webnovel

6. Menuju Labirin

Para pahlawan yang merupakan murid dari dunia lain, tengah berkumpul di aula, tak terkecuali Riyan. Seperti biasa, ia memasang wajah datarnya dan duduk terasing dari lainnya. Sambil duduk mendengarkan apa yang Alestein bicarakan, Gilbert sesekali melihat ke arah Riyan dengan ekspresi tidak enak dan jijik. Karena telah terbiasa dengan tatapan seperti itu, Riyan mengabaikannya.

"Jadi, apa yang harus kalian lakukan kali ini adalah pengalaman sungguhan."

Kalimat yang baru saja dilontarkan Alestein membuat para murid terkejut. Wajar jika mereka terkejut, itu karena seharusnya mereka telah menerima pengalaman bertarung dengan beberapa monster lemah. Kebingungan mulai melanda di sekitar mereka.

"Saya ingin bertanya, yang mulia."

"Hmm? Apa itu, Gilbert?"

Sebelum kebingungan semakin melanda, Gilbert dengan sigap menanyakan apa yang membuat mereka bingung.

"Maksudnya pengalaman sungguhan itu seperti apa?"

"Memang kalian telah menjadi jauh lebih kuat dibanding pertama kali datang di dunia ini, tapi kalian juga perlu melatih mental."

Itu benar, selama ini para murid hanya melatih fisik mereka di istana, tapi tidak dengan mental. Dari semua murid yang ada di aula ini, hanya ada satu orang yang telah memiliki pengalaman itu. Dia adalah Riyan.

Gilbert dan lainnya hanya berlatih menggunakan boneka latihan dan monster panggilan milik prajurit kerajaan. Ada beberapa dari prajurit kerajaan yang dapat menggunakan sihir pemanggil. Walau begitu, mereka tidak pernah sekali pun membunuh monster-monster panggilan tersebut. Dalam keadaan sekarat, monster panggilan itu langsung menghilang begitu saja, kembali ke dalam tubuh si pemilik.

"Tapi apa yang harus kami lawan?"

Dengan wajah serta nada khawatir, ia menanyakan itu pada Alestein. Karena ini merupakan pembunuhan pertama mereka, wajar saja ia khawatir. Para murid juga terlihat takut, walau telah berlatih sampai kuat seperti sekarang.

"Hm... untuk level kalian, kurasa Wyvern akan lebih bagus."

Sambil mengatakan itu, Alestein mengusap dagunya dengan gaya berpikir ala cendekiawan. Mendengar itu, sontak saja para murid terkejut. Tentu saja, itu merupakan hal yang dapat membuat hati mereka terguncang. Faleon juga sama terkejutnya mendengar apa yang disarankan oleh Alestein.

Wyvern adalah naga yang memiliki sepasang sayap dan sepasang kaki. Mereka memiliki sisik keras dan tebal, layaknya naga pada umumnya. Walau begitu, Wyvern tidak bisa mengeluarkan nafas api, kecuali beberapa Wyvern spesial. Karena tidak dapat menghembuskan api, Wyvern diberkahi ekor dan sayap berduri yang bisa ia tembakkan untuk membunuh mangsanya.

Bagi para murid yang telah berlatih keras selama ini, Wyvern memang tidak terlalu sulit, tapi pengalaman dalam pertarungan sesungguhnya akan sangat menentukan kemenangan. Berhubung para murid belum memiliki pengalaman bertarung sesungguhnya, menaklukkan Wyvern adalah hal yang buruk.

Saat para murid mulai terlihat waswas, Faleon berjalan menghadap Alestein, lalu ia berlutut di hadapannya.

"Maaf menyela yang mulia, tapi untuk para pahlawan, akan lebih baik diberi sedikit keringanan. Mereka tidak memiliki pengalaman untuk itu, berbeda dengan tentara kita. Walau kekuatan mereka sangatlah hebat, pengalaman yang kurang sangat menentukan hidup mati mereka. Yang mulia, mohon pertimbangkan lagi."

Dengan sangat berharap, Faleon mengatakan itu. Gilbert dan yang lain juga sangat berharap agar Alestein mengganti lawan pertama mereka itu. Sesaat kemudian, Alestein langsung berbicara.

"Bagaimana kalau menantang labirin Hexaphilia? Harusnya itu mudah jika tidak masuk terlalu dalam."

"Terima kasih atas pertimbangan dan kemudahannya, yang mulia."

"Bagaimana, Gilbert? Apa itu saja tidak apa-apa?"

Gilbert mengalihkan pandangannya kepada teman-temannya yang berada di belakangnya itu. Ia ingin memastikan apa jawaban dari para murid sebelum menjawab. Jika ia asal menjawab, protes akan langsung bergema. Tapi kelihatannya para murid setuju dengan menganggukkan kepala mereka.

Gilbert tersenyum senang dan langsung menoleh melihat ke arah Alestein, lalu mengangkat suaranya.

"Kami menerimanya, yang mulia."

Mendengar jawaban yang mewakili para murid dari Gilbert, Alestein tersenyum lega. Ia senang bahwa para pahlawannya menyetujui usulnya tersebut.

"Baiklah. Besok kalian semua akan menantang labirin Hexaphilia!"

""Siap!!""

Di sambut dengan seruan semangat dari para murid, Alestein gembira. Ia tak menyangka bahwa para pahlawan dari dunia lain ini sebentar lagi akan menghadapi labirin tersebut. Demi melatih mental, mereka harus terbiasa membunuh monster-monster seperti tentara kerajaan.

Kemudian, para murid bubar dan berjalan kembali ke gedung tempat tinggal mereka di sebelah istana. Riyan menyusul sesaat setelah para murid bubar. Tapi sebelum ia keluar dari aula, ia dihentikan oleh Faleon.

"Riyan, tunggu!"

Mendengar panggilan dari Faleon, langkahnya secara otomatis terhenti dan menoleh ke belakang. Ia tidak ingin menunjukkan sikap kurang sopan kepada Alestein, sang raja Alivonia ini. Faleon berlari ke arah Riyan sambil membawa sesuatu di tangan kirinya.

'Apa itu?'

Riyan kebingunan melihat apa yang di genggam oleh Faleon. Bentuknya seperti salib kecil yang secara keseluruhan dibungkus dengan perban putih. Sebelum sempat bertanya, Faleon mengangkat benda tersebut ke depan wajah Riyan.

"Ambil ini, Riyan."

"Ha?"

Kalimat itu tidak diduga Riyan sebelumnya. Ia berpikir Faleon ingin mengatakan sesuatu pada dirinya, tapi ternyata salah. Riyan masih kebingungan dengan apa yang hendak diberikan jenderal besar Alivonia itu padanya.

"Apa ini?"

Ia melihat benda tersebut dengan seksama, lalu mendapat sebuah kesimpulan.

"Ini... pedang?"

"Ya, ini adalah pedang lamaku."

Jawaban dari Faleon membuat Riyan terkejut. Kenapa Faleon memberi pedang kepada dirinya yang tidak berguna itu?

"Kenapa kau memberikan ini padaku, jenderal?"

"Bukankah sudah jelas? Aku tahu kalau kau tidak memiliki senjata satu pun, jadi aku ingin memberikan ini padamu."

"Tapi, statusku terlalu lemah, aku tidak mungkin berada di garis depan. Lagipula, pedang itu adalah pedang lamamu, pasti banyak kenangan yang tersimpan di sana."

"Memang banyak kenangan di pedang ini, tapi aku memberimu pedang ini bukan karena ingin dirimu maju ke depan, melainkan untuk melindungi diri. Aku tahu kemampuan pedangmu, itu bukanlah sesuatu yang dianggap remeh. Kemampuan pedang yang dapat membuat diriku kewalahan hanya dalam 2 minggu, pedang ini pasti akan senang menerimamu sebagai pemilik barunya."

Riyan kembali dikejutkan oleh Faleon. Ia tidak menyangka bahwa jenderal besar yang ada di hadapannya itu sangat percaya terhadap dirinya, yang bahkan ia sendiri tidak percaya. Karena niat tulus dari Faleon, ia mengangkat kedua tangannya dan menerima pedang yang masih terbungkuskan perban putih itu.

"Terima kasih, jenderal. Akan kugunakan dan kujaga sebaik-baiknya."

Faleon hanya tersenyum lembut sambil menyerahkan pedang lamanya kepada pemuda berambut hitam tersebut.

Setelah menerima pemberian dari Faleon, Riyan keluar sambil menenteng pedang tersebut di tangan kirinya. Faleon yang melihat Riyan berjalan meninggalkan ruangan sambil memunggungi dirinya itu tersenyum lega dan puas.

'Riyan, kau adalah orang yang benar-benar kupercaya. Semoga pedang tua itu dapat berguna bagimu, walau hanya sedikit.'

***

Keesokan harinya, para murid berkumpul di halaman depan istana membentuk barisan rapi. Di hadapan mereka terdapat Faleon, Fileza, dan Faizal. Mereka adalah ketiga jenderal besar kerajaan Alivonia, sekaligus saudara kandung. Faleon merupakan saudara tertua, Fileza kedua, dan Faizal putra bungsu. Diantara mereka bertiga, Fileza adalah satu-satunya perempuan.

"Apa semuanya sudah hadir di sini?"

""Siap, sudah!!""

Para murid membalas pertanyaan Faleon dengan penuh semangat. Faleon tersenyum mendengar jawaban penuh semangat dari para pahlawan yang dipanggil dari dunia lain tersebut. Ia lebih senang ketika melihat Riyan juga hadir di barisan paling belakang membawa pedang lama kesayangannya di punggung. Matanya terpancar kelegaan dengan sangat jelas.

"Baiklah, ayo berangkat!"

""Ya!!""

Setelah sorakan balasan, Faleon dan kedua jenderal besar kerajaan Alivonia melangkahkan kakinya menuju gerbang masuk kerajaan dengan perlengkapan tempur lengkap. Zirah besi yang menutupi seluruh badan, kecuali kepala, jubah merah yang melekat di punggung, serta sebuah pedang satu tangan menggantung di pinggang, mereka memakai perlengkapan tempur lengkap untuk mengantisipasi keadaan yang mungkin tidak bisa ditangani oleh para murid.

Memang para murid memiliki kekuatan yang sangat besar, tapi mereka kekurangan pengalaman, karena itulah saat ini mereka berjalan menuju labirin Hexaphilia untuk berburu monster secara sungguhan.

Para murid terlihat antusias mengikuti ketiga jenderal besar tersebut dengan perlengkapan tempur milik mereka sendiri. Gilbert memakai zirah besi ringan serta sebuah pedang di pinggang, lalu Tifania menggunakan baju hijau lengan panjang yang longgar dengan tongkat sihir yang ia genggam.

Kebanyakan dari para murid yang memiliki kemampuan sihir lebih tinggi memakai tongkat sihir untuk memperkuat sihir mereka. Tongkat sihir biasanya dibuat dari kayu pohon oak atau lebih dikenal dengan nama pohon ek, dan memiliki batu sihir khusus di ujungnya. Hanya ada beberapa murid yang memiliki kemampuan sihir lebih tinggi sehingga dapat sebut sebagai penyihir, Tifania adalah salah satunya.

Sementara para murid berjalan dengan penuh antusias sambil membicarakan hasil buruan dan bersenda-gurau sebelum melakukan perburuan, Riyan terlihat memikirkan sesuatu dari belakang. Untuk pertama kalinya ia membawa pedang di punggung seperti itu, posisi berdirinya tetap tegak, mungkin itulah hasil latihan rutin dengan Faleon selama ini.

'Apa aku bisa membantu? Dengan statusku yang seperti ini, aku hanya akan menjadi penghalang bagi mereka. Aku tahu kalau kemampuan pedangku sudah lumayan, tapi aku tidak yakin dapat membantu mereka.'

Kepala Riyan dipenuhi oleh pikiran-pikiran semacam itu. Ia harus memilih dua pilihan, yaitu berdiam diri tanpa membantu sama sekali agar tidak menjadi penghalang atau membantu sedikit demi sedikit dari jarak menengah. Pilihan itu sulit untuk diambil, mengingat statusnya yang sangat rendah itu, bahkan untuk ukuran penghuni dunia ini.

Setelah sekitar 20 menit berjalan, mereka akhirnya tiba di pintu masuk salah satu labirin yang ada di kerajaan Alivonia, Hexaphilia. Labirin tersebut menyerupai sebuah gua besar dengan kubah batu berwarna hijau terang yang samar-samar. Karena tertutup secara keseluruhan, cahaya matahari hampir tidak bisa masuk, kecuali melewati bagian tertentu yang transparan dari atap labirin tersebut.

Di dekat mulut gua, ada dua orang gadis yang duduk di meja serta beberapa orang pria kekar dengan perlengkapan tempur yang sepertinya mengawal kedua gadis tersebut. Begitu melihat rombongan yang dipimpin oleh jenderal Faleon, kedua gadis itu berdiri tegap, sama halnya dengan para pria yang mengawal mereka. Gadis yang satu memiliki rambut cokelat pirang pendek bergelombang, dan gadis yang satunya memiliki rambut berwarna ungu gelap panjang lurus.

Melihat hal tersebut, Faleon tersenyum kecut. Ia tidak menyukai keformalan yang ditujukan padanya. Ia bergegas berjalan menuju kedua gadis itu dan mengatakan sesuatu.

"Tidak perlu formal seperti itu, kali ini aku datang tidak bersama yang mulia."

""Baik!""

Walau begitu, tetap saja mereka tidak bisa menghilangkan keformalan terhadap Faleon, karena sudah menjadi kebiasaan. Faleon menghembuskan nafas berat mendengar jawaban penuh keformalan dari kedua gadis tersebut. Fileza dan Faizal hanya tersenyum masam, sedangkan para murid hanya kebingungan karena tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.

Seperti biasa, Gilbert dengan sigap bertanya.

"Jenderal, maaf menyela, sebenarnya siapa mereka?"

"Ah benar, aku lupa kalau kalian belum pernah bertemu mereka berdua."

Faleon tertawa kecil mendengar pertanyaan Gilbert. Kedua saudaranya hanya menghembuskan nafas panjang penuh kekecewaan menanggapi jawaban Faleon. Para murid menatap Faleon dengan wajah datar, sama persis seperti ekspresi yang biasa Riyan pakai.

Karena tidak ingin berlama-lama, Faleon segera memperkenalkan kedua gadis yang memakai berdiri di depan meja yang terdapat di sana.

"Gadis berambut pendek ini adalah Fransesca dan yang berambut panjang itu bernama Daela. Mereka berdua adalah penjaga pintu masuk labirin Hexaphilia ini dari pihak serikat petualang yang ada di ibukota Alivonia ."

Para murid terkejut mendengarnya, tapi Riyan dan beberapa yang lain tetap tenang karena telah mengetahui ini. Itu bukan hal yang aneh jika tiap labirin yang ditemukan akan dijaga oleh orang-orang dari serikat petualang.

Serikat petualang adalah sebuah organisasi khusus yang didirikan atas persetujuan seluruh kerajaan. Kenapa? Karena mereka membawa keuntungan yang sangat besar. Serikat petualang biasanya menerima berbagai macam permintaan dari semua orang dan para anggotanya akan bekerja menyelesaikan permintaan-permintaan tersebut dengan imbalan yang sesuai.

Kebanyakan permintaannya adalah memburu monster tertentu dalam jumlah tertentu pula. Selain dapat mengurangi monster yang berkeliaran di alam sekitar, kerajaan juga mendapat material yang dibutuhkan dari serikat yang berasal dari monster yang dibunuh. Karena inilah serikat petualang sangat dibutuhkan di kerajaan manapun.

"Jadi, apa anda akan masuk ke dalam labirin bersama mereka, jenderal Faleon?"

"Ya. Sudah ada pemberitahuannya, bukan?"

"Ya, kami telah menerima kabar dari ketua."

Kedua gadis tersebut mengangguk pelan beberapa kali. Setelah itu, mereka mengambil sesuatu dari sebuah kantung besar seperti karung beras dan meletakkannya di atas meja. Faleon mengambil tiga buah sesuatu tersebut dan memakai salah satunya, lalu memberikan dua lagi kepada Fileza dan Faizal.

Apa yang diletakkan di atas meja oleh kedua gadis tersebut adalah kalung dengan batu hijau dan rantai besi. Setelah ketiga jenderal besar Alivonia itu memakai kalung itu, Faleon menyuruh para murid mendekat.

Para murid pun menurut dan melangkahkan kakinya mendekat ke arah mereka. Faleon memberi sinyal kepada Fransesca dan Daela, lalu kedua gadis dari serikat petualang tersebut mengangguk. Fransesca mengambil sebuah kalung dan menunjukkannya kepada seluruh murid sambil menjelaskan apa sebenarnya kalung itu.

"Kalung ini adalah kalung khusus yang wajib dipakai sebelum masuk ke dalam labirin. Ini adalah ketentuan dari serikat petualang, yang tidak mau memakainya tak diperbolehkan masuk."

Para murid mengangguk mendengar penjelasan Fransesca, termasuk Riyan yang sebenarnya telah mengetahui hal tersebut. Ia ingin memastikan bahwa apakah ada yang salah dengan buku yang pernah ia baca sebelumnya mengenai ini.

"Kalung ini memiliki sihir khusus yang dapat mendeteksi kondisi si pemakai. Kalian lihat ada sebuah nomor di batu kalung-kalung ini?"

Para murid mengangguk setelah memeriksa batu hijau yang menjadi mata kalung tersebut.

"Itu adalah nomor pembawa kalung. Misalnya jenderal Faleon memakai kalung nomor 1 dan bola yang memiliki nomor yang sama seperti ini menghitam, maka ia telah mati di dalam labirin."

Sambil mengatakan itu, ia mengambil sebuah bola kecil seukuran jam tangan yang terbuat dari kristal berwarna biru dan menunjukkannya kepada mereka semua.

"Hei, kau mengharapkanku mati ya?"

Faleon yang mendengar itu merasa kesal karena menjadi contoh buruk. Ia menatap Fransesca yang sedang menjelaskan dengan tatapan tajam. Fransesca merinding menyadari apa yang baru saja ia ucapkan.

"I-itu hanya perumpamaan, jenderal, bukan maksud saya seperti itu."

Dengan panik, ia berusaha menjelaskan sekaligus menenangkan Faleon. Faleon menghembuskan nafasnya sedikit dan mempersilahkan Fransesca meneruskan penjelasannya. Fransesca menghela nafas berat, sepertinya ia mendapat pengalaman yang berarti untuk kehidupannya.

Sesaat kemudian ia mengangkat kepalanya dan melanjutkan penjelasannya.

"Kalung ini dilengkapi dengan sihir yang dapat mendeteksi lokasi sang pemakai serta peringatan pencurian. Jika kalung ini berada di luar labirin selama lebih dari 10 menit, maka sihir peringatan atas pencurian kalung diaktifkan, lalu si pemakai akan mendapatkan sihir listrik ringan yang dapat membuatnya pingsan."

Tepat setelah Fransesca menyelesaikan penjelasan tersebut, para murid tiba-tiba menjadi merinding, tentu saja kecuali Riyan dan beberapa lainnya. Dengan ekspresi datarnya, Riyan menyimak penjelasan itu dan merangkumnya menjadi singkat di kepalanya.

'Kalung itu... anti-maling, mendeteksi hidup pemakainya, melacak lokasi pengguna. Aku mengerti sebagian besar maksudnya, tapi kenapa ia memperpanjang penjelasan tentang kalung ini?'

Riyan kebingungan kenapa Fransesca berlama-lama menjelaskan kalung itu, padahal informasinya dapat diringkas sesingkat itu. Mungkin secara tidak sadar, karena skill [Comprehension], Riyan dapat memahami penjelasan Fransesca dengan mudah, sedangkan murid lain seperti baru saja mengerti apa yang dimaksud penjelasan panjang lebar itu. Itu dapat terlihat dari mereka yang beberapa saat yang lalu melukiskan ekspresi 'aku paham'.

Lalu sebagai tambahan, sejak kecil Riyan pandai dalam meringkas sesuatu yang dipahaminya. Contohnya pada saat guru menjelaskan panjang lebar tentang sistem peredaran darah besar, ia dapat mencatatnya hanya dalam bentuk empat kalimat.

"Apakah kalian sudah mengerti?"

""Kami mengerti!!""

Fransesca dan Daela tersenyum puas mendengar balasan penuh semangat dari para pahlawan-pahlawan muda ini.

Setelah menjelaskan semua fungsinya, kedua gadis itu membagikan dan memakaikan kalung tersebut kepada mereka. Entah kenapa, para murid menjadi lebih bersemangat, terutama untuk laki-laki. Itu wajar saja, karena Fransesca dan Daela memiliki paras dan bentuk tubuh yang sangat sempurna. Jika di dunia mereka sebelumnya, kedua gadis ini dapat dengan mudahnya menjadi model terkenal.

Beberapa saat kemudian, para murid menerima semua kalung di lehernya masing-masing satu. Kali ini Riyan tidak ketinggalan, karena ia ikut berbaris dengan lainnya, walau tetap menjaga jarak sekitar 4 meter dari murid paling belakang.

"Apakah semuanya sudah mendapat kalung?"

""Sudah!!""

"Bagus, ayo kita masuk ke dalam!"

""Ya!!""

Menjawab seruan Faleon, mereka semua akhirnya masuk ke dalam labirin Hexaphilia lewat mulut gua sebagai pintu masuk. Faleon bersama kedua saudaranya memimpin di depan, prajurit kerajaan juga ikut untuk membantu saat darurat, para murid di tengah, dan Riyan di barisan paling belakang. Dengan ini, para pahlawan memulai perburuan pertama mereka.

Tersedia di wattpad dengan judul dan pengarang yang sama~

Galih_Gatescreators' thoughts
Next chapter