3 Ch. 03 - Prometeus, Tekad Api yang Tak Akan Padam

"Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Kau tidak perlu sampai menjadi sepertiku."

"Hanya saja keteguhan hatimu itu menunjukkan seberapa kuatnya dirimu. Aku sangat mengagumi dirimu yang seperti ini."

Itulah alasan sebenarnya Miu memandang seseorang bukan dari apa yang orang lain bicarakan tentangnya. Miu ingin memahaminya lalu belajar darinya yang telah melalui cobaan berat itu.

Miu ingin menjadi sekuat pemuda itu.

"Orang sepertiku tak pantas untuk dikagumi. Aku lah yang seharusnya banyak belajar darimu."

Menolak anggapan Miu tentangnya, Reita membuat Miu akhirnya memandang ke arahnya. Nampak raut wajah kesedihan yang membekas kuat di wajahnya.

Lalu gadis itu berujar dengan sendu.

"Aku ini bukan apa-apa. Aku ini hanya pecundang yang lari dengan membawa nama kedua orang tuaku. Merekalah... merekalah orang hebat itu."

Terdiam sesaat Reita mencerna setiap perkataannya. Hanya dengan menatap wajahnya Reita tak bisa berhenti berpikir bahwa gadis itu juga tengah tersiksa dengan perasaannya.

Tanpa sadar Reita teringat marga keluarga Miu.

"Pahlawan yang berhasil mengusir serangan monster di ibukota. Mereka Ierlan. Aku dengar keturunan keluarga Ierlan adalah seorang penyihir dengan bakat api yang hebat."

Miu tersenyum setelah Reita menyadarinya. Lelaki itu nampak tak dapat berkata apa-apa seolah dia menyadari sesuatu hal yang besar.

"Benar. Kau benar. Aku membawa nama keluarga Ierlan, tapi aku tak layak. Karena aku... aku membiarkan keluargaku mati!"

Suaranya seketika meningkat menjadi jeritan. Reita sontak tersadar dan memandang Miu dalam kebingungan.

"Mereka mati karenaku. Karena aku... Ayah, Ibu, bahkan adikku Reva, mereka harus terbunuh. Aku bahkan tak bisa menyelamatkan mereka!! Jika saja saat itu aku... aku... lebih kuat. Semuanya... tak akan berakhir seperti ini. Semuanya akan baik-baik saja."

Cerita Miu mengalir diikuti beberapa jeritan lainnya, Miu mengeluarkan kekesalannya hingga napasnya menjadi tak beraturan. Air matanya ikut mengalir jatuh dan tangannya dengan kuat memeluk tubuhnya sendiri.

"Terbunuh? Siapa yang berani melakukannya?"

Tanya Reita untuk saat ini.

"Sebuah organisasi dunia bawah yang dikenal selalu mengumpulkan harta dan uang dengan menjadi sekumpulan pembunuh bayaran. Tidak lain mereka adalah ‹Black Bullet›."

‹Black Bullet›, nama yang tidak asing di telinga penduduk Kerajaan Midland. Nama itu adalah sebuah organisasi dunia bawah yang selalu mempekerjakan anggota mereka sebagai seorang pembunuh bayaran atau pemburu harta.

Tidak hanya ‹Black Bullet›, berbagai macam organisasi dunia bawah juga ada, namun saat ini hanya nama itulah yang menjadi buah bibir semua orang.

‹Black Bullet› sering disebut juga ‹Death Bullet›, bekerja di balik bayang dan terus berupaya menyembunyikan jejak organisasi mereka setelah operasi.

Mereka tidak pilih-pilih dalam menentukan target. Selagi mereka mendapat bayaran, tak peduli siapa pun itu mereka akan dibunuh.

Secara kebetulan tidak jarang mereka meninggalkan jejak untuk menakut-nakuti semua orang dan untuk mengetahui siapa mereka sebenarnya.

Mungkin Miu menjadi salah satu korbannya. Dirinya bercerita bahwa dia ditangkap saat keluarganya tengah merayakan liburan ulang tahun adiknya, Reva.

‹Black Bullet› tau mereka tak akan dapat menang menghadapi keluarga Ierlan karena itu mereka menggunakan cara licik dengan menculik Miu untuk dijadikan sandera.

Dengan iming-iming menjamin keselamatannya, ayah dan ibu Miu dihabisi tepat di depan Miu dan adiknya.

Saat mereka lengah Miu dan Reva berhasil melarikan diri dari tempat persembunyian mereka. Tapi mereka ketahuan dan diburu untuk dibunuh.

Demi melindungi Miu, Reva meminta agar Miu mencarikan pertolongan dengan Reva sebagai pengalih perhatian orang yang mengejar mereka.

Bodohnya Miu saat itu adalah menyanggupinya tanpa pikir panjang dan terlebih lagi... ketakutan.

Saat dirinya kembali dengan membawa bantuan, semuanya telah meninggal. Dan lebih buruk lagi mereka tak menemukan jejak anggota ‹Black Bullet› yang melarikan diri.

Miu segera menyesali keputusannya. Hanya karena adiknya lelaki dia pikir akan baik-baik saja, namun dia salah.

Semuanya terbunuh dan hanya dirinya yang selamat. Miu menangis sejadi-jadinya.

"Setelah itu aku masuk panti asuhan. Semua orang baik, tapi aku tetap tidak bisa lepas dari bayangan itu. Mereka mati karenaku dan aku tak bisa berbuat apapun. Kenapa aku tidak mati saja seperti mereka?"

Miu memeluk dirinya sendiri. Dirinya merasakan ketakutan dan kekosongan dalam hatinya. Pada akhirnya dia tak pernah membuktikan apapun bahkan setelah masuk akademi.

Dia tak akan pernah lupa dan dia juga selalu terbayang wajah adiknya setiap malam. Adiknya yang dipenuhi bercak darah dan bekas tikaman benda tajam.

Satu-satunya benda yang dapat mengurangi rasa rindunya hanyalah sebuah jepit rambut pemberian adiknya dan itu sudah sedikit lusuh dan begitu usang.

Tiap malam Miu memakainya saat dia tak bisa tidur. Dipandangnya wajah seseorang yang gagal itu dengan berujar sesuatu yang mungkin akan meringankan pikirannya.

"Untuk apa nama?! Untuk apa hidup bila orang yang kau sayangi pergi meninggalkanmu?! Aku yang tak bisa melindunginya padahal aku kakaknya."

Tersenyum getir, Miu telah mencapai puncak dimana dia pikir dia sudah tak dapat hidup lagi karenanya.

"Tapi kau ada disini. Itu berarti kau ingin hidup. Tak ada salahnya kau mencoba meneruskan hidupmu meski terasa menyakitkan."

"Kau tau apa? Kau bahkan tak pernah..."

"Karena aku juga kehilangan semua orang. Setelah terlahir sebagai tak beratribut, orang tuaku direnggut dariku karena sebuah bencana. Meski tidak sepertimu, namun jangan katakan bahwa aku tak mengerti perasaanmu."

"Rei..."

Miu sontak terdiam dari perkataan Reita. Karena terbawa suasana, Reita sampai harus mengatakan tentang dirinya. Namun dia rasa mereka impas.

"Takdir mungkin terasa kejam, namun itu bukan berarti kau harus berhenti melangkah karenanya. Cobalah untuk merelakan kepergian mereka. Juga meminta maaflah."

Dari jawaban itu Miu mengangkat kepalanya.

"Jika itu dapat menghilangkan sakit hatiku, seharusnya semua itu sudah hilang sejak lama. Lagipula mereka tak akan mungkin mendengar suaraku."

"Bukan mereka. Tapi dirimu. 'Maaf sudah terlalu banyak menyalahkan diriku sendiri'. Seperti itu."

"Apa maksudmu?"

Tersenyum karena Miu sepertinya terkejut, barulah Reita mengungkapkannya.

"Apa kau lupa, kau adalah kakak tertua. Kau tidak salah untuk berusaha menyelamatkan mereka. Semua orang memiliki pilihan mereka masing-masing, karena itulah mereka dapat melakukan kebaikan. Mereka bersyukur memiliki kakak yang dapat diandalkan karena itulah mereka memilih menyelamatkan hidupmu diatas hidup mereka. Jangan khawatir, kau tidaklah gagal sebagai seorang kakak. Tak ada salahnya untukmu memilih terus hidup karenanya."

Bening pada bola matanya berputar mulai kembali menumpuk pada pelupuk matanya. Hatinya berguncang menyakitkan, namun juga mulai terasa hangat.

Miu mungkin menyadarinya. Dia tak bisa melupakan semua kenangan itu, karena itu adalah bagian dari dirinya yang membentuk kepribadiannya hingga saat ini.

Dia mungkin belum memulai melangkah dengan kakinya sendiri, namun dia sudah berusaha untuk maju melalui semua cobaan itu.

Dia terus hidup bukan untuk menyesali tindakannya, bukan berarti juga balas dendam. Mungkin itu hanya sesuatu yang kecil yang dapat ditemukan dimanapun atau siapapun.

Miu terus hidup karena keluarganya menginginkannya. Mereka mencintainya dan memberikan semua masa depan mereka padanya.

Dengan mengemban semuanya, Miu belajar untuk melangkah dengan kedua kakinya, tanpa dukungan mereka.

"Kau adalah masa depan mereka. Semuanya tidaklah pergi darimu, namun semua itu berubah menjadi kenangan yang akan selalu tersimpan di hatimu. Mereka akan selalu ada untukmu."

"Tapi aku tak bisa bertemu mereka lagi, aku masih belum bisa menerimanya."

Reita mendekat dengan penuh perasaan mengusap puncak kepala gadis yang tengah bersedih itu. Terdapat kasih sayang didalamnya. Gerakannya lembut layaknya seorang ibu yang mengusap kepala anaknya.

"Tak apa-apa kalau kau belum bisa menerimanya. Kau hanya perlu putuskan akan menjadi apa dirimu kedepannya. Kau akan tetap seperti ini mengasihani dirimu sendiri atau melangkah maju dari apa yang telah keluargamu titipkan padamu tanpa sekalipun menengok ke belakang."

Gadis itu menatap Reita dalam mencermati setiap kata yang keluar dari bibirnya. Hatinya mungkin terguncang, namun Miu hanya perlu menghadapinya tanpa merasa putus asa.

Yang perlu dilakukannya hanyalah menjadi tak ragu lagi.

"Miu, aku bersyukur bisa bertemu denganmu. Dalam sedih, terluka, atau bahagianya dirimu aku akan ada untukmu. Kau telah menerimaku, maka aku juga akan menerima semua perasaanmu. Jika kau mati, kita tak akan bertemu, dan aku tak akan pernah mampu berubah. Jadi untuk siapapun yang telah menyelamatkan hidupmu, aku sangat berterima kasih."

"Rei..."

Air mata yang telah dikeluarkannya sedari tadi mulai berhenti. Gadis itu mulai tersenyum karenanya.

Melihat masih adanya air mata tersisa, Reita mengusapnya dengan ibu jarinya seraya mendekat untuk mendekap tubuhnya erat.

"Berhentilah menangis. Air mata itu merusak wajah cantikmu. Berbahagialah, untuk saat ini sampai kapanpun. Berbahagialah kau di masa depan."

Miu ingin kembali menangis, namun bukan karena sedih, melainkan tangisan haru. Baginya hingga diperlakukan seistimewa itu rasanya seperti mimpi.

Perasaan yang sempat hilang itu kini dapat dia dekap kembali. Hangatnya memiliki seseorang yang sangat kau sayangi berada disisimu menemanimu dalam suka dan duka.

Reita mungkin belum menjadi siapa-siapa, namun dia sudah putuskan menjadi apa pun dirinya kelak, dia tak akan pernah meragu. Reita memiliki tekad itu, tekad api yang akan terus menyala.

Karena itulah dia membagikannya pada Miu. Keyakinannya dan juga tekadnya itu, tak akan ada siapapun dapat menggoyahkannya.

Belajar dari apa yang berlalu dan menjadi seperti yang diinginkannya, Reita telah memberikan alasan Miu untuk berdiri melawan rasa takutnya, kesedihannya, cemasnya, dan sakit hatinya.

Tidak. Tepatnya dia telah mengambil semua itu. Kini yang tersisa darinya hanya kebahagiaan.

"Terima kasih, Rei!"

Semakin mendekap erat tubuh dihadapannya, Miu menjadi tenang. Dirinya tanpa sadar mulai terlelap dalam buaian tidurnya.

★★★

'A-apa yang sudah ku lakukan?!'

Pada hari menjelang, Miu menjerit dalam hati disamping rasa malu mengingat kejadian semalam.

'Aku menangis, memeluknya, dan kemudian... tidur?! Kenapa aku berani melakukan hal memalukan itu?!'

Tatapan Miu menjadi tak fokus. Dia masih berdiri memandangi ranjang tempat dia menangis dalam pelukan lelaki tersebut.

Pipinya merona, hatinya berdesir, tangannya gemetar. Miu benar-benar sulit mengendalikan dirinya.

Namun diantara semua itu, dia benar-benar merasakan bahagia. Miu tak dapat menyembunyikan kebahagiaan itu.

Andai Reita mengetahui dirinya yang sedang merona bahagia seperti ini, Miu tak akan tau lagi wajah apa yang akan ditunjukkannya pada Reita.

"Kau sudah siap berangkat?"

Suara itu tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Sontak karena terkejut Miu menjerit ketakutan.

"Hyaaaa...!!"

Tubuhnya menjadi lemas, Miu termundur. Reita yang berada di belakangnya menangkap badannya yang sempoyongan.

"Oy, Miu. Apa aku mengejutkanmu? Maaf."

Saat tangan Rei berada di kedua bahunya dengan tubuh yang merapat, kepala Miu tiba-tiba terasa pusing juga tubuhnya yang mulai kehilangan semua tenaganya.

"Miu? Hey, Miu. Ada apa?"

Reita yang sepertinya tak mengetahui apapun itu hanya bisa mempertahankan posisinya takut bila gadis itu terjatuh karenanya.

★★★

Disamping aktivitas kedua pasangan yang cukup menarik perhatian tersebut, seseorang telah mengawasi mereka— tidak, mungkin lebih tepatnya seseorang —semenjak kemunculannya di akademi.

Perasaan yang sama seperti dahulu hinggap dipikirannya. Dirinya tak bisa menahan diri untuk tak menemuinya.

Mereka akan bertemu dan masalah diantara mereka akan segera berakhir.

avataravatar
Next chapter