2 Taman Kota

...

Pagi sudah menyapa. Semburat cahaya mengkilap nampak jelas diantara celah-celah jendela. Mentari kini berbahagia, menebar senyum dan kehangatan untuk semua makhluk di seluruh dunia.

Sesosok lelaki terduduk di depan salah satu rumah berwarna hijau. Tampilannya begitu rapi dan wangi. Cahaya yang tersirat dari wajahnya begitu indah dan sangat tampan. Bahkan tak sedikit dari orang-orang yang berlalu lalang di jalanan depan terkesima melihat lelaki itu.

Sementara dibalik semuanya. Seorang wanita sudah bersiap menuju depan pintu. Tampilannya natural, tanpa makeup dengan paduan warna bajunya yang tak mencolok. Warna abu, kerudung abu, dan sepasang sepatu berwarna abu garis-garis putih di sisinya. Wanita itu sungguh ceria, apalagi ketika melihat orang yang ditunggunya sudah berada di luar pintu.

"Assalamualaikum." Sapa lelaki itu dengan hangat dan tak lupa tersenyum.

"Waalaikumussalam." Wanita di hadapannya balas tersenyum sembari membenarkan tali sepatu kanannya yang tiba-tiba terlepas.

"Nah." Kemudian ia berdiri dan kembali merapikan kerudungnya di depan kaca jendela.

"Gimana, udah siap?" Tanya wanita yang bernama Reine setelahnya.

"Sudah."

"Mari."

Suasana tak terlalu pagi. Tetapi jalanan nampak sepi. Mereka berjalan menyusuri sudut kota. Mencari beberapa sisi yang akan dijadikan sebagai tempat berfoto.

Benar. Mereka berjalan pagi itu hanya untuk berfoto. Bukan apa-apa, mereka malas melakukannya jika bukan sebuah tugas dari guru. Dua hari yang lalu, guru di sekolahnya memerintahkan kepada Alif dan Reine untuk berfoto di tempat yang indah, asri, sejuk dan tentunya hijau. Kemudian foto mereka nantinya akan dijadikan pajangan di Mading sekolahnya, dengan tertera di atasnya sebagai julukan 'Duta Hijau'.

Ya, beberapa hari yang lalu mereka terpilih sebagai Duta Hijau. Gelar itu memang terlihat biasa saja. Tetapi, di sekolahnya gelar Duta Hijau adalah gelar paling tinggi yang tak bisa semua orang dapatkan. Karna jika terpilih, orang itu bisa dijadikan tetua lingkungan. Seperti membentuk beberapa organisasi pecinta alam, menciptakan teknik-teknik budidaya terbaru, mengadakan kegiatan penanaman di sekitar sekolah, penghijauan di hutan gundul, dan sebagainya. Begitu sekiranya tugas mereka. Terlihat rumit namun menyenangkan.

Tempat yang mereka datangi sudah tidak terlalu sepi lagi, beberapa orang bahkan hilir mudik di depannya. Sepertinya tempat itu memang cocok untuk dijadikan latar mereka berfoto. Sejuk, indah dan tentunya enak dipandang.

Selang beberapa menit mereka menunggu, seorang lelaki datang menghampiri mereka dengan kamera ditangannya. Si tukang foto sangat setuju dengan latar yang mereka singgahi kala itu. Sangat cocok dan pas dengan temanya. Kemudian, tanpa ba-bi-bu lagi, ketiganya segera melakukan kegiatan berfoto.

Sudah pukul 08.00. Cuaca masih hangat. Mentari masih menampakan kebahagiaannya. Begitu pula orang-orang sudah banyak pergi ke sekolah atau mungkin ke tempat pekerjaannya dengan semangat. Senyum keceriaan mereka terlihat pada wajahnya yang bersih dan rapi. Tidak kusut seperti habis bangun tidur.

Sementara itu, tempat yang Alif dan Reine jadikan spot foto tadi, mulai ramai dengan kedatangan para pengunjung. Bahkan ada sebagian pengunjung dari luar kota, hal itu dapat dilihat dari logat bahasanya yang medok dan tampilannya yang berbeda dari warga disekitarnya. Mereka tampak antusias dengan keindahan alam kota Bandung yang memang menyegarkan pandangan.

Bahkan, tak sedikit juga dari anak-anak mereka yang sampai guling-gulingan dirumput, ketawa-ketiwi, lari sana-sini, kejar-kejaran, dan lain-lain. Menyenangkan sekali!

Tanpa disadari ternyata Alif begitu menikmati suasana di depan mereka. Keduanya membisu dalam kebahagiaan.

Seperti mengkhayalkan sesuatu yang dapat membuat mereka terdiam. Bahkan sejurusnya senyuman kecil terlihat di ujung bibir lelaki tampan itu.

"Alif, kamu mikirin apa?" Pertanyaan Reine membuat Alif semakin merekahkan senyumannya. Dia sedikit menoleh kepada Reine lalu kembali pada lamunannya.

"Gapapa, suasana ini begitu indah. Aku jadi teringat masa kecil." Dengan tawa kecil, Alif menjawabnya.

"Iya, aku juga jadi inget pas kecil. Suka lari-larian di sini." Mata Reine berbinar, seperti mengingat masa-masanya dulu. Ia tersenyum kemudian menatap Alif.

"Kamu tau ga?"

"Apa?"

"Dulu tempat ini masih rindang. Banyak pohon tinggi di mana-mana. Berserakan juga. Jaraknya deketan lagi.

Belum rapi kaya sekarang. Jadi kalo hujan gede, pasti ada beberapa pohon yang tumbang. Untungnya gak sampe ada yang meninggal ketimpa pohon." Reine menambahkan. Lalu menunjuk satu sudut yang tak terlalu jauh dari tempatnya duduk. "Nah dulu tempat itu asalnya kolam ikan, ikannya gede-gede. Aku sama ayah suka mancing di sana. Pernah dapet ikan nila, geeede banget. Sampe-sampe aku gak mau ngasih ikan itu ke siapapun. Pas udah digoreng, aku makan sendiri. Ehh tapi gak abis karna kekenyangan. Hahaha."

Mereka kemudian tertawa bersama. Menikmati obrolan kecil ditambah kehadiran semilir angin yang kian membelai jiwa masing-masing.

"Kenapa ya tempat ini jadi diubah. Padahal lebih nyaman yang dulu. Aku yakin kalo kamu bisa masuk ke masa lalu kaya Doraemon, pasti kamu gak mau pulang. Rela-relain bolos sekolah biar bisa ke sini. Iya gak?"

Alif tersenyum lebar. "Gak segitunya kali."

Setelah puas bercengkrama, mereka memutuskan pergi dari tempat. Sudah banyak pula turis lokal yang datang. Pikirnya, mereka bisa datang ke tempat ini kapan saja. Tanpa mengganggu beberapa orang yang berswafoto ria.

Ketika berjalan, Alif sedikit berbisik kepada Reine. Katanya, dia melihat seorang kakek sedang duduk di sebrang sana. Kakek itu sepertinya kelelahan. Berteduh di bawah pohon sambil mengipas-ngipaskan topi di wajahnya. Tubuhnya kurus kering, tanpa pakaian atas hingga tulang rusuknya kelihatan. Alif yang memang berempati dengan kakek itu, segera membeli nasi kuning bungkus dan sebotol air minum di dekat ia berdiri, kemudian menghampiri si kakek.

"Assalamualaikum kek."

"Waalaikumussalam." Jawab kakek itu dengan suara parau. Wajahnya sedikit memperhatikan Alif dan Reine dengan baik, kemudian tersenyum dan mempersilakan mereka untuk ikut gabung bersamanya.

Selidik punya selidik, ternyata kakek itu bernama Wijaya. Pergi ke Bandung untuk menemui seseorang. Sudah tiga hari bersama hari ini mencari, namun belum bertemu.

Kata beliau, cukup disebut Abah saja untuk memanggilnya.

Abah seorang kakek yang baik, ramah dan santun. Beliau sangat berterimakasih kepada Alif karena ia telah membelikannya nasi kuning. Walaupun seadanya, Alif bisa melihat raut kebahagiaan diwajah Abah. Ditambah dengan do'a-do'a yang keluar dari mulut Abah untuk mereka, membuat Alif semakin bahagia melihatnya.

Hanya nasi, sambal tanpa terasi, telur dadar yang diiris tipis, tumis bihun, balado telur dan kerupuk udang, Abah memakannya dengan lahap. Sepertinya Abah memang lapar. Kata beliau, selama tiga hari ia tidak makan. Setelah sampai di Bandung kala itu, beberapa lembar rupiah yang ada di dompetnya hilang ketika tidur di Masjid. Menyisakan uang 5000, hanya cukup untuk membeli sebotol air minum saja, tanpa roti ataupun cemilan lainnya. Lagi pun, air itu sudah habis dalam waktu beberapa menit.

Bahkan, untuk tidur saja, Abah mencari Masjid terdekat ketika beliau sudah lelah berjalan. Lalu meminta kepada pengurus Masjid untuk memberikannya segelas air minum. Dan ini adalah hari ketiganya Abah mencari seseorang itu. Seseorang yang sepertinya sangat Abah sayangi, karena beliau bercerita tentangnya sembari menitikkan air mata.

"Bah, bagaimana kalau sementara waktu ini Abah tinggal di rumah saya?" Ucap Alif tiba-tiba yang membuat Reine dan Abah terkejut. "Sambil nyari orang yang Abah cari, Abah bisa tinggal di rumah saya. Nanti saya dan teman saya, Reine akan bantu cari. Lagi pula saya sendiri di rumah, orangtua saya pulang nanti Minggu depan."

Alif memang seperti itu. Sosoknya begitu lembut dan ramah. Mudah simpati, dan empati kepada orang lain. Apalagi kepada orang-orang yang memang terlihat perlu ditolong, Alif akan membantunya selagi ia mampu.

Sementara itu, Reine hanya terdiam. Raut wajahnya seperti mengisyaratkan kepada Abah agar mempercayai mereka untuk menolongnya.

Abah nampak ragu, butuh beberapa menit ia berfikir, kemudian tersenyum.

"Kalian sungguh anak-anak yang baik. Abah baru menemukan orang seperti kalian di sini. Tapi sepertinya Abah tidak bisa. Abah harus mencari cucu Abah."

"Ohh ternyata orang yang Abah cari itu cucu Abah?" Tanya Reine sejurusnya yang sedari tadi hanya mendengarkan Abah dan Alif berbicara.

"Iya."

Ketika mentari yang indah tadi berubah menjadi awan mendung, Abah bersiap pergi dari tempat. Nasi kuning yang ia makan tadi dibungkus lagi untuk nanti makan siang. Beliau mengucapkan terimakasih sebanyak-banyaknya kepada Alif dan Reine karna telah menolongnya. Setelah pamit, Abah kemudian pergi meninggalkan mereka.

Mungkin sudah berjarak 50 meter dari tempatnya berteduh tadi, Abah tiba-tiba jatuh sambil meringis menahan sakit di kakinya. Alif yang memang belum beranjak dari tempat, segera berlari menemui Abah dan menolongnya.

Abah terlihat lemas. Tangannya terus memegangi kaki kanannya yang sedikit bengkak. Abah baru ingat, ia tidak boleh makan telur. Tadi di nasi kuning itu ada masakan berbahan dasar telur dan Abah malah memakannya. Kakinya pun kumat, bengkak dan terasa sakit. Alif meminta maaf dengan ekspresi yang ketakutan. Ia takut, kalau-kalau Abah sakit karena kecerobohannya.

Alif juga tidak tahu kalau Abah tak suka telur, kalau pun tahu, mungkin Alif akan menggantinya dengan masakan lain. Kini wajahnya dipenuhi kecemasan yang luar biasa. Tangannya gemetar ketika membereskan isi tas Abah yang berserakan di mana-mana. Sementara itu, Reine menenangkan Abah dan memberinya minum. Meluruskan kakinya dan memijitnya pelan.

"Sudah, Abah tinggal di rumah saya saja." Ucap Alif dengan rasa khawatir.

Reine ikut membujuk, Abah yang memang lemas dan tidak bisa berbuat apa-apa, hanya mengangguk menyetujui permintaannya. Keduanya seketika tersenyum dan segera membopong Abah ke rumah Alif.

...

avataravatar
Next chapter