana melototkan mata tidak percaya. "Tapi kak-"

Fahri memejamkan matanya sekejap. "Keliling!" sentak Fahri dan tangannya tak lepas menunjuk lapangan.

Sedangkan Hana sudah berlari kecil ke arah lapangan. Rasanya ia ingin tenggelam di air saja. Bagaimana tidak? Lapangan sekolahnya sangat luas dan ia diperintah untuk lari lima kali keliling lapangan.

Hana mulai mendaratkan kakinya untuk memulai hukumannya. Banyak pasang mata yang melihatnya sambil menatapnya remeh.

'Hadeh si culun!

'Biasanya orang culun itu pinter, rajin! Ini mah kebalikannya!'

Ya, emang Hana selalu menjadi bahan bullyan disekolahnya. Karena apa? Karena ia berpakaian dengan rambut dikuncir satu, baju yang lumayan besar dan rok dibawah lulut. Padahal Hana termasuk berpenamilan yang biasa-biasa saja, sederhana, tapi ntah mengapa teman sekolahnya selalu membullynya karena penampilan. Penampilan Hana berbeda dengan bicaranya. Hana bicara sama layaknya dengan siswa-siswi normal di SMA ini. 

Tinggal satu kali putaran lagi, Hana sudah tak sanggup. Jantungnya berdetak lebih cepat. Tiba-tiba kepalanya terasa pusing, penglihatannya mengabur, dan akhirnya ia tidak merasakan apa-apa lagi.

"Hahaha si culun lemah! Cuma dihukum gitu aja ambruk!" ujar seorang cowok yang melintasi tubuh Hana yang terjatuh. Bukannya membantu, cowok itu malah pergi begitu saja. Lelaki itu bernama Naufal, teman dari Wira.

"Kak Fahri! Si culun pingsan!" teriak seorang cewek yang sedang melihat Hana tergeletak tidak berdaya. Tak lama kemudian, Fahri datang berlari ke arah Hana. Disekeliling Hana juga sudah banyak orang yang berkerumun melihatnya. Hanya melihatnya, tanpa membantunya.

Fahri menghela napas kasar, lalu mengangkat tubuh Hana begitu saja.

"Kak biar aku bantu!" pekik salah satu murid. Namun Fahri tak menggubrisnya. Fahri kesal pada mereka, bukannya menolong Hana malah melihatinya yang tergeletak.

Fahri berjalan menelusuri koridor sambil membawa Hana. Banyak perempuan yang melihat sinis ke arah Hana yang digendong Fahri. Mungkin mereka iri karena Fahri menggendong Hana.

Fahri merebahkan badan Hana di brankar UKS. Tanpa sengaja Fahri menatap wajah Hana.

"Cantik," gumamnya tanpa sadar. 

Fahri mengerjapkan matanya saat sadar apa yang ia katakan pada gadis yang sedang memejamkan matanya tak berdaya.

"Enghh!" Hana mengerang. Ia mencoba membuka matanya dan menampilkn langit-langit ruangan UKS.

"Huh! Sadar juga!" gumam Fahri setelah melihat Hana yang sudah membuka matanya.

Sedangkan Hana mengerutkan dahinya ketika mendengar pelan gumaman Fahri. "Lo tadi pingsan!" tutur Fahri dingin tak berekspresi.

Jantung Hana berdebar kala Fahri mengucapkan sesuatu. Walaupun Fahri dingin dan datar, Hana masih tetap mengaguminya. Malahan sikap Fahri yang datar itu lah yang membuat Hana makin kagum padanya.

Hana bingung ingin mengatakan apa. "M-makasih k-kak!" ujar Hana akhirnya walaupun gugup. Hana berusaha mendudukkan tubuhnya yang lemah dari tidurnya. Hana meringis saat salah satu tulangnya berbunyi saat ia ingin bangkit.

"Eh hati-hati!" ujar Fahri terkejut saat melihat Hana yang sedang merasakan sakit. Sedangkan Hana melongo saat Fahri mendadak mengatakan perkataan tersebut. Jarang sekali seorang ketua osisnya itu berkata sambil berekspresi, bahkan tidak pernah.

Hana tersenyum kikuk. "Eh, iya kak. Makasih!" ujarnya.

"Lo tunggu di sini dulu!" titah Fahri yang dituruti oleh Hana. 

Fahri pergi begitu saja dari hadapan Hana. Hana tidak tahu ketua osisnya itu akan pergi kemana.

****

Cklek!

Pintu terbuka menampilkan Fahri dengan sekantong kresek ditangannya. "Lo makan! Gue balik ke kelas!" ujar Fahri sambil memberikan sekantong kresek pada Hana.

"Makasih ya, Kak!" ujar Hana sambil tersenyum ke arah Fahri.

"Hmm." Lalu Fahri pergi.

Dibawa terbang oleh ekspetasi, dibawa mundur oleh logika, dipaksa bertahan oleh perasaan, dicekik oleh kenyataan.

Hana membuka sekantong kresek yang Fahri berikan tadi. Ternyata isinya bubur. Dengan segera, ia memakannya.

Fahri, pria tampan yang Hana sukai. Ia kakak kelas Hana. Hana sedang menduduki kelas sepuluh, sedangkan Fahri kelas sebelas. Namun sayang, Hana tidak berani mengungkapkannya. Dan juga saingan Hana sangat banyak. Bahkan penampilan saingan Hana jauh lebih ngetrend daripada penampilan Hana yang polos. Ia jadi sering berpikir, mana mungkin Fahri membalas perasaannya.