1 Prologue, Dunia yang menjadikan kita

Di hari itu, aku sudah cukup merasa lelah dengan hidupku ini. Jadi aku memutuskan untuk pergi ke sebuah taman yang ada di pinggir danau kota untuk mencari tempat menyendiri, melepaskan diri dari beban hidupku walau hanya untuk sesaat. Untungnya taman itu sedang cukup sepi dan tidak ramai seperti biasanya dan aku duduk disebuah kursi disana.

Banyak pikiran memenuhi kepalaku, dimulai dari ibuku yang seringkali jatuh sakit ditambah ibu juga telah terlilit banyak hutang yang sebelumnya digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, karena setelah ayah meninggal semua biaya keluarga di tanggung ibuku sendiri. Setiap hari dia menyuruhku dan adiku untuk tetap semangat melanjutkan hidup padahal ia sendiri sering memaksa badannya yang lemah itu untuk bekerja. Hingga itu membuatku selalu khawatir dengan kondisinya.

Apa aku ini memang hanya beban saja? Pikirku merenung.

Aku memang begitu payah dan tidak berguna untuk keluargaku dan hanya menjadi beban saja karena biaya sekolahku yang tinggi. Hal itu sampai membuat adikku putus sekolah untuk menutupi biaya sekolahku. Adik dan ibuku memberikan semuanya untukku karena mereka berharap tinggi padaku tapi aku tidak yakin bisa mewujudkan harapan mereka.

Apa aku bisa mencapai apa yang diharapkan ibu dan adikku? Pikirku kembali.

Angin malam mulai menyapu kebadanku. Walau terasa dingin tapi ini tidak seberapa dibanding apa yang kurasakan didalam hatiku ini. Perasaanku itu layaknya seperti es yang terus mengeras dan menggengam hatiku tanpa ampun. Itu sakit namun tidak ada darah yang keluar dari sana.

Semakin aku terus memikirkannya semakin aku tertekan karenanya. Pertanyaan-pertanyaan mulai muncul dikepalaku, Bagaimana jika aku gagal? Apa yang akan terjadi kepada keluargaku?

Aku tidak bisa membayangkan hal jika itu terjadi tapi disaat yang sama aku juga tidak yakin bisa mewujudkan apa yang diharapkan ibu dan adikku. Itu membuatku teringat akan senyum mereka yang penuh harapan itu selalu mengarah kepadaku.

Hujan mulai turun dan mulai membasahi tubuhku. Namun disituasi seperti ini aku merasa nyaman karena selama ini aku selalu menahan air mataku supaya tidak dilihat keluargaku maupun orang lain.

Jadi sekarang aku bisa menangis tanpa orang lain tahu? Ungkapku dengan perasaan lega.

Tidak lama kemudian aku melihat seseorang lelaki berambut hitam dengan memakai payung duduk dikursi yang sama dengaku dan dia duduk tepat disebelahku. Laki-laki itu duduk cukup dekat denganku sehingga payungnya juga sampai ke atas kepalaku.

"Kenapa kau membasahi wajah cantikmu itu?" Ucap laki-laki itu.

Aku terdiam untuk sesaat karena aku tidak mengerti apa yang dinginkan laki-laki itu. Aku sempat berpikir dia hanya akan menggodaku. Layaknya laki-laki pada umumnya, namun pikiranku itu berubah setelah ia berbicara lebih banyak.

"Apa kau juga sudah Lelah dengan kehidupan ini?" Tukas laki-laki itu dengan senyum tipis yang aneh menatap ke kearahku.

Mata coklatnya itu menatapku dengan ekspresi yang sulit dijelaskan oleh kata-kata. Setelah itu aku sadar jika laki-laki ini berbeda dengan laki-laki yang biasa kutemui selama ini.

"Aku han-"

"Kau tidak perlu menjawabnya." Balasnya memotong ucapanku.

"Apa?"

"Jika kau belum bisa menerima kenyataan sebaiknya jangan mengatakan apapun. Karena itu hanya menyakitimu sendiri." Jawabnya dengan singkat namun menusuk tajam.

Ucapan laki-laki itu menusuk kedalam hatiku. Rasanya dia sangat paham dengan perasaanku ini. Padahal ini adalah pertama kalinya aku bertemu dengannya. Itu membuatku menjadi bertanya-tanya.

"Jadi kau juga?" Tanyaku dengan rasa penasaran. Sekedar untuk memastikan apakah kami memiliki nasib yang serupa.

"Aku hanya laki-laki yang mencari sesuatu namun tidak pernah mendapatkannya." Balas Laki-laki itu sambil menatap langit tinggi dengan senyum tipisnya itu.

Karena ekspresinya yang tidak biasa membuatku kesulitan memahami kata-kata laki-laki itu, terlebih lagi aku tidak mengenalnya sama sekali.

"Apa kau tidak mengerti apa yang kukatakan tadi?" Ungkap laki-laki itu memecah kesadaranku.

"Sebuah ucapan itu pasti memiliki arti, tapi perasaan kitalah yang mentukannya." Lanjutnya dengan nada suara yang lembut dan ramah.

Laki-laki itu mengucapkan sesuatu yang sulit dimengeri kembali. Ucapannya membuatku melihatnya sebagai laki-laki yang aneh tapi disisi lain aku merasa jika aku dengannya tidaklah berbeda jauh. Rasanya ada kesamaan diantara kami berdua tapi aku tidak bisa memahami apa persamaan itu. Hal ini semakin membuatku bertanya-tanya.

"Aku merasa kau memiliki keraguan yang besar pada dirimu sendiri. Jika kau ragu pada dirimu sendiri berarti kau lebih mempercayai orang lain dibanding diri sendiri. Orang bijak selalu berkata yakinlah pada dirimu dan percaya pada dirimu adalah kunci kesuksesan. Orang yang sukses akan memahami dirinya sendiri dan tidak akan pernah mengucilkan dirinya sendiri." Ucap laki-laki itu kembali dengan panjang lebar.

Perkataan laki-laki itu membuatku tanpa sadar tertawa kecil. Aku merasa jika dia lebih paham tentang diriku ini dibanding diriku sendiri dan ini adalah kali pertama aku mengalami hal seperti ini.

"Kau lebih cantik jika tertawa seperti itu." Puji laki-laki itu dengan senyuman tipisnya itu.

"Jadi kau kesini hanya untuk menggodaku saja?" Jawabku sambil mengarahkan jari telunjukku pada laki-laki itu.

Ucapanku membuat laki-laki itu terdiam sesaat dan eksresi wajahnya sedikit berubah. Bibir pucatnya itu kembali memberiku senyuman tipis yang kali ini cukup manis jika dilihat.

"Aku merasa kita akan bertemu lagi suatu saat nanti."

"Apa maksudmu?"

"Kau akan tahu jika pada saatnya nanti."

Saat dia mengatakan kata-kata perpisahan itu membuatku sedikit merasa kehilangan. Keberadaannya yang sesaat dapat membuatku merasa lebih baik. Setelahnya aku merasa es dalam hatiku rasanya kembali menekan hatiku ini. Rasa ini membuatku merasa jatuh kesebuah lubang yang dalam.

"Peganglah payung ini." Ucap lelaki itu memecah pikiranku.

Dia memberikanku payungnya dengan corak mawar merah. Payung ini terlihat cukup mahal dan aku tidak paham kenapa laki-laki itu memberi payung ini kepadaku.

"Kenapa kau memberiku payung ini?" Ungkapku sambil mengapai payung yang diberikan laki-laki itu.

Laki-laki itu hanya menatapku dengan mata tajamnya lalu tersenyum tipis kembali. Rasanya tatapannya itu menembus ragaku dan membuat hatiku bergetar karenanya.

"Saat ini masih hujan dan aku tidak mau melihatmu kebasahan." Balas laki-laki itu dengan singkat.

"Tapi-"

"Kau bisa berikan padaku saat kita bertemu lagi nanti."

"Bagaimana kita akan-"

"Kita pasti akan bertemu lagi. Dan aku yakin kau akan menjadi orang yang lebih baik saat itu terjadi."

"Kalo begitu aku ingin tahu namamu."

"Kau akan mengenalku saat kita bertemu nanti. Lagipula aku hanya ada satu didunia ini tidak mungkin akan tertukar dengan orang lain."

"Tapi banyak-"

"Banyak orang saling mengenal nama tapi tidak saling memahami. Aku yakin kau akan mengenaliku karna kau dapat memahamiku."

Laki-laki itu berkata seperti itu padaku dengan tersenyum lalu pergi begitu saja. Dia berjalan ditengah derasnya hujan dengan santainya. Aku tidak bisa mengeluarkan kata-kata. Walau aku merasa kesal karena dia banyak memotong ucapanku tapi rasanya aku dan laki-laki itu terikat akan sesuatu namun aku tidak bisa mengetahuinya saat ini.

Hingga waktupun berlalu dan payung itu masih ada padaku…

avataravatar
Next chapter