1 Jalan Berliku

Terdengar seorang Wanita bersenandung kecil dia sedang menyulam sebuah sweter hangat untuk seseorang. Sesekali dia menggoyangkan kursi goyangnya ke depan dan ke belakang. Suara nyaring terdengar diudara menjelaskan ada seseorang yang dengan sengaja menembak.

Wanita itu segera bangkit, mencari tahu ada kejadian apa diluar sana. Perlahan dia mendekatkan matanya ke jendela dan mendapati kekacauan diluar sana. Teriakan histeris dan tembakkan beruntun mengumandang ke seantero Kota. Wanita tersebut berlari menuju ke kamarnya, melipat permadani cokelat pastel yang menghalangi sesuatu dibaliknya.

Sebuah pintu kayu terlihat jelas di sana Wanita itu membuka pintu, menuruni beberapa anak tangga lalu menutupnya kembali. Langkah kaki terdengar diruang bawah tanah, membuat seorang anak Laki-laki segera berdiri bersiap untuk bersembunyi.

"Tenanglah. Ini aku" kata Wanita itu, ketika melihat anak Laki-lakinya bergegas untuk sembunyi. Sang anak menghambur memeluk sang Ibu erat.

"Jika suatu saat nanti Mom tidak pernah turun kemari lagi, berjanjilah kau akan tetap berjuang untuk bertahan hidup. Keluar ketika malam tiba, perhatikan jamnya. Ingat...keluarlah jam sepuluh malam. Cari apa pun yang dapat membuatmu tetap hidup lalu kembali kemari secepatnya. Mengerti?" kata sang Ibu dengan wajah penuh kecemasan bahkan tangannya gemetaran ketika menggenggam kedua bahu sang Putra tercinta.

"mengapa Mom tidak kembali? Jangan berencana untuk mati" Putranya segera menggapai tangan kanan sang Ibu kemudian menggenggam erat tangan itu.

"Jika ada yang turun kemari setelah ini, jangan pernah keluar dari tempat persembunyianmu. Keluarlah jika pagi telah tiba. Hanya, ketika pagi telah tiba" instruksi sang Ibu lalu mendorong Putranya untuk bersembunyi. dia berlari kearah anak tangga tetapi berhenti sejenak dan berbalik.

"Mom menyayangimu Lucky...semoga Tuhan menjagamu" katanya lirih kemudian berlari keluar dari ruang bawah tanah. dia bergegas menutup kembali pintu kayu, menimpa pintu dengan permadani cokelat pastel. Bahkan dia kini berjuang menggeser tempat tidur agar tidak terlihat mencurigakan.

Dooor!!

Suara letusan peluru terdengar!! Wanita itu mengejang, dan jatuh telungkup dilantai. Pelipisnya yang bersih kini mengucurkan banyak darah segar bahkan hingga merembes ke lantai.

"Ja-Jangan!!" teriak seorang Pemuda dengan napas terengah-engah.

Seseorang menatapnya tenang lalu melepaskan kacamata dan diletakkannya di atas meja kecil tak jauh dari tempatnya duduk.

"Bagaimana perasaanmu? Apa kau masih tidak bisa membedakan, siapa Mommu?" tanya sang Psikolog sambil menutup lembaran file berisi seluruh data rangkaian tahapan demi tahapan Hypnotherapy, yang telah dijalani sang Pasien selama sebulan penuh. Sang Pasien mengusap kasar wajahnya dengan kedua telapak tangannya.

"Ini membuatku jauh lebih baik dari dua minggu yang lalu. Di dunia ini, Momku Veronica dan entah siapa yang selalu datang ke dalam mimpi burukku itu. Karena dia...terlalu nyata untuk menjadi sebuah mimpi. Seolah...anak itu adalah aku" jawab Pria muda tersebut sambil memeluk kedua lututnya putus asa.

Sang Ibu Veronica berjalan mendekat, memilih duduk disamping sang Putra, lalu menepuk lembut bahu Putranya. Ragu...mata Pria muda itu, menatap ragu pada sang Psikiater.

"Biarkan aku membantumu Theo. Ijinkan aku mendengarkan apa saja yang mengusikmu, agar aku bisa menyingkirkan masalahmu" sahut Oliver Kelz menyadari pandangan ragu-ragu Pasiennya ketika dia menghabiskan beberapa teguk teh hijau.

"Ada yang aneh. mengapa mimpi burukku selalu datang dengan kejadian yang sama? Anehnya setiap pengulangan, di akhir kisah itu....selalu ada suara-suara yang berbeda tetapi aku selalu gagal menangkap suara apa saja itu?" Theodor Rulf menggelengkan kepala untuk menghilangkan pikiran ruwetnya.

"Jadi maksudmu ini bukan sekadar mimpi? Itu semacam tayangan film berepisode?" Oliver mengernyitkan kening mencoba menganalisa apa sebenarnya yang terjadi pada Pasien itu?

"Hmmm, bagaimana dengan gangguan tidurmu? Masihkah ada?" tambah Oliver menatap serius pada Theo. Sang Pasien mengangguk sambil menyandarkan punggung ke tempat tidur.

"Kurasa kau harus berlibur selama seminggu dari rutinitasmu Theo. Lalu pergilah ke suatu tempat yang mampu mengalihkan pikiran dan perhatianmu. Bagaimana dengan tempat rekreasi? Kau bisa berkunjung dengan teman atau keluarga. Setelah itu, mari kita lihat bersama hasilnya"

"Mereka tidak akan mengizinkan hal semacam itu. Jika aku tidak ingin mengulang kuliah dari awal, maka aku harus puas, dengan berlibur tiga hari saja"

"Manfaatkan tiga hari itu dengan melakukan banyak hal menyenangkan. Ah, baiklah terapi hari ini kurasa sudah cukup" pamit Oliver,menyalami Nyonya Veronica, yang langsung menuju pintu kamar Putranya untuk membukakan pintu.

Oliver berjalan mendekati Theo memberi sebuah pelukan persahabatan sambil membisikkan sesuatu.

"Kunci dari keberhasilan terapi ini ada ditanganmu sekarang. Kau tidak boleh menarik diri dari kenyataan. Justru kau harus menguatkan diri untuk, mengetahui kelanjutan dari mimpi itu. Lakukanlah perlahan" tegas Oliver sambil tersenyum pada Theo.

Pria muda bernama Theo hanya mengangguk sambil menatap kepergian sang Psikiater dari kamar. Theo melangkah menuju meja di mana sebuah laptop berada.

Berlibur...bukanlah ide buruk pikirnya. Theo segera mencari tempat menyenangkan untuk dikunjungi.

"Lakukan apa kata Oliver. Ini hadiah dari Mom dan Dad. Karena minggu depan, Putra kami yang tampan akan berulang tahun, bagaimana jika kau, merayakannya bersama teman dekatmu? Beri mereka pengalaman liburan yang tak terlupakan" kata Nyonya Veronica mengelus kepala Theo lembut.

"Apa Mom serius? Aku benar bisa melakukannya?!" terlihat raut wajah cerah tanpa beban pada ekspresi Theo saat ini membuat sang Ibu merasa inilah keputusan terbaik untuk Putranya. Theo segera menelepon seluruh teman dekatnya, meminta kesediaan mereka bergabung dihari bahagianya.

"Benarkah?! Wow..., kau mengejutkanku dengan undangan hebat ini. Bagaimana yang lainnya?! Jangan ada yang menolak kumohon...," seru Arletha dalam grup video call.

"Apa kau gila, menolak liburan gratis? Hey, kita sedang beruntung" kekeh Kabil mengulas senyum.

"mengapa kalian meributkan hal tidak penting? Pikirkan saja, ke mana kita akan bersenang-senang?" potong Nauctha dengan suara cempreng protes. Mendengar itu, ekspresi semua orang mendadak sangat berminat.

"Kita pergi keluar kota. Ayolah, ini liburan panjang...," Lucas sepertinya sedang merencanakan sesuatu.

"Hey, aku yang berulang tahun, biarkan aku memilih tujuan petualangan kita ini" potong Theodor pura-pura kesal.

"Honey..., tetapi aku ingin pergi ke suatu tempat. Ya, aku tahu kau yang seharusnya memutuskan. Bolehkan kita, pergi ke Tovkla Water Park?" rengek Nauctha memanfaatkan status sebagai kekasih si empunya acara.

Theo hanya tersenyum lalu menunjukkan sebuah situs yang dia jelajahi baru saja. dia memperlihatkan sesuatu dalam laptopnya.

"Wah..., apa kalian sedang mengumumkan bahwa kalianlah pasangan sehati di sini?" sindir Zack berdecih geli ketika melihat ternyata Theo juga memikirkan hal yang sama dengan Nauctha. Semua orang tertawa hari itu merayakan akan datangnya liburan panjang.

Tak terasa malam pun tiba Theo tertidur lelap setelah mengobrol selama berjam-jam. Mimpi itu datang kembali.

Door !!

Lagi-lagi Wanita dalam mimpi jatuh telungkup bersimbah darah. Seorang Pria mengenakan topi biru, berjaket biru laut, bersepatu nike merah tua, sedang memerhatikan dengan saksama apakah Wanita itu benar-banar sudah mati? Theo tak mampu melihat wajah si pelaku penembakan tersebut.

Pria pembunuh ini berjalan mengelilingi isi rumah, memasuki setiap ruangan, mencari seseorang bahkan sesuatu. dia mengobrak abrik segalanya. Pria gila itu berjongkok melongok ke bawah kolong tempat tidur. Tidak ada apa pun di sana kecuali sebuah cincin emas. Tentu saja Pria serakah tersebut, sangat tertarik dia mencoba menggapai cincin.

Jemari tangannya merasakan sesuatu!! dia segera menggeser tempat tidur tersebut, lalu membuka karpet cokelat pastel.

Dor!!

Suara letusan peluru kembali terdengar, kini giliran Pria misterius itulah, yang mati ditembak. Si penembak kedua pun tak terlihat wajahnya. Yang jelas, bentuk tubuhnya jelas mengindikasikan bahwa dia seorang Wanita. Wanita penembak tersebut melihat kenop pintu rahasia. Tanpa ragu dibukanya pintu itu.

Tap

Tap

Tap

Suara langkah kaki, menuju ruang bawah tanah. Lucky mengingat pesan sang Ibu maka, dia berusaha bersembunyi di pojok ruangan tergelap, menyusup di sela-sela celah barang rongsokan milik sang Ayah.

Wanita itu memutuskan, tak jadi turun kebawah, tanpa menutup pintu rahasia dan ternyata, sosoknya kembali terlihat dengan tanpa ragu, menuruni tiap anak tangga hingga, ke dasar hanya dalam beberapa menit saja. Lucky hampir saja berteriak, ketika Wanita tersebut mengguyurkan dua galon minyak tanah, hingga membasahi seluruh ruang bawah tanah bahkan, Lucky terkena percikan minyak tanah.

Dengan sesantai mungkin Wanita tersebut berjalan berlenggak-lenggok menuju anak tangga setelah puas, menghabiskan dua galon minyak.

"Untuk anak seusiamu kau, cukup tangguh. Bahkan kau tak bersuara sedikit pun" kata Wanita itu sambil menyalakan korek api gas, kemudian melemparkannya ke atas minyak tanah yang menggenang dilantai.

"Tetaplah diam di sana, sebentar lagi kau akan menyusul Mommu" tambah Wanita keji ini, sambil berjalan meninggalkan ruang bawah tanah.

Lucky terjebak!! dia terbatuk cukup lama, mencoba menghirup oksigen tetapi, dia semakin terbatuk karena asap. Lucky berlari menuju kotak kardus dibelakangnya. dia merangkak masuk ke dalam kardus merangkak terus ke dalam, dan semakin dalam. Perlahan Lucky melihat cahaya matahari menyilaukan mata.

dia berusaha beradaptasi sejenak, lalu membuka kedua matanya lagi, keluar dari rumah yang terbakar. dia berjalan terseok-seok, merasakan paru-parunya menjerit minta oksigen sebanyak mungkin. Lucky mendengar langkah kaki seseorang di belakang.

Sial!! Theo hanya dapat melihat ekspresi ketakutan di wajah Lucky. Anak itu berlari dengan tenaga yang tersisa. Lucky jatuh ke tanah!! Semua menjadi terlihat gelap dan sesak!! Theo mendengar sangat jelas suara Lucky yang sedang tercekik oleh seseorang.

Tidak!! Theo pun merasakan lehernya tercekik kuat. Theo membuka mata, dengan napas tersengal sambil meraba lehernya. Di atas tubuhnya, dia melihat Oliver berteriak sambil mengguncangkan kedua bahu Theo. Oliver baru turun dari atas tempat tidur Theo, hanya setelah melihat Pria muda itu, mulai dapat bernafas normal kembali.

Oliver menyodorkan segelas air mineral menatap khawatir.

"Kau memimpikan hal yang sama lagi? Bukankah itu seperti kau, sedang menonton berita siaran ulang? Lalu mengapa kau masih kaget, padahal kau tahu apa yang akan terjadi selanjutnya?!" desak Oliver meminta penjelasan.

"Itu...berlanjut. Mimpiku berlanjut"

"Apa kau masih sanggup menceritakan kejadian yang kau lihat selanjutnya?" pertanyaan Oliver disambut hembusan napas berat Theo.

"Tidak masalah. Kau tak harus mengatakannya sekarang. tetapi mulai sekarang, saat kau tidur, harus ada yang mengawasimu. Nyawamu, bisa melayang, kapan saja hanya karena sulit bernafas" Oliver memberi penekanan intonasi memahami keadaan Theo sekarang.

Seminggu telah berlalu Theo dan kawan-kawan berkumpul di rumah Theo. Mereka bersiap pergi berlibur mengendarai dua mobil pribadi. Theo berpamitan kepada kedua orang tuanya entah mengapa, dia ingin sebuah pelukan yang lebih... lama dari biasanya. Theo mencoba untuk berpikiran positif toh, dia pergi bukan ke medan perang tetapi pergi berlibur seharusnya dia bergembira terlebih lagi, ditemani oleh sahabat dekatnya sekaligus kekasihnya. Mobil mereka melaju mulus bahkan kini Theo merasa lebih santai.

"mengapa kau justru memisahkan diri dari Nauctha? Apa kalian bertengkar?" selidik Zack merasakan kejanggalan pada sikap Theo kali ini.

"Kalian pernah melihatku bertengkar dengannya sekali saja?" Theo bertanya balik lalu dibalas ketiga sahabatnya dengan mengangkat bahu mereka ke atas.

"Aku hanya tidak ingin Nauctha melihat kebiasaan burukku saat tidur" tandas Theo hampir terdengar seolah sedang bergumam.

Selama 4 jam, mereka terus memacu kendaraan dengan kecepatan penuh. tetapi, terpaksa mereka kurangi karena tiba-tiba muncul kabut asap, yang sangat pekat. Dua mobil itu segera menghentikan laju. Theo turun dari mobil, dan mengetuk mobil yang dinaiki kekasihnya.

"Sebaiknya kita hentikan dahulu perjalanan. Jangan menanggung risiko nanti bukannya kita bersenang-senang malah celaka".

"Bagaimana jika kita ubah saja tempatnya? Ku dengar ada Water Park di kota kita yang tidak kalah seru dari tujuan pertama kita. Bagaimana?" tawar Arletha Beam memberi penawaran. Arletha segera berselancar di dunia maya, mencari tujuan alternatif keduanya.

"Winter Water Park...lihat kan, tampak sangat menyenangkan untuk dikunjungi" seru Arletha sangat antusias.

"Coba ku tanyakan dahulu pada yang lainnya? Jika kalian mendengar bunyi klakson kami dua kali artinya, tidak dan satu kali artinya, iya" senyum Theo sambil mengerling pada Nauctha.

Theo kembali ke mobil, menunjukkan betapa menariknya Winter Water Park lalu langsung disetujui semuanya. Zack tanpa ragu membunyikan klakson satu kali. Perlahan, kabut asap tebal makin menipis dan menghilang tanpa bekas. Mereka bersorak dan melaju dengan bantuan Google map.

"Eh, apa ada masalah dengan jaringannya?" Zack mengerutkan kening.

"Ada masalah?" Theo mulai penasaran.

"Oy, setahuku Winter Water Park tidak sejauh ini. mengapa kita harus melalui daerah ini?" bingung Zack. Jelas ini masalah mereka tidak pergi ke luar kota tujuan mereka sekarang di dalam kota. Jadi seharusnya, mereka justru melewati jalan raya besar. Bukan...jalan sempit berkelok seperti akan naik ke pegunungan.

Zack menghentikan laju mobil diikuti mobil dibelakangnya. Nauctha Jemma turun dari mobil mengetuk mobil yang ditumpangi Theo.

"Ini jalan alternatif terdekat, atau kita sedang tersesat Zack?" tanya Nauctha sambil melihat suasana sekitar. Sepi...teramat sangat sepi.

"Aku hanya mengikuti arahan dari navigasi Google map." Gerutu Zack lalu berusaha mengeset ulang arah tujuan, dan lokasi mereka berada.

"Menurut Google ini jalan alternatif yang tepat"

"Jalan Alternatif terpanjang yang pernah ada" desis Kabil Hanan.

"Kita ikuti saja arahannya daripada semakin tersesat. Justru, aku tidak pernah merasa...pernah melewati tempat ini. Bahkan sepertinya tempat ini seharusnya tidak ada di Ibu kota kitakan?" Casandra Huibert menimpali.

Akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti setiap arahan petunjuk jalan dari Google map padahal, ponsel seluruh orang tersebut sedang dalam kendali makhluk tak kasat mata. Dan mereka...belum menyadarinya.

avataravatar
Next chapter